Terung by Aratte & kiaara
Disclaimers: Attack on Titan © Isayama Hajime. Terung © Aratte & kiaara. The online version of TERUNG is published online, solely a not-for-profit fan work.
Rating: M
Pair: RivaEre
Genres: AU, Psychological Drama, Angst, Dark
Warnings: Implicit dubcon
Setting: Perkampungan seperti di Indonesia
Summary: Eren, si bocah yatim piatu kesepian, selalu menghabiskan waktu tidur siang di kebun permakultur infertil. Lahannya tandus terabaikan, dihuni dedemit dan terkenal angker sekampung. Tak sesiapapun sudi mendekat. Hanya Eren yang mengenal kebun terlantar itu sebaik mengenal dirinya sendiri.
Pada hari itu, seorang pria asing datang berkunjung.
Matanya dingin mengintimidasi. Terlalu kharismastik, dan kalau bukan hantu, sepertinya bukan orang baik-baik. Dia memberi Eren segenggam benih kering untuk ditanam.
Apa pun motivasi pria itu terhadapnya, Eren punya tugas mengencani terung selama tiga bulan ke depan.
.
NOTE: Sudah lewat setahun kami mem-publish Terung dalam bentuk fanbook, terakhir kali di event Anicult tahun lalu, dan fanbook tersebut memang sudah tidak dicetak lagi hingga saat ini. Tapi permintaan untuk fanbook tersebut tidak pernah berhenti, permasalahannya adalah saya memang tidak dapat lagi mencetak fanbook tersebut secara satuan.
Maka dari itu, saya dan kiaara sepakat untuk mempublikasi Terung dalam bentuk fanfiksi, di-posting melalui FFN dan Ao3 sehingga semua orang dapat menikmatinya. Ada pun perbedaan antara versi online dengan fanbooknya:
-Versi Online: banyak adegan yang dipotong, terutama adegan R18 nya ya (sudah dikurangi sekitar 2500-3000 kata). Seluruhnya telah disingkat menjadi 3 bab saja (2 bab ganjil-genap digabung menjadi 1 bab).
-Versi Fanbook: versi full version, tanpa ada yang dikurangi. Lengkap dengan cover dan ilustrasi.
Bagi yang penasaran dengan TERUNG, Selamat menikmatinya di sini. Bagi yang pernah membeli buku itu, terima kasih banyak! Versi fanbook adalah full version tanpa cut yang akan selalu bisa kalian nikmati. Hope you treasure the book. Keep supporting RivaEre~
.
Tambahan (Catatan Authors dalam fanbook):
Aratte: Suatu hari Kiaara bercerita tentang hobi berkebun. Ide dadakan muncul. Saya jadi tertarik menulis kolaborasi terong-terongan. Padahal saya sama sekali awam soal berkebun, tapi maso mempelajarinya. Ide berbuah kerjasama cocok tanam (tulisan) yang menggembirakan.
TERUNG digarap dengan cara menulis bab bergantian. Kiaara menulis bab ganjil dan saya menulis bab genap tambah epilog.
Saya suka style gambar anak-anak, berharap bisa menerbitkan novel dengan ilustrator seorang anak-anak. Konsep desainnya saya paparkan kepada Kiaara, dan ga disangka dia mengiyakan. Berasa kaya mimpi jadi nyata walau di satu sisi merasa berdosa. Kapan-kapan saya harus mengoleh-olehi adik kecilnya dengan pisang susu.
Menulis TERUNG adalah perjalanan nyata. Menyiapkan lahan, persemaian, berbuah ranum. Ada pengalaman tersendiri yang tak bisa diungkapkan. Terima kasih kepada Kiaara atas pengalaman kolaborasi yang sangat berharga.
Semoga pembaca terhibur dengan kisahnya.
Kiaara: Ada apa dengan terung sehingga dianggap layak menelusup di antara hubungan Levi dan Eren?
Setelah sekian lama, Terung akhirnya berhasil keluar selamat dari laboratorium melalui serangkaian perjalanan menulis yang mengesankan untuk saya. Adalah sebuah proses yang dinamikal bisa bekerjasama dengan seorang penulis luar biasa, juga memberi campur tangan langsung pada sebuah prosesi sakral: menanam Terung mulai dari benih (berupa kertas kosong di perangkat lunak pembuat dokumen), hingga akhirnya panen raya dan bertransformasi menjadi sebuah novel utuh di tangan Anda.
Jatah catatan selembar ini akan saya manfaatkan untuk berterima kasih pada Kak Aratte, sebagai teman kolaborasi sekaligus yang paling tidak pelit membagi ilmu. Juga untuk seluruh penghuni kapal Levi*Eren mulai dari geladak sampai buritan. Semoga cinta Levi dan Eren abadi selamanya.
Selamat membaca.
.
.
Keterangan: Chapter 1 adalah gabungan dari bab 1 dan bab 2 dalam fanbook
TERUNG
Chapter 1
Hari-hari sebelumnya, seingat Eren, di kebun kecil terlantar ini tidak pernah terlihat ada orang lain.
Untuk kesekian kali ia kembali mengucek mata. Duduk tegak. Waspada.
Eren menyamping tiang penyangga atap gazebo berdiameter setengah lingkar pelukan orang dewasa.
Pura-pura bersembunyi.
Satu daun bulat telur dari pohon bidara beranting menunduk, jatuh. Seperti membawa kabar baru—Eren, kau akan kedatangan tamu.
Dia siapa? Ada sosok mendekat dari ujung halaman.
Eren Jaeger, si bocah kesepian. Yatim piatu. Penghuni rumah sederhana di ujung desa. Selalu menghabiskan waktu tidur siang di kebun infertil.
Orang-orang kampung juga sudah mengabaikan kebiasaan berkebun. Efek globalisasi. Bisnis dan merantau di kota sudah menerobos pola pikir jadi ideologi.
Eren mengambil untung di lahan tak berguna itu. Bolehlah ia oportunis. Memanfaatkan gazebo di sana untuk rebahan memandangi langit setiap pulang sekolah. Sepeda bersadel robek peninggalan Ayah, seperti biasa pula, dibaringkannya sembarangan di samping semak murbei.
Barangkali memang hanya Eren seorang yang betah berlama-lama di sini. Karena itu, jika ada orang lain yang datang berkunjung—Eren merasa harus bersujud salut.
Namun hari ini, pria asing itu tiba-tiba datang, berjalan mendekat, memberinya tatapan hambar.
Gamang. Eren terpaku karena tidak terbiasa bicara dalam jarak sedekat itu dengan seseorang.
"Aku membawa benih yang bisa ditanam. Kau tukang kebun, nak?"
