Konnichiwa, Minna-san~

Udah lama ga publish fic itu rasanya kangeeen banget. Jadi, saya mulai ngetik lagi, di tengah-tengah badai Ujian A, Ujian B, Ujian C yang ngga ada habis-habisnya ini. Sebenernya ini ajang tarik napas dan mengistirahatkan otak dan hati saya sih, hehehe :D


Naruto © Masashi Kishimoto

ぼやく (Complain) © Saqee-chan

Warning : genre ga jelas, OOC, flat, typo(s), dan kawan-kawannya


Ha! Apa kubilang, hidupku ini memang selalu penuh dengan kesialan, penderitaan, dan cobaan. Baru saja tadi pagi rokku robek karena tersangkut lemari pakaian saat aku buru-buru menariknya dari tumpukan baju. Lalu tugasku yang tertinggal di rumah, padahal presentasi itu sudah semalam suntuk aku kerjakan sampai ketiduran di meja belajar dan bangun kesiangan hari ini. Sial! Aku baru ingat kalau tugas itu tertinggal setelah sampai di depan gerbang sekolah yang beberapa senti lagi akan tertutup. Berterima kasihlah pada olahraga rutin yang aku lakukan tiap weekend sehingga tubuhku yang ramping ini sukses masuk sebelum gerbang benar-benar ditutup. Hahaha, harus diakui aku memang seksi.

"Kau telat lagi, Mata empat?" Dan orang ini adalah salah satu dari daftar orang-orang yang membawa kesialan dalam hidupku. Namanya Hozuki Suigetsu, bisa dibilang dia adalah kunci kesialan nomor 1. Setiap hari yang dia lakukan hanya menggangguku, mengusikku, mengejekku, ah, apalagi? Kerjaannya memang di seputar hal-hal menyebalkan itu saja. Tidak terlalu pintar, atau malah bisa kubilang bodoh? Warna kulitnya bahkan lebih putih dariku, terkesan pucat, bentuk giginya runcing seperti taring, dan matanya besar. Dan tebak aku memanggilnya apa?

"Bukan urusanmu, Hiu! Urus saja gigimu yang semakin lama semakin menyeramkan itu!"

Dia tertawa. Heh! Memangnya ada yang lucu!

"Kata-katamu jahat sekali, Karin." Dia menyandarkan tubuhnya di kursi yang saat ini di dudukinya. Dan sialnya kursi itu persis di sebelahku. Yah, dengan sangat menyesal harus kuakui dia adalah teman satu mejaku. Aku saja lupa bagaimana awalnya aku bisa duduk di sebelahnya.

Aku hanya memutar mataku searah jarum jam, lalu membenarkan letak kacamataku. Muak dengan semua kesialan di hidupku, apalagi harus berurusan setiap hari dengan makhluk satu ini. Bukan hal yang asing lagi bagi kami untuk adu mulut setiap hari. Dia itu terlalu menyebalkan. Sepertinya semua yang kulakukan harus mendapatkan komentarnya. Berisik. Aku rasa dia itu fans beratku.

.

Aku mendudukkan diri di kursi, dan mulai mengeluarkan buku-buku pelajaran pada jam pelajaran ini. Apa yang harus aku katakan pada Anko-sensei nanti? Presentasiku tertinggal? Pasti aku akan diberikan hukuman membersihkan toilet atau lapangan belakang sekolah yang terlalu eksotik karena daun-daunan yang gugur kelihatan seperti karpet tebal saking banyaknya. Hell-o! sekolah ini punya petugas kebersihan, kenapa hukuman karena tidak mengerjakan PR harus berkutat di sekitar bersih-bersih. Sebenarnya ini tugas kelompok, dan tepat sekali teman sekelompokku adalah si hiu ini, yang sejak tadi asik mengangguk-anggukkan kepalanya dengan headphone perak yang bertengger di kedua telinganya. Mana mungkin aku menyerahkan tugas ini padanya? Dia terlalu pemalas, bahkan untuk sekedar membuang bungkus permen ke tempat sampah.

Aku mencolek bahunya, dia mencopot headphonenya lalu menolehkan kepalanya padaku.

"Presentasinya ketinggalan."

