"Mau sampai kapan kau seperti ini?" Jongin mendecak, bertopang dagu sambil menatap lekat-lekat setiap pergerakan temannya. Sehun masih betah menunduk, membubuhkan tulisannya pada selembar kertas berwarna pink muda dengan menggebu-gebu. Sesekali anak itu akan mengangkat wajahnya, terlihat sibuk berpikir kemudian kembali fokus pada apa yang tengah ia lakukan. Tidak mau repot-repot untuk sekedar menoleh atau menjawab pertanyaan Jongin. Menyebalkan.
Apa sih yang ia harapkan? Jongin sungguh tidak mengerti. Benar-benar dibuat bingung dengan kelakuan Sehun. Ini sudah memasuki bulan keenam sejak lelaki itu melakukan rutinitas tololnya. Dan sejujurnya Jongin merasa kasihan. Jongin paham bahwa Sehun tengah dimabuk cinta. Tapi dia tidak paham mengapa Sehun mau terus-menerus memberikan surat cintanya pada orang yang disukainya meski pada kenyataannya orang tersebut tidak sekalipun memberikan respon terhadap semua surat Sehun. Menggelikan. Dengan wajahnya yang tampan, Sehun bisa menunjuk siapapun untuk menjadi kekasihnya. Dia tidak perlu repot-repot menjadi seperti ini. Menulis surat cinta setiap malam dan menyelipkannya ke dalam loker 'orang itu' setiap pagi tepat ketika sampai di sekolah.
"Luhan saja tidak memedulikan semua suratmu."
Sehun sontak berhenti. Tangannya tertahan kaku di atas kertas. Matanya menatap lama pada surat tersebut.
Jongin tahu ia telah memasuki area berbahaya dengan mengatakan hal seperti itu. Tapi dia juga tidak menyesalinya. Ini mungkin menjadi satu-satunya cara agar Sehun tersadar. Agar anak itu tahu bahwa dia sudah tidak memiliki kesempatan. Luhan mengacuhkan semua suratnya itu berarti dia telah menolak Sehun. Sederhana, bukan?
"Aku yakin dia membacanya." Sehun setengah bergumam.
"Tentu dia membacanya." Jongin mendengus, "Tapi tetap saja dia tidak berniat membalas hatimu, Sehun. Dia tidak memberikan respon. Itu artinya dia menolakmu secara halus. Kenapa? Agar kau berhenti untuk menjejali lokernya dengan semua suratmu itu."
"Kalau begitu aku tidak akan menyerah." Sehun malah menyeringai. "Bahkan jika dia menolakku secara langsung pun, aku tidak akan berhenti berusaha untuk mendapatkan hatinya." Kini dia beralih menatap Jongin, berusaha menyampaikan keyakinannya pada lelaki itu.
"Astaga.." Jongin mengerang frustasi. Apa semua orang yang tengah terjerat cinta selalu seperti ini? Rasa-rasanya dia hampir muntah. "Kenapa kau tidak menggunakan cara yang lebih mudah sih? Kau bisa mengiriminya pesan melalui Line, Kakaotalk, Instagram, atau sms. Tidak perlu sampai menulis surat. Kau terlihat kampungan."
"Justru menulis surat jauh lebih bermakna ketimbang melalui media sosial yang kau sebutkan tadi." Sehun melanjutkan kembali tulisannya. "Ini menunjukkan ketulusanku. Dia pasti bisa merasakan bagaimana usahaku ketika menulis dan melipat surat-surat yang aku berikan. Terkadang, menulis malah mampu mendorongku untuk mencurahkan semua yang aku rasakan."
Jongin menganga. Perutnya seolah digelitik, dan dia sungguh hendak muntah sekarang. "Aku benci kau yang seperti ini."
"Kenapa?" Sehun terkekeh, tangannya dengan lincah menari di atas lembar surat tersebut.
"Kau menjijikkan. Kata-katamu terlalu puitis untuk ku mengerti."
"Makanya kau harus jatuh cinta," kini Sehun meletakkan pulpennya dan mulai melipat. Setelahnya dia mengambil sebuah cokelat yang ada di atas nakas, mengikatnya bersama surat tersebut, kemudian memasukkannya ke dalam tas sekolah. "Agar kau tahu rasanya menjadi orang yang menjijikkan sepertiku. Aku berani jamin kau akan menyukainya." lanjutnya lalu melempar kedipan nakal pada Jongin.
"Kau sudah gila, Oh Sehun." Jongin bergidik ngeri.
"Ya benar." Sehun tersenyum idiot sembari melempar pandangan ke luar jendela kamarnya, menatap langit malam yang tampak sunyi tanpa taburan bintang. "Aku sudah gila karna Luhan dan dia mesti bertanggung jawab untuk itu." Bisiknya setengah menerawang.
Melihat bagaimana tampang Sehun saat ini, Jongin memutuskan untuk segera enyah dari tempat tersebut. Sebelum ia benar-benar terseret kegilaan temannya itu. Atau sebelum dia benar-benar mengeluarkan semua isi perutnya.
TBC
520!
