Fang sedang sibuk mengerjakan tugas rumahnya yang lupa dia kerjakan semalam saat dia melihat pemandangan itu. Dia hanya mengalihkan pandangannya ke luar jendela, tapi kenapa harus pemandangan Ying yang datang ke sekolah bersama mantan senior mereka yang harus dia lihat?
Pemuda berkacamata itu tanpa sadar memegang erat pensilnya. Dengan cepat dia alihkan pandangannya dan menatap lurus udara kosong di hadapannya.
Pemuda itu mendecih. Remaja berumur 18 tahun itu bahkan tak tahu kenapa dia bisa seperti ini—lagi. Fang sudah memutuskan untuk menghentikan perasaannya pada sang gadis Cina itu sejak SMP. Namun kenyataan bahwa mereka satu sekolah, bahkan satu kelas selama tiga tahun ini, menamparnya. Seolah-olah berbicara bahwa dia memang tak bisa jauh dari Ying barang sedetik pun.
"Argh!" serunya tanpa sadar. Dia kesal, sungguh kesal. Ini masih pagi dan emosinya bisa seburuk ini. Bahkan dia tak pernah merasa sekacau ini ketika Boboiboy memamerkan bahwa dia lebih popular dibanding dirinya.
Pemilik kuasa bayang itu menarik napas berulang kali, berusaha menenangkan gejolak tak mengenakkan di dalam dadanya. Setelah hatinya sudah mulai dingin, dia baru saja ingin melanjutkan tugasnya tadi sebelum akhirnya suara seseorang membuat konsentrasinya buyar.
"Kau belum mengerjakan PR? Itu PR Matematika?"
Tuk.
Pensilnya patah. Namun tak ada niat sedikit pun untuk menyerut atau mengganti benda kayu itu. Dia terus menunduk, tetap berada di posisi seperti itu bahkan saat derap langkah kaki sang pemilik suara tadi sampai di samping mejanya. "Tinggal dua soal lagi rupanya. Sudah sana cepat kerjakan PR-mu, setengah jam lagi masuk lho. Di luar juga sudah banyak murid," gadis itu—iya, itu suara seorang gadis—pun mendudukkan dirinya di bangku di depan Fang.
Pemuda itu mengangkat wajahnya perlahan. Inilah kenyataan yang paling dia benci.
Dia benci Ying duduk di depannya. Dia benci ketika gadis itu bersikap biasa saja padanya. Dia benci karena dia bisa memandangi punggung Ying kapanpun dia mau.
Dia benci karena perasaannya tak pernah berubah sejak dua tahun yang lalu.
"Kalau sulit, kau bisa bertanya padaku," Ying memutar tubuhnya dan menawarkan bantuan pada pemuda yang duduk di belakangnya. Gadis itu tersenyum lembut.
Dia benci karena Ying selalu baik padanya.
Dia benci. Sangat benci.
X.x.X
These Years
Disclaimer: Boboiboy adalah hasil karya Animonsta Studio. Tidak ada keuntungan materi yang saya terima. Fanfic ini hanya untuk kesenangan semata
Warning: AT, typo(s), OOC
Addtional Genre: Romance (a little bit)
Summary: AT/Dulu dia tak percaya pada pepatah yang bilang kalau 'tak ada persahabatan murni antara laki-laki dan perempuan'. Dia menganggap itu konyol karena dulu dia tak pernah menyangka kalau cara pandangnya pada gadis itu akan berubah./"Aku menyukainya, sangat menyukainya. Itulah mengapa air mataku ini tak bisa berhenti mengalir ..."/FangYing
X.x.X
Hari ini entah kenapa kantin begitu ramai. Buktinya kini pemuda yang suka bergaya sok cool itu sedang sibuk mengantre untuk mendapat donat lobak merah kesukaannya. Dia sudah sibuk berdoa dalam hati supaya dua orang di hadapannya ini tidak akan memesan makanan kesukaannya yang tinggal tersisa tiga itu.
Fang merasa bersyukur. Karena dua siswa itu membeli makanan lain dan bukan donat incarannya. Kedua sudut bibirnya naik. Dia mengambil tiga donat lobak merah itu dan menyerahkan uangnya. Pemuda itu melangkah menjauh dari stand donat dan kini dia berada di tengah kantin tanpa tahu harus duduk di mana. Dia sedang malas ke kelas kali ini.
