KUROSHITSUJI FF: Children of Demon
Chapter 1. That Butler, Father
Aku berlari…
Terus berlari…
…di tengah jalan kemalangan ini…
Walau nafasku akan terhenti, aku harus berlari atau DIA akan menangkapku…
"Tuan Muda, tungguu!"
"GAK MAU! Ahahahahahaha…"
Selamat siang pembaca, aku Lucifer. Mulai hari ini aku akan menjadi narrator kalian dalam cerita ini. Eh? Siapa aku? Hehehe…aku adalah…
"Tuan Muda, sudah saya bilang berkali-kali, Anda tak boleh mengganggu pekejaan para pelayan!"
Yap! Aku adalah Tuan Muda di rumah ini. Lebih tepatnya sih, aku adalah Kepala Keluarga Middleford yang baru, menggantikan ibuku yang sudah mati sejak aku kecil.
"Habisnya aku bosan!"
"Walaupun Anda bosan, bukan berarti Anda harus menghancurkan dapur, kan?"
Ah, dia ini Sebastian Michaelis, butlerku. Kalian sudah pasti mengenalnya, kan?
"Tuan Muda, kenapa Anda tak bisa bersikap tenang sedikit seperti Nona Lucia?"
Dia benar-benar butler yang cerewet, sok ngatur, terlalu perfeksionis, egois, tukang sindir, dan yang paling penting: dia om-om mesum! Warning: Para lady, harap berhati-hati dengannya!
"Heee…? Bersikap tenang seperti apa maksudmu?"
"Tenang…"
Perkenalkan, ini Lucia, adik kembarku. Apa? Tidak mirip? Hahaha…memang benar. Walau anak kembar, kami berdua sangat berbeda mulai dari penampilan sampai sifat.
"Lucia, apa kau mengerti maksud Sebastian?"
"Tidak, oniisama…"
"Tuh, kan! Lucia saja gak ngerti."
"Tuan Muda, daripada membicarakan hal yang tidak-tidak, sebaiknya Anda kembali ke ruang belajar dan menyelesaikan tugas-tugas Anda."
"Eeeehh?"
"Bukan 'eh'! ayo, cepat!"
"Cih, aku mengerti. Kalau begitu, kau antarkan afternoon tea-nya yang cepat, ya! Aku sudah lapar!"
"Saya mengerti."
Nah, para pembaca, sekarang cerita kita akan dimulai dari sini. Ah, dan sebagai pembuka, aku selaku Kepala Keluarga mengucapkan: "Welcome to 'M'"
"Tok…tok…tok…"
"Masuklah!"
"Permisi, Tuan Muda. Saya mengantarkan afternoon tea Anda," kata Sebastian seraya memasuki ruangan.
"Huuu…kau lama sekali, Sebastian. Aku sudah lemas nih, ya, kan, Lucia?"
"Iya, oniisama…"
"Maaf atas keterlambatannya. Snack hari ini, seperti pesanan Tuan Muda, Strawberry Mousse, dan Chocolate Gateau untuk Nona Lucia," kata Sebastian sambil meletakkan kue-kue tersebut di meja.
"Uwaaa…kelihatannya enak! Sebastian memang hebat! Benar, kan, Lucia?"
"Iya, oniisama…"
"Ngomong-ngomong, Sebastian…"
"Ada apa, Tuan Muda?"
"Dari dulu aku ingin tanya, kapan kami boleh keluar dari rumah?"
Sebastian terdiam beberapa saat. "Saya hanya bisa mengatakan 'ini belum waktunya'."
"Hhhhh…apa boleh buat…"
Sebastian tersenyum dan menuangkan teh untuk kami.
"Oh, iya!" aku tiba-tiba teringat sesuatu.
"Ada apa?" tanya Sebastian.
"Surat-surat dari para serangga pengganggu itu masih berdatangan?" tanyaku serius.
Sebastian tak menjawab, tapi aku tahu maksud dari diamnya.
Setelah selesai mengantarkan afternoon tea, Sebastian keluar dari ruangan. Dan, yang menunggunya di luar sana adalah…
"Se…SEBASTIAN-SAAN!"
"Celine, jangan berteriak seperti itu!"
Celine adalah maid baru di mansion ini menggantikan Meylene yang sudah pensiun 2 tahun yang lalu. Cara bekerjanya dengan Meylene sih tak jauh beda.
"Ma…maafkan saya. Ada surat lagi yang datang." Katanya dengan nafas tersenggal-senggal.
"Dari siapa kali ini?" tanya Sebastian.
"E…entahlah. Tak ada nama pengirimnya," jawab Celine.
Sebastian membaca surat itu. Seperti biasa, surat itu berisi tentang permintaan untuk mengambil alih perusahaan Funtom yang saat ini dikelola Sebastian. Hah? Kenapa Sebastian? Ah, benar juga. Akan kuceritakan sedikit.
