Author's Notes:

-Family story yang mengandung Boy Love aka Shounen-ai

-Pairing SasuNaru, NejiGaara, ItaDei, ShikaTema, dll

-Komentar, kritikan dan saran yang membangun masih sangat dinantikan

-Happy Reading

Keterangan:

"Speak" berbicara

'Mind' berfikir dalam hati

Age:

Naruto, Sasuke, Gaara, Matsuri 16 tahun

Neji, Kankuro, Shikamaru, Tenten 20 tahun

Temari, Itachi, Sai, Sakura, Lee, Shino 23 tahun

Tobi, Sasori, Kakashi, Iruka 29 tahun

Selebihnya disesuaikan

XxXxX

Sumarry:

Itachi menghela nafas, bukan jenis percakapan yang ingin didengarnya, tapi menurutnya, sedingin apapun hubungan ayah dan anak, paling tidak masih ada rasa khawatir jika salah satunya terbaring koma. Sabaku and Uchiha family storys, slight shounen-ai

XxXxX

NARUTO © MASASHI KISHIMOTO SENSEI

MY IMMORTAL © LOVELY LUCIFER

XxXxX

Gaara menarik rem Ducati Demosedici RR-nya sekuat tenaga, menekan kopling dan mengopor gigi. Motor merahnya tak berhasil mengurangi kecepatan. Dengan panik pemuda berambut merah itu membanting stir ke kiri, dan motornya berbelok hampir tepat waktu. Hampir, karena Gaara masih bisa merasakan Ducati-nya menyambar dua orang yang tiba-tiba muncul dari balik tikungan. Genangan air yang dia terobos dan gerakan menikung tanpa persiapan membuat motor Gaara oleng sempurna. Suara gesekan logam dan aspal menggema membelah malam berhujan, disusul benturan keras mengerikan dan rasa sakit luar biasa di kepala dan dadanya, lalu tiba-tiba Gaara sudah terbaring di aspal yang basah, walaupun dia tak tahu kapan tepatnya dia terpelanting.

Halilintar menggelegar menemani rintik air yang turun tanpa ampun dari langit, tumpahannya merembes masuk lewat celah helm-nya, dan menyadarkan si rambut merah akan keadaanya.

'Aku menabrak.' pikir Gaara kalut, dia melepaskan helm-nya dengan asal saja dan berusaha bangkit menghampiri sosok yang jatuh paling dekat dengannya.

"Ka..kakak... ugh... tidak apa-apa?" tanya Gaara sambil berusaha menjernihkan pandangannya, tanpa sadar sebelah tangannya mencengkam dadanya yang sakit.

Pemuda berambut hitam panjang yang dia tanya itu berusaha bangun, mengaduh saat menggerakkan lengan kirinya, "Ya... Hanya terserempet. Tolong lihat Sasuke, maksudku, adikku saja,"

Gaara bangkit lagi, terhuyung ketika mengedarkan pandangannya yang kabur untuk menemukan sosok lain di sana, dan dia langsung jatuh terduduk di depan Sasuke begitu mencapainya.

Mata pemuda berambut biru gelap di depannya terpejam, dan darah mengalir dari bahunya, bercampur dengan air hujan di aspal.

Dengan gemetar Gaara meraih pergelangan tangan Sasuke, berusaha mencari tanda kehidupan, dan ada, nadi Sasuke masih berdenyut, terlepas dari keadaannya yang terlihat mengenaskan, tapi paling tidak dia masih hidup.

"Bagaimana?"

Gaara menoleh kaget saat mendapati kakak Sasuke sudah berlutut di sebelahnya.

"Pingsan... Bahunya terluka,"

Si kakak mengangguk dan mengangkat kepala adiknya dengan hati-hati, melindunginya dari curahan hujan.

"Sasuke..." dia berbisik pelan, berusaha memeriksa bahu adiknya yang terluka sehati-hati mungkin.

Gaara mundur, memejamkan mata sejenak dan mencengkam dadanya lagi, rasanya tiap tarikan nafasnya mampu menerbangkan rohnya. Sakit sekali.