Pandangannya berpendar. Ujung bibirnya naik saat dia menemukan meja kosong yang baru saja ditinggalkan oleh empat orang siswi. Fang langsung melangkahkan kakinya cepat dan segera duduk di sana. Dia menyingkirkan piring-piring kotor itu ke sisi meja yang lain sebelum meletakkan donatnya yang masih terbungkus plastik di atas meja. Tangannya bergerak membuka botol air mineral yang sempat dia beli sebelum mengantre tadi.
Baru saja dua teguk, dia hampir mati tersedak karena seseorang yang sangat tak asing lagi baginya tiba-tiba saja duduk di hadapannya.
"Uhuk uhuk! Ying? Kupikir kau membawa bekal seperti kemarin," ujarnya sembari mengelap sudut bibirnya.
"Aku tidak sempat membuatnya. Selain itu bahan di rumahku habis dipakai sarapan tadi," gadis itu mengambil tisu di hadapannya dan melap sendoknya, "tak apa-apa, kan aku duduk di sini? Kau tahu sendiri lah semua tempat di kantin sudah penuh."
Fang cukup mengangguk untuk membuat gadis itu tersenyum senang dan mulai memakan nasi lemaknya.
Tanpa sadar pemuda itu juga ikut tersenyum. Dia mengambil donat miliknya dan menggigitnya perlahan. Fang sadar kalau kedua matanya tak bisa tidak memerhatikan Ying yang kini sedang asyik melahap pesanannya. Dia bahkan terkekeh pelan menyadari cara makan Ying yang agak berantakan.
"Makannya hati-hati. Kau ini kelaparan ya?" godanya sembari mengambil tisu dan menyerahkan pada orang di hadapannya.
Ying mengambil tisu yang disodorkan oleh teman sekelasnya itu dan mengelap sudut bibirnya. "Aku hanya sarapan sedikit tadi," dia mengerucutkan bibirnya.
"Sudah sudah makan lagi. Daripada nanti kau pingsan."
"Ish kau ini!" Ying menggembungkan pipinya malu. Kali ini dia melahap makanannya pelan, tak mau lagi digoda seperti tadi.
Di sisi lain, tanpa sadar Fang bertumpu dagu dan melahap donatnya sembari terus menatap gadis manis di depannya.
Manis.
X.x.X
Seorang pemuda sedang asyik bermain dengan gitarnya di ruang musik sembari bersenandung indah. Jemarinya yang tidak terbalut sarung tangan memetik dawai gitar dengan piawai. Kedua netra nilanya terpejam dan menikmati alunan musik yang dia ciptakan sendiri.
"The pouring rain that we missed back then. The love that passed us by back then. How I wish to hug you*—"—srek. Pintu ruang musik terbuka. Pemuda itu refleks menghentikan permainan gitarnya.
Dia mendongak dan mengernyit heran kenapa gadis Cina berkacamata itu ada di sini. Biasanya gadis itu sudah pulang sekolah bersama Yaya setengah jam yang lalu. Fang membenarkan kacamatanya yang turun. "Kenapa belum pulang?"
Ying mengambil satu kursi di sana dan menggesernya ke hadapan sang pemuda. Dia duduk di kursi tersebut dan menaruh tasnya di sebelah kaki kursi. "Aku mau minta tolong," ucapnya pelan.
"Minta tolong apa?" Fang bertanya heran. Ada apa gerangan? Minta tolong apa? Jarang sekali Ying meminta pertolongan seperti itu, apalagi meminta tolong pada pemuda ini. Tidak mungkin soal pelajaran karena nilai gadis itu bahkan selalu di atas Fang.
Pemuda itu semakin tak mengerti. Ada apa dengan wajah yang kini memerah malu itu? Seketika itu juga perasaannya memburuk.
"Tolong ajari aku bermain gitar," pinta Ying malu-malu. Dia menunduk dan memainkan ujung roknya manis.
Pemuda itu memicingkan matanya sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya dan mengambil tas gitarnya. Tangan kirinya mencari buku tutorial bermain gitar untuk pemula sedangkan tangan kanannya menahan sang gitar agar tetap berada di pangkuannya.
"Untuk apa sih?" Menyerah dengan tas gitarnya yang ternyata kosong, dia beralih menuju tas sekolahnya. Biasanya dia membawa buku-buku musik, jadi mungkin saja berada di tas sekolahnya.
