Sebuah langkah terburu mengiringi langkah kaki yang terbalut jeans biru dengan sepatu boot coklat yang melekat pada kaki jenjang tersebut, deru nafas yang memburu serta senyum tipis tergurat jelas di wajah pemuda tampan itu. Cuaca yang begitu dingin seolah tak menghalanginya sama sekali untuk berjalan diluar dengan hanya dibalut sweater putih yang tipis. Langkahnya yang kian cepat terdengar tak sabaran, ia dengan sedikit berlari menuju ke suatu tempat yang akan mengakhiri mimpi buruknya selama bertahun-tahun belakangan ini. Hari ini, ia tak akan salah menghitung hari—lagi. Dia pulang, dia—seseorang yang selalu dinantinya akhirnya kembali.
'Aku sangat merindukanmu—Dobe…'
Sasuke terus berlari kecil menuju ke taman dimana seseorang berjanji akan bertemu dengan dirinya disana. Ia tak sadar jika sejak tadi sepasang kaki mengikuti langkahnya ke taman itu, pikirinnya terlalu fokus menyambut seseorang yang sudah membuatnya seperti orang bodoh karena berlari dengan baju tipis di cuaca sedingin ini. Sasuke tak peduli, ia hanya harus cepat tiba disana, menyambut orang yang begitu ia cintai dan melampiaskan rasa rindunya.
Senyum tipis masih tersemat di bibir yang nampak mulai membiru karena cuaca dingin, tanganya ia tumpukan pada kedua lutut, nafasnya terengah, matanya sibuk mengitari taman, mencoba mencari sosok berambut pirang yang sudah lama dinantikannya, namun saat tak melihat satu manusiapun yang ada di taman tersebut, senyuman itupun menghilang.
'Bodoh' rutuknya pada diri sendiri, ia tersenyum masam melihat betapa bodoh dirinya. Mana ada orang yang akan keluar di cuaca sedingin ini, besok adalah Natal, tentunya setiap orang sibuk mempersiapkan diri untuk membeli kado, bahan makanan dan menghias pohon Natal bersama serta menghabiskan malam Natal dengan orang yang disayangi, namun nampaknya Sasuke harus menelan kembali pahitnya malam Natal tahun ini. Dia akan sibuk memasak, menghias pohon Natal dan menyantap makanan di apartemennya—sendiri.
"Sudah lima tahun, huh?" Seseorang berdiri di belakang Sasuke, menyampirkan jaket tebal dibahunya. Ia tak mau pemuda raven tersebut terserang sakit dimalam Natal yang seharusnya dihabiskan dengan canda tawa bersama orang-orang yang disayangi. Menyebut orang yang disayangi, ia menjadi tertohok sendiri akan pemikirannya tersebut. Ia lupa jika orang yang disayangi pemuda yang berdiri dihadapannya kini tidak berada disini.
"Cuaca dingin, aku akan mengantarmu pulang." Sebuah tangan yang begitu hangat menarik pergelangan tangannya dengan sangat lembut, menyuruhnya untuk berbalik dan mengikuti langkah kaki si pemuda yang sejak tadi masih berdiri dibelakangnya.
Sasuke bergeming, ia tak menolak tangan Juugo yang menggenggamnya, tapi juga tak mencoba menuruti ucapan lelaki tersebut. Juugo mengerti, pemuda raven itu pasti kembali kecewa, menelan setiap kesakitan yang sudah ia tahan selama lima tahun ini.
"Dia tidak akan datang Sasuke, tidak pernah datang. Mungkin dia sudah lupa atas janjinya padamu, mungkin dia telah menemukan orang lain yang ia cin—" ucapan Juugo terputus begitu saja begitu melihat Sasuke berbalik menghadapnya. Kedua onyx itu seakan memaku tubuhnya hingga sulit bergerak, suaranya tercekat dan paru-parunya terasa sesak begitu melihat onyx sekelam malam itu mengeluarkan kristal bening tak bewarna.
Dia menangis, selama bertahun-tahun dia mengikuti langkah kaki pemuda berkulit porselen itu baru kali ini dia melihat air matanya. Wajah itu tetap datar, bibir tipis yang membiru itupun tertutup, hanya matanyalah yang jujur. Hanya kedua obsidiannya yang tidak bisa membohongi betapa rapuhnya sosok yang ada dihadapannya kini.
Juugo tak tahu harus mengucapkan kata apa untuk menghentikan air mata itu keluar. Hanya satu tetes namun mampu meruntuhkan dinding kasat mata yang sudah dibangun oleh si raven terhadapnya. Mungkinkah—Juugo tidak mau melanjutnya pemikirannya, tangannya terulur menghapus air mata tersebut dan tanpa sadar kedua tangannya tergerak untuk memeluk tubuh ringkih itu. Tak ada penolakan ataupun balasan, hal itu membuat Juugo semakin takut dan tanpa sengaja ia semakin mempererat pelukannya.
Hal yang paling menakutkan adalah saat melihat orang yang kau sayangi menangis tanpa suara dan kau tak tahu harus melakukan apa untuk menenangkannya.
Pair : NaruSasu
Declaimer by Masashi Kishimoto
Warning : BL, OOC, Typo(es), Alur cepat, Cerita sedikit membosankan :P
Story©EthanXel
—Hypocrite—
.
Sasuke termenung duduk di bangku taman seraya memperhatikan anak-anak kecil yang sibuk bermain ayunan disana. Entah sudah keberapa ratus hari dia selalu berdiam diri di taman ini. Ia tak mampu menghitungnya, lebih tepatnya tak mau. Karena begitu mengetahuinya sudah berapa lama dia menunggu, rasa sakit itu seakan kembali dan semakin membuatnya takut. Dia selalu ke taman inipun hanya bermodal janji. Dia percaya, lelaki tersebut akan menepati janjinya. Meski selama ini perasaan takut akan ditinggalkan seakan menghantui hidupnya, namun sekali lagi dia hanya bisa bersabar. Menunggu dan terus menunggu, hanya itu yang bisa dia lakukan hingga lelaki itu datang, meski tak bisa dipungkiri jika nanti ia akan mendapatkan jawaban yang menyakitkan.
Bibir tipis itu sedikit terangkat saat melihat seorang anak terjatuh dan dihampiri oleh lelaki dewasa—berambut blonde berkulit tan, anak itu begitu kecil saat digendong oleh lelaki berbadan tegap bak seorang model tersebut. Bibir Sasuke semakin tertarik keatas saat lelaki itu mencoba melesakan rambut jabriknya ke dagu si anak hingga membuatnya kegelian dan tertawa lepas. Entah kenapa dia merasa senang melihatnya. Lelaki yang sejak tadi memunggunginya itupun berbalik saat seorang wanita memanggilnya, ia meletakan anak kecil tadi dan menghampiri seseorang yang sedang menggendong seorang bayi. Dia bukan ayah anak tersebut rupanya—pikirnya, namun saat lelaki berkulit tan itu semakin mendekat, Sasuke semakin jelas melihat parasnya hingga membuat jantungnya seakan berhenti berdetak detik itu juga.