Pelan-pelan dia merongoh saku celananya, berusaha mengeluarkan gadget merahnya untuk menghubungi rumah sakit. Ponselnya sudah berantakan akibat bergesekan dengan aspal, tapi paling tidak masih berfungsi.

"Ambulance segera datang." Gaara memberi tahu si kakak ketika dia menekan tombol merah gadget nya.

"Ouch, baka Itachi, sakit sekali, jangan sentuh bagian itu. Ouch, ITACHI...!".

Dan Gaara terduduk dengan lega ketika dilihatnya Sasuke sudah sadar dan sedang ngamuk pada kakaknya, suara Sasuke yang marah mengalahkan benturan air hujan dan aspal.

Si kakak yang dipanggil Itachi cuma menghela nafas tak perduli pada tingkah adiknya dan melanjutkan apa yang dilakukannya barusan. Itachi menyerigai minta maaf pada Gaara ketika tatapan mereka bertemu.

"Sialan, kenapa kau masih sentuh, ouch... Baka Itachi ku bunuh kau..." Sasuke melanjutkan amukannya yang sudah tak didengar Gaara lagi.

Syukurlah, kalau Sasuke bisa marah seseram itu, artinya pemuda rambut biru gelap itu tidak apa-apa.

Gaara berusaha bangkit untuk menatap ujung jalan agar bisa langsung melihat jika ambulance datang, sakit kepala dan hujan membuat pandangannya kabur. Tapi belum sempat melakukannya, tahu-tahu Gaara merasa tangannya ditarik, memaksanya terduduk lagi.

"Kau berdarah, jangan banyak bergerak," kata Itachi sambil menunjuk pelipis Gaara. Tanpa sadar lengan Gaara naik untuk mengusap tunjukan Itachi, dan dia merasa cairan hangat yang cukup banyak menempel di tempat yang baru saja dia pegang, mengalir turun lewat pelipisnya bercampur dengan air hujan. Pantas saja kepalanya sakit sekali.

Karena tak seperti Sasuke yang masih cukup sehat untuk terus memaki kakaknya, Gaara sudah tak punya cukup tenaga untuk membantah kata-kata Itachi, Gaara menurut saja. Dia duduk memandangi ujung jalan, lagi pula Gaara juga tidak yakin kakinya mampu menopang tubuhnya kalau dia benar-benar berdiri.

Dan telinga Gaara baru saja menangkap samar suara sirine, ketika tiba-tiba, nafasnya tercekat.

"Hei, kau tidak apa-apa?" Gaara dapat merasakan tangan Itachi di pundaknya, menahannya ketika dia akan roboh ke aspal.

Gaara tak menjawab, tidak bisa tepatnya, rasanya ada tangan tak terlihat yang merobek dadanya dan berusaha menarik paru-parunya keluar. Gaara terbatuk dan cairan merah menyembur dari mulutnya. Tak sempat memastikan apakah sirine yang dia dengar benar-benar suara ambulance yang ditunggunya, karena semuanya berubah gelap.

XxXxX

Seorang gadis berkuncir empat dan pemuda berpakaian serba hitam berambut pirang kecoklatan berlari di sepanjang koridor rumah sakit, dan dua orang itu berhenti ketika mata mereka menangkap tulisan General Emergency Room.

"Kerabat Sabaku no Gaara?"

Mereka mendongak, menatap cemas pemuda berambut panjang hitam yang menghampirinya.

"Ya, saya kakak perempuan Gaara, Sabaku no Temari dan ini adik saya, Sabaku no Kankuro,"

"Saya Itachi Uchiha,"

Temari dan Kankuro mengangguk, "Bagaimana keadaan adik saya?" tanya Temari buru-buru, matanya menatap ngeri ke arah pintu GER yang tertutup rapat.

Itachi menghela nafas sebentar, "Saya tidak yakin, tapi keadaannya cukup parah,"

Tanpa sadar Temari berjengit, pelan-pelan ditariknya nafas panjang untuk menenangkan diri, berusaha tidak membayangkan bagaimana keadaan adik bungsunya di dalam sana, dapat dirasakannya genggaman Kankuro di tangannya, mencoba memberi Temari kekuatan.

