Summary: 1/4. Pembunuhan berantai terjadi di distrik Soho, dan Detektif Lars ditugaskan untuk menemukan pelakunya. Petunjuknya: luka sabetan pada korban yang berbentuk seperti gunting kain. AU. Nethe-centric.
Disclaimer: Hetalia: Axis Powers © Himaruya Hidekaz. The Tailor Shop on Enbizaka © Akuno-P.
Warning: Character(s) Death. Slight gore, yandere ahooy. Yaoi abounds. Altered-story just because.
Note: Lokasi diganti untuk kepentingan cerita. Nama Netherlands: Lars van Marwijck. Okeh, emang saia kebanyakan nonton bola buat Euro Cup nanti –dihajar-.
"Apa kau tahu tentang cerita yang akhir-akhir ini sering dibicarakan?"
"Oh, iya! Tentang pembunuhan yang baru-baru ini terjadi di Soho, kan?"
"Betul sekali. Memang ada apa dengan pembunuhan itu?"
"Oh, kau tahu… Yang korbannya katanya dibunuh dengan menggunakan gunting?"
"Astaga..."
~Scotland Yard, England, 1991~
"Lars, kau tidak apa-apa?"
Aku mengangkat kepalaku dan menemukan Francis tengah menawarkan secangkir kopi padaku. Aku mengambilnya, dan menyeruputnya. Aah. Pahitnya kopi. Melanggar etika minum teh Inggris yang cukup ketat ini. Tapi aku mau bilang apa? Bagus untuk membuatku terjaga. Aku menyerahkan cangkir itu kembali setelah selesai menghabiskannya dalam satu teguk, dan berkata, "Tidak apa-apa. Terimakasih, Francis."
Orang Prancis itu tersenyum lemah. "Sama-sama. Kau jauh lebih butuh kopi daripada aku, mon cher." Dia gantian meminum kopi dari cangkir penuh yang ada di tangannya. Setelah selesai, Francis tampak ingin mengatakan sesuatu padaku, tetapi didahului oleh, siapa—ah, pokoknya orang dari Lithuania itu yang tiba-tiba datang ke mejaku dengan wajah agak terburu-buru.
"Uum. Bonnefoy. Marwijck. Sersan memanggilmu."
"Apa?" Aah, Francis. Terimakasih karena telah membeokan apa yang ada di pikiranku. "Maksudmu, untuk kasus, erm, itu?"
"A-aku tidak tahu…" Aku merasakan orang Lithuania itu tengah menatapku lewat ekor matanya. Aku membalasnya dengan membelalak. Berhasil menakutinya. Haa. Sepuluh poin untuk wajahku. "Ta-tapi! Se-Sersan inginkan kalian di kantornya sekarang."
"Beri tahu Alis Tebal itu Lars sakit." Terimakasih Francis atas kebaikanmu, tapi bukan istirahat yang aku inginkan sekarang.
"Sudahlah, Francis," kataku sembari bangun dari tempat dudukku. "Kerja, kerja. Jangan biarkan insting Prancis-malasmu mengambil alih."
Aku mendengar Francis menggeram, sebelum berjalan mengikutiku yang bergerak menuju kantor utama Scotland Yard.
Aku tidak mempedulikan reaksi orang Lithuania itu.
"Jadi, Francis, Marwijck-," Ah, ah, ah. Ya, aku menyadari adanya perbedaan tata cara pemanggilan nama di sana, Sersan. Dia menyodorkan Francis sebuah folder berwarna hijau neon, dan kembali ke atas mejanya, mencomot sebuah scone yang memang selalu dijadwalkan untuk disiapkan di atas mejanya setiap jam empat. Memang sekarang bukan jam empat, tapi tampaknya itu adalah salah satu sebab mengapa otak orang Inggris selalu siap bekerja. Tak peduli waktu minum teh atau bukan, scone harus selalu ada. Tradisi, pergilah ke laut, kurasa. "-itu bukti-bukti yang sudah dikumpulkan kemarin oleh Laurinaitis dan Łukasiewicz. Kuharap kalian berdua dapat menyele-,"
"Arthur."
Kami berdua melirik ke arah Francis yang menatap Arthur marah. Ia mengenggam folder itu erat-erat, hampir-hampir merobek plastiknya.
"Aku tahu ini adalah pekerjaan," mulainya. "Tapi, benarkah memasukkan Lars ke dalam kasus ini adalah pilihan yang tepat?"
Entah dia menghela napas atau hanya karena ingin melakukannya, Sersan Kirkland menghembuskan napas ke tehnya guna mendinginkannya. Cangkir porselen dari Cina. Dari toko itu, pasti. Aku melihat sekelibat rasa kekesalan yang berbayang di bola mata hijaunya. Dia memutar mata. "Ooh, keluarlah, kodok. Aku nggak mood melihatmu sepagi ini."
"Tapi-!"
"Waktu adalah uang," potongnya. "Dan kuharap kau menggunakannya baik-baik untuk cepat-cepat menyelesaikan kasus ini."