Ibuku Gloria Ciel Middleford adalah direktur perusahaan Funtom yang terakhir. Ah, sekedar pemberitahuan, perusahaan Funtom ini bukan perusahaan Funtom milik Keluarga Phantomhive, tapi perusahaan Funtom yang baru, yang didirikan nenekku, Elizabeth Middleford, untuk mengenang mantan tunangannya Ciel Phantomhive, yang meninggal dalam usia muda. Di umur 13 tahun, ibuku menjadi direktur perusahaan Funtom, karena nenek Elizabeth meninggal dan kakek kami yang pengecut meninggalkan rumah. Hingga akhirnya beliau meninggal di usia 20 tahun, tepat setelah melahirkanku dan Lucia. Atas surat wasiat yang ditinggalkannya, sebelum kami berusia 13 tahun, perusahaan Funtom untuk sementara dikelola oleh Sebastian dan keberadaan kami dirahasiakan dari masyarakat. Karena itulah kami tak pernah keluar rumah sejak lahir. Dan, karena itu juga, para klien dan pengusaha-pengusaha lain yang mengira ibu mewariskan perusahaannya pada butlernya, berusaha untuk mengambil alih perusahaan kami. Miserable, isn't it?
Tapi kali ini sedikit berbeda, surat yang baru datang ini berhasil mengubah raut wajah Sebastian.
"Ada apa, Sebastian-san?" tanya Meylene.
Sebastian sedikit terkejut. "Tidak ada apa-apa. kau kembalilah bekerja."
"Ba…baik!" jawab Celine seraya segera berlari untuk kembali mengerjakan pekerjaannya.
Membaca surat itu, Sebastian sepertinya mengetahui kalau akan terjadi sesuatu yang besar. Siapa pengirim suratnya? Hmmm…hal itu akan diketahui belakangan…
Lalu keesokan harinya…
"Tuan Muda," Sebastian memanggilku saat sedang bermain dengan Lucia di halaman belakang.
"Ng? Ada apa?"
"Ada yang saya ingin bicarakan, mohon ikut saya sebentar," kata Sebastian.
"Hmm…baiklah. Lucia, kau tunggu di sini ya!"
"Iya, oniisama…"
Sementara aku pergi dengan Sebastian, terjadi sesuatu yang tak diduga.
"Oi, siapa gadis kecil itu? Bukannya bos bilang kalau di sini hanya ada butler dan pelayan?" seorang pria bersembunyi di balik pohon di halaman kami.
"Mana ku tahu! Yang penting, bos memerintahkan kita untuk membunuh semua orang yang ada di rumah ini tak peduli siapapun orangnya," jawab temannya.
"Benar juga. Walau hanya seorang gadis kecil tapi kita tak boleh membiarkannya hidup," kata pria tersebut.
"Ok, kita jalankan perintah. Tapi, ingat, jangan lupa kalau kita harus membuat ini seolah-olah kecelakaan."
"Aa, aku mengerti!"
Lalu kedua pria tersebut melepaskan dua ekor anjing liar dari kurungan yang mereka bawa. Langsung saja kedua anjing tersebut berlari ke arah Lucia, bermaksud menyerangnya. Kedua pria tersebut tertawa dari balik pepohonan, mengira rencana mereka berhasil. Tetapi, senyum di wajah mereka hilang seketika ketika melihat kedua anjing tersebut tiba-tiba saja berhenti. Mereka tak menyerang Lucia, malahan mereka mengaing-ngaing ketakutan—seolah melihat sesuatu yang mengerikan di depan mereka.
"A…ada apa? Kenapa mereka berhenti?"
"Mana ku tahu!"
Saat itu, aku dan Sebastian yang berada tak jauh dari tempat itu—yang tentu saja mendengar suara gonggongan anjing tadi, segera berlari ke halaman belakang menemui Lucia. Sesampainya kami di sana, pemandangan yang kami lihat adalah Lucia yang sedang berdiri di depan kedua anjing tersebut, yang saat itu entah mengapa tiba-tiba menggelepar kesakitan, seolah disiksa sesuatu dalam tubuh mereka.
"Nona, apa yang terjadi?" tanya Sebastian.
"Anjing…anjing nakal…" jawab Lucia.
Aku yang melihat kejadian itu langsung saja tertawa dan membuat Sebastian bingung.
"Ada apa sebenarnya, Tuan Muda?" tanya Sebastian.
"Lucia, kamu gak boleh begitu," kataku seraya mengelus kepala Lucia. "Lepaskan mereka. Yang sebenarnya nakal bukan mereka," lanjutku dan membuat Sebastian semakin bingung.
Lucia menatapku. "Iya, oniisama…"
Setelah menjawab seperti itu, tiba-tiba saja anjing-anjing itu berhenti menggelepar kesakitan, tapi mereka tetap terbaring di tanah dengan lemas.
"Apa yang sebenarnya terjadi, Tuan Muda?" tanya Sebastian.
"Ng? Apa, ya?" kataku. "Paman berdua yang di sana! Bisa beritahu kami!"