Namun, baru saja dia mengambil tasnya, dua detik kemudian gerakannya terhenti seketika. Tubuhnya seperti baru saja disiram oleh air es.
"Sebentar lagi ada yang berulang tahun. Aku ingin memberikannya kejutan."
Fang tahu, sangat tahu, bahwa tak satu pun di antara mereka berlima akan berulang tahun sebentar lagi.
Dia memaksakan sudut bibirnya naik, walau akhirnya terlihat aneh. Pemuda itu tersenyum miring. "Pacar?"
"Ish, bukan lah."—Fang melihatnya. Wajah yang sampai saat ini masih dia suka, kini memerah malu—bukan karena dirinya.
"Aku ingin menyanyikan lagu untuk seseorang yang kusukai."
Saat itu juga, kalau bisa, Fang ingin berlari dan tak bertemu muka dengan gadis Cina ini. Segalanya terasa sulit. Jadi ini rasanya dimintai bantuan oleh orang yang kausukai tapi ternyata untuk orang lain?
Menyedihkan, Fang mengumpat dalam hati.
Pemuda itu menyerahkan buku tutorial pada sang gadis tanpa menatapnya sedikit pun. Dia menunduk dan memainkan gitarnya asal.
Sial, ini menyakitkan.
X.x.X
Pemuda itu duduk di kedai Tok Aba dengan muram. Aura suram mengelilingi sejak dia datang ke sini. Ditanya Tok Aba dia tak menjawab, ditanya Ochobot pun tak menjawab. Padahal sekarang hari Sabtu—besok Minggu tentu saja—dan libur; SMA Pulau Rintis memang libur setiap hari Sabtunya.
"Kau ini, dari pagi terus menekuk muka. Apa pasal? Kau dapat nilai buruk macam cucu Atok?" tanya Tok Aba kesekian kalinya.
Dan untuk kesekian kalinya pula pemuda itu menggeleng. Dia membuka cup ice chocolate-nya—dan bukannya diminum, dia malah memain-mainkannya. Krim vanila yang menjadi topping minumannya itu dia colek sedikit dengan ujung sedotannya lalu dia jilat.
"Bukan lah. Nilaiku itu selalu di atas Boboiboy, Atok," sebenarnya dia tidak berniat menyombongkan diri sih, tapi memang kenyataannya seperti itu ya mau bagaimana lagi.
"Lalu kenape? Aku dan Atok tanya, kau diam saja. Sejak kau datang sejam yang lalu pun kau tak cakap apa-apa," timpal Ochobot sambil mengelap gelas yang baru dia cuci.
Fang menyandarkan kepalanya lemas di meja kedai. Tangan kirinya dia jadian bantal dan tangan kanannya sibuk memainkan embun di gelas plastik pesanannya—bukan embun, itu bahkan sudah menjadi air saking lamanya.
Dia sendiri tak tahu kenapa dia bisa seperti ini. Tadi pagi dia mendapat pesan singkat dari Ying. Gadis itu bilang ingin menunjukkan hasil latihannya sekarang. Fang mendesah lelah. Pemuda itu baru bangun tidur dan mood-nya langsung hancur seketika. Membayangkan Ying bermain gitar di hadapan orang itu benar-benar membuat dadanya bergemuruh kesal.
Maka dari itu dia di sini. Pemuda berkacamata itu pernah membaca, katanya kalau makan cokelat bisa menaikkan mood.
Lalu, apa mood-nya sekarang benar-benar parah karena dia tak merasakan efeknya sedikit pun? Dia bahkan sebelumnya sudah memesan chocolate pastry.
"Tok Aba ...," panggilnya lirih. Dia menegakkan tubuhnya dan menyeruput minumannya sedikit. "Tok Aba pasti pernah jatuh cinta, kan?"
Satu kakek tua dan satu robot bundar berwarna kuning menghentikan pekerjaan mereka saat itu juga. Mereka saling menatap heran. Tapi kemudian Tok Aba malah tertawa. Dia menghampiri Fang dan menepuk kepala pemuda itu pelan. "Aduh aduh, ternyata lagi jatuh cinta."
"Ish, Atok ni malah tertawa lah," Fang menekuk mukanya kesal. Dia menyeruput ice chocolate-nya sampai habis.
"Haha maaf. Memangnya kenapa? Atok jelaslah pernah jatuh cinta," sebuah kursi digeser dan Tok Aba duduk di hadapan pemuda galau itu.