"Anda tidak apa-apa? Bagaimana dengan pemuda yang seorang lagi?" Kankuro menunjuk tangan Itachi yang dibebat gips.

"Hanya terserempet, adik saya Sasuke sudah ditangani dokter, bahunya terluka, tapi dia baik-baik saja,"

Kankuro mengangguk, tanpa suara mengucapkan 'Syukurlah.', dia lalu membimbing kakak perempuannya ke kursi tunggu terdekat.

Lima menit mereka menunggu, sampai akhirnya seorang dokter wanita dengan name-tag 'Tsunade' menyeruak keluar, sarung tangan dan jas putihnya berlumuran darah.

"Sakura, panggil dokter Minato segera. Dan suruh perawat lain menyiapkan berkas persetujuan operasi. Kontak bank darah, kita butuh darah AB secepatnya" kata dokter itu kearah perawat berambut pink di sebelahnya.

Beberapa perawat lain mendorong tempat tidur dengan Gaara di atasnya, selang oksigen, infus dan tranfusi darah menempel di badannya, pemuda berambut merah itu pucat tak sadarkan diri, darah merembes melewati luka yang tertutup baju operasinya.

"Dokter bagaimana keadaan adik saya?" tanya Kankuro saat perawat melarikan pasiennya menuju kamar operasi.

Temari menatap adik bungsunya dengan ngeri, butir-butir air mata jatuh dari mata hijaunya.

Tsunade memandang mereka bergantian, "Pasien mengalami benturan fatal di kepala dan dada, menyebabkan pendarahan serius dan penggumpalan darah. Kami akan melakukan operasi. Apakah ada diantara kerabat pasien bergolongan darah AB? Golongan darah ini sangat langka, dan rumah sakit ini tidak menyimpan stok memadai."

Temari masih menangis, sedangkan Kankuro sibuk mengingat-ingat. 'Golongan darahku dan Temari B, sama seperti paman Yashamaru. Yang berdarah AB hanya ayah.'

"Temari, kau pergilah ke ruang tunggu di depan kamar operasi, aku akan mengurus prosedur operasi dulu, lalu menghubungi ayah dan beberapa temanku, kalau aku tak salah ingat, ayah dan Shikamaru bergolongan darah AB. Shikamaru pasti mau membantu, tapi aku tidak yakin kalau ayah mau menyumbangkan darahnya, tak ada salahnya mencoba."

Kankuro langsung pergi menjauh setelah sebelumnya memberikan sentuhan menenangkan di kepala kakaknya yang terisak dan mengangguk singkat pada Itachi dan Tsunade.

Itachi menatap bingung Temari, apa maksud perkataan Kankuro tentang ayahnya barusan? Itachi, sebagai putra sulung keluarga Uchiha memang sudah sering mendengar rumor tentang ketidak harmonisan keluarga besar Sabaku -yang merupakan salah satu pemilik perusahaan terbesar di negara Hi selain Uchiha dan Hyuuga- tapi Itachi tidak menyangka kalau penguasa tertinggi, sang Kazekage Sabaku corporation itu juga memiliki hubungan tidak baik dengan putra bungsunya yang disebut-sebut sebagai calon penerus terkuatnya.

"Saya AB dokter." kata Itachi, kalimat itu terlontar begitu saja sebelum dia sempat berfikir apa yang dikatakannya.

"Baik, Uchiha-kun, anda bisa keruang di ujung koridor, akan ada perawat yang membantu anda. Saya permisi." kata Tsunade lalu melangkah pergi.

XxXxX

Itachi keluar dari ruang donor darah sambil menekuk lengan kanannya yang tidak terbalut gips, di depan kamar operasi dia melihat Temari dan Kankuro sedang berbicara serius dengan tiga orang, pemuda berambut hitam berkuncir tinggi seperti nanas, wanita muda dengan rambut cokelat sebahu, dan seorang pemuda berambut cokelat panjang yang dikenalnya sebagai Neji Hyuuga.