Lelaki itu menyimak mukanya. Eren bergeser mundur. Tatapan dingin mata hitam sang tamu memenuhi sekujur udara. Mental Eren mengalami disfungsi dadakan. Tamunya terlalu kharismatik. Dan—sepertinya—bukan orang baik-baik.
"Kebun ini aku urus. Tapi bukan milikku. Aku hanya memanfaatkan. Di sekolah aku masuk klub Pecinta Lingkungan. Konservasi dan berkebun."
Tidak ada jawaban. Apalagi decak kagum. Prolog itu cuma mainan. Dan wajah itu, Eren sangat familier. Suara bariton yang dalam. Gerak-gerik terlampau tenang yang memicu sungkan. Eren mulai berkhayal macam-macam.
"Aku membawa benih kering. Cuma satu genggam. Kau bisa tanam."
Eren heran. "Benih apa?"
Tebakan si mata hijau, lelaki itu adalah perwakilan Dinas Pertanian.
"Benih tanaman. Tapi bayarannya mahal. Tidak gratis karena aku bukan orang suruhan Dinas Pertanian."
Tebakan kedua Eren, orang asing itu bisa baca pikiran.
"Berapa harganya?"
Merasa punya uang, Eren buru-buru menggali saku seragam. Naas. Hanya ada dua keping koin kusam, seharga seplastik kecil permen jahe. Pencarian dilanjutkan.
Di saku celana ada satu lembar uang lecek.
"Aku hanya punya ini. Cukup?"
Berharap. Mengerjap. Eren membuang mata ke tanah lembek karena ditatap terlalu lekat.
"Kau mau membeli. Aku tidak yakin tanganmu itu berjodoh dengan tanaman. Bisa-bisa kau petik buah terung seperti mengurut buah zakar."
Eren paham. "Jadi itu benih terung? Terung telunjuk? Terung Belanda? Terung ungu? Aku suka terung."
Lelaki itu menyipit. Bocah polos berpotensi membuat pembuluh kepalanya bedetak penat.
Fokus mata hitam dibuang angkuh. Kadang-kadang tidak beda jauh antara cerewet bertanya dengan kesan sok tahu. Perlu, tapi tidak begitu perlu.
"Saya akan tanam terungnya."
"Bayarannya tidak murah."
"Dua keping dan satu lembar?"
"Kau mau digampar sepatuku barangkali, nak."
"Lalu berapa?" Tampang melas remaja setengah matang. Suara geledeknya yang seksi terdengar melunak. Menyaingi krim keju leleh di telinga. "Saya hanya anak SMA miskin."
"Bayarnya tidak dengan uang."
Eren merasa terhormat. "Lalu?"
"Kau ke kebun ini untuk apa."
Berpikir. "Tidur siang. Tadinya aku sedikit mengantuk karena semilir angin. Lalu tidak jadi karena Anda datang."
"Kali ini kau tidak tidur."
Mata hijau melebar. "Kenapa?"
"Ditiduri."
Deretan kayu persegi yang menjadi lantai gazebo berdegup gelisah, menerima hajaran energi kinetik dari lelaki asing yang tiba-tiba melompat di atas tubuh Eren.
"Apa yang Anda lakukan!?"
Terlalu cepat.
Bocah tanggung berontak. Gemuruh debur jantungnya serupa ombak.
Eren menendang, tapi lututnya kaku. Ketakutan dan pikiran dangkal membebat pergerakan serupa perban.
Eren imbesil, memohon-mohon. Menyesal tidak percaya kabar burung dari mulut orang-orang kampung, perihal mitos bahwa pepohonan yang berbaris memagari kebun ini juga dihuni setan.
"Lepaskan saya!"
Otak Eren mengunyah lambat apa yang terjadi. Insting paling primitif organisme—bertahan hidup—melejitkan stimulasi saraf motorik tepi. Menyetrum anggota gerak dan terpecut melarikan diri.
Ia tidak lelah berontak.
"L-lepaskan!"
Tapi Eren dikunci, dan ia benci, mengapa satu pun ide makian dalam kepalanya tidak meluncur.
"A-Anda mau apa?"
Lelaki itu tidak membuat suara apa pun. Kecuali ribut jajaran kayu yang dikhawatirkan setiap saat bisa jebol ke bawah. Mencipta sensasi ledak. Retak.
"T-tolong … "
Tubuh yang ditindih bersaing dengan tenaga lain yang jauh lebih besar. Keinginan pria kekar itu terhadapnya jadi kartu mati.
Takut terdigesti, Eren Jaeger, dalam detik yang berlalu secepat putaran bor minyak, mendadak kehilangan hak atas dirinya sendiri.
"Hanya karena segenggam benih kau merasa tidak perlu membentengi diri sendiri. Tapi kau tidak buruk."
Genggaman gusar Eren tersemat pada pinggiran kayu, berderak lesu, sepasrah gigi susu siap tanggal dari gusi. Lehernya dijilat, pria asing itu memulas lekuk rahang Eren dengan kuas lidah bersaliva. Rata, penuh intensi, seringan menyemir mentega di atas roti.
"Jangan—lepaskan aku …Tolong! Pergi!"
Eren tidak tahu apa pria itu gelap mata.
Atau isi kepalanya sudah sekeruh air belanga ketumpahan sebotol tinta. Hukum rimba berlaku saat ini. Yang terkuat yang menang. Eren sadar celana seragamnya telah lucut melonggar.
Tubuhnya disabotase.
"Kau berteriak sampai ereksi juga tidak akan ada gunanya." Bisikan itu tidak lantang, tapi punya daya menyetrumnya. Tidak ada nada mendesak.
Hanya licik.
Eren sadar, jarak mereka terjahit tanpa spasi.
Kaki Eren menendang gelisah. Ia lupa prosedur menyelamatkan diri. Pinggang montoknya digamit erat. Tatapan pria itu seganas kucing jalanan. Ulasan telunjuk menjemput bibir Eren. Belaian mendarat di tulang pipinya.
Eren berpaling muka, "Kenapa?" Barangkali orang-orang yang kebetulan melintas di jalan akan menduga, mereka bermesraan seperti kekasih lama.
Mata hijau terpejam. Mungkin sebelumnya kami pernah saling bertemu.
Angin berderak menembus ranting. Laba-laba kebun yang mengintip urung turun. Akar-akar landai jadi tentakel tempat bergelayut jamur tudung buram.
Tubuh Eren perlahan terasa ringan. Darah yang sempat berhenti dipasok jantung, kembali menghujani pembuluh. Menyisipkan kelegaan yang ganjil.
Hening. Terlalu hening.
Meninggalkan kekosongan.
.
Eren Jaeger terbangun dari mimpi buruknya.
"Astaga."
Bocah itu menemukan dirinya masih baik-baik saja di gazebo. Sendirian. Tidak ada siapa-siapa.