Otaknya mencerna perkataanku beberapa detik, bisa dilihat dari mukanya yang agak bingung, lalu setelah itu bersiap memasang kembali headphone yang tadi dikalungkan ke leher.

"Aku sudah mengerjakannya," katanya santai.

Aku membulatkan mataku. Apa kepalanya terbentur sesuatu?

"Ck! Aku serius! Presentasinya ketinggalan. Kita bisa dihukum Anko-sensei, Bodoh!" kali ini aku berteriak untuk menyaingi suara dari headphonenya, menarik ujung kemeja di lengannya.

Dia melepaskan perangkat headphonenya itu dan menaruh i-podnya di atas meja. Aku refleks melepaskan tarikan di ujung kemejanya. Dia mengeluarkan laptop hitam dari dalam tasnya. Menyalakannya sebentar, lalu membuka satu dokumen power point. Aku malas mengakuinya, tapi presentasi yang ia buat bahkan lebih keren dari yang kubuat. Dia unggul di beberapa bidang daripada aku, seperti ilmu teknologi dan olahraga.

"Sudah puas sekarang?" kemudian setelah itu ia mematikan kembali laptopnya. Aku hanya mengangguk, mengiyakan. Setelah dia memasukkan kembali laptopnya dan perangkat headphonenya ke dalam tas, lantas dia bangkit dari kursinya disertai suara derit kursi yang bergeser.

"Kau mau ke mana? Lima belas menit lagi pelajaran dimulai," aku mendongak melihat sosoknya yang lebih tinggi dari posisiku. Suaraku terdengar menyebalkan. Entah mengapa saat bicara dengannya selalu ada sebersit emosi dalam suaraku. Pasti ini karena wajahnya menyebalkan. Ya, pasti.

"Toilet. Kau mau ikut?" jawabnya santai, tapi matanya mengerling menggoda.

Dia sengaja mengejekku! Aku memalingkan wajahku. Dasar bodoh, tidak sopan. "Tidak," jawabku pendek.

(づ_ど)

Jadi, namaku Uzumaki Karin jika kau mau tahu. Tidak, aku tidak sesempurna yang kau bayangkan. Keluargaku hanya terdiri dari ayah, ibu, dan aku. Tidak ada yang spesial juga di keluarga kami. Kami hanya menjalani rutinitas seperti biasa, tanpa ada kemesraan yang berlebihan atau pun pertengkaran yang mengerikan. Aku anak tunggal, tapi aku masih punya sepupu di sekolah ini. Anak laki-laki berisik, berambut blonde, dengan sikap berisik—tidak bisa diam—porak poranda yang sangat mengganggu, Uzumaki Naruto. Hubungan kami baik-baik saja, dia sering kali menghampiriku untuk sekedar bertanya apa yang sedang kulakukan, menawariku pulang bareng, atau sekedar mengajakku mengobrol. Dia itu baik, tapi aku tidak terlalu suka bersamanya. Karena setiap kali dia menghampiriku,, beberapa menit kemudian, teman-temannya itu pasti menghampirinya dan mengajaknya pergi. Teman-temannya itu benar-benar pengganggu.

.

Aku tidak populer, tidak digandrungi banyak laki-laki, dan tidak banyak teman. Aku lebih senang mengurus segalanya sendiri, waktu istirahatku di sekolah paling-paling hanya dihabiskan untuk membaca novel-novel terbaru, atau sekedar berjalan-jalan saja di lingkungan sekolah. Tayuya adalah satu-satunya teman yang paling dekat denganku. Kami banyak menghabiskan waktu bersama di luar jam sekolah. Biasanya kami akan pulang bersama, tapi tadi dia mengirimkan e-mail ke ponselku yang berisi dia harus mengurus beberapa keperluan di sekolah yang membuatnya terlambat pulang, lalu setelah itu dia harus—intinya menyuruhku untuk pulang duluan.

.

Apa kau berfikir bahwa matahari makin hari makin menyengat? Baru beberapa meter berjalan dari gerbang sekolah saja, aku tiba-tiba merasa haus. Sepertinya tidak apa bila membeli sekaleng soda di mesin penjual minuman. Aku memutuskan untuk berhenti sebentar di depan mesin yang menguarkan hawa dingin ini. Memasukkan uang, menekan beberapa tombol, kemudian mengambil soda yang keluar dari mesin tersebut.