"Kami masuk dulu," kata si rambut nanas sambil menguap, "lebih cepat lebih baik," lanjutnya dengan nada malas.

Kankuro diam saja, walaupun ada kilat sebal di matanya ketika Temari mengusap lengan si rambut nanas.

"Itachi, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Neji begitu matanya tertangkap sosok Itachi yang berjalan mendekat.

"Sama seperti kau, menyumbang darah, kebetulan juga, aku dan adikku yang diserempet Gaara,"

Neji membelalakkan matanya yang tak berpupil, "Lalu bagaimana keadaan Sasuke?"

"Nanti saja, kau masuk dulu. Darahmu diperlukan," kata Itachi sambil mengambil tempat duduk di sebelah Kankuro. Jujur saja kepalanya pusing sekali, dia baru saja mengalami kecelakaan, masih syok sebenarnya, tapi langsung nekad mendonorkan darah. Perawat yang menangani pendonoran darahnya tadi saja sempat protes, tapi untung Itachi berhasil meyakinkannya, itulah keuntungan memiliki wajah tampan dan menyandang nama besar Uchiha, gadis mana yang tak luluh dibawah tatapannya?

"Uchiha-san, Habiskan," kata Kankuro sambil mengulurkan sup rumput laut dan susu pada Itachi, juga sekotak sandwitch telur, "kalau tidak perawat itu akan membunuhku," Kankuro mengerling seorang perawat berambut pirang yang memasang tampang sangar.

"Terima kasih, panggil Itachi saja," Itachi berusaha tersenyum, dan ketika memakan makanannya, perasaanya sedikit lebih baik.

"Aku yang seharusnya berterima kasih, merepotkanmu sejauh ini padahal kau adalah korban,"

Itachi tersenyum lagi, "Aku juga punya adik laki-laki seumuran Gaara, aku mengerti perasaanmu,"

Itachi menyandarkan punggungnya ke kursi, memejamkan matanya sejenak, berusaha tidak membayangkan apa yang terjadi kalau yang terbaring di dalam sana adalah Sasuke. Sekarang saja, kamar inap adiknya sudah di penuhi Uchiha-uchiha dari segala penjuru negara Hi, padahal Sasuke hanya terluka sedikit, tapi Ibunya berhasil menjerit histeri di Uchiha mansion, layaknya Sasuke sedang sakratul maut. Ayahnya memang biasa saja, sikap dinginnya tidak berubah, tapi Itachi tahu kalo ayahnya panik sekali, buktinya sang Fugaku Uchiha itu tidak sadar kalau dia berlari kerumah sakit memakai sebelah sandal rumah dan sebelah sepatu pantofel.

Pria-pria Uchiha memang terkenal dingin (kecuali paman Tobi, Itachi pikir pamannya yang punya hobi memakai topeng lolipop itu pastilah anak angkat kakeknya. Soalnya sepanjang sejarah, tidak ada Uchiha seperti dia). Tapi paling tidak ayahnya tak pernah menelantarkan anak-anaknya, Itachi dan Sasuke selalu masuk dalam daftar prioritas. Kalaupun tiba-tiba sikap cuek dan dingin ayahnya kumat, ibunya selalu bisa mengembalikan keadaan.

"Ayah benar-benar tak datang," Itachi bisa mendengar Temari berujar lirih.

Di sebelahnya, Kankuro menghempas nafas dengan sengit "Sudahlah Temari, jangan pikirkan itu. Sudah kukatakan dari awal, aku tak berharap banyak, hanya mencoba. Mungkin memang sebaiknya kita yatim piatu sekalian, dari pada memiliki ayah yang tak menganggap kita sebagai anak," tukas Kankuro dingin, "lagi pula sudah ada Uchiha-san, Shikamaru, Matsuri-chan, dan Hyuuga-san yang mendonorkan darah. Kita tak perlu bantuannya,"

Itachi menghela nafas, bukan jenis percakapan yang ingin didengarnya, tapi menurutnya, sedingin apapun hubungan ayah dan anak, paling tidak masih ada rasa khawatir jika salah satunya terbaring koma. Sesungguhnya keluarga macam apa ini?

