.

.

Kata Ibu, mataku seindah mata milik Ayah.

.

.

Kata Ayah, mataku sehebat mata milik Ibu.

.

.

Tapi…

.

Aku sangat membencinya…

.

.


Truth

Naruto © Masashi Kishimoto


First Step: Reality

Untukku, kenyataan terlalu menyiksa…

***

"Hinata.", panggil seorang lelaki berambut coklat panjang. "Sudah saatnya.", ujarnya.

Gadis yang dipanggil hanya menoleh perlahan, lalu Ia beranjak dari kursi tempat Ia duduk dan menaruh buku yang baru saja Ia baca di atas meja.

"Iya, Kakak…" Gadis—yang dipanggil Hinata itu, menghampiri Sang Kakak.

"Ayo," Sang Kakak menggenggam tangan Hinata yang lemah, "mobilnya sudah siap di depan."

Dengan anggun—lebih tepatnya, lesu, Hinata berjalan menyesuaikan langkah kakinya dengan langkah kaki kakaknya yang terhitung cepat. Limosin hitam pekat tengah menunggu mereka berdua—dengan seorang lelaki berpakaian serba hitam yang tak lupa dengan kacamata hitam.

"Silahkan, Tuan Neji, Nona Hinata." Ujar lelaki itu sambil membukakan pintu limosin untuk mereka. Neji membantu Hinata untuk menaikinya terlebih dahulu, lalu menaiki limosin, dan duduk di samping Hinata.

"Aburame, bunganya sudah ada?" Tanya Neji.

"Ya," Aburame Shino masuk ke dalam mobil, menyalakan mesinnya dan bersiap untuk menyetir, "anda bisa mengambil buket bunganya di meja kecil sebelah anda.", ujarnya sambil mengemudi.

Neji mengambil buket bunga kecil yang ada di meja kecil di sebelahnya, seperti yang telah dikatakan Shino sebelumnya, lalu diserahkannya pada Hinata.

"Setangkai anyelir merah jambu…" Ujar Hinata pelan.

"Besar sekali.", sahut Neji, Ia sadar ada selembar kertas terjatuh dari buket bunga itu.

'Dari Yamanaka Ino; untuk Hyuuga Hinata.' benak Neji. Ia pun segera menyodorkan selembar kertas itu pada Hinata. Hinata segera menaruh buket bunga yang diamatinya sedari tadi di pangkuannya, dan segera menerima dan membaca selembar kertas itu.

Anyelir merah jambu, sudah kupilihkan setangkai yang lumayan raksasa untukmu. Aku memilihnya karena--ingin saja. Ehehe. Tapi cantik, 'kan? Kupikir, untuk tahun ini sebaiknya satu tangkai saja, tidak perlu banyak-banyak. Kalau banyak-banyak, anyelirnya terlihat aneh (bagiku), karena itu aku memilihkan setangkai yang besar. Semoga kau senang menerimanya. Oh ya, aku turut berdoa untuk Ibumu. Tertanda, Yamanaka Ino.

Hinata selesai membaca selembar surat dari Ino, salah satu sahabatnya, mengamati simbol huruf 'Y' yang dihiasi dengan ornamen bunga mawar berduri di bagian bawah surat; simbol Yamanaka Flower Shop. Toko bunga yang paling terkenal, dan paling mewah.

Bibir Hinata melengkung, membentuk satu senyuman kecil.

Neji yang menyadarinya, tersenyum dan penasaran. "Ada apa?", tanyanya pelan pada adiknya. Hinata hanya menggeleng. Neji tersenyum lagi dan menghembuskan nafas lega, akhirnya adiknya bisa tersenyum lagi setelah murung sejak tadi pagi; karena mereka akan pergi ke tempat itu.

Ckiit. "Sudah sampai, Nona Hinata, Tuan Neji." Ujar Shino, lalu Ia turun dan membukakan pintu limosin untuk mereka berdua.