DEG—
"Naru-to…" Tanpa sadar dia menggumamkan nama seseorang yang begitu dirindukannya, refleks iapun berdiri, kedua kakinya hendak berlari menghampiri pemuda tan tersebut dan memeluknya erat, melampiaskan rasa rindunya yang hampir membuatnya gila. Namun semua itu hanya angan-angannya saja, karena pemuda tan itu justru memeluk wanita bersurai pink dan mengecup bayi yang ada dalam gendongannya.
Sasuke seperti merasakan tubuhnya seperti jelly, kedua kakinya seakan tak bisa menahan bobot tubuhnya hingga membuatnya hampir terjatuh. Sorot mata bahagia itupun seakan sirna dan tergantikan oleh tatapan sendu yang menyakitkan. Ia ingin mengingkari jika apa yang dilihatnya tadi salah, mungkin itu hanya ilusi, lelaki itu bukanlah Narutonya, lelaki itu bukan—
"Kemana saja kau Naruto? Natsu sejak tadi merengek meminta balon diujung jalan sana dan kau malah menghilang." Suara wanita tersebutpun hampir membuat jantungnya berhenti berdetak untuk kesekian kali. Dia tak salah dengar bukan? Wanita tersebut memanggilnya Naru…to.
"Gomen ne, Sakura-chan.." dan suara baritone laki-laki berambut blonde tersebut seakan mempertegas semuanya. Suara itu, ia tak akan salah mengenalinya meski sudah lama dia tak mendengarnya lagi. Entah kapan terakhir kali dia mendengar suara baritone tersebut, tiba-tiba saja memory nya memutar kembali sebuah scene dimana dia terakhir kali melihat pemuda blonde itu.
"Maaf, tapi aku harus pergi. Aku janji setelah aku lulus nanti aku akan melamarmu, Tou-san sedang sakit dan aku harus mengurus cabang perusahaan yang ada disana sekaligus melanjutkan pendidikan. Mungkin akan lama tapi aku janji akan segera kembali. Kumohon tunggulah aku ya, Suke."
Sasuke menunduk, ia tak mampu menahan Naruto untuk tetap tinggal. Ia tak boleh egois meski Ia enggan melepaskan Naruto belajar di Negeri orang asing dan membiarkan dirinya sendirian disini. Hanya Naruto yang dia punya saat ini, melepas kepergian Naruto sama saja seperti kembali ke kehidupan lamanya yang sunyi.
"Hei—" Naruto mengangkat dagu Sasuke, ketika onyx nya bersinggungan dengan sapphire miliknya, Naruto tersenyum lembut dan mendekatkan bibirnya. Memberikan ciuman perpisahan sebelum kepergiannya. "Aku janji hanya tiga tahun. Setelah lulus aku akan kembali dan melamarmu. Kau bisa pegang kata-kataku." Naruto tersenyum lembut dan dibalas senyum tipis oleh Sasuke. Sasuke tak menjawab, hanya sebuah anggukan singkat namun sudah berhasil membuat Naruto tenang selama menempu pendidikan disana.
Merasa diperhatikan, pemilik rambut blonde tersebutpun menoleh, kedua sapphire nya terkejut menjumpai seseorang yang begitu ia rindukan selama ini, hampir saja kakinya tanpa sadar melangkah mendekati sosok itu yang kini hanya berdiri beberapa meter darinya, namun ia urungkan begitu matanya menangkap raut wajah sosok tersebut. Naruto pernah menjumpai tatapan itu, tatapan saat dunia merengut dua orang yang begitu disayangi sosok itu, membiarkan sosok itu bertahan seorang diri sebelum ia datang dan membawa sedikit warna bagi lelaki itu.
Namun lebih dari itu semua, apa yang tengah dia lakukan kini. Sorot mata yang selalu ia hindari kini seakan telah kembali. Padahal dia dulu sudah berjanji pada dirinya sendiri jika ia tak akan membuat sosok itu terluka, tapi dia justru termakan ucapannya sendiri. Sorot mata penuh luka tersebut sudah cukup membuat Naruto tahu jika kini dirinya bertransformasi menjadi lelaki brengsek yang mengingkari janjinya.
Sakura—wanita bersurai pink tersebut mengikuti arah pandangan suaminya. Melihat seseorang yang duduk mematung disana membuat Sakura berasumsi jika dirinya tengah bertemu dengan salah satu teman suaminya, mengingat sekarang dia tengah berada di Jepang—Negara asal suaminya tinggal. Sakurapun melangkahkan kakinya mendekati sosok yang sejak tadi menjadi objek sang suami—berniat untuk menyapanya.
"Hai, apa kau teman Naruto? Perkenalkan, aku Sakura Haruno istrinya." Sasuke tak sadar sejak kapan wanita tersebut berada hanya beberapa langkah dari bangku yang di dudukinya begitu pula lelaki tan tersebut. Pikirannya terlalu fokus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi hingga membuatnya tenggelam pada dunianya sendiri.
Waktu seakan terhenti untuk sekian detik, namun Sasuke sadar jika waktu terus berjalan saat melihat daun-daun pohon Sakura terbang terbawa hembusan angin yang cukup kencang. Sasuke bahkan baru sadar jika kini adalah musim gugur dan seseorang yang dinanti-nantinya kini sudah berdiri dihadapannya. Seharusnya dia senang, tapi fakta mengejutkan yang baru saja ia dengar seakan merengut paksa penantian panjangnya demi meraih kebahagiaan.
Sasuke masih terdiam, tak berniat membalas sapaan wanita bersurai seperti pohon Sakura tersebut, angin semakin kencang berhembus membuat dedauan yang jatuh ikut terbawa sapuannya, mengotori rambut serta bangku yang di dudukinya. Jika bisa, Sasuke ingin ikut terbawa hembusan angin itu, ia tak peduli akan berakhir dimana. Hidupnya sama saja seperti daun yang gugur tersebut, terbawa angin yang menerbangkannya tanpa tujuan akhir.
"Sasuke…" Suara itu memanggil namanya dengan sangat lirih namun sanggup membuat jantungnya berdesir saat mendengarnya, bolehkah dia berharap jika apa yang dilihatnya kini hanya lelucon belaka? Sebuah kejutan yang sudah direncanakan sebagai perayaan atas kembalinya dia atau surprice party untuk melamarnya.
Sakura terdiam begitu mendengar nama tersebut terlontar dari bibir suaminya. Sasuke. Dia hafal betul nama itu, nama yang selalu dipanggil sang suami setiap malam dikala tidur, nama yang bahkan sudah terukir di dada suaminya. Sakura pernah bertanya tentang tato Naruto saat tak sengaja melihatnya, namun lelaki itu tak menjawab. Kini Sakura tahu siapa sang pemilik nama tersebut dan sekaligus arti nama itu bagi suaminya.
'Apa kau akan kembali padanya, Naru?'
.
—Hypocrite—
.