XxXxX

Itachi tersentak bangun ketika dilihatnya lampu merah yang berada di atas pintu ruang operasi berubah hijau. Tak lama kemudian dokter Tsunade keluar dengan tampang kesal, disusul dokter Namikaze.

"Kau yang urus kerabat pasien, Minato, aku sudah capek," kata Tsunade sambil mengibas-ngibaskan kerah jas dokternya, "benar-benar operasi sial. Pokoknya aku ingin minum sake sepuasnya malam ini, dan cuti besok," gumamnya sengit.

Dokter pria berambut pirang yang dipanggil Minato hanya tersenyum maklum ketika Tsunade beranjak pergi.

"Bagaimana, dokter?" tanya Kankuro diiringi tatapan khawatir semua orang.

"Operasinya berhasil, tidak berjalan cukup baik sebenarnya, jantung pasien sempat berhenti selama beberapa menit..." Minato menghentikan kalimatnya ketika melihat Matsuri terisak di bahu Temari.

"Untungnya keahlian dokter Tsunade menggunakan alat kejut jantung berhasil baik,"

"Syukurlah," bisik Yashamaru-paman Gaara, pada Kankuro di sampingnya.

Tapi keseriusan raut wajah Minato menarik perhatian Itachi yang sudah mengenal dokter itu cukup lama.

"Paman, apa Gaara sudah tidak apa-apa?"

Minato menarik nafas panjang sesaat "Pasien masih kritis, benturan di kepala dan dadanya sangat fatal. Saya tidak bisa menjamin apa-apa sampai pasien sadar. Tapi sungguh, semangat hidup pasien sangat luar biasa," Minato menepuk pundak Kankuro dan berjalan menjauh.

Tapi, sebelum mencapai tikungan Minato menoleh, "Ah Itachi, keruanganku sebentar,"

XxXxX

Itachi masuk ke ruang kerja Minato dengan bingung, "Ada apa, paman?" tanyanya.

"Berbaringlah di sana," perintah Minato sambil menunjuk ranjang periksanya.

Itachi menurut saja, dia merebahkan dirinya dan kaget sendiri ketika Minato membuka kemejanya dan memeriksanya dengan stetoskop.

"Paman... Apa yang..."

"Kudengar dari dokter Tsunade kau mendonorkan darahmu," potong Minato sambil meraba denyut nadi Itachi. "Kau tahu kau habis kecelakaan, tindakanmu terpuji tentu saja, tapi itu bisa membahayakan kesehatanmu Itachi,"

Pemuda berambut panjang hitam itu hanya diam saja. Minato menggulungkan alat pengukur tensi darah ke lengan bebas gips Itachi dan mengamatinya dengan serius.

"Akan kuberi kau vitamin dan kau harus pulang untuk istirahat. Deidara akan menjemputmu di sini dan mengantarmu ke Uchiha mansion, dia ada dikamar Sasuke bersama Naruto."

Itachi sudah menampakkan raut protes, "Tapi kalau aku pulang, Sasuke bisa..."

"Jangan membantah, Itachi, atau kulaporkan kelakuanmu ini pada Fugaku. Ayahmu itu tak akan senang kalau tahu putra sulungnya bertindak sembarangan. Kau pucat sekali..." Minato menyuntik Itachi ketika pemuda itu berusaha membela diri, membuat Itachi meringis.

"Aku tidak harus mengopname-mu dan menambah kehisterisan Mikoto kan?" kata Minato sambil mengambil ponselnya untuk menghubungi Deidara.

XxXxX

"Sasuke... Bagaimana keadaanmu hari ini?" tanya Itachi sambil mengendorkan ikatan dasinya dan menghampiri Sasuke yang duduk dengan muka tertekuk di ranjangnya.

"Jangan mengajakku bicara, aku sebal padamu," kata Sasuke sinis sambil mengalihkan tatapannya ke arah jendela.

Itachi menatap ibunya meminta penjelasan, "Ada apa dengan Sasuke, bu? Apa dia bertengkar dengan pacarnya?"