Fang mengusap wajahnya lelah. Dia menumpu dagunya bosan. "Apa rasanya sakit hati itu ... benar-benar parah? Sembuhnya pakai apa? Aku pernah sakit hati sebelumnya, tapi entah kenapa hari ini mood-ku benar-benar hancur."
Tok Aba tersenyum lembut. Ternyata ini yang menyebabkan Fang diam dari tadi. "Lupakan saja perlahan. Jangan diingat-ingat terus. Coba cari kesibukan lain," sarannya bijak.
"Aku sudah coba semua cara, tapi kebanyakan gagal. Aku sedang main basket di lapangan klubku, dia berada di lapangan sebelah. Aku di kantin, dia tiba-tiba duduk bersamaku. Aku main gitar—" Fang menghentikkan ucapannya. Dia tanpa sadar mengungkit tentang masalah gitar itu.
Dia menghembuskan napasnya kasar. Pemuda itu melanjutkan ucapannya parau, "... dia malah minta diajarkan gitar olehku. Aku sejujurnya senang, tapi dia bermain gitar untuk orang yang dia sukai ..."
Ochobot menyajikan segelas coklat hangat spesial Tok Aba. Pemuda bersurai gelap itu memutar bola matanya. "Aku tak pesan ini."
"Minum saja. Daripada terus bersedih seperti itu," kata Tok Aba.
Dia mengambil coklat hangat itu dan menyapu pelan bibir cangkir tersebut dengan ibu jarinya. "Aku ingin menjauh darinya, tapi aku tidak bisa."
Belum sempat Tok Aba menjawab, sebuah suara perempuan menginterupsi kegiatan mereka. Mendengar ada gadis yang memanggil namanya, saat itu juga Fang refleks menegakkan tubuhnya. Bukan karena kaget, tapi karena dia tahu siapa orang yang memanggilnya.
"Fang! Tumben sekali kau di sini. Sekarang masih jam sepuluh lho," ujar gadis itu ceria dan meletakkan tas gitarnya di samping bangku tinggi yang dia duduki. Ying memamerkan senyum lebarnya—seperti biasa. "Ah aku mau es krimnya satu, Ochobot."
Fang melirik gadis itu sekilas. Ying kini terlihat lebih feminim. Bibirnya dipolesi lipgloss merah muda. Rambutnya digulung ke atas ala bunny style dan dia memakai dress berwarna biru-abu. Belum lagi dengan flat shoes berpita di kakinya. Oh, jangan lupakan dengan kacamata biru tanpa bingkai yang kini dipakai gadis itu. Uh, pemuda itu tak menampik kalau penampilan Ying kali ini begitu menakjubkan. Belum pernah dia melihat sang gadis seperti ini sebelumnya. Kedua sudut bibirnya hampir naik kalau saja dia tak ingat untuk apa Ying berdandan lain daripada biasanya seperti ini.
"Kenapa ke sini? Tidak langsung bertemu dengan orang itu?" Pemuda itu tak menoleh sedikit pun. Dia sibuk menyesap pelan coklat hangatnya.
"Eh? Siapa? Orang itu? Apa maksudmu?"
"Kau bilang ingin menunjukkan hasil latihanmu sekarang."
Ying terdiam sebentar sebelum akhirnya dia tertawa pelan. Dia baru mengerti apa yang Fang bicarakan. Tangannya mengambil es krim pesanannya dan memakannya sedikit.
Mendengar suara tertawa Ying, pemuda itu malah mengernyit heran. Memangnya apa yang lucu? Dia menghela napas berat. Kesal, tiga teguk coklat hangat itu kini telah meluncur mulus di kerongkongannya.
"Kenapa terta—"—Fang merasakan sesuatu yang dingin di bibirnya.
"Kata siapa aku akan menunjukkannya pada dia sekarang?"
Pemuda itu menatap es krim yang menempel di bibirnya dan wajah Ying bergantian.
"Aku ingin menunjukkannya padamu dulu. Dan kalau kau heran kenapa aku berdandan seperti ini ... aku hanya iseng-iseng mencoba."
Fang menahan senyumannya. Ternyata Ying tidak akan menunjukkan hasil latihannya kepada orang itu sekarang. Dan dandanan Ying yang feminim ini ternyata bukan untuk mantan seniornya itu. Tapi untuk dirinya sendiri.
