Oh My Gaara
Chapter 1
Disclaimer : Masashi Kishimoto
Genre : Drama, Hurt and Comfort, Romance
Rate : Teens
Main Cast : Haruno Sakura
Sabaku No Gaara
Warning : Seluruh karakter ini milik Masashi Kishimoto, sedangkan ide ceita ini seratus persen milik saya. Pemain lain dapat kalian temukan di sini. Kemungkinan yang akan readers temui adalah typo(s), alurnya ngalur-ngidul, serta kejelekan lainnya. Oleh karena itu, harap berhati-hohoho.
Summary : Sakura harus jadi pelunas hutang Ayahnya sehingga dia harus menikah dengan seorang direktur tampan, Sabaku No Gaara. Kira-kira apa saja yang akan terjadi?
Happy Reading!
Chapter 1 : Day 1
"Aku pulang,"
Suara baritone indah itu membuat seorang perempuan berambut merah muda seperti permen kapas yang tadinya sedang sibuk menghayal di dunia mimpi kembali terlempar ke kenyataan. Setelah membuka kedua kelopak matanya, wanita itu langsung menyeka air liur yang turun dari sudut bibirnya. Buru-buru ia mengangkat kepalanya dari meja kayu yang menjadi tempat kepalanya terjatuh. Ia mengambil seberkas amplop coklat yang menjadi alas kepalanya untuk tidur. Kemudian ia memberikan amplop coklat itu pada laki-laki sang empunya suara yang membuatnya terbangun dari mimpi indahnya dengan senyuman lebar yang memperlihatkan deretan gigi putihnya yang berbaris rapi.
"Aku ingin bercerai!" ujarnya dengan semangat.
Laki-laki berambut merah dengan setelan formal dengan menjinjing tas kerja hitam itu hanya menatap si perempuan dengan tatapan datar. Tanpa mengatakan apa-apa, laki-laki itu meletakkan tas kerjanya di atas meja kayu, lalu dengan tenang, dia membuka amplop yang diberikan untuknya. Dia mengambil kertas yang menjadi isi dari amplop itu dan membacanya. Iris pale green miliknya membaca isi kertas itu dengan cepat dan cermat.
"Aku tidak akan menceraikanmu," Laki-laki itu langsung menarik kesimpulan sambil menyobek kertas itu menjadi serpihan-serpihan kecil di depan mata hijau emerald milik perempuan itu. Melihat perbuatan sadis laki-laki itu, pundak perempuan itu jatuh dengan badan menunduk dan kepala tertunduk karena keputusasaan. Ia menatap sedih serpihan kertas yang telah disobek itu.
"Aaaa.. Aku ingin cerai darimu! Ceraikan aku, Gaara!" sungut perempuan bersurai merah muda yang ia cepol tinggi kepada laki-laki yang ia panggil dengan nama Gaara itu. Ia merengek seperti anak kecil sambil menggoyang-goyangkan lengan jas si laki-laki. Sayang sekali, tidak ada respon yang mendukung dari Gaara.
"Aku sedang lelah." Gaara menghela napas sambil menyingkirkan tangan gadis itu dari lengan jasnya. Perempuan itu juga ikut menghela napas.
"Kau tidak punya alasan untuk cerai dariku, Sakura. Aku mencukupkan semua kebutuhanmu, tidak pernah kasar denganmu, dan tak melakukan perbuatan tercela. Aku suami yang baik untukmu di mata hukum." Gaara membalas dengan nada datar.
Mendengar jawaban dari Gaara yang memang paparan fakta, gadis yang bernama Sakura itu terlihat tambah frustasi. Dengan raut putus asa, Sakura memukul-mukul lengan Gaara yang masih dibalut dengan jas itu. Wajahnya semakin murung dan muram saja. Ia menghentikan pukulannya pada Gaara karena dia berpikir bahwa itu tindakan sia-sia yang tak menghasilkan apapun juga. Emosinya sama sekali tak mereda sekalipun dia terus memukuli lengan Gaara sampai dia pingsan. Pada akhirnya, Sakura hanya terduduk di kursi dengan kepala yang tertunduk dalam. Tak lupa ia gunakan tangannya untuk menutupi wajahnya karena air matanya hendak menetes keluar.