Kedua pria yang bersembunyi itu terkejut. Tak ada pilihan lain, mereka pun keluar dari tempat persembunyian mereka.
"Sial! Tak kusangka kami ketahuan!"
"Tadinya kami ingin membuat kalian mati perlahan, tapi tak ada pilihan lain! Sekarang kalian terpaksa kami bunuh!" kata pria itu seraya menodong pistol ke arah kami.
"Ahahahahhahahahahhahahahhaha….!" Aku tertawa terbahak-bahak dan membuat kedua pria itu dan Sebastian terkejut.
"Apa yang lucu, anak kecil!"
"Hei, paman, apa paman tahu arti dari kata yang barusan paman katakan?" kataku sinis.
"Apa?"
"Memangnya paman bisa apa cuma dengan pistol itu? Apa paman bisa menggunakannya?" lanjutku.
"Apa katamu, anak kecil?"
"Jangan meremehkan kami!"
"Kalau begitu, kenapa kalian tidak membuktikan padaku kemampuan kalian?" kataku.
"Apa?"
"Tuan Muda, apa yang—"
"Sebastian, jangan turun tangan dan jangan mendekat! Ini perintah!"
"Tuan Muda?"
"Heh, bocah! Rupanya kau sudah bosan hidup, ya?"
"Hee..? Gimana ya? Aku malah ragu apa kalian bisa membunuhku," kataku tersenyum sinis.
"Sial! Awas kau!"
"DOORR…!"
Suara tembakan menggema di udara. Dua peluru yang terlepas, tepat mengenai jantung dan perutku. Aku pun terjatuh ke tanah.
"Tuan Muda!"
"Hahahahaha…rasakan! Sekarang kau bisa menyesali kenekatanmu di neraka!"
Sebastian menatapku yang tergeletak di tanah dengan cemas. Kurasa saat itu, ia ingin segera merobek-robek kedua pria tersebut, tetapi karena perintah dariku, ia tak bergerak.
"…kit…"
"Eh?"
"Tuan Muda?"
Sebastian dan kedua pria itu heran saat mendengarkan suaraku. Dan, mereka lebih terkejut lagi, ketika aku perlahan-lahan berdiri.
"Hei, paman, ITU SAKIT, TAHU!" seruku.
Sebastian terkejut melihatku yang baik-baik saja, sedangkan kedua pria itu terkejut ketakutan.
"Paman berdua ini benar-benar gak berguna. Gak bisa menembak, tapi berani pakai pistol," kataku seraya mengeluarkan peluru-peluru dari dalam tubuhku. "Peluru ini masa cuma bisa menembus jantungku saja?"
Kedua pria itu terjatuh ke tanah saking takutnya. "Mo…monster…"
"Hah? Monster? Gak sopan! Aku ini hanya seorang anak kecil, hehehe…" kataku. "Oh, ya, paman, boleh kutanya sesuatu?"
"E..eh?"
"Siapa yang menyuruh kalian?" tanyaku.
"Ha…haa..?"
"Kalau gak mau bilang, kali ini peluru ini yang bakal menembus jantung kalian lho!" kataku tersenyum jahat.
"Tu…Tuan Millian! Tuan Millian yang menyuruh kami!" seru mereka.
"Hmm…Millian, ya? Apa kau kenal dia, Sebastian?"
"Eh? Dia adalah orang yang kemarin baru saja suratnya saya terima," kata Sebastian.
"Hooo…begitu," kataku. "Hei, paman!"
"I..iya!"
"Katakan pada Tuan Millian itu, jangan pikir bisa merebut perusahaan Funtom dengan cara seperti ini. Jika dia masih memaksa, bilang padanya: aku Lucifer Cronqvist Michaelis, Kepala Keluarga Middleford dan pewaris perusahaan Funtom yang akan menemuinya langsung!"
"Ba…baik!" seru kedua pria itu seraya segera berlari pergi dari mansion.
"Oniisama, kenapa mereka pergi…?" tanya Lucia tiba-tiba.
"Tak ada gunanya jika kita menghabisi mereka di sini, lagipula mereka cuma orang suruhan," kataku. "Yang seharusnya kita hancurkan adalah pemimpin mereka. Kau mengerti, Lucia?"
"Iya, oniisama…"
"Tuan Muda, sebenarnya apa yang—?"
"Sebastian, kau ini bagaimana. Masa kau masih harus menanyakan apa yang terjadi?" kataku. "Bukankah kau yang seharusnya lebih tahu apa yang terjadi, otousama?" lanjutku seraya tersenyum nakal.
Sebastian sedikit terkejut, namun segera mengerti. "Benar juga," katanya.
"Nah, daripada mengobrol di sini, sebaiknya kita bersiap-siap. Kita akan segera kedatangan tamu," kataku seraya merenggangkan badan. "Semua kuserahkan padamu, Sebastian. Berikan tamu kita pelayanan terbaik dari Keluarga Middleford!"
Sebastian tersenyum, kemudian ia berlutut di hadapanku dan berkata, "Yes, my Lord!"
to be continued…