"Apa aku terlihat cantik?"
Pemuda itu baru sadar. Ternyata ada cara yang lebih ampuh untuk menaikkan mood dibandingkan makan cokelat.
"Kau cantik," dia menjilat es krim Ying yang masih menempel di bibirnya, "sangat cantik."
X.x.X
Dia bukanlah seorang yang penakut, percayalah. Tapi siapa yang tidak kaget saat mendengar suara tangisan, di pagi-pagi buta seperti ini, yang berasal dari ruang musik? Fang memang pernah mendengar rumor yang tidak-tidak soal ruangan yang suka dia jadikan tempat menyendiri itu, tapi sampai saat ini dia tidak mengalami kejadian yang aneh-aneh.
Ya mungkin kali ini pengecualian.
Pemuda itu hanya berniat mengambil buku catatannya yang tertinggal di sana. Bukan untuk mendengar suara tangisan yang membuat bulu kuduknya merinding.
"Ah, sial," dia mengumpat sembari menatap pintu besi di hadapannya, "apa sekarang aku sedang termakan ucapan mereka?"
Dia mendesah pasrah. Memberanikan diri, Fang mengintip melalui kaca pintu yang sejajar dengan wajahnya itu. Pemuda ini menahan teriakannya saat menemukan seorang gadis berambut hitam duduk di depan piano menggunakan seragam sekolah.
"Tidak, tidak. Dia tidak mungkin hantu," Fang menggelengkan kepalanya.
Tarik. Hembuskan. Tarik. Hembuskan.
Oke.
Pintu ruang musik yang terbuka pelan itu menghentikan suara tangisan sang gadis bersurai hitam di sana. Sang gadis—yang ternyata bukan hantu—itu buru-buru menghapus air matanya dan merapikan riasannya. Dia membalikkan tubuhnya. "Ah, Fang rupanya. Kupikir siapa."
Di balik lensa berbingkai nila itu, kedua netra sang pemuda membulat. Bahkan dari radius lima meter saja dia sudah dapat mengetahui siapa perempuan yang sempat membuatnya takut tadi. "Ying?"
Gadis bernama Ying itu tertawa—namun jelas sekali terlihat dipaksakan. "Kau pikir aku hantu, ya?"
Pemuda itu tak merespon perkataan sang gadis. Dia melangkahkan kakinya mendekat sampai akhirnya kaki berbalut sepatu sekolah itu berdiri tepat di hadapan Ying. Fang berlutut, membuat tingginya sebanding dengan tinggi sang gadis. "Kau kenapa?" tanyanya lembut.
Ying menghela napas panjang kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa," jawabnya dengan suara parau.
"Ying ..." Kedua manik nila itu menatap gadis di hadapannya khawatir. Dia belum pernah melihat Ying menangis seperti ini sebelumnya; seumur-umur dia berteman dengan gadis itu. Karena itulah, tanpa sadar kedua tangannya terangkat dan menangkup wajah gadis itu. Ibu jarinya menyapu likuid bening yang kini kembali mengalir dengan halus.
Dua pasang mata itu bertemu dan saling berkomunikasi dengan tatapan. Fang menggertakkan giginya kesal. Dia tahu. Dia tahu siapa orang yang berani membuat Ying menangis seperti ini.
Dia menarik Ying ke dalam pelukannya.
Saat itulah tangisan gadis berdarah Cina itu pecah dan menjadi lebih keras dibanding sebelumnya.
"Hatiku hancur. Dia ternyata menyukai perempuan lain. Aku bahkan belum menunjukkan hasil permainan gitarku ..."
Fang mengelus lembut punggung gadis itu yang tampak bergetar.
"Aku menyukainya, sangat menyukainya. Itulah mengapa air mataku ini tak bisa berhenti mengalir ..."
Sialan. Fang ingin meninju apapun saat ini juga.
X.x.X
Buak!
Boboiboy terhuyung ke belakang. Yaya dan Gopal—yang kebetulan bersamanya—langsung menahan tubuh pemuda bertopi itu agar tidak jatuh.
"Apa yang kau lakukan hah?!" Gopal berseru marah. Dia menatap Fang tak percaya. Pemuda berkacamata itu tiba-tiba datang ke kelas mereka bertiga saat pulang sekolah dan langsung meninju sahabat terbaiknya itu begitu saja.