"Aaaarghhhh!" Sakura menggeram kesal seperti orang yang depresi berat.
Dia menghempaskan kedua tangannya dengan kasar. Perbuatannya itu membuat wajah Sakura yang hendak menangis karena frustasi itu terlihat jelas oleh Gaara. Namun laki-laki itu masih setia dengan wajah datarnya, ia tidak menunjukkan respon apapun. Kesal akan Gaara yang sama sekali tidak memberi tanggapan, Sakura pun beranjak dan berdiri dengan tegap di hadapan Gaara. Dia menarik napas panjang lalu menghembuskan napasnya perlahan-lahan.
"Aku ini adalah remaja berusia enam belas tahun yang harus bersenang-senang dengan teman-temanku! Bermalas-malasan di sekolah dan bekerja keras di luar rumah! Itulah yang harus aku lakukan! Perempuan sepertiku sama sekali belum cocok untuk menjadi seorang istri! Tidak. Aku sama sekali tidak cocok untuk jadi istri seorang direktur gila sepertimu! Aku tidak bisa menikah dengan orang tua sepertimu! Aku tidak mau hidup seperti ini! Aku ingin hidup bebas! Aku ingin bercerai denganmu, orang tua! Ceraikan akuuu!"
Sakura berteriak-teriak seperti orang gila di depan Gaara yang masih bertahan dengan wajah stoic miliknya. Namun Gaara sama sekali tidak menunjukkan emosinya, laki-laki itu tetap diam di tempat, menonton Sakura yang berlincah-lincah di depannya seperti cacing kepanasan. Melihat tidak ada hasil yang ia inginkan, Sakura semakin stress dan frustasi.
"Kau adalah pembayar hutang Ayahmu. Ingat?"
Sakura langsung terdiam. Bibirnya terkatup rapat-rapat dan rahangnya mengeras. Di dalam rongga mulutnya, gigi-gigi putihnya saling bergemelatukan. Luapan emosinya luntur ketika ia mendengar dengan jelas bahwa Gaara mengucapkan kata pembayar hutang. Ia terduduk dengan lemas di lantai dan meratapi nasib buruknya. Jika kau berpikir bahwa rasa kesal di dalam hati Sakura sudah mereda, kau salah besar. Karena saat kalimat yang paling tak mau ia dengar sudah keluar dari mulut Gaara, kejengkelan dalam hatinya bertambah banyak. Mungkin dia sudah mencapai level puncak khusus untuk kekesalan, kejengkelan, dan kebencian dalam dirinya. Ia memejamkan matanya sejenak, berusaha meredam semua kemarahan di dalam dirinya. Tetapi hal itu sia-sia saja karena Sakura tidak bisa menahannya.
"Jangan pernah bahas hal itu, sialan!" teriak Sakura dengan menendang keras kaki Gaara tepat di tulang keringnya. Setelah mengatakan hal itu, Sakura langsung berlari meninggalkan Gaara dan masuk ke dalam kamarnya. Saat menutup pintu kamarnya, ia melakukannya dengan bantingan yang cukup keras seakan mengatakan 'aku-membencimu-Gaara!'
"Sabar ya, Sakura. Ayahmu pasti tenang di alam sana,"
Sakura tidak menanggapi ucapan-ucapan simpati serupa yang ditujukan untuknya. Ia hanya menganggap semua ocehan itu sebagai angin lalu. Tidak juga, karena sepertinya gendang telinganya sedang tidak berfungsi, jadi dia tidak bisa mendengar ucapan turut berduka itu. Bahkan dia memang tidak mau mendengar semua celotehan tidak berguna itu.
Jiwanya serasa terbang entah kemana. Namun tubuhnya masih setia berdiri di depan pintu rumahnya ini. Tatapan matanya pun kosong seakan tidak ada harapan lagi. Matanya yang bengkak terus menatap ke satu arah yaitu jalanan luar. Saat ini Sakura sedang memakai terusan hitam panjang yang menutupi mata kakinya dengan tangan baju yang hanya sampai selengan saja. Orang-orang yang mengenakan pakaian senada berlalu-lalang melewatinya dengan mengucapkan kalimat yang menyuruh Sakura untuk tabah atas kepergian Ayah semata wayangnya. Namun tak ada satu pun balasan yang dilayangkannya untuk merespon mereka. Semuanya dia biarkan berlalu begitu saja.