Kedua tangan menggenggam kepala ketika pulih dari mimpi. Rasanya baru saja diempaskan begitu jauh dan dikembalikan ke dimensi nyata dalam keadaan linglung dan bertanya-tanya. Untung ia masih berbaring di tempat semula dan tidak terjerembab ke tanah. Pria dalam mimpinya seolah sangat nyata. Mereka seolah pernah saling mengenal.
Tapi … kapan?
Dan siapa?
Pertanyaan itu merambati pikiran Eren. Menimbulkan sensasi aneh.
Eren bergerak, duduk. Teringat ia sudah menyalahi jadwalnya sendiri hari ini. Tidur siang bukan saatnya. Ia seharusnya melakukan aktivitas yang berguna seperti rencana semula—menyemaikan benih terung di kebun.
Wajah lelah itu diusapnya sendiri. Sebegitu hebatnya terung sampai bisa menginvasi alam bawah sadar. Sampai terbawa mimpi-mimpi aneh.
Eren menghela napas dalam dan melirik ke samping. Di barisan papan kayu tergeletak selembar kain dalam mangkuk plastik yang tadi malam dibasahinya dengan air hangat. Kain kuning dilipatnya serupa dadar. Lembaran berpucuk-pucuk lusuh terbuka.
Dalam satu kali dua puluh empat jam, biji kering telah tersulap jadi kecambah. Akar primer muncul serentak meski baru beberapa millimeter. Air yang diberikannya semalam telah memicu imbibisi benih, membuatnya jadi bayi-bayi tumbuhan yang siap hidup. Siap disemai.
Eren melompat dari posisi nyaman. Lupa belum mengambil seplastik bahan cocok tanam yang digantungkan pada setang sepeda.
Tungkai panjang berbalut celana seragam berlari menuju semak murbei. Plastik tipis itu bermuatan terlalu berat.
Tiba-tiba ia merasa antusias. Eren sudah menyiapkan segalanya yang dirasa perlu untuk acara berkebun hari ini.
Kebun terlantar itu, di tangan bocah berusia 16 tahun, mempunyai secelah harapan untuk melihat masa depan.
Eren berdiri bertolak pinggang. Mata lebarnya mulai beredar.
Ada dua pilihan untuk memulai; memilih menyemai benih dengan mencangkuli tanah gembur jadi bedengan, atau mengambil jalan pintas dengan polybag.
Ia akan mulai mengencani terung, berusaha setia jadi anak kebun yang baik, mulai hari ini sampai empat bulan kedepan. Berusaha total.
Dasar cara berpikir Eren sederhana saja—tumbuhan adalah makhluk hidup. Eren berjanji akan menjadi teman yang baik. Menunggunya tumbuh. Kata Ibu dulu, perasaan tulus, sekecil apa pun, akan selalu mendekatkan.
Sial, kebun yang baru aktif tidak semudah itu untuk langsung siap ditanami. Eren menggaruk kepala. Baru sadar seberapa rumitnya silangan belukar itu.
"OK. Tidak masalah."
Tapi bukan Eren Jaeger kalau semangatnya tidak berapi-api. Minat untuk jadi petarung tidak pernah padam. Selalu mengimbas natural pada segala hal. Saat dipaksa menghadapi hidup sebatang kara, mengerjakan ujian padahal buku saja jarang punya, menerima nasib sial bahwa gir sepedanya sering lepas dan remnya berdecit buruk. Bahkan untuk kegiatan sesepele berkebun di ujung desa.
Lengan seragam putih dinaikkan tiga lipatan. Dengan mudah Eren menyelam dalam kesibukannya menyiangi rumput. Tanpa alat, hanya dengan tangan.
Gulma-gulma dieliminasi dari ekosistem. Eren bekerja tekun menyiapkan lahan. Kebun buruk rupa berubah jadi semesta mengasyikkan.
Ia terlarut.
Hampir.
Sebelum nyamuk kebun berulah, membuatnya sentimen. Tangan Eren menampik sebal ke segala arah. Seekor menempel di pipi, Eren menepuk keras dan mendengus kesal. Seekor Mansonia mati di tangannya dalam keadaan alat gerak buntung, perut ringsek, kepala pecah. Gore maksimal.
Lanjut bekerja. Kepala Eren celingukan mencari sekop. Tugas pertama dalam berkebun selalu satu—menggemburkan tanah. Alat menggali yang masih tersimpan dalam plastik langsung dikeluarkan. Ujung sekop berdenting saat terantuk dengan lahan empuk tapi berbatu.
Terlalu gersang.
Eren berpikir lama. Lahan kritis memang beda. Ia harus mencari titik yang dirasa cukup minim didesaki kerikil.
Bocah itu berjongkok, menggenggam sekop seerat menggenggam tongkat sihir.
"Mungkin di sini bisa."
Eren menggumam sendiri. Ia terbiasa mendumal, mengeluh, atau mengeluarkan suara-suara aneh jika sedang berkonsentrasi.
Ujung sekop ditancapkannya ke atas tanah. Eren menarik empat garis menjelujur dengan pola bujur sangkar, serupa menulis dengan pensil.
Area terlarang.
Batu-batu yang masuk ke dalam pola yang digambarnya itu, dicungkili menggunakan tangan. Semut-semut nakal dilarang masuk. Ulat iseng dilarang masuk. Kalau berani masuk—bantai.
Menyiapkan lahan adalah ritual sakral.
Eren yakin punya kecerdasan naturalis, disamping kecerdasan kinestetik yang selalu membuatnya mampu berbahasa tubuh dengan lincahnya.
Ctak!
Bocah bermata hijau menepuk kening. "Apa-apaan ini," dumalnya.
Tanah kebun itu kejam. Membeli sekop murahan berarti secara tidak langsung kau menyanggupi untuk siap beli baru lagi besok pagi.
Alat gali itu benar-benar terbelah dua, teramputasi oleh adidaya tanah kebun yang keras kepala tidak mau digali olehnya.
Eren meratapi tangkai kecil yang fraktur. Lepas dari badan sekop selebar dua telapak tangan. Sudah coba dipasangkan lagi tapi lepas lagi.
Ia mencari ide lain. Melesakkan sejumput tanah di lubang persambungan sebagai lem darurat. Tangkai sekop kembali ditusukkan. Eren memukul-mukulkan ujungnya dengan tanah agar melesak dalam dan tidak gampang lucut lagi.
Tapi sayang, satu dua kali percobaan, gagal. Kali ini mencelat jauh, salto di udara saat dicobanya untuk mencungkil akar rumput yang menancap bandel.
Merasa dipermainkan benda mati, Eren mulai naik pitam. Berusaha semakin keras. Brutal. Hardcore. Lama-lama ia bisa ditertawakan tonggeret yang sedang berseluncur di atas ranting-ranting bidara.
