pjo/hoo © rick riordan
windsurfing
Jika Jason Grace memiliki kakak perempuan, dia membayangkan kakaknya akan berambut pirang sama seperti dirinya. Iris matanya berwarna biru, seperti anak-anak Zeus atau Jupiter pada umumnya. Dia pasti cantik—meski tidak secantik putri Aphrodite, dan petarung yang bisa diandalkan. Dia akan memiliki kekuatan yang sama dengan Jason; mengendalikan petir, memanggil badai, dan bisa terbang—mengendarai angin. Jason mengira mereka bisa berlomba mengendarai angin, jika mereka mau.
Setelah Jason sungguh-sungguh bertemu dengan Thalia Grace, sebagian besar dari dugaannya tepat kecuali dua hal. Rambut pirang (meski Jason curiga jika kakaknya mengubah warna rambutnya setelah dia kabur dari rumah.) dan kemampuan untuk mengendarai angin. Ironisnya, Thalia takut ketinggian.
"Kau benar-benar tak pernah mencoba terbang?" pernah Jason bertanya, di sela-sela latihan berpedang dan kakaknya sedang tidak bertugas memburu monster.
"Tidak, Jason." Thalia menggeleng, tampak iritasi. "Aku bukan penggemar ketinggian. Kalau kau mau mengejek acrophobia-ku beberapa orang yang cukup berani sudah melakukannya terlebih dulu."
Tentu saja, siapa pun yang mengejek Thalia pasti cukup punya nyali dan sudah siap untuk menjadi demigod panggang ala Thalia Grace. Atau, cukup tidak waras untuk menantang Putri Zeus yang dikenal suka membakar alis orang lain.
Jason menggeleng. "Aku justru berpikir untuk mengajarimu terbang."
"Tidak!"
Satu kata, jawaban final Thalia dan Jason tidak pernah mengusiknya lagi soal pelajaran terbang.
Meski Sang Putra Jupiter tidak berhenti bertanya-tanya apa yang membuat Thalia takut ketinggian. Di matanya, Thalia merupakan petarung handal yang tampak tidak pernah takut pada apa pun, bisa dikatakan kuat, dan tangan kanan Dewi Perburuan. Thalia memimpin Pemburu Artemis untuk memburu monster di hampir seluruh penjuru negeri. Dia bahkan mengalahkan Jason hampir di setiap latihan duel mereka yang tidak terlalu sering. Bagaimana bisa orang seperti itu takut pada hal yang remeh seperti ketinggian—padahal dia Putri Raja Langit. Tampaknya, kemampuan untuk mengatur roh angin ini merupakan satu-satunya kelebihannya dibanding sang kakak.
Jason sudah sering mencoba terbang seorang diri. Pernah juga dia membawa orang lain. Piper, tentu saja, dan Reyna—dulu ketika dia masih tinggal di Perkemahan Jupiter. Sesekali, dia juga ingin mengajak kakaknya mengendarai angin.
Maka, di sebuah sore yang tenang, Jason mengajak kakaknya ke Bukit Blasteran. Tempat di mana pohon pinus yang menjadi perisai sihir untuk perkemahan tumbuh, tanpa melewati batas perlindungannya. (Ah ya, pohon itu juga dulunya Thalia, sebelum Percy, Annabeth, dan Clarisse menemukan Bulu Domba Emas.) Cukup jauh dari keramaian dan tidak banyak pekemah yang datang kemari. Tanpa curiga, Thalia mengikutinya.
"Jadi, apa yang akan kita lakukan di sini?" Thalia bersandar pada batang pohon pinusnya. Tentu saja, dia berpikir adik kecilnya tidak akan mencelakainya.
Jason tersenyum—berusaha terlihat sewajar mungkin. Tangannya menggenggam tangan kakak satu-satunya. "Kita belajar terbang."
Dalam hitungan detik, mereka sudah berada di udara. Jason bisa melihat wajah Thalia memucat. Genggaman tangannya mengerat—kini dia mencengkeran bahu Jason, seolah-olah hidupnya hanya bergantung pada Jason.
"Apa yang—"
"Pegangan yang erat, Kak," dia memotong ucapan Thalia, setengah tertawa. Lalu memerintahkan roh angin untuk melaju dengan velositas maksimal. Dia merasakan cengkeraman Thalia semakin erat.
"TURUNKAN AKU, JASON GRACE!"
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Jasom mendengar sang kakak berteriak ketakutan. Dan, untuk pertamakalinya, dia merasa menang dari Thalia.
compiuto
the graces is my favorite sibling besides the stolls XD i just write it in less than 30 minutes without proofread. it's kinda mess and absurd that's why i need your concrit. thanks for reading.