Mendengarnya Sasuke langsung naik darah, "Baka Itachi, aku sedang marah padamu, tidak ada hubungannya dengan Naru," bantahnya, tapi pipi Sasuke sudah terlanjur merona merah.

Mikoto tersenyum, menyuruh putra sulungnya untuk duduk di ranjang adiknya "Dia marah padamu karena kau menghilang tanpa pamit kemarin,"

"Oh, aku melihat keadaan Gaara, pemuda yang menyerempet aku dan Sasuke. Dia putra bungsu keluarga Sabaku. Keadaanya parah,"

"Cih, sebenarnya adikmu itu aku atau dia sih, kenapa kau lebih suka menungguinya. Kau tidak sayang aku?" sambar Sasuke sambil menatap marah kakaknya.

"Pertanyaan apa itu? Tentu saja aku sayang padamu. Lagi pula Gaara anak baik, kau tidak lupa kan kalau dia yang menghubungi ambulance untuk kita. Keadaannya masih kritis gara-gara kecelakaan kemaren. Sifat kekanakanmu tidak pada tempatnya," Itachi mendorong kening adiknya dengan dua jarinya, membuat Sasuke terdorong jatuh ke tempat tidur.

"Ouch, itai, iya, aku minta maaf,"

Mikoto menarik tangan putra sulungnya dari kepala Sasuke, "Hentikan, Itachi, adikmu sedang sakit,"

Itachi menggumamkan sesuatu yang kedengaran seperti 'Dasar anak manja.'

"Kata Deidara, Minato memeriksamu ulang. Ada apa sebenarnya?" tanya Mikoto, membuat Itachi menggaruk belakang kepalanya dengan canggung, pose maling tertangkap basah.

"Anu, tidak ada alasan khusus, paman hanya mengecek saja,"

Mikoto menyingkirkan rambut yang jatuh di depan mata putra sulungnya, "Kau sudah dewasa, Itachi, jangan membuat orang tua khawatir,"

Itachi hanya tersenyum lemah, berusaha memberikan ibunya tatapan yang menenangkan, dan ingatan tentang keluarga Sabaku mendorongnya bicara, mengalihkan pembicaraan sebenarnya "Ibu, apa yang terjadi dengan keluarga Sabaku?"

Mikoto menaikkan alis tanda tak mengerti.

"Kemarin Gaara dioperasi, tapi ayahnya sama sekali tidak datang, aneh sekali kan?"

"Tidak aneh kalau kau mendengar rumor yang beredar." kata Minato sambil mengupaskan apel yang dari tadi dipelototi Sasuke.

"Itukan hanya gosip, bu. Jangan bilang kalau ibu percaya,"

Mikoto tersenyum otomatis "Ibu mengenal Karura dan Yashamaru cukup baik, oh Karura itu nyonya besar Sabaku, istri dari Kazekage, dan Yashamaru adik kembar Karura," tambah Mikoto saat melihat kernyitan di dahi Itachi, "Keluarga mereka kacau sejak Karura meninggal ketika melahirkan anak bungsunya,"

Itachi memasang wajah penuh perhatian pada ibunya, bahkan Sasuke yang biasanya cuek juga ikut mendengarkan, atau Sasuke cuma tertarik pada apel yang sudah selesai dikupas Mikoto, entahlah.

"Menurut cerita yang ibu dengar dari Yashamaru, Karura tak seharusnya hamil karena kesehatannya sudah memburuk sejak dia melahirkan anak keduanya.

"Kazekage menganggap kalau kematian Karura adalah salah putra bungsunya."

"Itu jahat sekali!" celetuk Sasuke, ternyata dia memang menyimak.

Mikoto mengusap pipi Sasuke, "Cara orang dewasa membela diri memang terkadang aneh Sasuke."

Itachi mengernyit, "Membela diri?"

"Karura meninggal kehabisan darah karena telat ditangani dokter, suaminya terlalu sibuk bekerja,"

"Benar-benar suami dan ayah tidak bertanggung jawab," Sasuke mengangguk-angguk sok mengerti, membuat Itachi ingin sekali mendorong dahinya sekali lagi.