Sasuke menatap pemandangan dihadapannya dengan wajah datar, namun jauh di dalam sana hatinya terluka begitu dalam. Sosok wanita yang memperkenalkan namanya sebagai Sakura Haruno sekaligus ist—Sasuke bahkan tak sanggup mengucapkan kata tersebut dalam hatinya—tengah mempersiapkan makan malam di dalam apartemennya—ralat, sekarang apartemen ini bukanlah miliknya. Bodoh! Bahkan sejak dulu ini bukan apartemen miliknya. Ini adalah sebuah bangunan dimana ia menghabiskan waktu bersama kekasihnya.
"Makan malam sudah siap, Ayo Sasuke-kun kita makan bersama." Ajaknya penuh semangat. Langkah kaki Sasuke terasa begitu berat menghampiri meja makan. Dengan canggung dia duduk dihadapan Sakura sementara Naruto duduk di ujung meja—yang biasanya diduduki kepala keluarga.
"Silahkan nikmati makanannya, aku sudah menidurkan Natsu sehingga kita bebas mengobrol panjang lebar. Iya kan, Naru?"
Naruto tak menyahuti ucapan istrinya, dia hanya sibuk memperhatikan Sasuke yang kini tengah memandang makanannya tak nafsu.
Sasuke sendiripun tak berniat mengeluarkan suaranya. Sejak kepulangannya dari taman tadi ia terus bungkam. Dalam otaknya dia ingin mengucapkan umpatan, sumpah serapah dan makian pada si pemuda blonde disampingnya, namun ia tak bisa. Lebih tepatnya ia tak sanggup untuk melakukannya.
Sakura memang wanita yang baik menurut Sasuke. Dia cantik, pintar memasak, ramah serta ceria. Berbeda sekali dengan dirinya yang pendiam, dingin dan kaku. Mungkin hal itulah yang membuat Naruto terpikat padanya, melupakan dirinya dan mengingkari janji yang pernah dia buat. Sasuke seperti memakan kata-katanya sendiri. Dia selalu menyangkal ucapan temannya, tapi tenyata Juugo benar, Naruto, dia bahkan mengkhianatinya.
"Aku cukup sering mendengar kau, Sasuke-kun. Naruto menceritakan banyak hal tentangmu. Aku senang bisa bertemu langsung denganmu. Jujur, hampir sebulan tinggal disini semua nampak asing, Naruto tak pernah memperkenalkan temannya kepadaku dan aku berun—" Ucapan Sakura terputus saat mendengar tangis anak kecil yang cukup keras."—maaf aku harus menenangkan Natsu dulu, silahkan lanjutkan makannya." Ucapnya ramah sebelum meninggalkan dua pemuda yang masih setia dengan keheningannya.
Sasuke tersenyum getir mendengar ucapan Sakura. Sudah sebulan Naruto kembali dan dia bahkan tak mengabarinya sama sekali? Sementara dirinya menunggu di taman seperti orang bodoh hampir setiap hari.
Tak tahan dengan keheningan yang ada, Sasuke berinisiatif untuk membuka suara, lagi pula ada yang perlu ditanyakan olehnya. Berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya seakan ingin meledak, ia tak bisa hanya diam dan sibuk dengan pikiran sendiri tanpa ada jawaban yang pasti. Setidaknya ia harus tahu kenapa Naruto mengingkari janjinya.
"Sudah berapa lama?" Naruto mendongak dan melihat ke dalam obsidian milik Sasuke. Ia tahu apa maksud pemuda raven tersebut. Tinggal bersama dirinya bertahun-tahun seakan membuatnya hafal setiap kata serta ekspresi pemuda itu.
"Satu tahun." Jawabnya lirih. Ia tak tahu harus menjelaskan dari mana. Semua terasa begitu tiba-tiba. Ia takut Sasuke tak akan menerimanya dan berbalik membencinya.
"Apakah ini berarti kita sudah berakhir?" Naruto mengepalkan tanganya begitu kuat. Kata terakhir yang terlontar dari bibir Sasuke membuat tubuhnya seperti terbakar. Ia ingin marah, emosi ingin menguasinya. Ia sangat membenci kata itu, sejak dulu kata itu yang selalu ditakutinya terucap dari bibir Sasuke, kata yang menghantui setiap malam dalam tidurnya dan meneror hidupnya.
Tak mendapat jawaban dari pemuda disebelahnya, Sasuke memutuskan untuk beranjak dari kursi, meninggalkan makanan yang belum sesendokpun tersentuh bibirnya. "Aku akan mengemasi barangku." Kalimat tersebutpun membuat tubuh Naruto bangkit tanpa terkontrol. Ia memeluk Sasuke erat dari belakang, menenggelamkan kepalanya di pundak ringkih si raven.
"Ku mohon tetaplah tinggal. Aku—aku tak sanggup menjalani ini sendirian." Suara baritone itu bergetar. Hal itu semakin membuat hati Sasuke bertambah gamang. Apa itu berarti Naruto masih mencintainya? Tapi seperti yang orang bilang. Setiap orang hanya mempunyai satu hati, tak memungkinkan untuk berbagi. Untuk itu Sasuke akan menyerah jika memang Naruto tak bahagia bersamanya. Ia akan membiarkan Naruto memilih, melupakan penantiannya yang tak berarti dan mencoba hidup sendiri—untuk sekali lagi.
"Maaf tapi aku tak bisa." Ucap Sasuke tegas seraya mencoba menahan air matanya. Ia hanya tak ingin terlihat lemah. Ia seorang lelaki, menangis dihadapan lelaki sama saja menunjukan kelemahannya sendiri, terlebih itu adalah orang yang sangat ia cintai.
"Aku mohon. Ak-aku tak bisa hidup tanpamu." Sasuke tertawa mengejek dalam hati. Ia mengasihani dirinya sendiri yang mulai luluh pada ucapan yang dilontarkan pemuda berkulit tan tersebut.
'Kau bahkan sudah bisa hidup lebih dari lima tahun tanpaku.' Batinnya miris. Hatinya ingin mempercayai ucapan Naruto namun pikirannya seakan menolaknya mentah-mentah. Kenyataan seolah menohoknya begitu dalam, sebuah bukti yang tak terelakan jika Naruto melupakannya, mengingkari janjinya, menikahi orang lain dan bahkan mendapatkan seorang anak dari hasil pernikahannya. Bukankah itu adalah bukti yang cukup kuat untuk membuatnya menyerah?
"Kumohon tetaplah disisiku. Ak-aku ingin kita seperti dulu lagi." Pelukan Naruto semakin erat hingga membuat Sasuke kesulitan bernafas. Namun mungkin bukan pelukan Naruto yang membuatnya sesak. Kata-kata pemuda blonde itulah yang membuatnya sulit untuk mendapatkan udara bebas. Bukankah dia begitu egois? Dia ingin dirinya tinggal sementara dia sudah dimiliki oleh orang lain.
"Kau tahu aku tak bisa melakukan itu, Naruto!" Sasuke berbalik setelah menghempaskan kedua tangan Naruto yang sejak tadi memeluknya. "Kau adalah orang yang paling egois yang pernah ku kenal." Lanjutnya dengan penuh penekanan.