Saat Shino menuntun Hinata untuk keluar mobil, "A-anu," Hinata menundukkan kepalanya, "panggil saja Hinata, a-aku boleh memanggilmu.. Shino, 'kan?", ujar Hinata agak gagap. Ia tidak bisa langsung terbiasa dengan orang yang baru dikenalnya.

"Baiklah, Nona—err—Hinata. Kau boleh memanggilku Shino." Ujar pramuwisma yang baru dipekerjakan oleh Neji itu.

Neji yang sudah berada di luar limosin, menyadari tangan kosong Hinata. "Hinata, buket bunganya?", tanya Neji.

Hinata melirik ke tangannya. 'Eh? Kukira sudah aku bawa.', pikirnya, lalu Ia meringkuk ke dalam mobil—sebelum Shino sempat menutup kembali pintu mobilnya, mengambil buket bunga tadi, "Hampir saja tertinggal".

Senyum Neji yang muncul karena tingkah laku Hinata barusan, hilang.

"Ayo, Hinata…" Hinata hanya mengangguk. Mereka berdua berjalan melalui sebuah gerbang, di samping gerbang itu ada sebuah papan bertuliskan 'Graveyard'. Shino menyalakan mesin limosinnya, untuk diparkirkan ke suatu tempat.

Hinata melangkah pelan, bersama Neji yang memegang pundaknya. Hinata menoleh ke arah kanan, ke arah kiri. 'Ramai' sekali. 'Orang-orang' menatap Hinata tajam, wajah Hinata memucat. Hinata sudah hampir menangis, tapi Neji mendekatkan bibirnya ke telinga Hinata.

"Tenang, Hinata. Ada aku.", bisik Neji pelan. Hati Hinata agak tenang karenanya.

'Tak apa, Hinata.', gumam Hinata pada dirinya sendiri.

Hinata dan Neji terus berjalan, Hinata berusaha untuk tidak mempedulikan 'keramaian' itu. Hinata berhenti melangkah, begitu juga dengan Neji. Hinata mendekatkan buket bunga yang digenggamnya sedari tadi ke hidungnya, menghirup wangi bunga anyelir pilihan Ino. Lalu Ia membungkuk dan menaruh buket bunga itu di atas gundukkan tanah.

Shiina Ayume—Hyuuga Ayume; 2 September XXXX - 22 Desember XXXX.

Setelah membungkuk beberapa saat sambil menatap ukiran huruf pada batu nisan di depan gundukkan tanah itu, Hinata berdiri, lalu mendekatkan kedua pergelangan lengannya di dada, dan menutup matanya—begitu juga dengan Neji.

'Ibu, beristirahatlah yang tenang…', ujar Hinata dalam hati. Hinata menoleh ke arah Neji, "Kakak,", panggil Hinata, "Kakak sudah selesai berdoa untuk Ibu?" Neji hanya mengangguk pelan.

"Ayo, sebaiknya kita kembali." Neji mengerti, Hinata tidak suka 'keramaian' di sini—walaupun Ia sendiri tidak bisa merasakan 'keramaian' itu sendiri.

Setelah berjalan menjauh dari batu nisan Sang Ibunda, Hinata berhenti melangkah. Masih beberapa langkah lagi untuk keluar dari kuburan raksasa itu, tapi kenapa Hinata berhenti?

"Hinata…?", tanya Neji untuk memastikan apakah keadaan Hinata baik-baik saja.

"Kakak—anak itu—menangis…" Ujar Hinata sambil mendekati sebuah batu nisan.

Hinata's POV—

"Hu-hu-huaa… I-Ibu…" Anak kecil itu menangis. Seorang gadis kecil. Pakaiannya lusuh, berhias lumpur. Malang sekali… Aku mendekatinya, dan membungkuk, menyetarakan kepalaku dengannya yang pendek.

"Ada apa? Kenapa menangis…?" Tanyaku pelan, gadis kecil dengan pakaian kotor itu menunjuk ke arah sebuah batu nisan di belakangnya. "Eh—kenapa dengan batu nisan itu?", tanyaku pelan, aku takut melukai perasaannya dan membuatnya menangis lebih kencang lagi.