"Yang ibu tahu anak bungsunya dibuang, dibesarkan Yashamaru jauh dari keluarga Sabaku dan baru dijemput kembali delapan tahun kemudian,"

"Kenapa?" tanya Sasuke sebelum Itachi juga melontarkan pertanyaan yang sama. Itachi merengut.

"Karena Kazekage menyadari kalau tak ada sama sekali bakat bisnisnya yang menurun pada kedua anak yang ada padanya,"

Itachi terperangah "Jadi dia menjemput Gaara setelah membuangnya hanya demi bisnis?"

"Ya, dan tujuh tahun ini putra bungsunya dia didik dengan caranya."

"Dan Gaara mau saja?".

"Itachi," Mikoto menggenggam lengan bebas gips pemuda berambut hitam panjang itu, "Reaksi apa yang kau harap dari seorang anak berumur delapan tahun yang selama ini berfikir kalau dia sebatang kara, lalu disuguhi kenyataan kalau dia memiliki keluarga?"

Itachi mengangkat bahu.

"Dia datang dengan harapan membumbung, senang karena memiliki keluarga," kata Mikoto membuat Itachi merasa nafasnya tercekat.

"Lalu apa yang terjadi kalau anak itu tahu kalau ayahnya sangat membencinya dan menjemputnya kembali hanya demi perusahaannya?"

Mendadak Itachi merasa kasihan sekali pada Gaara, pantas Gaara terlihat jauh lebih dewasa dari pada umurnya.

XxXxX

"Lho Neji? Kau ada disini lagi?" tanya Itachi ketika melihat pemuda berambut cokelat panjang itu sedang duduk di sofa ruang tunggu kamar sterilisasi Gaara.

"Begitulah..." Neji cuma tersenyum kecut.

"Bagaimana?" Itachi menatap Gaara lewat kaca, pemuda berambut merah itu masih tak menampakkan perbedaan yang berarti dari terakhir kali dia lihat kemarin malam, infus dan tranfusi darah masih menempel di lengannya, selang oksigen masih tersambung di saluran pernafasannya, juga alat penditeksi jantung, dan alat penyokong kehidupan yang lain.

"Belum sadar juga," desah Neji sambil membenamkan badannya ke sofa, sebelah tangannya naik untuk memijit pelipisnya.

"Kau tidak apa-apa? Kelihatannya kusut sekali..."

Neji cuma angkat bahu, tidak yakin sepenuhnya sedang baik-baik saja atau tidak.

"Temari dan Kankuro mana?"

"Ke tempat dokter Namikaze. Oh iya, Sasuke kapan keluar dari rumah sakit? Waktu menjenguk kemarin aku tidak sempat bertanya sih, pamanmu itu, siapa namanya? Oh iya, Tobi, dia menempel terus. Membuatku sebal."

Itachi tersenyum "Pamanku itu sedang mencari seme baru."

Neji langsung melototinya.

"Aku hanya bercanda,"

Neji memberinya pandangan 'itu-sama-sekali-tidak-lucu'

Itachi tersenyum, "Sasuke keluar rumah sakit mungkin lima atau enam hari lagi, ibu mau luka Sasu kering sepenuhnya. Kau tahu adikku, bukan? Kalau sudah ketemu Naru, tidak bisa diam, ibu takut lukanya terbuka lagi."

"Tapi bukannya ini rumah sakit milik ayah Naruto? Dokter Namikaze ayah Naru, 'kan? Jadi mereka juga sering bertemu. Sama saja."

"Yah... Paling tidak ada perawat dan paman Minato yang ikut mengawasi, bukan cuma ibuku."

Neji mengangguk mengerti dan Itachi duduk di sofa tunggal di sampingnya.

"Aku tidak pernah tahu kalau kau dekat dengan keluarga Sabaku."

Muka Neji yang berubah merah mendadak menarik perhatian Itachi.

"Eh anu... Yah begitulah,"

"Siapa yang membuatmu tertarik?"

"Eh... Itu..."

Itachi tidak bisa menahan diri, senyuman jahil mengembang di bibirnya.

"Ayolah Hyuuga," tuntutnya.