Mau bagaimana pun Sakura memang tidak rela kehilangan Ayahnya. Dia sama sekali belum membahagiakan Ayahnya. Padahal hanya Ayahnya yang menemaninya di dunia yang kejam ini. Ibunya telah meninggalkan mereka berdua lebih dulu. Jadi satu-satunya harta karun berharga yang Sakura miliki di dunia ini ialah Ayahnya.
Jika diingat-ingat, Ayahnya memang harta karun yang berharga. Sepanjang hari Ayahnya banting tulang untuk mencari uang, tetapi tak pernah sekalipun Sakura mendengar Ayahnya mengumpat atau mengeluh akan keadaan ekonomi mereka. Yang ditunjukkan pada Sakura hanya tawa ceria dan senyum bahagianya. Apapun yang dia lakukan, semuanya ia lakukan dengan senang hati. Seakan-akan dia tidak mempunyai beban hidup atau merasa sengsara.
Ia sama seperti ayah lainnya. Selama ini sudah banyak yang Ayahnya lakukan untuknya. Ayahnya selalu mendongengkannya agar dia jatuh terlelap. Saat ada masalah, Ayahnya langsung mengatasinya dan menenangkan dirinya dengan satu pelukan hangat. Setiap Sakura ulang tahun, Ayahnya selalu memberinya sebuah hadiah. Sepulang kerja, dia selalu datang dengan membawa makanan sebagai menu makan malam mereka. Untuk akhir pekan, dia selalu mengajak Sakura untuk bersenang-senang walaupun di rumah sendiri seperti membersihkan halaman depan rumahnya atau berolahraga bersama.
Sementara Sakura? Dia sama sekali tidak dapat melakukan apa-apa. Sakura kurang berhasil di bidang akademik, praktik sama saja. Setidaknya nilai olahraganya lebih baik karena dia terlalu senang bergerak. Yang dapat dia lakukan hanya merepotkan dan menyusahkan Ayahnya yang memang sudah repot dari awal.
Tetapi, hari ini dia sudah berhasil melakukan sesuatu. Dia mendapat pekerjaan. Ia bekerja sebagai pramusaji di sebuah restoran yang baru saja buka. Mungkin itu adalah anugerah dari Tuhan atas kerja kerasnya dan ketekunannya dalam doa. Sayangnya, Ayahnya belum tahu kalau sekarang Sakura sudah memiliki pekerjaan, walau hanya kerja paruh waktu. Tetapi, paling tidak kabar bahagia itu harus didengar oleh orang tua satu-satunya di dunia ini.
Berbagai kenangan yang tersimpan jelas di memori otaknya berputar bagaikan putaran film pendek yang bergerak cepat. Kenangan dimana dia terlihat bahagia sekali hidup dengan Ayahnya. Mereka bermain-main di halaman depan rumahnya dengan kejar-kejaran. Lalu mereka menyiram rerumputan yang ditumbuhi oleh beberapa tumbuhan hijau bersama-sama, setelah itu mereka malah saling siram menggunakan selang yang dipegang masing-masing. Tawa berkumandang dan raut ceria dipertunjukkan. Memperlihatkan kepada dunia yang kejam ini betapa bahagianya mereka walau hanya berdua.
Tess..
Air bening dari pelupuk mata Sakura kembali jatuh menyusuri pipinya dan akhirnya jatuh ke lehernya. Jujur saja dia masih belum rela untuk ditinggal Ayahnya. Meskipun Sakura dapat hidup sendiri, tetap saja semuanya berbeda jika dia tinggal bersama Ayahnya. Karena selama ini dia sudah tinggal bersama Ayahnya. Ayahnya adalah hal terpenting baginya. Saat Ayahnya pergi, dia merasa bahwa setengah dirinya pergi menghilang sekarang.