Aku mendengar Francis mendecak, dan beralih untuk melihatku dengan tatapan bersalah. Aku menggelengkan kepala dengan maksud untuk berkata 'Sudah, itu tidak apa-apa', dan akan segera berjalan keluar dari kantor itu, kalau saja Sersan Kirkland tidak berbicara lagi.
"Marwijck, kau tetap di sini."
Francis menatapku. Aku hanya mengangguk. Dia berjalan keluar, dan pintu pun tertutup. Sekarang hanya ada aku dan Sersan Kirkland di sana.
Kami berdua bertukar pandang.
"Marwijck?"
"Ya, Sersan?"
Dia menyeruput tehnya. "Jujurlah: kau mau menerima pekerjaan ini?"
Aku menghela napasku. Memang dia bukanlah orang yang bisa kukategorikan sebagai ramah, tetapi dia mengerti tentang diriku. Tiga tahun bekerja di Scotland Yard dengan atasan yang suka mengadakan garden-party, menanam bunga tulip, dan suka menjelajah seperti diriku?Dia tahu apa yang kuharapkan. Apa yang kuinginkan. Apa yang kupikirkan. Singkatnya, kami tidak terlalu berbeda satu sama lain.
Aku mengangguk. "Tentu saja."
Dia mendengus, lalu mengeluarkan seringai kecil. "Bagus kalau begitu. Seperti yang kau tahu, Marwijck, Yard saat ini kekurangan personel yang kompeten; yang ada cuman kau, si kodok, dan Beilschimdt, tapi kau tahu dia sedang menangani kasus lain. Kau tahu, masyarakat tidak peduli dengan kehidupan pribadi para personelnya. Kita harus selalu siap untuk melayani publik." Matanya menerawang ke arah jendela yang menampilkan suasana gelap langit Britania. Entah sedang berpikir apa. Aku berpikir bahwa hal ini ada hubungannya tentang kasus pembunuhan berseri dari beberapa tahun lalu yang pelakunya (dua orang—kembar pula) telah ditangkap dan dieksekusi oleh Sersan Kirkland sendiri yang saat itu masih berpangkat menjadi detektif. Francis telah mengatakan padaku untuk tidak pernah membawa kasus ini dekat-dekat lagi dengannya, hingga pada akhirnya aku hanya bisa melihat Sersan Kirkland menempatkan cangkir tehnya di atas mejanya, lalu menyodorkan sekantong plastik biskuit yang tadinya tidak kusadari telah ada di sana dari tadi. "Ada lebih," ucapnya. "Kalau kau tidak mau, kau bisa memberikannya pada siapa saja."
Pada kala lain, aku sudah akan berteriak kencang-kencang bahwa Sersan Kirkland yang terhormat adalah seorang gay (yang, jujur saja, memang. Itu sudah jadi rahasia umum. Jadi sebenarnya sudah tidak butuh berteriak-teriak lagi), tapi aku tahu bahwa biskuit-biskuit yang biasanya disajikan pada saat acara minum teh pada sore hari adalah salah satu makanan yang tidak terbakar di atas oven keluarga Kirkland. Dan, hey, siapa yang bisa menolak makanan gratis? Aku menyelipkannya ke dalam kantong kerjaku, mengucapkan terima kasih, dan berbalik ke arah pintu.
"Ooh, dan satu hal lagi, Marwijck."
Pintu yang kubuka itu terhenti di tengah jalan, diinterupsi oleh aku yang menengok ke arah Sersan Kirkland, masih terduduk di atas singgasana kantor utama Scotland Yard-nya.
"Ya?"
"Aku ikut menyesal."
Pintu itu kembali tertutup, tetapi tidak sebelum aku mengutarakan sebuah 'Terimakasih'.
~Soho, Birmingham, England~
Pada hari itu, kondisi langit Inggris seperti biasa.
Mendung, gelap, dan berawan. Dan bau air pertanda hujan yang seakan-akan takkan pernah berpindah dari tempat ini, mengurung pulau Britania dalam kerangka sendatnya sendiri. Kurasa itu adalah satu hal yang tidak kusukai dengan Inggris. Dalam dadamu ini ada perasaan yang seakan-akan selalu dihantui oleh awan hujan yang tak pernah bergerak.
"Golly… Sebenarnya apa yang dipikirkan oleh si Alis Tebal itu?" erang Francis yang sedang berdiri bersender ke dinding sebuah toko buku. Folder hijau neon terbuka di atas telapak tangannya, mata birunya bergerak ke kiri dan ke kanan untuk menyerap informasi yang diketik di atas kertas-kertas yang tersimpan dengan baik di dalam folder. "Bener, deh. Info yang ada di sini tidak berguna. Tidak ada sidik jari. Tidak ada air liur. Benang, rambut. Apapun. Kecuali bahwa pembunuhnya menggunakan sebuah benda tajam. Pisau, mungkin. Tapi hampir semua orang Inggris punya Leatherman; yang berarti tersangka kita bisa siapa saja. Antara pembunuhnya benar-benar hati-hati atau pekerja lapangan kita yang tidak kompeten."
