Kalian pernah mendengar gosip bahwa Basara Academy dahulu adalah tempat dimana banyak korban perang yang mati?
Suatu hari, Honganji yang seperti biasa pulang paling lama, pada malam jumat, suara pedang antar tentara dari arah ruangan musik membuat Honganji merinding. Tidak mungkin drama, sebab asal suara bukan dari ruang drama. Karena penasaran, Honganji pun masuk ke dalam.
Honganji berkeringat dingin, membuka perlahan ruang milik Mouri Motonari, sang leader dari ruang tersebut. Betapa terkejutnya Honganji, tak ada siapapun disana.
"Astaga! Suara apa barusan yang kudengar! Tak mungkin itu suara hanya dari halusinasi! Itu nyata!" gumam Honganji, panik.
Dengan masih berselimut penasaran di otaknya, ia memasuki ruang itu. Trompet pun jatuh dengan sendirinya, membuat detuman keras hingga Honganji terperanjat bukan main. Seketika, ruangan menjadi gelap ketika waktu sudah menunjukkan petang. Honganji ketakutan, mencoba keluar dengan berlari. Saat hampir sampai menuju pintu keluar, pintu itu tertutup dengan kencang, membuat penyanggah kunci gembok memasuki lubang yang akan dimasuki oleh gembok. Honganji kepanikan, terus mengedor-ngedor pintu itu, namun hasilnya nihil.
"Tolong! Siapa saja! Tolong!" teriak Honganji ketakutan dengan bersimbah keringat dingin.
Seseorang membawa tombak dengan ujung yang berdarah amis, mendekati Honganji.
"Mau apa kau!"
"Mati... Matilah!"
Teriakan menyakitkan itu pun memenuhi seisi ruangan Basara Academy.
Misteri Basara Academy
Bab. 1
Oleh: Runa
*cerita ini memakai setting fic Sengoku Basara, yaitu Basara Gakuen. Kebanyakan kepribadian mereka berasal dari fic Gakuen Basara yang asli (dari Yuki Mitai), namun sedikit juga ada dari versi saya sendiri.
Sarutobi Sasuke, berangkat ke sekolah Basara Academy pagi sekali. Sudah tugasnya sebagai anggota berita, untuk mencari sesuatu yang 'hot' di Academynya. Ia berlari ke setiap ruang di Basara Academy sebelum yang lain datang, dibantu oleh Fuuma Kotarou yang sudah di sana sebelum Sasuke datang.
"Fuuma, kau cari di ruang kelas. Aku akan cari di ruang klub."
Kotarou menangguk. Ia memegang topinya dan berlari cepat ala ninja. Anggota berita memang harus cepat, karena itulah mereka mempunyai kemampuan seperti ninja.
Sebenarnya bisa saja Kasuga ikut dengan mereka. Namun, ia lebih memilih bersama Uesegi Kenshin, guru seni dan senam mereka. Ia menyukai seni, dan Kasuga tentu melakukan apa saja agar dapat menyenangkan hati orang yang ia puja itu.
Sasuke pun berhenti ke sebuah ruang alat musik, setelah beberapa ruangan klub seperti sepak bola, baseball, shogi, maupun yang lain ia cek.
Namun, Sasuke menjerit setelah melihat seorang pria yang dikenalnya, mati dengan tusukan di jantungnya. Pria itu tidak lain adalah Honganji Kennyo, pria yang merupakan guru politik dan ekonomi.
"Aaaaaaahhhhhhh! Fuuma! Mayat!" teriak Sasuke, menjerit seperti kerasukan setan dan kemudian pingsan ditempat kejadian. Kotarou saat itu berada di kelas satu, langsung mengambil kamera sebelum menghampiri Sasuke.
Kotarou tidak getir saat melihat keadaan guru mereka yang mengenaskan. Ia memotret, kemudian berlari menuju ruang berita dan membuat lembaran-lembaran untuk disebarkan.
Di tempat lain, tepatnya lapangan Basara Academy, Sanada Yukimura dan Takeda Shigen berlatih untuk memenangkan kejuaraan nanti, tepatnya seminggu sebelum dimulainya pertandingan.
"Oyakata-sama, di mana Sasuke?" tanya Yukimura dengan celingak-celinguk, mencari batang hidung Sasuke.
"Mungkin dia ada urusan dengan klub-nya."
"..."
Yukimura melakukan push up selama 50 kali sambil menunggu Sasuke datang, namun yang datang malah Kotarou. Tapi ia membawa seseorang yang sangat ditunggu-tunggu Yukimura dan Shigen.
"Eh? Ada apa dengan Sasuke?" tanya Yukimura. Tidak biasanya Sasuke pingsan. Kotarou memberikan selembaran pada Yukimura, dan mereka berdua melihat selembaran itu.
"Honganji-sensei mati!?"
Mereka berdua meninggalkan Sasuke yang terkulai lemas itu. Kotarou menaruh Sasuke di bangku dekat lapangan itu kemudian memberikan lembaran lain pada semua murid yang baru masuk di Basara Academy.
Mouri Motonari, sang pemilik ruangan itu, tidak mengetahuinya sama sekali. Ia hanya santai, berjalan sambil membawa laptopnya. Semua murid memandangnya, dengan wajah duka.
"Kalian kenapa melihatku seperti itu?" suara Motonari tentu saja membuat seluruh temannya takut. Kenapa tidak? Ia bila sedang kesal, dan siapa yang mengusiknya, akan menerima CD-ROM tepat pada wajahnya, laki-laki maupun perempuan. Dan herannya, tak ada seorangpun yang menuntut balas sekalipun preman, karena mereka tahu, Motonari juga bisa hipnotis.