Eren memang tidak terlalu cerdas, tapi ia tahu dirinya tidak bodoh.
Yakin sumpalan lubang sekopnya kurang, Eren mematahkan sebatang rumput. Mengikatnya jadi pita di ujung tangkai. Tangkai sekop menggembung bagai buah dada mengkal. Eren mengetuk-ketuk lagi.
"Akhirnya bisa. Dasar kau."
Baru setelah ditusukkan dengan penuh perasaan, tangkai sekop nakal kembali menancap seret seperti semula.
"Ada-ada saja."
Tidak nyamuk, tidak sekop, tidak mimpi aneh—semua elemen di bumi ini suka sekali menggoda dirinya.
Eren sudah seperti tukang kebun betulan. Tebakannya, tanah yang kini sedang dihadapinya itu tidak kaya humus. Padahal terung adalah salah satu tumbuhan yang maniak pada nutrisi—sukrosa, fenol, asam karboksilat.
Mau tidak mau ia harus mengetes kadar humusnya agar tidak kekurangan dosis, atau malah overdosis dalam memberi pupuk. Ia ingat di dalam tas ransel sekolahnya masih ada sisa bekal air minum.
Eren berdiri, berlari kecil menghampiri sepeda dan menyambarnya.
Cekatan, ia memasukkan sejumput tanah dengan takaran beberapa sendok teh ke dalam botol.
Eren mengocok kencang.
Keloid; campuran tanah dan air, bersenyawa seolah homogen. Eren menunggu hingga tanah karam ke dasar botol. Partikel humus mengambang di permukaan air. Eren berdecak puas. Meskipun gersang, tanah kebun itu potensial untuk ditanami.
Galian Eren menimbulkan suara repetitif—srak, srak, srak—lantaran ujung sekopnya berusaha keras mencabik tanah.
Hasil kerja kerasnya mulai terlihat. Tanah menggembur meskipun baru beberapa jengkal. Dengan hati-hati si bocah memindahkan kecambah terung ke lubang galian setinggi lima inci. Eren mengubur kecambahnya setelah didoakan—doa apa saja, yang penting tumbuh—dan menguburnya dengan menepuk-nepuk permukaan. Persemaian itu akan memanjangkan akarnya kira-kira dalam satu minggu ke depan. Memulai metabolisme aktif.
Saatnya membuat media tanam.
Entah kenapa tiba-tiba Eren ingin bernyanyi, tapi dia malu. Nanti dikira terlalu depresi gara-gara sekop patah hingga mencari pelarian dengan berhalusinasi.
"Sekarang, dolomit." Eren menggali plastik keramatnya sekali lagi. Harta karunnya. Dolomit. Do-lo-mit. Sebagai pecinta majalah pertanian, Eren tahu tanah di daerahnya itu membutuhkan substansi yang bisa menaikkan derajat keasaman tanah.
Eren tidak ingin membayangkan, pada suatu pagi barangkali, akan menemukan terung ungu di kebunnyamimpes, layu seperti penis ejakulasi dini. Kemungkinan-kemungkinan buruk itu harus ditangkal. Apa pun yang patologik harus dibestral.
Guru Biologi di sekolah yang suka praktikum aneh-aneh juga sering cerewet. Pengaturan kadar keasaman tanah sangat penting, katanya. Kalau tidak, terung tidak bisa tumbuh besar, gagah dan jantan.
Dan Eren tidak mau setengah-setengah, daripada nanti dia kecewa di belakang.
Ia ingin terung be-sar. BESAR.
Ambisi melihat terung tumbuh besar membuat minatnya mencuat toksik jadi setruman listrik.
Terung, terung, terung.
Eren punya poros dunia baru mulai hari ini selain pergi sekolah dan menambal hidupnya dengan bekerja pada tengkulak toko bobrok di pasar lokal.
Polybag diambilnya satu lembar. Eren memastikan bagian dasarnya sudah dilubangi sejak dari pabrik. Fasilitas sirkulasi air dan udara.
Plastik hitam bermulut lingkaran diisinya penuh dengan tanah yang sudah dicampur dolomit. Eren telaten membersihkan kerikil yang masih saja ikut meramaikan calon media tanamnya.
"Hei. Kau di sini juga."
Si remaja membiarkan ulat kecil mirip lipan dalam porsi tubuh terbilang kerdil, merangkak memanjati sisi-sisi polybag. Berusaha keras keluar dari perangkap. Sepasang antena bergerak ke kanan dan ke kiri.
Eren membiarkan binatang itu tetap di sana.
Menjaga kesimbangan ekosistem—alasannya.
Perusak pasti akan selalu ada di sisi sesuatu yang bertumbuh, Eren tahu. Tapi tidak selamanya keberadaan serangga itu buruk. Kombinasi natural.
Kesinambungan biologis.
Eren paham meskipun tidak pernah menerimanya dalam bentuk asupan kurikulum dan teori-teori.
"Selesai."
Si remaja menepuk kedua tangannya. Membersihkan coreng moreng tanah. Calon media tanam disisihkan. Didorong ke tempat yang aman. Sekiranya terlindungi dari hujan. Eren memeriksa ingatan apakah ada yang belum dia lakukan. Tapi logikanya hanya mengatakan kalau dirinya sudah saatnya bersih-bersih.
Sesepele itu.
"Ya sudah. Selesai berarti."
Eren, sambil bersiul tapi gengsi, mulai bergerak menginspeksi sampah hasil siangan rumput.
Cukup banyak terkumpul. Korban kejahatan yang tercabut sia-sia.
Eren sekali lagi, tidak merasa bersalah. Anggap saja—katakan—sebuah pengorbanan. Miris. Karena semua vegetasi, sekecil apa pun, juga memiliki catatan perjalanan hidup.
Eren tidak mencintai bumi setengah-setengah.
Bocah SMA merayap mengumpulkan sampah tanpa peduli seragamnya kotor. Dari belakang ia memang sangat berpotensi untuk dicolek bokong. Tapi jujur Eren sangat sibuk—sangat, seratus persen—sampai tidak ada waktu untuk memikirkan sejak tadi berapa banyak warga desa yang melintas dan menunjuk ke arahnya. Menghina dalam bisik-bisik.
Persetan.
Tersenyum sendiri, Eren berjanji akan belajar serius agar bisa diterima jadi aktivis Greenpeace suatu saat nanti. Kalau perlu ia akan mendalami ilmu cocok tanam sampai muntah-muntah.
"Mana botolku tadi."
Semua beres. Kebun jadi lebih cerah. Sentuhan tangan Eren, berbakat tulen, menghilangkan kesan gersang menakutkan di kebun jelek buruk rupa yang dihina seisi kampung.
Ia mulai berhasil.