Jenazah Ayahnya telah dibawa ke peristirahatan terakhirnya. Dan semuanya Sakura lalui dengan isak tangin karena dia sama sekali tidak kuat untuk berdiri di samping makam Ayahnya. Melihat kenyataan bahwa Ayahnya yang telah dimasukkan ke dalam peti telah ditimbun oleh tumpukan tanah yang rapi. Bahkan sudah ada sebuket bunga untuk meperindah tempat peristirahatan terakhirnya itu. Selama proses pemakaman itu, Sakura tak henti-hentinya menangis.
Sampai dia kembali ke rumah, Sakura sama sekali tidak makan atau minum. Dia sama sekali tidak berniat untuk mengganti pakaiannya atau pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Dia hanya ingin berdiri di rumahnya menanti kedatangan Ayahnya yang sama sekali tidak mungkin terjadi. Ia baru tahu kalau Ayahnya pergi meninggalkannya karena kelelahan saat bekerja. Itu berarti, Ayahnya terlalu bekerja keras.
Ia masih ingin berdiri di depan pintu rumah dan menantikan Ayahnya pulang dengan senyuman yang terpatri di wajahnya. Namun itu hanya harapan kosong belaka. Itu hanya hal konyol yang tidak mungkin terjadi. Kini baru Sakura rasakan yang dinamakan orang dengan kehilangan.
Orang-orang telah memberikan simpati dan perhatian terakhirnya kepada Sakura. Mereka semua pergi meninggalkan Sakura sendirian di depan pintu. Namun, di ujung sana ada sebuah mobil yang masih tetap terparkir manis. Melihat bahwa kawasan rumah Sakura sudah lumayan sepi, sang pengendara keluar dari mobilnya dan berjalan ke arah Sakura.
Pria itu tampak gagah dengan setelan jas hitam formal yang membalut tubuh jangkungnya. Pria itu makin mendekat ke arah Sakura. Sampai akhirnya, di saat jarak mereka sudah dekat, Sakura belum menyadarinya karena matanya masih menatap rumput di halaman rumahnya. Laki-laki itu memandang penampilan kusut Sakura dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dia mengikuti arah pandang Sakura. Pandangannya tertuju pada jalanan yang ditutupi rerumputan segar yang tumbuh subur.
"Nona.." Pria itu mencoba untuk memanggil Sakura yang masih tenggelam dalam lamunannya. Dia mencoba untuk menepuk bahu Sakura beberapa kali, tetapi tidak ada respon dari Sakura.
"Nona Haruno?" Dia mencoba untuk memanggil dengan volume suara lebih keras dari yang sebelumnya. Namun Sakura sama sekali tidak menyahut. Sampai tangan laki-laki itu tergerak untuk meraih wajah Sakura dan menghapus jejak-jejak air mata yang ada di dataran pipinya. Saat itulah, Sakura baru tersadar dengan bahu yang menegang. Sakura langsung menepis tangan pria itu.
"Ah? Ada apa?" tanya Sakura yang sama sekali tidak mendengar panggilan dari si pria. Ia menghapus lelehan air matanya dan menampilkan senyum paksanya.
"Apakah anda putri dari Tuan Haruno yang bekerja sebagai pegawai di Perusahaan Sabaku?" Pria itu balik bertanya dengan Sakura. Sakura menganggukkan kepalanya.
"Ya, itu benar. Ada apa?" Sakura kembali bertanya berharap pria yang ada di depannya langsung bicara mengenai masalahnya dan segera pergi meninggalkannya sendirian.
"Tuan Haruno berhutang kepada perusahaan kami sebesar dua puluh lima juta. Dan dia memberikan putrinya sebagai jaminannya. Dia berkata bahwa ia setuju jika anda dijadikan istri Direktur Utama kami. Jadi sekarang kami akan membawa anda untuk menemui Tuan Direktur."
Penjelasan dari pria yang sudah pasti berasal dari perusahaan dimana Ayahnya bekerja itu bagaikan setruman listrik dengan kekuatan tujuh puluh ribu volt. Rasanya jantungnya hendak melompat keluar apalagi telinganya, rasanya mau terbakar begitu ia mendengar berita yang sangat panas seperti ini. Dia mau dijadikan istri Direktur dari perusahaan Ayahnya bekerja?