"Kau salah paham Sasuke, aku tidak berniat menduakanmu atau mengingkari janjiku, ak-aku hanya—"
"Hanya apa? Hanya menikahi seorang wanita dan mendapatkan anak darinya? Itu alasan murahan, Uzumaki-san." Potong Sasuke dengan suara sedikit keras. Ia tak pernah bertindak out of character seperti ini, namun dia sudah tak bisa menahan emosinya lagi. Ia hanya terlalu kecewa dengan semua kenyataan yang telah terjadi.
"Kau salah paham Suke, aku hanya—"
"Kalau begitu jelaskan! Beritahu aku jika anak kecil itu bukanlah anakmu dan kau melakukan ini hanya karena terpaksa. Mungkin jika kau mengatakan itu aku bisa mempertimbangkan untuk tetap berada disisimu." Sasuke hanya tak mau berbagi, jika memang Naruto masih mencintainya, maka dia harus memilih.
Naruto melangkah mendekati Sasuke, tangannya terangkat untuk menyentuh pipi porselen itu sebelum pandangannya menangkap bayangan seseorang yang kini bersembunyi dibalik dinding untuk mendengarkan ucapannya.
Melihat reaksi Naruto yang justru terdiam mau tak mau membuat emosi Sasuke kembali naik. Sikap Naruto yang bungkam seolah menunjukan jawaban yang begitu pasti akan pertanyaannya.
"Baiklah, aku sudah tahu jawabanmu." Dengan begitu Sasuke pergi menuju ke kamarnya dengan tergesa, berniat mengemasi barang-barangnya dan menyerahkan apartemen ini kepada pemilik yang seharusnya.
"Sasuke tunggu!" teriak Naruto mengejar Sasuke ke kamarnya. Ia tak mungkin membiarkan Sasuke keluar dari apartemen ini. Ini adalah apartemen mereka berdua, apartemen yang sengaja ia beli untuk Sasuke nya, lagi pula ini sudah malam. Naruto tahu Sasuke sudah tak punya siapa-siapa selain dirinya, membiarkan Sasuke keluar sama saja dia menelantarkan Sasukenya di jalanan.
"Ugh—" Sasuke mengerang saat hendak mencapai pintu kamarnya, tiba-tiba saja pusing menyerangnya. Kepalanya begitu berat seakan tertimpa beribu-ribu ton batu. Tangannya berusaha memegang kusen pintu untuk dijadikan sandaran tubuhnya. Sasuke mengumpat dalam hati saat mengetahui jika penyakitnya kambuh disaat yang tidak tepat seperti ini.
"Sasuke, kau tak apa?" Naruto yang mengejarnya segera menahan tubuh Sasuke yang limbung. Raut khawatir begitu kentara di wajahnya, dengan cepat Naruto menggendong tubuh tersebut untuk dibaringkan di kasurnya. Sasuke tak bisa menolak saat dengan tiba-tiba Naruto mengangkat tubuhnya, bahkan untuk bersuarapun Sasuke tak mampu, kegelapan seolah menelannya hidup-hidup hingga ia tak tahu lagi apa yang terjadi sebelum Naruto memanggil namanya dengan begitu panik.
Sudah hampir dua jam Naruto duduk disamping ranjang Sasuke, mengabaikan Sakura yang merengek memintanya untuk menemaninya tidur. Bagaimana bisa dia tidur dengan nyeyak saat sang pemilik hati tiba-tiba tumbang seperti ini. Bahkan Naruto sempat panik hingga membentak istrinya saat melihat darah keluar dari hidung mancung Sasuke, beruntung dokter yang dipanggilnya tadi bilang jika Sasuke tidak apa-apa dan hanya kelelahan, sementara untuk hasil lebih jelasnya dokter tesebut akan mengabari Naruto beberapa hari lagi setelah mendapat kepastian. Namun itu tak lantas membuat perasaan khawatirnya menghilang, Naruto belum bisa tenang sebelum melihat kedua onyx tersebut terbuka, dia belum bisa lega jika Sasuke belum bangun dari pingsannya.
Disisi lain, Sakura hanya bisa menangis memeluk bayinya di ranjang. Ia tak menyangka baru sehari bertemu dengan Sasuke, si raven itu sudah berhasil membuat luka yang selama ini terkubur kembali terbuka. Tidak, Sakura tak bisa melepaskan Naruto sampai kapanpun juga, Sakura yakin Naruto tak mungkin meninggalkannya. Ya, Naruto mencintainya. Sasuke hanya masa lalu suaminya, sekarang dia dan anaknyalah masa depan Naruto.
.
—Hypocrite—
.
Sudah seminggu sejak Sasuke memutuskan untuk keluar dari apartemen ini, namun kenyataan tak bertindak sesuai kehendaknya. Dia masih disini, tinggal di apartemen sederhana ini dengan memerankan lakon sebagai pihak ketiga. Bagaimana tidak? Jika hampir setiap hari dirinya dihadapkan pada adegan romantis sepasang suami istri dengan seorang bayi—yang sedang lucu-lucunya memasuki usia delapan bulan.
Sasuke membayangkan begitu lengkap dan sempurna keluarga itu, seharusnya dia tidak disini, namun ia tak bisa menolak setiap ia ingin pergi, Naruto justru mehanannya dengan dalih jika dia belum pulih. Sasuke bukan orang bodoh, penyakitnya ini mungkin tak bisa pulih terlebih lagi hatinya, setiap hari bagaikan menoreh luka di tempat yang sama, yang bisa ia lakukan hanyalah berpura-pura buta, tak melihat keromantisan mereka meski setiap hari nampak di depan mata.
Sasuke memandangi Naruto yang kini tengah menggoda anaknya dengan menggelitik perutnya, Sakura yang berada disisinya sedang berusaha menyendokan bubur ke dalam mulut anaknya, sesekali suara tawa keras bayi tersebut meriuhkan suasana. Sasuke yang melihat mereka di meja makan ini nampak hanya bisa terdiam, keluarga itu begitu sempurna. Seharusnya Sasuke tak merusaknya, dengan kehadirannya disini sama saja dia mengganggu kebahagian mereka.
Sasuke sebenarnya tak habis pikir dengan apa yang ada di kepala Naruto saat ini, daripada menuruti istrinya untuk kembali ke rumah, dia justru memilih untuk tinggal di apartemen sederhana ini—bersamanya, sejenak Sasuke berpikir jika ia terlihat begitu egois jika membayangkan mungkin Naruto masih mencintainya, atau mungkin hanya kasihan padanya, mengingat dia sudah tak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini.
Bel apartemen yang berbunyi mengusik setiap kegiatan para penghuni yang ada di apartemen itu. Sasuke hendak beranjak untuk melihat siapa tamu yang datang, namun Naruto sudah lebih dulu berdiri setelah menyerahkan Natsu ke pangkuan Sakura dan berniat untuk membukakan pintu untuk tamu yang begitu lancang karena datang begitu pagi.
"Biar aku saja yang membuka pintunya, kau lanjutkan saja sarapanmu Suke." Naruto memang masih sama, penuh perhatian dan lembut terhadap dirinya, meski begitu ia juga tak tahan saat melihat ekspresi terluka Sakura saat melihat perhatian Naruto kepadanya.