Air botol yang tadi digunakan untuk mendiagnosa keberadaan humus, dituang pelan-pelan.
Gerimis buatan bersuara ricik, menimpuki bagian tengah pola bujur sangkar. Sambil menyirami kecambah terungnya yang akan memulai hidup dari titik persemaian itu, Eren berpikir, akan seberapa tangguh ia bertahan diuji cinta pada si tanaman baru.
Apakah biasa-biasa saja.
Ataukah melempem.
Atau malah jatuh cinta ekstrem.
"Semoga kau bisa beradaptasi. Aku akan kembali seminggu lagi untuk memindahkanmu ke dalam polybag. Baik-baik ya di sini."
Tanah ditepuk, Eren tersenyum.
"Aku pulang dulu."
.
.
.
.
Kemarau meneror.
Jalan perkampungan terpanggang. Garis kaki langit bergelombang meniru lanskap gurun. Debu galian konstruksi jembatan diterbangkan angin, menggelegak ke angkasa seperti sup berkepul dalam panci.
Eren kuli mandi keringat. Tungkai-tungkai berpeluh dan kemeja kuyup. Pening kepanasan membikin kayuhan sepedanya amburadul. Ban menyublim digesek aspal. Sepeda tua lenggak-lenggok dimanuver tak pasti. Ilusi optis melancipkan dua sudut setangnya seperti pantat cabai, kelamaan makin miring ke kiri.
Oleng. Rem blong. Eren melolong. Ia jatuh dari sepeda sebelum rodanya mengempas persemaian kecambah mungil.
"Kulindungi kau dari badai, hama ulat tanah, terjangan rem blong, udara panas—tapi kau suka panas," gerutunya. "Masalahnya aku tidak tahan panas. Kemarau terlalu cepat datang. Nilai tesku nol, karena gerah di kelas, karena Jean terlalu senang cari ribut. Lagi sudah waktunya memindahkanmu ke polybag."
Anjing liar mengencingi tiang gazebo, mengawasi curhatan bocah kampung dengan kecambah.
"Jean menghinaku karena poinku tertinggi di lomba cerdas cermat topik botani. Iri tanda tak mampu kan?"
Kecambah ditiup angin, tersipu mengangguk.
Eren nyengir lebar. "Aku tahu kau setuju denganku."
Wadah media tanam ditarik keluar dari sudut tergelap. Eren bernyanyi lagu sembarang lirik, menatap sendu persemaian terung lugu. "Kupindahkan kau ke polybag, supaya akar pertamamu cepat adaptasi," terangnya sembari mengayun sekop.
Terung hanya tahu tumbuh, tak perlu tahu teknis. Bayi belajar merangkak namun tambahan kata asuhan seperti "Merangkaklah lalu berdiri, supaya kau bisa berjalan seperti kami" selalu bisa memotivasi.
Mencungkil hati-hati petak bujur sangkar, Eren memindahkan benih. Kini mereka menghuni wadah berdiameter 20 senti, bercokol pada campuran dolomit. Tanah gembur berongga udara menyimpan dan mengalirkan air, tak perlu khawatir terendam genangan. Ia menjamin tempat bagi akar tumbuh, menopang tegak, menutrisi terung sampai siap menancapkan akar berotot sekal di alam terbuka. Satu-satunya yang patut dicemaskan calon terung perkasa adalah curahan hati si penanam.
Eren tidak berhenti bicara, pelbagai cerita.
"—Mikasa mendapat juara satu di lomba lari kemarin. Aku tak pernah melihatnya belajar tapi nilai tesnya selalu tinggi. Apa menurutmu—"
Kecambah bermandikan air dari botol plastik. Disiram pagi sebelum pergi sekolah, sore sepulang sekolah. Eren datang dan pergi dengan hati yang begitu bungah.
Siapa sudi menyiangi pekarangan kebun yang dilabeli angker oleh penduduk? Kali ini Eren datang beserta sabit, lap dan ijuk.
Pembangunan jembatan membikin atap gazebo berdebu. Berjarak kurang tiga kilo. Bilah besi berkait bising dan mandor menjerit tak terlalu mengganggu. Yang Eren permasalahkan cuma satu.
Kekotoran yang dibuat para kuli.
Sewaktu Eren bersekolah, segerombolan kuli jembatan datang berselonjor kaki. Bercangkir-cangkir kopi. Puntung rokok hampir mencelup polybag mungil. Aroma pesing mengambangi semak kering bekas dikencingi.
Empat hari terakhir Eren memendam ngilu hati. Sehabis menyiram benih, ia memunguti sampah. Geng kuli pembuat onar datang dan pergi tanpa permisi. Semut mengiringi sisa nasi bakar. Sekat kayu menampung abu rokok. Gemas, Eren mengumpat sambil menyapu.
Melewati jembatan setengah jadi, mata zamrud Eren berkerlap. Disorotinya satu persatu wajah-wajah berpeluh keringat.
Siapa dari kalian merusak kebun surgawiku? Menodai bantalan kayu gazebo tempat kepalaku bersandar tidur siang? Kuli-kuli banting tulang menyerok pasir dan batu kali. Kaus ketat mencetak kekencangan otot triseps dan biseps, bergerak seaktif kayuhan sepeda Eren yang dirundung kemarahan. Suara tak sampai, si bocah kampung dipunggungi dan dikentuti.
Merasa cerdik, Eren melilitkan papan pada tiang gazebo. Bunyinya adalah "Dilarang Keras Kencing Di Sini. Buang Sampah Pada Tempatnya." Saat esok harinya masih tercium air seni, Eren dendam tak berperi. Ia menambahkan papan lain di bawahnya: "CUMA ANJING YANG BOLEH MAKAN DAN KENCING DI SINI!"
Ancaman berhasil. Angin mengembuskan kesegaran lewat tiap-tiap celah rapat tanaman perdu. Steril dari bau urin, kafein, dan nikotin. Kebun infertil siap menyambut perkembangan terung-terung muda.
Empat belas hari sejak benih mendiami polybag, lima kecambah menjulang seukuran kelingking. Daunnya tumbuh saling berhadapan. Dua pucuk mungil yang membawa senyum merekah di wajah Eren.
.
Siang hari panas menggigit, pun kebun infertil hangat karena jajaran pokok rindang. Eren menyirami terung dengan sebotol air bercampur bulir keringat dari sepanjang lengannya.
Lima benih terung, kandidat penghuni kebun, segera berbatang kayu kurang dari sepuluh hari. Cinta Eren meniupkan ruh bagi mereka untuk menjulang setinggi level mata ketika ia berjongkok. Sudah hampir satu bulan.
Ritual seterusnya adalah melalaikan pekerjaan rumah hingga senja menjelang. Gazebo beralas jajaran kayu jadi sandaran tidur siang. Dua gadis desa melewati kebun, melirik Eren yang terlelap, cekikikan.