"I—bu…", ujarnya lemah, terbata-bata di antara isak tangisnya.

Mataku kembali menatap batu nisan yang ditunjuknya tadi. Yuko Motohashi; sambil menatap tanggal lahir dan kematiannya—aku bisa tahu. Ia ibu dari gadis kecil ini, dan meninggal di usia muda. Kecelakaan, mungkin.

"Sudahlah, jangan menangis terus, ya…", ujarku pendek sambil tersenyum padanya. Ia menatapku lemah, berhenti menghapus air matanya. "Kalau begitu, ibumu akan sedih melihatmu seperti ini…", ujarku lagi.

Gadis kecil itu menghapus air matanya yang baru saja berhenti mengalir, dan tersenyum.

"Kalau begitu…" Ia mendekat padaku, "Kakak ikut aku, ya…"

"Eh…?" Tangan kiriku ditariknya, kuat sekali.

end of Hinata's POV.

GREB!

Dengan sigap, Neji menarik tangan kanan Hinata sekuat tenaga—dan seketika, mereka terhempas.

"Eh…? Ka-kak…?", panggil Hinata pada Neji, lemah.

"Hampir saja.", ujar Neji pelan sambil membantu Hinata berdiri.

"…Gadis kecil itu hilang…", gumam Hinata.

"Seperti biasa…" Neji memegang tangan Hinata erat, "…Kau hampir dibawa hantu gentayangan lagi…", dan menariknya kuat-kuat tapi perlahan. Ia tidak mau lama-lama di kuburan yang membuat Hinata takut itu.

"Maaf…" Hinata menghentikan langkahnya, "…Kakak, tolong tunggu sebentar, ya… Sebentaaar saja…" Neji tidak tahu apa lagi yang akan dilakukan Hinata. Tetapi Ia hanya bisa menurut.

Hinata mendekat pada nisan tadi, nisan milik Nyonya Yuko Motohashi. Dia membungkuk, lalu menyematkan doa. Dia menoleh ke sebuah nisan di sampingnya, dia baca baik-baik nama yang tertera di nisan itu, Chiyako Motohashi—marga yang sama. Hinata langsung menyematkan doa ke arah nisan milik 'Chiyako'.

'Maaf, aku tidak bisa ikut denganmu…'

Setelah beberapa saat, Hinata berdiri dan berlari kecil, menyusul Neji.

***

"Kami pulang", sahut Hinata dan Neji bersamaan setelah menutup pintu.

"Selamat datang", sambut seorang gadis bercepol dua, dan seorang gadis kecil berambut panjang—dengan warna yang sama persis dengan Neji, dan mata yang tak berbeda dengan mata milik Hinata dan Neji.

"Ah, Tenten, sejak kapan tiba? Kenapa tidak memberitahu dulu?" Tanya Hinata dengan riang.

"Ahaha. Kedatanganku kesini mendadak, aku tidak bisa memberitahumu terlebih dahulu. Tapi lain halnya kalau Neji mengijinkanmu menggunakan telepon genggam", ujar gadis bernama Tenten itu sambil melirik ke arah Neji.

"T—Tenten! Kau 'kan tahu, belum saatnya Hinata menggunakan alat modern seperti itu!" Sahut Neji.

"Haaha. Iya, iya, aku tahu, aku tahu.", ujar Tenten yang sudah sering mendengar celoteh seperti itu dari kekasihnya sendiri.

"Kak Hinata, ayo mandi", ajak Hanabi yang senang sekali kalau mandi bersama Hinata.

Hinata hanya tertawa kecil mendengar ajakan adik kecilnya itu. "Baiklah—Tenten, Kak Neji, aku mandi dulu saja, yaa." Neji dan Tenten hanya mengangguk dengan senyum.

Sesaat setelah sosok Hinata dan Hanabi menghilang, Tenten duduk di kursi taman—dengan Neji yang mengikutinya.

"Tadi—bagaimana? Ada sesuatu yang terjadi?" Tanya Tenten yang dijawab dengan anggukan cepat Neji.