"Apa masalahmu?! Kenapa kau meninjunya, Fang?!" Bahkan Yaya yang biasanya terlihat kalem kini berteriak marah.
Boboiboy memegang pipinya yang baru saja mendapat ucapan selamat datang dari Fang. Dia mendengus kesal. "Apa salahku hah?!"
"Sparring denganku sekarang."
Pemuda dengan lima persona itu mengernyit heran. "Apa maksudmu?"
"Kubilang sparring denganku sekarang." Fang mengatur napasnya. Dia berusaha menahan emosinya yang meledak-ledak.
Pagi tadi dia bolos satu pelajaran bersama sang gadis Cina. Dia tak tega meninggalkan Ying atau membiarkan Ying bolos sepanjang hari. Jadi mau tak mau mereka berdua sepakat untuk mendatangi kelas pada jam pelajaran ketiga.
Fang tak tahan melihat wajah sedih gadis itu. Dia sedih, tapi di sisi lain dia juga marah. Sangat marah sehingga dia ingin membunuh orang yang telah menghancurkan hati Ying dengan tangannya sendiri. Tapi dia tak mungkin melakukan hal itu—dia tentu saja tak mau dipenjara.
"Kenapa kau tiba-tiba mengajakku sparring? Apa yang salah denganmu?" tanya Boboiboy masih belum paham.
"Apa kau tidak dengar?! Aku hanya ingin mengajakmu sparring! Itu saja!" Tanpa sadar nada suara pemuda berkacamata itu naik. Dia melepas jam kuasanya dan menaruhnya kasar di meja.
Pemuda yang diajak sparring oleh Fang itu masih bergeming. Dia jelas masih heran, namun Boboiboy tetap melepas jam kuasanya. "Di mana?"
"Lapang basket." Fang berjalan ke luar kelas mendahului mereka bertiga. Pikirannya sudah penat dan dia ingin segera melampiaskan amarahnya saat ini juga.
Boboiboy menatap punggung temannya itu khawatir. Dia belum pernah melihat Fang semarah ini, sekesal ini sebelumnya.
"Aku khawatir padanya," ujar pemuda yang lebih tua satu bulan itu dari Fang.
"Kenapa kau malah mengkhawatirkannya? Dia akan meninjumu nanti, Boboiboy!" seru Gopal tak percaya.
"Iya lah, aku juga khawatir padanya," Yaya ikut menimpali, "aku dan Gopal akan mengawasi kalian dari pinggir lapang. Sini, jam kuasamu dan jam kuasa Fang aku saja yang pegang."
"Halah kenapa aku juga—aww!" Sebuah jeweran keras di telinganya berhasil membuatnya berhenti protes. Mungkin Yaya memang ditakdirkan punya dua kepribadian, galak dan kalem. Buktinya dia terus menjewer Gopal sampai ke luar kelas.
Mereka bertiga saling pandang. Namun, hanya Boboiboy dan Yaya yang memancarkan rasa khawatir dari pandangan mereka. "Aku ini kadang mudah terpancing. Tolong hentikan kami jika nanti sudah kelewatan."
Yaya mengangguk pelan. "Iya."
Tak butuh waktu lama untuk menuruni tangga dan berjalan ke lapangan yang terletak di sebelah gedung sekolah mereka. Fang kini sudah terlihat di tengah lapangan basket sembari melipat tangannya di depan dada. Tasnya sendiri tergeletak begitu saja di pinggir lapangan.
Boboiboy menitipkan tasnya pada Yaya dan berjalan menghampiri pemuda itu. Dia berhenti ketika jarak satu meter memisahkan mereka berdua.
"Oke, ayo mulai."
Fang memasang kuda-kudanya. Orang di hadapannya pun sama.
Dan mereka memulai sparring yang didasari atas rasa kesal pemuda berkacamata itu. Yaya menatap mereka berdua khawatir. Fang terlihat sangat emosi di matanya dan serangannya membabi buta. Ada beberapa pukulan yang tak sempat Boboiboy elak dan akhirnya berhasil mengenai wajahnya. Tapi, justru karena serangannya membabi buta, Fang sendiri tak sempat menghindari beberapa pukulan yang diarahkan padanya.
Yaya sudah tak kuat lagi. Ini harus dihentikan.
"Gopal, tolong ambilkan kotak P3K dan kompres es di UKS cepat! Ini sudah kelewatan!" seru Yaya panik. Gopal yang mendengar itu pun refleks berlari menuju ruang UKS yang terletak di lantai satu.