Damai.
Saat membuka mata, ia sudah turun satu tingkat dari tempatnya berbaring.
Berlumur peluh, punggung rata dengan tanah. Tiga buah kancing kemeja sekolah copot. Tungkai kaki jenjang mengatup serupa buah agregat mawar yang menguncup. Celana panjang kumalnya dibentang menyelimuti paha telanjang. Betisnya gatal digigiti nyamuk, losion luntur karena keringat.
Bangun, didesak malu, Eren buru-buru mengenakan celana panjang.
Media tanam terungnya masih berdiri, kini ditudungi pohon berdahan menyebar dan acap menjuntai. Berdiri tegak di sebelahnya adalah seorang pria.
Dia kekar namun lebih pendek dari Eren. Fitur tegas dengan kaus yang melekat namun tak seketat kaus kerja kuli jembatan. Dia yang sangat dikenali Eren tapi terlupakan seperti kupu-kupu meninggalkan selongsong kosong kepompong. Buram. Serpihan. Tak bisa diingat.
Saat mata mereka beradu lagi, Eren mengambil ancang-ancang siap serang. Otot kelojotan, saraf menegang bersiap loncat.
Suaranya bariton familier. "Kau tanam terungnya."
"Kutanam atas keinginanku sendiri." Suara Eren lebih cepat dari jatuhnya daun bundar telur. Terlalu tegang, nekat tapi rapuh.
Hidungnya mancung dari samping, mengusap pucuk daun mungil terung ungu. Si pria asing separuh membungkuk, kalau tidak berjongkok.
Pria itu bergumam, "Sudah berdaun empat. Seminggu lagi sudah bisa pindah ke lahan—"
"Aku tahu," potong Eren. "Aku tinggal membuat bedengan. Aku sangat tahu yang harus kulakukan."
Lirikan mata, bohlam gelap penyedot cahaya, menghunjamkan mata panah ke dada sampai pelipis Eren berkedut.
"Oh." Singkat. "Kau masokis."
"Apa?"
"Masokis karena memancing kemarahanku."
Napas Eren tertahan. "Aku tidak mengerti, Sir. Apa yang salah dariku?"
Wajah mengintimidasi berjarak terlalu dekat. "Seluruhnya. Sikapmu setara hewan buas membuatku kerepotan. Berapa kali kau ingin melewati malam-malam kedisiplinan?"
Kepalan tangan menepuk dada kiri. Salut defensif. "Maafkan bila aku salah bicara! Tapi aku sudah melakukan yang terbaik—"
Kata-katanya berhenti sampai di situ. Eren tunduk, setunduk daun penumpu berduri melengkung. Berduri, tapi tumpul untuk si pria asing. Kuasa atas dirinya terlucuti.
"Ada hama," kata pria itu.
Ulat hitam bergurat cokelat, perusak tanaman muda yang menjalin bola-bola larvanya di dalam batang. Ia meliuk kesenangan mampu mendaki pinggiran plastik. Jumlahnya tidak satu. Mereka datang bergerombol, berjumlah puluhan, tak pernah seramai itu berlomba menginvasi media tanam.
"Shit!"
Eren menukik, menyingkirkan mereka satu per satu dengan tangan kosong. Pembantaian darurat demi terung. Ulat tanah dibuat bergelimpangan meregang nyawa, dilempari, diinjaki, badan liat digilas brutal alas kasut. Mestinya diganyang pestisida alami, tidak, insektisida karbofuran! Padahal ia tidak benar-benar menggarap kebun berskala nasional, hanya sebuah polybag namun alam sudah urung mendukung percintaannya dengan terung.
Eren mengangkat polybag, menjamah hama tersembunyi pada bagian dasar, menarik keluar pantat ulat yang bergelayut manja pada lubang drainase. Terbayang jalinan larva telah menyumbat sepanjang pangkal tanaman muda, layaknya memblokir trakea yang menjadi jalur pernapasan mamalia. Larva mematah-matahkan sumbu, dan mengoreknya keluar sama saja dengan dengan memutilasi organ berpembuluh. Serangan seekstrem itu tinggal menunggu waktu sampai batang terung tergolek layu.
"Tamat," si pria asing mengutuk.
"Kalau perlu aku tunggu di sini sepanjang hari," desis Eren berapi-api. "Kalau gagal, kutanami lagi, sampai berhasil, sampai—"
"Kutunggu sampai ia berbuah seukuran dua kali lipat dari besar kemaluanmu. Kusodok-sodok kau jika sampai tak berhasil."
Eren mendongak.
Si pria asing berdiri, intens mengamati. Pendek namun semenjulang raksasa dari sudut pandang Eren. Lututnya menekan sedikit ke depan, seolah sengaja menyundul pipi kenyal tukang kebun yang merona panik. Retlesting celana pria itu vertikal dan berkurva gembung. Tulang sias menyenggol cuping telinga Eren.
"Tapi kau sudah membuat setidaknya lima benih mencuat dari tanah. Kita lihat apakah mereka sudah letoy duluan sebelum dipindah tanam."
Gugup, Eren menunduk. Kaku berjongkok, kesulitan kabur karena tangan tak terlihat sedang mencekik tengkuknya supaya diam. Pria itu nampak serius mengawasi tanaman terung, mendekat, selangkangan tersorong ke depan, kres celananya menekan pipi Eren.
Sontak Eren menggeser diri hingga tersudut. Semak kering tak sempat memicu alergi kulit bentol-bentol pada lengan, tapi membuatnya merintih geli. Rintihan gelinya membikin pria itu bereaksi. Tahu-tahu gerigi retsleting celana pria itu sudah turun ke dasar.
Bocah perjaka bertemu muka dengan alat kelamin pria dewasa. Ia mengenal macam-macam anatomi tanaman berbulu. Begonia berserat tebal dan berbentuk lidah, ditumbuhi rambut halus macam bulu permadani. Mungkin karena darah memadati pipi Eren, sehingga menyebabkannya sensitif ketika bergesekan, atau rambut pubis kasar memang tak etis disetarakan dengan karpet berbulu sutra.
Ketika fabrik terluar menyingkap organ dewasa yang berotot kemerahan, Eren berpindah dari begonia ke buah terung. Terung berkulit halus licin, tebal dengan daun tertutup bulu. Melihatnya seperti itu, ia tak perlu panik.
Hanya melawan.
Berontak sambil mendorong kaki pria itu, Eren terjengkang ke belakang, punggung menggencet tanaman perdu.
Si pria menangkap pergelangan tangannya sebelum Eren terperosok lebih jauh ke dalam sengkarut daun bercangap. Eren ditarik berdiri dengan kekuatan. Pinggang Eren direngkuh mantap, menegakkan punggungnya. Otot biseps dan triseps menekan sisi tubuhnya, Eren terkesiap.