"Siapa kau?" tanya Naruto tak suka begitu melihat seorang pria rambut pirang dan bertubuh tinggi melebihi dirinya sedang membawa sekeranjang tomat segar. Melihat tomat itu, Naruto bisa menebak mencari siapa tamu itu kemari.
Sementara disisi lain, Juugo nampak begitu terkejut melihat pria yang berdiri dihadapannya, meski dia tak pernah bertemu secara langsung, namun dia yakin jika orang yang ada dihadapannya kini adalah orang itu—sosok yang selalu dinantikan Sasuke.
"Selamat pagi, saya kemari untuk bertemu dengan Sasuke, kami sudah berjanji akan ber—"
"Maaf, disini tidak ada yang bernama Sasuke Uchiha." Potongnya cepat tanpa tahu akan ucapan bodohnya yang justru semakin membuat yakin Juugo jika sosok ini adalah orang 'itu'.
"Juugo! Kau sudah datang rupanya, sebaiknya kita segera pergi, aku takut terlambat." Ucap sebuah suara yang tiba-tiba saja berasal dari belakang Naruto.
"Mau kemana kau?" tanya Naruto tak suka saat Sasuke menyerobot keluar dari pintu apartemen yang sudah susah-susah ia halangi.
"Aku rasa itu bukan urusanmu." Jawab Sasuke tak acuh tanpa melihat Naruto.
Grab—
Sebuah tarikan kuat di lengannya membuat langkah Sasuke terhenti, Juugo memandang tak suka sikap kasar pria blonde itu pada Sasuke. "Hal itu menjadi urusanku jika berhubungan denganmu." Ucap Naruto penuh penekanan seraya menatap tajam pria yang digandeng Sasuke.
Sasuke menghentakan tangannya kasar hingga membuat cengkeraman Naruto terlepas. "Seharusnya yang kau urusi itu anak dan istrimu, bukan orang lain sepertiku." Sasuke segera menarik kasar Juugo yang sejak tadi terdiam melihat pertengkarannya dengan Naruto. Meninggalkan Naruto dengan rahang mengeras serta tanggal terkepal akan kepergiannya.
Sampai di parkiran, Sasuke segera melepaskan tangannya, dia segera masuk ke mobil Juugo tanpa permisi pada pemiliknya, Juugo pun mengikutinya masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil nampak keduanya diselimuti keheningan, tak ada yang mau bersuara hingga lelaki yang lebih tinggi memulainya.
"Apa maksudmu kita akan terlambat Sasuke? Ku kira kita hanya check up ke rumah sakit?" ucapnya sedikit bingung, karena pada dasarnya Juugo berniat menjemput Sasuke untuk pergi ke rumah sakit bersama. Juugo adalah dokter yang menangani penyakitnya, jadi kapanpun dan dimanapun Juugo akan selalu siap untuk memeriksanya tanpa takut akan terlambat atau kehabisan nomor antrian. Baginya Sasuke lebih penting dari semua pasiennya.
"Bisakah kita ke taman sebentar." Juugo mengangap itu bukan sebuah pertanyaan melainkan perintah. Bahkan si empunya sama sekali tak menatapnya sejak tadi, dalam diam Juugo mulai menyalakan mobilnya dan mengendarainya menuju ke taman seperti yang diinginkan oleh pemuda yang ada disampingnya.
Sementara di dalam apartemen, Naruto yang ditinggalkan Sasuke tiba-tiba saja mengamuk tanpa kendali. Seperginya Sasuke bersama pria bernama Juugo tadi, Naruto langsung saja membanting pintu dan keluar dari apartemennya tanpa berpamitan, bahkan Naruto tak peduli akan Natsu yang terkejut hingga menangis karena aksinya. Sakura hanya bisa menatap penuh amarah atas situasi yang dilihatnya pagi ini. Kenapa Naruto begitu marah saat Sasuke pergi dengan lelaki lain, apa itu berarti Naruto masih mencintainya? Lalu dia selama ini hanya dianggap apa?
Sakura tahu jika Naruto terpaksa menikahinya karena kasihan akan kehamilannya diluar nikah. Ia memang sempat depresi dan berniat bunuh diri bersama sang janin pada saat itu, namun Naruto menahannya, Naruto menghalangi aksi bodohnya dan berjanji untuk membantu masalahnya. Meski membantu disini berarti menikahinya. Sakura juga tahu jika Naruto tidak mencintainya sama sekali pada waktu itu. Namun dia yakin, seiring berjalannya waktu, Naruto pasti bisa membuka hati untuk dirinya, terlebih lagi Naruto begitu menyayangi Natsu layaknya anaknya sendiri. Tapi kehadiran Sasuke semakin membuatnya ragu, ia takut jika Naruto masih mencintai Sasuke dan berniat untuk memilihnya.
'Tidak, aku tidak boleh membiarkan itu terjadi.' Tanpa sadar Sakura menggelengkan kepalanya, menampik kemungkinan kejadian yang mungkin akan merengut kebahagian yang sudah ia coba pertahankan sampai saat ini.
Sibuk dengan pikirannya sendiri membuat Sakura lupa akan tangisan bayinya, dengan cepat dia mencoba menenangkan Natsu, mengambil dot yang ada di meja makan sebelum matanya menangkap sesuatu yang terjatuh dibawah kursi yang tadi diduduki Sasuke.
Sakura memungut kertas tersebut yang rupanya adalah sebuah amplop dari sebuah rumah sakit di Konoha, dengan sedikit kesulihan karena ada Natsu dalam gendongannya, Sakura membuka amplop tersebut dan membaca isinya.
Kedua jade miliknya melebar saat mengetahui isi surat tersebut. Entah ini sebuah petunjuk dari Kami-sama atau bukan, namun isi surat itu sedikit membuat Sakura tenang. Sakura tersenyum penuh kemenangan, ia tak menyangka Sasuke menyembunyikan sesuatu dari Naruto. Kanker darah stadium 3. Sakura sangat berterima kasih pada Kami-sama yang membimbingnya untuk mengetahui kenyataan tentang penyakit Sasuke. Mungkin ini adalah sebuah jalan yang ditunjukan oleh Kami-sama jika memang Naruto ditakdirkan untuk bersamanya dan bukan pada pemuda raven itu.
.
—Hypocrite—
.
Waktu sudah hampir menunjukan pukul delapan malam, dan Sasuke masih keukeuh untuk tak pulang. Dia bahkan bolos pekerja, membuat Naruto yang kini menjadi atasannya uring-uringan seharian karena tak menjumpai Sasuke di kantornya. Dan disinilah Sasuke, bersama Juugo yang selalu setia menemaninya. Ia tak pernah meminta Juugo untuk menemaninya, namun dokternya tersebut menelfon dan bersikeras ingin menyusulnya.
"Kau tidak bekerja?" Juugo mencoba memulai pembicaraan setelah hampir lima belas menit mereka terdiam.