Kepada siapa saja, tolong bunuh Sakura sekarang juga. Lebih baik dia mati menyusul Ayahnya daripada ia hidup seperti itu. Dia masih seorang remaja dan dia tidak mau berakhir seperti ini. Pernikahan secara paksa? Memangnya ini masih zaman Siti Nurbaya? Atau… Apakah dia sedang bermain di salah satu drama India? Tidak masuk akal. Dan karena ini tidak masuk akal, Sakura harus menolaknya!
"Tu-tunggu dulu! Ja-jangan bawa aku! Aku berjanji akan melunasi hutang Ayahku! Aku berjanji, aku akan melunasi semua hutang Ayahku! Tapi kumohon, jangan bawa aku!" Sakura memohon kepada pria itu dengan menggosok-gosokkan telapak tangannya beberapa kali. Laki-laki itu tidak langsung menjawab permintaan Sakura, dia mengeluarkan sesuatu dari tas kerja yang ditentengnya. Itu adalah sebuah amplop berwarna coklat.
"Maaf, Nona. Tetapi perjanjian itu telah disetujui oleh Tuan Haruno dengan tanda tangan di atas materai yang artinya sah di mata hukum," jawab pria itu dengan menyodorkan amplop coklat pada Sakura.
Dengan terburu-buru, Sakura membuka isi amplop itu. Iris hijau emerald yang tidak bercahaya seperti biasanya kini membulat tak percaya. Kertas itu berisikan perjanjian yang dikatakan oleh pria di depannya, dan memang ada tanda tangan Ayahnya di situ. Sakura menelan ludahnya. Dia tak dapat mengelak lagi ketika ia melihat bahwa ada tanda tangan Ayahnya tercantum di atas materai dalam surat perjanjian itu. Rasanya Sakura ingin mengubur dirinya ke dalam lapisan terdalam bumi agar ia tak dapat ditemukan oleh siapa pun.
Jadi ini benar-benar serius? Dia akan dinikahkan dengan Direktur Utama dari perusahaan tempat Ayahnya bekerja?
Tidak. Tidak bisa begitu. Masa depan Sakura masih panjang. Masih banyak hal yang harus dia lakukan di masa remaja ini. Belum saatnya ia menjadi istri yang mengurus suaminya. Lebih baik dia bekerja keras mengumpulkan uang untuk melunasi hutang Ayahnya, daripada mengurus berbagai keperluan suaminya nanti.
"Aku mohon, jangan bawa aku! Aku janji! Aku akan melunasi hutang Ayahku pada boss mu itu! Aku berjanji, tuan!"
Sakura berseru dengan bersungguh-sungguh. Tetapi permohonannya sama sekali tidak diindahkan. Pria itu menjentikkan jarinya. Lalu datanglah dua orang berbadan besar dengan pakaian senada. Mereka langsung bergerak ke masing-masing sisi dan masing-masing memegangi lengan Sakura. Sakura pun dibawa oleh dua orang berbadan besar itu. Tetapi tetap saja Sakura berusaha agar dia tidak bergerak dari tempatnya berpijak. Namun usahanya sia-sia karena tenaganya sangat kurang untuk melawan dua orang berbadan besar yang ada di sampingnya ini.
"Tidak, tidak, tidak! Aku tidak mau pergi! Jangan bawa aku! Aku belum mau menikah! Aku masih ingin hidup bebas dan bahagia! Jangan bawa aku pergi! Lepaskan aku, badut-badut sirkus!" Sakura merengek minta dilepaskan. Namun kedua orang itu tetap membawa Sakura dengan kaki yang terseret sepanjang jalanan.
"Lepaskan aku! Lepaskan aku! Dasar orang gila! Lepaskan aku badut-badut sirkus untuk festival! Lepaskannn!" Sakura tetap saja berteriak-teriak sekeras mungkin. Tentu saja dengan badan yang menggeliat-geliat agar dapat lepas dari cengkraman orang berbadan besar yang memeganginya. Namun, usaha yang dilakukan Sakura sia-sia karena kompleks sekitar rumahnya sepi karena para penghuni sedang asyik dengan urusannya masing-masing. Lagipula, tenaganya tak sebanding dengan tenaga orang yang memeganginya.