Jujur saja Itachi benar-benar penasaran, selama dia mengenal pemuda bermata lavender ini, dia tidak pernah melihat Neji blushing begini, bahkan ketika Fugaku dan Hizashi mengumumkan tentang pertunangan mereka, wajah Neji datar-datar saja.

Oh, Itachi belum pernah bilang ya, dulu Itachi dan Neji sempat bepacaran dan ayah-ayah mereka sepakat untuk menunangkannya. Tapi setelah hubungan diresmikan, mereka malah ilfil sendiri. Akhirnya, setelah melalui perdebatan panjang, pertengkaran hebat dan sumpah serapah dari masing-masing tetua Uchiha dan Hyuuga. Berakhirlah pertunangan mereka. Fugaku marah besar, sampai-sampai Itachi diungsikan ke Iwagakure (Fugaku berniat men-tsukiyomi putra sulungnya selama tiga tahun non stop kalau Mikoto tidak cepat mengambil tindakan). Dan di Iwagakure itulah Itachi bertemu Deidara dan jatuh cinta. Mereka lalu pacaran sampai sekarang, er... sudah dua tahun.

"Jadi Sabaku yang mana?" tanya Itachi sambil kembali tersenyum jahil.

Wajah Neji makin merah, "Bukan... Kami belum... Anu... Mungkin aku hanya bertepuk sebelah tangan," jawab Neji lesu.

"Oh ya? Setahuku tidak ada seorangpun yang bisa menolak pesona Neji Hyuuga,"

"Kau menolakku dulu,"

"Aku tidak menolakmu, Neji-koi, kita sepakat kalau hubungan kita memang tidak semenarik dulu. Kau sendiri, bukan, yang bilang kalau kau tidak merasa apa-apa saat kucium, kau bahkan menertawaiku saat aku merayumu,"

Neji tersenyum geli, "Benar juga. Habis wajahmu saat itu konyol sekali, membuatku ilfil,"

"Sialan" Itachi mengumpat, "Sudahlah, jangan mengalihkan pembicaraan. Jadi yang mana? Temari, Kankuro atau Gaara?"

"Aku tidak mau memberi tahu mu, sudah kubilang, mungkin aku cuma bertepuk sebelah tangan," Neji mengalihkan pandangannya dan kembali bersandar dengan muka tertekuk.

"Kenapa kau berkata begitu? Kau sudah menyatakan cinta dan ditolak?"

"Eh tidak sih, tapi..." Neji menghela nafas, seolah menguatkan diri untuk membuka aib, "aku pernah tidak tahan menciumnya sekali dan dia tak membalas sama sekali, padahal aku sudah semangat sekali. Bagaimana aku tidak merasa ditolak?" curhat Neji frustasi.

"Kau ditamparnya?"

"Tidak."

"Dia marah dan menjauhimu?".

"Eh? Tidak..."

"Atau kau tahu dia punya orang yang disuka?"

"Kelihatannya tidak."

Itachi tersenyum, seorang jenius seperti Neji Hyuuga pun bisa turun derajat jadi super bodoh kalau di depan cinta, "Artinya dia tidak menolakmu, tapi hanya malu. Kadang-kadang ada wanita yang begitu."

"Dia bukan wanita." sergah Neji sebal.

Oh oke, coret Temari. Lagipula sepertinya memang bukan Temari, Shikamaru yang terlihat mabuk kepayang pada gadis berkuncir empat itu, bukan Neji.

"Ayolah siapa?" tanya Itachi lagi.

"Diam kau, aku tidak akan memberi tahumu titik."

"Kalau aku cari tahu sendiri?"

"Jangan berani-berani, atau kuKaiten kau,"

Itachi tertawa.

XxXxX

TBC

XxXxX

Author's note lagi:

Ini hanya family story berbumbu Shounen-ai yang sudah lama sekali saia buat. Jadi nanti jika ceritanya nyampur dengan cerita-cerita saia yang lama harap maklum XDD

Eh, tadi saia bilang family story berbumbu shounen-ai atau shounen-ai berbumbu family story? *swt*

Review jika berkenan...!