Sasuke masih terdiam, dan Juugo tak berniat untuk mengulangi pertanyaannya, ia tahu Sasuke mendengar ucapannya. Ia hanya ingin mencairkan suasana, dan menunggu Sasuke bersuara untuk menyakinkan kehadirannya disini.
"Apa yang kau lakukan jika Suigetsu menikah dengan wanita dan memiliki anak bersamanya?" Itu adalah sebuah kalimat pertama yang keluar dari bibir si raven, sebenarnya Juugo tak mengerti kenapa tiba-tiba Sasuke menyinggung nama kekasihnya. Sekian lama mengenal Sasuke membuatnya mengerti jika sebenarnya bukan itu maksud dari pertanyaan pemuda bermata onyx tersebut, meskipun belum tahu pasti maksud Sasuke, Juugo berusaha menjawab sebisanya. "Tentu aku akan melepaskannya,"
'Lagi pula aku tak pernah mencintainya.' Lanjunya dalam hati. Suigetsu memang kekasihnya, namun Juugo tak pernah menganggap jika Suigetsu adalah pasangannya. Orang yang dicintainya hanyalah Sasuke. Juugo sudah berkali-kali memutuskannya, namun ia tak pernah mau, maka jangan salahkan Juugo jika memprioritaskan Sasuke dari pada dirinya.
"Bagaimana jika dia masih mencintaimu." Entah kenapa ucapan Sasuke seakan menyindirnya. "Maka aku akan tetap melepasnya, tak mungkin aku mempertahankannya, apalagi anaknya butuh dia sebagai sosok ayah."
"Apa kau tak bertanya alasan kenapa dia menikah dengan orang lain dan bukan dengan dirimu?" Sasuke merasa belum puas dengan jawaban Juugo, ia merasa masih ada yang kurang. Jika memang ia harus melepaskan Naruto, maka dia harus memastikan jika Naruto sudah tak mencintainya lagi.
Juugo tersenyum mengejek. Mana mungkin Juugo akan bertanya demikian. Justru dia akan merasa sangat bersyukur jika Suigetsu benar-benar menikah dengan orang lain, sehingga satu dari sekian banyak pengganggu hidupnya berkurang. "Untuk apa? Jika dia masih mencintaiku, tentunya dia berusaha menjelaskan semuanya tanpa aku memintanya terlebih dahulu."
Sasuke merasa tertohok dengan ucapan Juugo. Dia merasa ucapan Juugo ada benarnya, selama ini dirinyalah yang berusaha mencari tahu alasan kenapa Naruto mengingkari janjinya, menikahi wanita hingga mempunyai anak dari hasil pernikahannya, namun pemuda blonde itu tak pernah sekalipun menjawab pertanyaannya, dia akan terdiam atau mencoba mengalihkan pembicaraan. Apa itu berarti cinta Naruto tak sebesar dulu ? Atau Naruto mungkin sudah tak mencintainya lagi?
Dering ponsel Juugo menyentak lamunan Sasuke. Juugo tersenyum sekilas dan me-reject panggilan tersebut, namun ponselnya kembali bergetar setelah beberapa detik dan dengan kesal Juugo mengangkatnya. "Aku sedang bekerja, jangan menggangguku!" bentaknya dan mematikan ponselnya. Sasuke tak tahu siapa orang yang menelpon Juugo, namun dari raut wajah Juugo, Sasuke tahu jika ia merasa terganggu dengan panggilan tersebut.
"Siapa?"
"Bukan orang penting." Balas Juugo cepat menjawab pertanyaan Sasuke. Sebenarnya dia sedikit kesal karena dari tadi Suigetsu selalu mengganggunya, mengirim pesan teks hingga menelponnya tak jelas hanya untuk bertanya 'kau ada dimana?' atau 'kau sedang apa?' dan sebagainya. Benar-benar membuat Juugo muak dengan tingkah sok-perhatiannya itu.
Saat Sasuke kembali ingin menanyakan sesuatu, tiba-tiba saja ia merasa sesuatu keluar dari hidungnya. Dengan buru-buru Sasuke beranjak dari tempat duduknya setelah berpamitan pada Juugo untuk ke toilet sebentar.
"Aku ke toilet dulu."
Sepeninggal Sasuke, Juugo kembali mengaktifkan ponselnya dan mengirim pesan teks pada Suigetsu.
[Jangan telepon atau mengirim pesan teks lagi, aku sedang sibuk saat ini. Jika tidak, aku akan benar-benar membencimu.]
Sudah hampir sepuluh menit Sasuke ke toilet. Juugo berniat menyusulnya untuk memastikan jika Sasuke baik-baik saja, namun tiba-tiba ponsel Sasuke berbunyi. Tanpa permisi Juugo yang penasaran mengambil ponsel putih itu yang tergeletak di meja, membaca nama yang tertera di layar tersebut. Tangannya mencengkeram erat saat membaca nama Naruto tertera disana, tanpa pikir panjang Juugopun mengangkatnya.
"Halo, Suke? Kau ada dimana sekarang? Ini sudah malam kenapa kau belum pulang." Cercanya dari line seberang.
"Maaf, Uzumaki-san." Sahut Juugo tenang.
"Siapa kau, dimana Sasuke? Kenapa dia tak mengangkat ponselnya?" tanya Naruto dari seberang dengan suara meninggi begitu menyadari jika bukan Sasuke yang mengangkat panggilannya kini.
"Aku Juugo, kami sedang makan malam bersama, Sasuke sedang ke toilet sebentar jika ada yang ingin disam—"
"Apa hubunganmu dengan Sasuke? Dan dimana kalian sekarang, aku akan kesana untuk menjemput Sasuke." Suara Naruto tiba-tiba berubah menjadi dingin, ada nada tak suka saat mendengar jika orang yang dikhawatirkannya ternyata sedang bersenang-senang dengan orang lain.
"Saya teman dekatnya dan—" Bohon Juugo. "—Anda tidak perlu repot Uzumaki-san, biar saya nanti yang mengantar Sasuke pulang." Ucap Juugo sebelum mematikan panggilan Naruto saat menyadari Sasuke sudah keluar dari toilet.
"Kau tak apa?" tanya Juugo khawatir saat melihat wajah Sasuke yang nampak begitu pucat.
"Aku tak apa." Jawab Sasuke datar. Juugo tahu Sasuke sedang berbohong sekarang, perpedoman pada ilmu kedokterannya, Juugo memaksa untuk mengantar Sasuke pulang agar dia bisa berisitirahat. Awalnya Sasuke tidak mau, namun akhirnya ia menurut juga meski dengan ancaman akan membawa Sasuke ke rumah sakit jika tidak mau beristirahat di rumah.
.
—Hypocrite—
.
Sasuke membuka pintu apartemennya dengan perlahan. Sudah hampir jam dua belas malam dan Sasuke baru saja pulang. Dengan langkah terhuyung, ia mencoba untuk meraba saklar lampu apartemennya. Ia tahu Naruto dan yang lainnya pasti sudah tidur, dia berniat ingin membuat coklat panas di dapur untuk mengurangi pusing yang mendera kepalanya sedari tadi. Saat tangannya mencoba meraba dinding untuk mencapai saklar lampu, tiba-tiba saja ruangan menjadi terang. Sasuke mengira Naruto yang menyalakannya, namun dugaannya salah.