"Kalian orang jahat!" teriak Sakura dengan suara yang sengaja ia cempreng-cemprengkan. Geram akan tingkah Sakura, salah satu dari dua orang itu mengangkut Sakura. Ia langsung berjalan cepat menuju mobil hitam yang terparkir di tepi jalan.
"Seseorang tolong aku! Aku diculik! Selamatkan aku! Tolong! Tolong! Aku diculik oleh badut festival! Tolong! Tolong!" Sakura berteriak-teriak sambil memukuli punggung orang yang menggendongnya. Namun hasilnya sia-sia, tidak ada satu pun tetangga yang keluar dari rumahnya. Kompleks perumahannya pun nampak sangat sepi, saking sepinya kita bisa mendengar desah angin yang mengalun.
Sakura menghentikan perlawanannya ketika ia diturunkan di depan sebuah mobil. Bukan mobil Fortuner hitam yang gagah untuk menculik orang, melainkan sedan mewah yang terlihat mahal. Salah satu orang itu membukakan pintu mobil, lalu orang yang satunya menggendong Sakura. Ia menunduk lalu memasukkan Sakura ke dalam sana. Setelah itu pintu mobil ditutup. Dan bertepatan dengan itu, mobil sedan itu melesat meninggalkan komplek perumahan Sakura.
"Hei! Hei! Hentikan mobilnya! Turunkan aku! Aku tidak bisa meninggalkan rumahku! Semua harta bendaku ada di sana! Aku tidak bisa pergi! Tolong hentikan mobilnya, Pak!" Sakura berteriak histeris sambil mengguncang-guncang bahu sopir yang sedang fokus mengemudi itu. Sesekali dia juga mengetuk-ngetuk kaca mobil di sampingnya dengan harapan ada seseorang yang mau mempedulikannya lalu membantunya untuk keluar dari masalah ini.
"Maafkan saya, nona. Saya tidak bisa melakukan itu." jawab sang sopir dengan nada pasrah. Ia memfokuskan dirinya untuk menyetir dan menambah kelajuan mobil itu.
"Tolong, Pak! Kumohon. Aku tidak bisa meninggalkan rumahku! Aku tidak bisa! Kumohon!" Sakura memohon dengan nada sedih sambil terus melihat ke belakang. Mobil ini semakin jauh membawanya dari rumah.
"Sekali lagi maaf, nona. Saya hanya menjalankan tugas."
Sakura beteriak frustasi. Ia mengempaskan punggungnya ke sandaran bangku. Ia menghela nafasnya. Saat ini, di saat dia sedang berduka karena kepergian Ayahnya. Bukannya mendapat pertolongan atau belas kasih, dia malah mendapat sebuah masalah. Ia dijadikan jaminan untuk meninggalkan rumah sederhananya dan segera bersiap untuk melepaskan status lajangnya karena dia akan menikah dengan Direktur Utama di tempat Ayahnya bekerja.
Sakura kembali menghela nafas panjang. Matanya terasa perih karena sedari tadi ia menangis. Kepalanya terasa nyeri dan berputar-putar. Memang dari semalam ia sama sekali belum makan. Dan mungkin saat ini dia akan jatuh pingsan.
Putih.
Itulah yang Sakura lihat saat kelopak matanya terbuka perlahan-lahan. Sampai dia benar-benar dapat melihat dengan jelas. Putih ialah warna pada langit-langit ruangan, tempat dimana ia berada. Dia pun merubah posisinya jadi duduk bersandar. Sekarang dia dapat melihat segala sesuatunya dengan terang. Sakura langsung mengedarkan pandangannya ke seluruh arah. Mata Sakura pun membulat tak percaya.
Pastilah ini adalah kamar seseorang. Dan tentunya orang ini kaya karena semua perabotan yang ada di ruangan ini sudah mengatakannya secara tak langsung. Dalam ruangan ini, ada dua penyejuk ruangan, satu televisi mahal berukuran enam puluh inchi, lemari pakaian yang besar sekali, kamar mandi dalam kamar tidur, bahkan kulkas. Sakura hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Luas ruangan kamar ini mungkin sama dengan luas rumahnya. Permasalahannya, sekarang ini kamar siapa? Dan mengapa dia ada di ruangan ini?