Salah satu anggota klub musik menghampiri Motonari dengan tergopoh-gopoh.
"Motonari-sama... Ada..." suaranya terbata-bata hingga membuat Motonari sempat jengkel.
"Katakan!" ketus Motonari.
"Diruangan kita... Itu... Honganji-sensei..."
Motonari merasakan sesuatu yang buruk. Ia berlari sambil menggotong laptopnya. Betapa terkejutnya ia ketika di depan ruangannya di batasi dengan garis polisi. Detektif, polisi, bahkan murid-murid bergerombol untuk menyaksikan sesuatu di dalam ruangannya.
"Ada apa?" tanya Motonari pada salah satu anggota klub-nya.
"Motonari-sama... Ruangan kita menjadi ruangan pembunuhan."
Motonari membelalakan matanya.
"Honganji-sensei mati di ruangan kita. Tewas."
Motonari menyelip dengan paksa menuju ruangannya. Ia terkulai lemah, saat menyadari ruangannya kini disegel. Padahal ia harus latihan sebelum pertandingan antar sekolah nanti.
"Apa yang harus kulakukan? Sialan!" geramnya dalam hati.
"Kau pasti kaget kan kenapa ruanganmu begini, Mouri?"
Motonari mengenali suara itu, yang menganggunya setiap kali di Basara Academy.
"Chousokabe, apa maumu?"
"Mouri, apa kau penasaran siapa yang membunuh Honganji-sensei?"
Motonari sempat terdiam.
"Mau bergabung dengan kami? Aku, Date Masamune, Sanada Yukimura, Ishida Mitsunari, dan Tokugawa Ieyasu akan menyelidikinya malam ini."
"Apa? Untuk apa kalian lakukan itu?"
"Aku mendengar, Honganji dibunuh oleh hantu."
Motonari kini ingin tertawa. Hantu? Sejak kapan ada hantu di ruangannya? Jangankan manusia, hantu pun takut bila melihat Mouri Motonari. Sepertinya...
"Temui kami di atap sekolah sepulang sekolah bila kau berminat. Mereka juga mengundang murid lain yang punya nyali besar untuk ini. Itu, jika kau punya nyali~" ejek Motochika yang membuat urat kepala Motonari muncul.
"Baiklah!"
Motochika pun berlalu, meninggalkan Motonari sendirian.
"Tapi, darimana ia tahu hantu pelakunya?" sempat Motonari ingin menyusul Motochika, namun terlambat, sosok yang ia ingin tanya hilang entah kemana.
"Motonari-sama, bagaimana ini.." anggota klubnya kini khawatir klub mereka akan dibubarkan.
"Kalian jangan panik. Ambil trompet, seruling, ataupun alat musik punya kalian, biarpun palang ini menghadang! Kita cari tempat lain!"
"Tapi.. Motonari-sama... Polisi dan detektif akan..."
"Kalian jangan putus semangat karena ini! Alat musik kita tidak ada hubungannya dengan peristiwa ini!" Motonari dengan sigap melewati palang itu untuk mengambil alat-alat pendukung dirinya sebagai dirijen. Mereka yang melihat ketuanya melakukan itu pun ikut pula masuk.
Seorang polisi yang melihat kelakuan mereka, segera meniupkan peluit untuk memberikan peringatan.
"Hei! Kalian—"
"Pak! Kami harus latihan untuk persiapan kami!" sela Motonari, geram. "Biarpun ruangan kami disita, namun itu bukanlah hal yang dapat menyumbat kami! Kami harus latihan!"
"Alasan kalian memang baik, tapi adakalanya kalian harus melihat apa yang kalian lakukan! Kali—"
"Sudah pak polisi," sahut seorang detektif disana. "Biarkanlah! Semangat masa depan Jepang jangan dihalangi!"
Polisi itu pun tertunduk, dan memberikan jalan bagi mereka untuk masuk.
"Baiklah, kita bawa mayat ini untuk otopsi," ujar detektif itu. Empat orang berbaju putih membawa mayat Honganji-sensei dengan menutupinya dengan bungkus mayat.
Ngiung ngiung ngiung ngiung.
Suara ambulan menghiasi perjalanan menuju rumah sakit dekat sekolah itu. Namun setelah sampai, petugas-petugas berbaju putih itu tidak menurunkan mayatnya.
"Hei, kalian kenapa kembali?" tanya seorang suster disana.
"Ng? Bukannya kami hanya patroli berkeliling?"
"Eh?"
Suster itu pergi menuju belakang ambulan, namun tidak ada apa-apa disana.
"Bukankah tadi ada laporan tentang seorang guru yang mati?" tanyanya dalam hati. Ia ingin berbicara dengan petugas itu, namun diurungkan. Kekuatan apa yang telah membuatnya mengurungkan niatnya itu?
Ia mengambil handphone di sakunya. Suster itupun menelepon detektif yang bersama mereka.
"Bapak? Bolehkah saya bertanya?" tanya suster itu memulai pembicaraan.
"Oh, boleh saja."
"Tadi kalian habis melakukan apa di Basara Academy?"
Detektif itu terdiam. Terdiam sangat lama.
"Apa? Kesana? Sejak kapan?"
Suster itu semakin syok.
"Oh begitu ya, kalau begitu selamat menjalani hari bapak!"
Ditutupnya telepon genggamnya.
"Aneh. Tadi baru saja ada laporan kematian. Kenapa tidak ada?"
Dibelakang suster itu terdengar suara tawa kecil dengan sosok gelap.