"Apa yang kau lakukan malam-malam begini?" tanyanya bingung. Sejak pertama kali bertemu dengan wanita tersebut, hubungan Sasuke dengannya selalu terasa canggung.
"Naruto sejak tadi menunggumu pulang. Baru saja aku membujuknya untuk tidur di kamar." Ucapnya tanpa menggubris pertanyaan Sasuke. Sasuke yang memang merasa pernyataan Sakura tak penting, bermaksud melanjutkan niatnya menuju dapur untuk membuat coklat panas.
"Sasuke—"
Sasuke menghentikan langkahnya dengan terpaksa saat Sakura memanggilnya. "Hn?"
"Bolehkah aku minta tolong padamu?" ucapnya sangat lirih. Sasuke berbalik, ia menautkan kedua alisnya tak mengerti akan ucapan Sakura."Bisakah kau melepaskan Naruto?" lanjut wanita itu tak kalah lirih.
Mata Sasuke melebar mendengarnya. Melepas Naruto? Bahkan Narutolah yang tak bisa melepaskan dirinya. "Kalau itu maksudmu, kau meminta tolong pada orang yang salah." Ucapnya seraya berbalik dan mengambil cangkir di rak dapur. Sakura yang tak menyerahpun, mengikuti langkah kaki si raven.
"Aku sudah tahu penyakitmu, Sasuke." Tangan Sasuke terhenti seketika saat mendengar pernyataan Sakura. Ia meletakan sendok yang ia gunakan untuk mengaduk coklat panasnya dan berbalik memandang wanita bersurai pink tersebut.
Melihat Sasuke yang diam menatapnya, Sakura memberanikan diri untuk melanjutkan ucapannya. "Stadium 3, aku tahu apa artinya itu Sasuke. Aku hanya ingin kau melepaskan Naruto, bukan untukku melainkan untukmu. Naruto, selama ini dia mencintaiku, namun hadirnya dirimu membuat rasa cintanya terbagi, aku hanya takut jika suatu saat nanti Naruto akan lebih memilihmu, aku takut dia akan menelantarkan Natsu. Ak-aku tidak bisa membesarkan Natsu sendiri, ak-aku hiks—tak bisa membiarkan Natsu tumbuh tanpa seorang ayah." Sakura terisak lirih, air matanya mengalir semakin deras saat tak mendengar respon apapun dari pemuda di hadapannya.
"Kau mungkin tak pernah terpikirkan kenapa aku mau tinggal disini, itu semua karena aku ingin Naruto bahagia, bertemu orang yang selama ini sangat dirindukannya. Tapi semakin lama perasaan itu berubah menjadi sebuah rasa takut akan kehilangan. Aku tahu kaupun pasti masih mencintai Naruto, begitu pula sebaliknya, tapi apa kau ingin membuat Naruto terus khawatir tentangmu? Merepotkannya akan penyakit yang kau derita? Dia sudah cukup tertekan akan pekerjaan dan hatinya, dia mungkin sangat menderita karena tak bisa memilih salah satu diantara kita." Lanjutnya berurai air mata.
"Kau masih muda dan lajang Sasuke, sementara aku? Aku hanyalah seorang wanita yang sudah mempunyai anak. Aku yakin masih banyak orang diluar sana yang bisa mencintaimu melebihi Naruto, untuk itu —hiks, ku mohon pertimbangkanlah permintaanku ini."
Sasuke tak sadar bagaimana ia bisa berdiri tepat dihadapan Sakura dan merengkuh tubuh wanita tersebut. Meski dia terkenal dengan sosoknya yang dingin, namun sebenarnya Sasuke sangat tak kuat melihat tangisan seorang wanita. Mendengar ucapan Sakura membuat ia sadar sekaligus merasakan sakit disaat bersamaan. Ia sudah membuat orang sebaik Sakura menderita karena keegoisannya. Seharusnya dia pergi dari sini sejak dulu, mencari orang lain yang bisa mencintainya seperti dia mencintai Naruto, meski itu akan sulit karena baginya Naruto adalah satu-satunya dan tak tergantikan di hatinya.
Sasuke mencoba mngusap punggung Sakura untuk menenangkannya, tanpa tahu dibalik punggungnya, Sakura tersenyum penuh kemenangan atas acting nya.
.
—Hypocrite—
.
Naruto terbangun dengan nafas memburu, ia baru saja bermimpi buruk tentang Sasuke yang akan meninggalkannya. Pandangannya mengitari urangan sekitar, seingatnya kemarin dia berniat untuk menunggu Sasuke di ruang tamu, namun tiba-tiba saja Sakura datang dan memberinya secangkir kopi. Awalnya Naruto menolak, namun karena tak tega sebab Sakura sudah repot-repot membuatnya, akhirnya dia memutuskan untuk meminumnya. Toh, efek kopi tersebut tentu akan membuatnya selalu terjaga hingga Sasuke pulang, namun tiba-tiba saja kepalanya berdenyut, pusing melanda kepalanya hingga Sakura membantunya berbaring di ranjang, kemudian ia tak ingat apa yang terjadi selanjutnya.
"Sasuke!" serunya seraya beranjak dengan tergesa menuju ke kamar si raven. Degan tak sabar Naruto membuka pintu kamar Sasuke yang kebetulan tak terkunci dengan kasar hingga menimbulkan bunyi yang cukup keras.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Sasuke tak suka saat menjumpai Naruto yang pagi-pagi sudah membuat keributan.
Naruto terdiam sejenak saat melihat Sasuke sudah rapi dengan setelan jas kerjanya. Ia melirik jam dinding di kamar Sasuke. Ia mengumpat dalam hati saat menyadari ternyata dirinya bangun kesiangan. Mengabaikan waktu yang ditunjukan jarum jam, Naruto kembali ke niat tujuan awalnya kemari.
"Semalam kau dari mana? Aku menunggumu hingga larut dan kau belum pulang. Jangan bilang kau asyik berduaan dengan Juugo—"
"Jika iya memang kenapa?" potong Sasuke cepat.
"Sudah kubilang berhenti menemuinya dan berdekatan dengannya. Kau tahu aku tak menyukai lelaki itu."
"Tapi aku menyukainya, lalu apa masalahmu?!."
Naruto mengepalkan tangannya mendengar kata tersebut dari mulut Sasuke. "Masalahku karena kau mencintaiku, kau tak serahusnya mendekati lelaki lain."
Sasuke berdecih mendengar ucapan Naruto yang begitu konyol. "Lalu apa bedanya denganmu? Kau bahkan menikahi wanita lain, kenapa aku tak boleh mendekati pria lain." Dengan cepat Naruto mencengkeram kedua lengan Sasuke, mendekatkan wajahnya hingga hanya berjarak satu kepalan saja.
"Kau—tak bisakah kau mengerti posisiku? Aku sangat mencintaimu kenapa kau masih meragukanku?"