"Kau sudah sadar?"
Mendengar pertanyaan dari suara berat itu, Sakura langsung menoleh ke arah pintu. Ia menarik selimut sampai lehernya tertutupi. Dia gemetar ketakutan ketika laki-laki yang mengenakan kemeja merah dengan celana panjang hitam itu mendekati ranjang, ke arahnya. Sampai akhirnya laki-laki bermata hijau pale green itu duduk di tepi ranjang, Sakura masih ketakutan.
"Kau baik-baik saja?" tanyanya dengan menempelkan punggung tangannya pada kening Sakura yang lebar. Kemudian tangan laki-laki itu turun ke lehernya. Melihat itu, Sakura langsung menyingkirkan tangan laki-laki itu lalu menjaga jarak darinya.
"Si-siapa kau?" tanya Sakura dengan tubuh gemetarnya.
Dalam pikiran Sakura, selama dia tak sadarkan diri, dia sudah dibawa ke rumah Direktur jahat itu. Dan si Direktur yang melihat bahwa tampang Sakura jelek memilih untuk menjualnya ke laki-laki hidung belang yang mampu memberi bayaran mahal untuknya. Setelah itu, dia dibawa ke rumah laki-laki itu. Dan laki-laki yang membelinya itu berpura-pura baik untuk memberi kesan awal yang baik. Tetapi setelah itu, dia akan menyiksa Sakura dan berbuat yang tidak-tidak. Dan laki-laki itu adalah laki-laki yang ada di depannya ini! Baiklah. Lupakan saja. Itu hanya skenario buruk yang Sakura rancang dalam otaknya.
"Kau Haruno Sakura?"
Bukannya menjawab pertanyaan Sakura, laki-laki berambut merah itu malah balik bertanya. Dan hebatnya, dia sudah mengetahui nama Sakura padahal mereka belum berkenalan. Sakura menatap horror laki-laki di depannya ini. Jangan-jangan laki-laki ini adalah stalker gila yang ingin berbuat macam-macam!
Seakan bisa membaca pikiran Sakura, laki-laki itu berkata "Hentikan pikiran bodohmu." dengan nada datarnya. Sakura langsung menelan ludahnya.
"Kau bisa baca pikiran?" tanya Sakura dengan melihat laki-laki itu dari berbagai macam sisi. Laki-laki itu tidak menjawab. Dia hanya bangkit berdiri dan melangkah ke arah pintu, hendak keluar.
"Lebih baik kau ganti baju dan turun." ucap laki-laki itu dengan memegang knop pintu.
"Aku tidak punya baju!" jawab Sakura dengan menyelimuti dirinya sampai hanya matanya yang kelihatan, dan karena itu suaranya jadi tidak jelas. Laki-laki itu mengurungkan niatnya untuk memutar knop pintu lalu keluar. Dia memutar badannya, menatap Sakura yang masih menutupi dirinya dengan selimut.
"Kau ingin baju baru?" tanya laki-laki itu dengan sorot mata tajamnya. Sakura langsung menggelengkan kepalanya.
"Tidak! Siapa yang ingin baju baru? Aku tidak mau." jawab Sakura dengan membuang wajahnya, sehingga dia menatap lemari pakaian di sudut ruangan.
"Kau sudah lihat isi lemari?" tanya laki-laki itu dengan berjalan menuju lemari pakaian yang ada di sudut ruangan itu.
Laki-laki itu membuka lemari pakaian itu sehingga semua isinya kelihatan. Sakura membulat ketika ia melihat isi lemari itu. Di sana tergantung berbagai macam pakaian untuk wanita. Ada gaun, kemeja, rok, celana, mantel, dan yang lainnya. Yang paling parah, di sana pakaian dalam juga tersedia!
Sakura membulatkan matanya. Dia segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Dia menghela napas lalu membuka wajahnya. Dia menatap laki-laki yang berdiri di samping lemari itu dengan tatapan tajam.
"Ke-kenapa di sana ada pakaian dalam juga?!" tanya Sakura dengan berteriak.