Saat Eren membuka mata, retsleting si pria sudah terkunci benar, dan tanaman terung muda masih belum berbuah.
"Tidak buruk. Tidak perlu menunggu satu setengah bulan untuk dipindah tanam ke lahan. Persiapkan bedengannya."
Eren terperangah.
"Bedengan selebar 1 meter 30 senti. Jarak antar lubang tanam 60 senti. Terung tak suka becek jadi buatlah parit untuk menahan genangan—"
Aku tahu, Eren menjawab dalam hati, tapi membiarkan pria itu memandu. Dia mandor, atasan, pawang hewan buas—perintahnya absolut, padanan kata instruksional, dan Eren masih tak bisa mengingat siapa dia.
"Siapa kau?" tanya Eren.
Pria itu bergumam rendah, awalnya tak ada suara yang keluar.
Kemudian bunyi aneh keluar dari mulutnya. Pita suara berubah menjadi syring dalam trakea, berselaput getar menghasilkan suara serak unggas. Tubuh pria itu menyusut lebih pendek lagi. Ekor berbulu menjuntai, berjengger besar dan berjalu panjang. Berceker. Petok-petok.
Eren tersentak bangun.
Liurnya terbit dari sudut bibir, jatuh menitik bilah-bilah kayu alas tidurnya. Gadis-gadis desa melintasi kebun, terkikik geli melihat Eren.
Dari sudut matanya terlihat sayap hitam kotor berkelepakan. Masih separuh mengantuk, Eren menoleh.
Ayam kampung mematuk-matuk pucuk daun muda terung. Jauh lebih buruk dari serangan hama ulat tanah.
Eren menjerit, berlari menerjang ayam dengan sapu. Percayalah, ia cinta tumbuhan, ia juga cinta hewan. Tapi beberapa hal harus diutamakan dan yang lain dikorbankan. Terung tak mungkin bertahan bila daunnya digunduli dan batangnya dikunyah-kunyah. Diusir dengan ayunan sapu, sepatu kets bulukan Eren dipatoki. Menggebuki ayam nakal terpaksa dilakukan.
Ayam kampung versus Eren dimenangkan oleh Eren. Ayam berlompat lari keluar kebun. Jeritannya melengking heboh. Beberapa meter darinya, ayam lain menyahut parau. Beberapa meter dari ayam kedua, ayam-ayam penghuni kandang peternak telur ikut menjerit. Saling bersahutan penuh solidaritas.
Pada hari itu, ayam-ayam satu kampung berteriak.
.
Polybag terung kini berpagar bambu, disusun segitiga menyerupai sungkup.
Ayam nakal masih berani mengintip. Tidak kapok kena gebuk ijuk, mondar-mandir seputar sungkup.
Saat Eren datang menyandang ransel gembung, ayam kampung terbirit keluar kebun.
Ini dia kebun yang satu bulan sebelumnya mematahkan dua sekop. Eren memulai lagi dengan menyiangi gulma, mencungkili kerikil dan membabat habis rumput. Lahan dibajak dan dibalik, lapisan terbawah tanah dibawa naik ke permukaan tanah.
Berbekal sekop baru beli, Eren membuat tiga baris bedengan sederhana. Lebarnya tak lebih dari semeter, dan tingginya 30 senti. Antara satu bedengan dengan yang lain berjarak setengah meter. Ia menggali parit kecil untuk menampung kelebihan air. Terung tak suka becek.
Lubang tanam dibuat berbaris. Satu bedengan memuat dua lubang yang sudah dijaraki. Setengah kilogram kompos ditabur dan diaduk, mengisi tiap-tiap lubang guna menaikkan derajat keasaman dan unsur organik. Lubang dialiri dengan air secukupnya, tak sampai menggenangi.
Eren memandangi terung berusia sebulan di dalam wadah. Mereka berbatang kayu, berdaun empat helai, kukuh.
"Saatnya kalian dipindahkan. Saatnya tumbuh dewasa dan berlaga di alam terbuka," bisiknya lembut, menenangkan.
Berhati-hati sekop menusuk tanah, menyerok, mencoba tak mengusik akar, menggendong bongkahan tanah bernyawa penuh kasih.
Lima tanaman terung dipindahkan satu persatu ke lubang tanamnya masing-masing. Bibit ditancap tegak lurus ke dalam liang lembab berpupuk, ditanam sebatas leher akar.
Momen-momen langka mengheningkan cipta. Eren terdiam, berkeringat dan mata berkerlap basah. Dia berlutut di hadapan tiga baris bedengan, memandangi lima tanaman terung tegak berdiri siap dewasa.
Senyum lebar Eren hampir mencapai telinganya.
Eren melompat bangun. Langkah kaki menghentak. Terlalu senang sampai ingin melakukan perayaan kecil. Kantong belanjaan dikeluarkan dari ransel. Pagi hari tadi ia menyambangi pasar tradisional dan membawa pulang buah-buahan segar: apel, jeruk, pir. Dia membawa piring plastik dan pisau buah.
Dari dasar kantong belanja, ada buah lain berbadan bulat panjang dengan ujung meruncing. Badannya keras dan agak berat di genggaman. Terung ungu.
Eren melirik tanamannya yang baru tumbuh. Tiga bulan lagi waktu bagi mereka berbunga dan berbuah siap panen.
Terung ungu berat di tangannya, siap dimasak, disantap. Akankah terung Eren berbuah persis sama dengan terung komersil beliannya?
Sembari berkhayal tanaman terungnya tumbuh tinggi dan berbuah, buah terung ia bawa ke bibirnya. Kulit segar mengkilat, licin halus bertemu bibir kering mengelentek. Kedua tangan menggenggam lembut, seraya buku jari mengetuk-ngetuk. Pucuk hidung menyusuri permukaan, menyesap aroma khas terung dalam-dalam.
Mengendus-endus ala maniak.
Eren menyapukan lidahnya pada kulit buah, dari pucuk berkelopak ke ujung melancip. Kedua mata terpejam menghayati.
Gigi terbenam, mengoyak lapisan kulit, menariknya. Kulit ungu gelap terkelupas. Daging mentah berwarna warna putih. Bibir Eren mengerucut, mengurut lembut daging yang tebal. Eren menggigit lembut, membiarkan kandungan air dalam terung meluap, menetes dari sudut bibir ke dagu. Di dalam buah ini terkandung kalium untuk kontraksi otot dan saraf. Tinggi serat untuk pencernaan. Kalsium, besi, fosfor, lemak, protein, vitamin. Terung terbelah menyingkap biji-bijian lembut mungil berjumlah banyak, rasanya pahit karena mengandung nikotin. Ia buah tertuduh beracun di Eropa masa silam, dan kini menjadi buah terlarang yang tak lagi berdosa dicicipi karena pembuktian sains. Seperti bumi yang terbukti bulat. Seperti seks yang tak lagi terlalu tabu.