"Jika begitu jelaskan padaku kenapa kau menikahi Sakura, kenapa kau mengingkari janjimu?" Sasuke menatap balik dengan sorot tajam pada manik sapphire dihadapannya. "Kau bahkan tak bisa menjelaskannya padaku." Decihnya.
Deru nafas Naruto terdengar semakin berat. Ia ingin sekali menjelaskan jika orang yang dicintainya adalah dirinya dan bukan Sakura, ia ingin mengatakan yang sebenarnya jika ia menikahi Sakura karena terpaksa dan Natsu bukanlah anaknya. Ia ingin sekali meneriakan kata-kata tersebut dihadapan Sasuke agar lelaki tersebut mengerti. Namun jika ia melakukan hal itu, Naruto takut Sakura akan kembali melakukan hal nekat seperti dulu, bahkan Naruto pernah melihatnya hampir melukai diri sendiri saat wanita itu tak tahan dengan sikapnya yang lebih memperhatikan Sasuke dari pada dirinya.
"Apa sebenarnya maumu?" ucap Naruto lirih setelah berhasil menguasai dirinya. Kedua tangan yang sejak tadi mencengkeram lengan Sasuke sudah ia lepaskan. Ia melangkah mundur beberapa langkah untuk memberi jarak pada keduanya.
Sasuke tertohok saat Naruto justru megabaikan pertanyaannya. Mungkin Sakura benar. Naruto terlalu bingung memilih antara dia dan dirinya. Kini Sasuke harus menelan pil pahit jika di hati Naruto tak hanya ada dirinya saja. "Lepaskan aku, biarkan aku pergi." Sasuke menunduk setelah mengucapkan kalimat tersebut dengan begitu lirih. Ia tak mampu melihat tatapan sendu kedua sapphire yang ada dihadapannya.
Naruto terperanjat. Ia sudah bisa menduga jika hal itu akan segera diucapan oleh Sasuke. "Maaf aku tak bisa." Ucapnya pelan menyerupai bisikan. Ia pandangi tubuh Sasuke yang terlihat semakin ringkih. Dan saat itulah dia tahu jika tindakannya selama ini mungkin sudah menyakiti Sasuke berkali-kali.
"Jika kau tak bisa, maka biarkan aku yang mencobanya." Dan dengan begitu Sasuke keluar dari kamarnya, meninggalkan Naruto yang mematung dengan kedua sapphire yang mengeluarkan air mata.
.
—Hypocrite—
.
Sudah hampir tiga hari ini Sasuke selalu menghindari Naruto. Ia akan berangkat pagi sekali sebelum Naruto bangun dan pulang larut saat Naruto sudah tertidur. Di kantorpun juga demikian, Sasuke lebih memilih makan siang diluar dari pada di kantin perusahaan. Apalagi akhir-akhir ini Naruto disibukan dengan tender baru, sehingga hal itu semakin mempermudah Sasuke untuk menghindarinya.
Sasuke melirik jam tangan yang melekat di tangan kirinya. Pukul delapan malam dan Sasuke masih setia berkencan dengan dokumen-dokumen yang ada di mejanya. Sudah beberapa kali Juugo dan Naruto mengiriminya pesan teks. Naruto yang bertanya dimana dia sekarang, dan Juugo yang selalu mengingatkan jika dia harus memakan obatnya. Kedua pria itu seolah tak kenal kata menyerah untuk mendekatinya.
Sasuke sebenarnya tak tahu harus memilih yang mana. Disisi lain ia sangat mencintai Naruto, namun ia tahu jika mereka tak mungkin bisa bersama karena Naruto bahkan sudah menikah. Sedangkan Juugo, lelaki itu begitu baik padanya, namun ia tak mau menyakiti perasaan Suigetsu yang begitu mencintai dokter pribadinya tersebut.
Sasuke meneguk salivanya kasar saat tenggorokannya terasa begitu kering. Bodoh! Bagaimana tenggorokannya tak sakit jika sejak pagi tadi dia bahkan tak makan atau minum sama sekali. Ia terlalu menyibukan diri dengan pekerjaannya. Sebenarnya dia memang sengaja, agar pikirannya bisa teralihkan dari pemuda bermarga Uzumaki tersebut.
Sasuke beranjak dari duduknya, ia harus pulang dan mencari makan untuk mengisi perutnya yang sejak pagi belum ia isi. Namun saat hendak keluar dari ruangannya, tiba-tiba sebuah cairan menetes dari hidungnya. Ia tak terkejut saat melihat darah disana, namun kali ini diiringi oleh rasa pusing yang teramat sangat hingga membuat tubuhnya terjerembab ke lantai.
"Ugh—kuh-kumohon ja-jangan sekarang." Sasuke berusaha mencari obatnya, namun sial untuknya karena obatnya ia tinggal di laci meja kerjanya. Tak punya pilihan lain, Sasuke menekan tombol 1, dimana angka tersebut adalah panggilan darurat yang akan menghubungkan dirinya dengan seseorang.
"Halo Sasuke, kau ada dimana sekarang? Beritahu aku, dan aku akan menjemputmu, aku berniat mengajakmu makan malam bersama malam ini." Ucap seseorang dari seberang dengan begitu bersemangat.
"Naruh-ugh—toh-tolong a-aku…" ucapnya susah payah seraya menahan rasa sakit yang mendera kepalanya. Pandangannya bahkan sudah mulai memburam, Sasuke tak bisa menggerakan tubuhnya lebih dari ini, suaranya bahkan terasa tersangkut di tenggorokan.
"Sasuke! Ada apa dengamu? Apa kau baik-baik saja? Sasuke!" panik Naruto begitu mendengar suara rintihan Sasuke.
"Kan-tor, ceh-pat ugh—" ucap Sasuke yang terdengar sangat lirih.
Disisi lain Naruto yang mendengar Sasuke begitu kesakitan membuatnya menjadi panik sendiri hingga ia tergesa mencari kunci mobilnya yang lupa ia letakan dimana. Disaat itu pula tiba-tiba Sakura keluar dari kamarnya dengan panik dengan menggendong Natsu yang sedang menangis begitu keras.
"Naru, Natsu demam, dia tak berhenti menangis dan tiba-tiba kejang hiks, cepat selamatkan Natsu, kumohon Naru hiks—"
Dan situasi seperti ini benar-benar membunuh Naruto secara perlahan. Ia bingung mana yang lebih dulu harus ia tolong. Ia tak mungkin mengabaikan Sasuke, selama ini Sasuke tak pernah memohon seperti itu, dan itu berarti Sasuke tengah mengalami kesakitan yang teramat sangat, bahkan Naruto bisa mendengar suara isakan lirih pujaan hatinya, tapi disisi lain dia juga tak bisa mengabaikan Sakura. Natsu, bayi itu harus segera mendapatkan pertolongan segera. Dan disaat ia sudah mengantongi kunci mobilnya, Naruto bingung harus memilih yang mana. Sasuke atau Sakura?
To Be Continued
.
Kepanjangan? Gomen ne. /\ Silahkan dicicil bacanya biar nggak bosan. :D
January 23, 2016