"Aku sudah memeriksanya ulang kemarin, dan memang benar tidak ada apa-apa di sana. Dan jika maksudmu ini adalah perampokan biasa, ini jelas-jelas tidak seperti itu," kataku sambil mengisap pipaku. Asap membumbung tinggi dari lubang yang ada di ujung pipa. "Tidak ada barang yang diambil."
Francis menutup folder hijau neon itu, yang warnanya mulai membuatku kesal. "...Bukannya kalung emas berbatu rubi yang dipakainya menghilang?"
"Hanya itu saja. Dia bahkan tidak menyentuh anting emas miliknya." Bau hujan itu semakin menyengat. Sebentar lagi. Sebentar lagi akan turun. "Percayalah, Francis. Ini bukan perampokan biasa."
Orang Prancis itu mendesah. Agak sedikit bersalah, melihat dari matanya yang tidak berani membalas pandanganku. "Kau benar. Maaf."
Dan pada saat itulah hujan memilih waktu yang tepat untuk turun.
"Oh, sial. Hujan. Hujan setiap hari. Makanya aku tidak suka London. Rambutku yang magnifique bisa rusak."
"Mengikuti wajah pemiliknya yang sudah rusak duluan, 'kan?" kataku sambil mendorong tubuhku dari dinding. Francis tertawa, dan menepok punggungku. "O hon hon hon! Kau bisa saja, Lars~! Aku tahu kau iri dengan wajahku yang tampan ini, tapi idak perlu mengejekku seperti itu, dong! Aah, tapi mungkin kalau kau menghabiskan waktu beberapa malam bersama dengan kakak Francis ini, mungkin wajahmu juga bisa jadi indah juga~."
Aku tersenyum kecil, dan memukul Francis di kepala. Dia memajukan bibirnya sedikit kesal, dan aku hanya tertawa pelan. Tertawa yang tidak dipaksakan untuk pertama kalinya sejak kasus pembunuhan ini berjalan. Kurasa ini adalah pergantian suasana yang cukup baik. Aku tidak terlalu mau terjebak di dalam kesuraman selalu.
Kami berlari-lari kecil di gang-gang sempit di Soho. Aku sudah cukup lama mengenal tempat ini dengan baik—mudah sekali mengenali jalan-jalan pintas yang bertebaran di sana sini, sehingga tidak butuh waktu lama sebelum akhirnya kami sampai di depan toko yang sudah kami bicarakan dari tadi.
Satu-satunya toko kain bertema oriental terkenal yang berlokasi di distrik Soho. Toko itu terbuat dari kayu berwarna coklat susu, dengan atap berwarna merah yang terlihat tidak cocok di tengah-tengah toko bertema barat yang bertebaran di mana-mana. Dua buah pot bambu berdiri di kedua sisi pintu geser yang terletak di tengah-tengah bangunan, bagaikan penjaga yang melindungi sang empunya.
Anakronisme. Tapi aku suka itu. Kurasa itu yang membuat toko-toko dari negeri timur terlihat 'menjual'. Mungkin itu adalah satu alasan mengapa Pecinan ramai.
Aku bergerak maju dan menggeser pintu itu. Di belakang, Francis bergerak mengikutiku. Tempat itu terang, seperti biasanya, dipenuhi dengan lampion-lampion berwarna merah bulat yang bernaung di langit-langit. Kain-kain dari berbagai macam warna bergantungan di atas gantungan yang sudah dijejerkan secara horizontal.
Dan di tengah-tengah ruangan beralas kayu balok, duduk bersila seseorang berambut hitam eboni yang tengah tersenyum ke arahku.
Aku menatap lekat-lekat ke dalam sepasang bola mata hitam pekat bagai kelamnya malam.
"Selamat datang, Lars."
~to be continued
Golly = Astaga
Mon cher = Sayangku
Magnifique = Indah
Anakronisme = Tidak pada tempatnya/waktunya
Pecinan = Kampung Cina. Salah satu lokasinya di Indonesia (yang saia tahu ada di pulau Jawa) adalah di Cibubur.
Soho = Distrik pertokoan di Birmingham, Inggris, yang terkenal banget. Moto yang saia sering dengar-dengar adalah 'Jangan pernah ke Inggris kalau nggak ke Soho'. Para shopaholic pasti kenal tempat ini. Dan, ya: Soho dan SoHo berbeda.
Leatherman = Alat multi-fungsi yang, katanya, semua orang di Inggris punya. Termasuk di dalamnya pisau lipat, obeng, bahkan gunting kuku.
A/N: Pertama kali saia buat Vocaloid fuse fic begini. Yandere itu indah, no? Saia akan coba updet chapter 2 secepatnya, dan ooh, ya, apakah anda tahu bahwa INDONESIA UDAH ADA? ASTAGA HIMA-PAPA UDAH BUAT INDONESIA! CEKIDOT AT HIS BLOG dan selamat hari April Mop! :D