"Apa kau tidak memakai pakaian dalam?" Laki-laki itu balas bertanya. Sakura membulatkan matanya lalu menghela napasnya.
"Maksudku bukan begitu!" bantah Sakura dengan raut wajah kesalnya.
"Masalahnya adalah apa pakaian dalam itu cocok untukku?" tanya Sakura dengan wajah memerah karena menahan malu.
"Tentu saja." jawabnya dengan tenang.
Sakura mengerutkan kening.
"Memang kau tahu ukuranku?" tanya Sakura dengan mata yang memicing tajam. Di dalam selimutnya, dia sedang menggunakan kedua tangannya untuk menutupi kedua dadanya.
"Aku sudah mengukurnya."
Jawaban dari laki-laki itu membuat mata Sakura kembali membulat. Jawabannya itu terus terngiang-ngiang di kepala Sakura. Dia sudah mengukurnya? Dia sudah mengukurnya? Dia sudah.. mengukurnya?! Bukankah itu berarti dia sudah melihat tubuhnya?
"DASAR KAU MESUM!"
Sakura berteriak kencang dengan melemparkan semua bantal yang ada di ranjang ke arah laki-laki itu. Dilempari seperti itu, laki-laki itu hanya menangkap semua bantal yang dilemparkan Sakura. Melihat tak ada lagi bantal yang tersisa, Sakura menyingkap selimut yang dipakainya. Dia membentuk selimut itu sedemikian rupa sehingga berbentuk bola. Lalu dia berdiri di atas ranjang dan mengangkat selimut itu. Kemudian ia melemparkan selimut itu dengan sekuat tenaga. Setelah melempar selimut itu, napasnya jadi terengah-engah karena kelelahan. Senyum puas terlukis jelas di wajahnya saat laki-laki itu tertimpa selimut yang dilemparkannya.
"Rasakan itu!" desis Sakura dengan berkacak pinggang.
Namun laki-laki itu tidak memberi reaksi apapun. Dia hanya menyingkap selimut yang menghantam wajahnya itu. Lalu kembali berdiri seperti semula. Matanya memandang Sakura dengan kepala yang miring.
"Apa kau sudah tidak sabar untuk malam pertama?" tanya laki-laki itu dengan wajah datarnya.
Sakura kembali menyilangkan kedua tangannya di depan dada, berusaha menutupi dadanya. Ia menundukkan kepalanya, melihat badannya dari atas sampai bawah. Dia tidak lagi mengenakan terusan hitamnya. Tetapi memakai kemeja putih yang jelas-jelas kebesaran untuknya, panjang kemeja itu menutupi setengah pahanya. Pastilah ini kemeja seorang laki-laki. Dan ia tak tahu ini kemeja siapa.
Tunggu… kemeja laki-laki? Sakura kembali melihat dirinya. Dia tidak mengenakan celana panjang atau apapun kecuali kemeja putih ini. Dan sekarang, laki-laki yang tak dikenalnya sedang menatapnya dengan pakaian yang seperti ini!
"MESUMMM!" Sakura berteriak dengan keras dengan mata terpejam dan wajah merah merona karena malu.
Kira-kira begitulah awal pertemuan Sakura dan Gaara.
To Be Continue
Hallo! Salam kenal untuk semuanya #bungkukhormat
Saya minta maaf kalau cerita pertama dari saya ini agak gaje.
Maklumlah ini buatnya pake ekstra, jadi ngebut banget #ngebetngepost
Saya minta bantuan kalian semua dengan review.
Saya sangat menunggu kritik atau saran yang membangun.
Akhir kata, saya tidak bisa berlama-lama.
Karena semua tugas menunggu giliran untuk dikerjakan.
Saya mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan kata.
Saya juga minta maaf jika ada kata-kata yang tidak berkenan di hari para readers semua.
Saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada kalian yang sudah mau menghabiskan waktunya demi membaca fic amatir saya.
Terlebihnya dengan reader yang kamu memberikan review.
Dengan ini, saya pamit undur diri.
Sekali lagi saya minta maaf dan mengucapkan terima kasih.
Akhirnya saya hanya dapat mengucapkan,
Sampai jumpa di chapter selanjutnya!