"Sepertinya Ia melihat arwah anak-anak—dan terhanyut, lagi. Untung sempat kutolong. Tapi—dia terlalu baik, setelah hampir 'diajak' oleh arwah itu, dia mendoakannya." Jelas Neji. Tenten tersenyum. "A-apa sih, tersenyum seperti itu?", tanya Neji dengan wajah memerah.

"Tidak, tidak," Tenten menggeleng, "kalau berbicara tentang Hinata, pasti kau berbicara banyak", ujar Tenten.

"Wa-wajar! Aku 'kan kakaknya."

"Haha. Tapi—dia tegar sekali, ya…" Ujar Tenten, mulai serius.

"Ha? Oh, ya…", tanggap Neji.

"22 Desember… Di Hari Ibu, Ibunya meninggal—dan kemampuan matanya menguat, dia tidak hanya bisa melihat roh-roh biasa… Tapi juga arwah gentayangan yang selalu 'mengajak'nya pergi…" Ucap Tenten.

"Tadinya kukira itu tidak akan menjadi masalah, tapi justru itu yang mempengaruhi hidupnya. Dia selalu bilang kalau dia baik-baik saja, tapi sewaktu aku mampir ke sekolahnya sewaktu SMP dulu, Ia ternyata dimaki-maki oleh teman-temannya karena 'penglihatan'nya. Setelah menyelesaikan tahun pertama di SMP, dia trauma. Dia jadi takut berbicara kepada orang-orang. Dia jadi harus menjalani home school kalau dia masih mau mendapat pendidikan."

"Tragis sekali…", ucap Tenten. "Kalau begitu, dengan sifatnya yang pemalu dan tertutup itu, aku jadi agak khawatir dengan masa depannya nanti—tentang rumah tangganya, tentu saja. Dia berhak untuk jatuh cinta…"

Neji berdiri, dan menghembuskan nafas panjang. "Aku sudah menjodohkannya."

"Eeh!? Tapi—"

"Aku tahu!" Neji memotong kata-kata Tenten, "Dia memang berhak jatuh cinta. Tapi—aku ingin dia mendapatkan yang terbaik."

Tenten hanya menghela nafas panjang sebagai reaksi dari perkataan kekasihnya yang keras kepala itu. "Baiklah kalau itu maumu… Aku mengerti…"


Terinspirasi dari komik Angel From The End karya Erika Kurahashi.

Keliatan nggak alurnya? *cengok*. Ada yang OOC nggak? Tell me! Ecchan pengen sekali-kali bikin yang nggak OOC nih. Ada yang nggak ngerti juga? Bilang lagi! Lewat review yaa #geplaaaak#. Shiina Ayume--Shiina diambil dari.. lupa! #tendaang#, sedangkan Ayume--dari diskusi saya sama meL. Pengen yang ada 'me'-nya, tapi susah. Tadinya mau Megumi, tapi--kalo Megumi terlalu pasaran, berkesan cewek periang juga. Tapi kalo Ayume, 'kan ada 'Ayu'-nya, 'kan artinya cantik(itu sih bahasa Indonesia). Cocok nggak kalo mamanya Shiina Ayume yang masih unknown itu? Yuko Motohashi diambil dari nama ibu-ibu yang ada di komik Yakikate! Japan nomor 4 deh kayaknya. Chiyako sendiri diambil dari komik First Boyfriend alias Hatsukare; Chiyako itu nama asli dari Cha-chan.

Pengumuman! Yeeees si ecchan mau ikut tarka, banyak cowo cakep #digeplak Kazu#. Eh? Apdetan Lovely Days? Whee, err--nanti yak. XD

Jangan nanyain apdetan ini, sibuk brow! *Eyebrow? gaje*. Ujian Negara datang seminggu setelah saya ultah. Baca, seminggu setelah 18 april. Minta kado doong, ibu-ibuuu! #bakaar#

Review dongdongdong yayaya? 'Kan baiiik. XD

OH IYA, INI BAIKNYA GENRE-NYA APA YAAAA? TTATT

Withalotofloves, Lillian Ecchan dei Cancero(?)