Memakannya lebih baik dengan cara diolah jadi masakan. Eren menyimpan kembali terung ungunya.
Senja tenggelam. Sore menjelang malam. Membuat bedengan menghabiskan waktu kurang lebih dua jam. Perayaan makan buah menambah waktu setengah jam.
Warna batang pepohonan memekat. Barisan tanaman terung membentuk garis vertikal kelabu, yang kelamaan menyatu dengan bayang hitam membumbung semak perdu. Satu-satunya penerangan adalah lampu jalan di luar kebun.
Tiba-tiba ranting bidara di samping lahan bergoyang pelan. Tak ada angin. Tak ada burung melintas menumpahkan kotoran.
Melirik barisan tanaman terung muda, Eren melihat seorang pria.
Bayangan jatuh pada cekungan di bawah mata sipit, sudut tulang pipi, rahang yang melancip ke dagu. Wajah pria asing yang selalu mengisi mimpi-mimpi basah. Lirikan yang membikin badanmu beku atas bawah.
Eren lupa cara menarik napas.
Pria itu berdiri di depan lahan seolah mengapresiasi batang kayunya yang tumbuh sempurna berkat asuhan Eren. Intensinya tak pernah ada yang tahu.
Mengerjapkan mata satu kali, pria itu raib.
Semilir angin dingin merayapi tengkuk Eren.
Angker adalah titel kedua setelah terbengkalai bagi warga desa. Tak pernah terbersit dalam pikirannya untuk menakuti kebun infertil tempatnya tidur siang. Eren bukan penakut, tak percaya takhayul, walau masih bisa bergidik menonton film horor dan mendengar cerita seram.
Sepasang mata gelap entah milik siapa mengawasi dari balik pokok berkambiun.
Dadanya berdebar tak enak.
Urgen, ia melompat berdiri, seolah-olah dikejar janji penting dengan seseorang. Ransel berkebun ia sembunyikan di kolong gazebo.
Eren terburu-buru mengayuh sepeda, pergi.
.
Satu setengah bulan sejak Eren menanam terung ungu. Pagi itu memasuki minggu ketujuh.
Kemarau diramalkan panjang tak terdengar bagus di telinga pekerja lapangan. Aspal mendidih tak mau diajak kompromi. Ban sepeda mengempis.
Eren telat bangun, mengabaikan mandi dan hanya sikat gigi. Ban sepeda sudah ditambal dan dipompa, tapi sepeda tua masih oleng saat dikayuh. Ada masalah dengan baut velg yang melonggar, atau lagi-lagi ilusi optis mempermainkan penampakan setang, sehingga Eren salah manuver pedal.
Di mulut kebun, Eren jatuh terjerembab dari sepeda. Bunyi sobekan kreek panjang. Celana jeans terkoyak di bagian kreis, membolongi selangkangan.
Penduduk desa lewat di depan kebun. Dua orang ibu rumah tangga dan anak kecil. Ketiganya menertawai Eren dan mencibir. Lihat, remaja kampung yang bersahabat dengan hantu dan berbicara dengan tanaman! Zaman secanggih masih ada yang seperti dia! Mereka sendiri kampungan.
Eren, si yatim piatu kesepian. Bersahabat dengan tanaman dan mencintai terung. Akhir-akhir ini dianggap sinting penduduk sekampung.
Eren bisa menolerir setiap hujatan terhadapnya, kecuali satu hal.
Terhuyung mendekati gazebo dengan gayung penyiram tanaman, Eren berhenti.
Satu tanaman terung pada bedengan ujung kiri terpatah tiga batangnya, lunglai. Daun tercerai berai seperti digilas sesuatu. Tercabut akarnya dan terserak ke parit.
Bukan ayam nakal, bukan hama ulat.
Eren membungkuk memeriksa, bokong di udara, mengekspos celana terkoyak. Ada mata mengamati belahan pinggulnya dari belakang, ia tak peduli.
Si tanaman berbau amoniak, urin, alkohol. Dikencingi dan diinjak. Ceker ayam tak mungkin sebrutal itu. Larva ulat memotong batang, tapi tak punya kemampuan menyabotase seluruh komponen dari mencabut akar hingga menimpuki daun.
Tergantung miring pada tiang gazebo, tanda larangan "Cuma anjing yang boleh makan dan kencing di sini!" telah dicoret spidol hitam, dan ditambahi kalimat: "Memangnya kau anak Pak Kades?"
Para kuli menuntut balas.
Saat mereka tahu penjaga kebun adalah anak ingusan yang berpacaran saja belum pernah, timbul pikiran usil untuk mengerjai.
Usil, bukan pikiran jahat.
Kalau Eren bisa berpikir jernih, sesungguhnya hama ulat tanahlah yang menyebabkan batang terung terpatah-patah. Setelahnya para kuli datang menginjak dan melecehkan. Eren tak mau tahu kronologi.
Untuk pertama kalinya sejak ditinggal mati ibu, mata Eren menggelap. Kedua tangannya mengerat pada sisi paha. Dalam penglihatannya yang tersulut dendam kesumat, para kuli setara antagonis film-film action.
Langkahnya berderap selebar raksasa, menepuk-nepuk tanah dengan bunyi duk duk duk. Hanya berbekal sekop dan kepalan tinju. Nausea melanda sepanjang jalan. Mata lurus, menghunjam kerangka besi jembatan setengah jadi, sarat kebencian. Komponen pembangun jembatan dislengkrakkan di seputar bantaran kali, tak ada yang bertugas menjaga pada hari libur.
Eren mengutuk seluruh material yang terlihat: kayu gelondongan, papan kayu, besi siku, batu kali, timbunan pasir, adonan sirtu. Sambil mengumpat, ia tendangi satu persatu. Dua balok kayu bergeser jatuh ke sungai.
Kaus oblong dijemur di atas bebatuan. Eren mendelik benci. Sekop beralih fungsi jadi pencabik. Oblong katun tak bernama disobek-sobek dan dibuang ke tanah.
"Jangan cari masalah!" desisnya marah-marah. "Jangan merusak kebunku!"
Gelagar besi jembatan dalam keheningan, teronggok pilu Sekop digenggam erat, Eren melangkah petantang-petenteng. Penduduk desa berpapasan dengannya. Variasi tatapan heran dan separuh mengejek, dia abaikan. Eren menendang jauh sampah kaleng minuman. Kaleng melayang di udara, menimpuk kepala anjing buduk yang sedang tidur.
Eren dikejar anjing sampai ke tikungan rumah kepala desa. **
Bersambung