Gadis berkerudung merah muda itu ingin sekali menghentikan sparring tidak berguna ini. Namun dia sendiri takut untuk melangkah maju—melihat mereka berdua yang sama-sama tampak emosi dan terus meninju tanpa henti. Dia juga tak bisa melakukannya sendiri, setidaknya butuh dua orang untuk menghentikan mereka berdua.
Yaya langsung menolehkan kepalanya saat mendengar suara langkah kaki cepat yang menghampirinya. "I-ini kotak P3K dan kompresnya," Gopal mengatur napasnya.
"Bantu aku memisahkan mereka!" perintah gadis itu lagi setelah mengambil kedua benda itu dan meletakkannya di bench.
Dengan takut-takut, Yaya menghampiri pemuda bertopi jingga itu dan menarik tubuhnya ke belakang. "Hentikan sekarang!"
Di sisi lain, Gopal menahan kedua lengan sang pemuda berkacamata itu. "Sudah, sudah, Fang."
Ketua OSIS SMA Pulau Rintis itu melepaskan genggamannya pada pundak sang pemuda. Dia menatap wajah pemuda itu khawatir. "Kalian kuobati sekarang juga. Jangan membantah."
Alhasil, kini Boboiboy dan Fang duduk di bench di pinggir lapangan dengan Yaya dan Gopal yang mengobati mereka berdua.
Boboiboy, yang kini wajahnya sedang dikompres oleh gadis terpintar se-SMA Pulau Rintis itu, melirik orang yang duduk di sampingnya. Dahinya mengernyit heran melihat Fang hanya tertunduk diam. Setidaknya meringis atau apalah, toh dia bisa tahu kalau Gopal tidak mengobati pemuda berkacamata itu dengan benar seperti Yaya.
Dia menepuk pelan pundak sang pemilik kuasa bayang itu. "Sebenarnya ada apa?" tanyanya halus, berusaha tak menyinggung perasaan sang pemuda.
Fang hanya menggeleng. Dia terus menunduk, menatap ujung sepatunya sendiri. Emosinya masih ada, namun entah kenapa tubuhnya lelah. Entah kenapa dia sangat lelah.
Sosok wajah gadis itu kini muncul di benaknya. Dia bahkan bisa membayangkan dengan jelas ketika Ying berlatih keras bermain gitar untuk hadiah ulang tahun orang itu. Fang sadar gadis yang satu etnis dengannya itu berlatih sedemikian rupa kerasnya—dia tahu alasan kenapa Ying membalut ujung jari-jarinya dengan plester. Dia bisa membayangkan perasaan bahagia gadis itu.
Tapi Fang juga bisa merasakan bagaimana hancurnya perasaan gadis itu. Bagaimana rasa sakitnya, bagaimana sedihnya ... dia bisa merasakan semuanya. Dia bisa ... karena dia sendiri pernah merasakannya. Lucu, dia ingin tertawa—karena yang menyebabkan dia merasakan semua itu adalah gadis yang tadi pagi menangis di pelukannya.
Tiba-tiba saja dadanya kembali bergemuruh. Pundaknya terasa berat, seolah-olah baru saja ditimpa oleh beban yang berat. Saat itu juga, tanpa sadar matanya memanas.
Sialan.
Tes.
Fang melempar kacamatanya. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya.
Sialan, sialan, sialan.
Tes. Tes.
Sebuah isakan kecil pun lolos dari bibir pemuda itu—menarik atensi bagi ketiga temannya yang berada di sana.
To Be Continued
*Zhang Li Yin – Back Then (originally sung by Hu Xia)
Salam kenal semua, ini fanfic kedua saya di FBBBI.
Awalnya mau angst, tapi saya sadar bahwa kemampuan menulis angst saya sedang menurun (akibat keseringan nulis misteri dan romcom) dan akhirnya saya memasukkan fic ini ke genre hurt/comfort.
Sebenarnya saya kangen buat angst lagi, tapi jadinya malah kayak gini.
Yang khawatir S3 bakal jadi season terakhir udah dong jangan sedih terus. Kan mau ada movienya, belum lagi ntar ada re-branding 104 episode. Seratus empat episode lho! Jauh lebih banyak dibanding jumlah S1 sampai S3.
Semangat semua! (walau sendirinya sedih episode 19 keluarnya Juli hiks)