Ctakk! Cess. .

Haahh. . . mendengar suara berdesis dari kaleng ini saja, membuat aku membayangkan bagaimana sejuknya saat isinya mengalir di tenggorokanku.

Apa aku sudah memberitahu kalau hidupku penuh kesialan?

"Hahaha. Hey jangan cepat-cepat!"

Sekelompok anak-anak mengendarai sepeda mereka dengan kecepatan tinggi. Aku mencoba menghindari mereka dengan berdiri di pinggir jalan. Jumlah mereka cukup banyak.

"Aku akan mengalahkanmu! Hahaha."

"Tidak. Aku yang akan menang," seorang dari mereka berteriak lantang lalu meliuk-liukkan laju sepedanya. Diikuti oleh yang lain dengan tidak menurunkan kecepatan.

Tuk.

Dan seorang dari mereka menyenggol lenganku dengan stang sepedanya, cukup cepat. Membuat sodaku tumpah di kemeja seragam sekolahku. Dan sisanya tumpah ke aspal di bawah kakiku, beserta kalengnya.

"KUSO! Hey kau! Sodaku tumpah, Bodoh. Bocah sialan!" Aku menggeram tanpa sadar, lalu mencak-mencak dengan tangan sibuk mengipas-ngipaskan kemeja atasku yang basah. Anak-anak itu hanya menoleh sebentar lalu melajukan sepedanya lebih cepat. Sialan! Siapa orang tuanya!

Buru-buru mengambil nafas cepat, dan menghembuskannya kasar untuk meredam emosiku. Menghentak-hentakkan kakiku ke aspal sembari menggeledah tas untuk mencari tisu. Setelah dapat, aku mengusap-usapkannya kasar pada bagian yang basah. Tidak berpengaruh memang, karena sodanya sudah meresap sampai pakaian dalamku. Sial! Sial! Sial! Tanganku meremas tisu itu sampai tidak jelas bentuknya dan melemparkannya ke tong sampah terdekat.

Ah! Aku masih haus. Kuputuskan untuk membeli lagi soda di mesin tadi, dengan rasa yang sama. Aku meneguk soda itu cepat dalam sekali nafas setelah membukanya, takut kejadian seperti tadi terulang lagi. Haahh. . . segarnya.

"Melihatmu minum sebrutal itu, membuatku penasaran apa kau pernah minum soda sebelumnya? Hahaha."

Suara menyebalkan itu aku sangat mengenalnya, pantas saja aku sial, kunci kesialan itu ternyata tidak berada jauh dariku. Aku refleks menipiskan mataku, menajamkan pandangan mataku menolehkan wajahku ke belakang detik itu juga. Ha! Benar! 'si hiu' itu pasti membuntutiku. Percaya padaku, dia itu fans beratku.

" .kau?" geramku disertai tatapan paling horor yang kupunya.

"Iisshh, Karin. Tatapanmu itu bisa membunuh orang, kau tahu?" dia dengan santainya mendesis, kemudian menyeringai lebar setelah menyelesaikan kalimatnya.

Aku mengacuhkannya, meneruskan langkahku cepat dan melangkah lebar-lebar menghindari makhluk hiu satu ini. Kemudian suara menyebalkannya tidak terdengar lagi sampai aku mendengar suara derap langkah yang mengejarku.

"Aku masih punya soda, jika kau mau lagi," tawar Si Hiu itu setelah mensejajarkan langkahku. Tangannya menyodorkan sekaleng minuman soda yang sama dengan yang kubeli tadi. Aku melihatnya dari ekor mataku.

"Ck!" aku berdecak, mendengus kasar, kemudian meninggalkannya dengan mencoba berlari menghindarinya.

Dia ini bodoh atau apa? Kenapa malah ikut berlari? Aku juga sudah bilang kalau dia jago di bidang olahraga. Dengan mudah dia mendahuluiku dan menghadang jalanku.

"Minggir, Hiu! Aku sedang tidak mood untuk bertengkar denganmu!" bentakku menatap langsung matanya yang posisinya lebih tinggi dariku.

"Siapa yang ingin bertengkar, Mata empat? Aku cuma mau memberi ini." Menyodorkan sekaleng soda dingin yang kalengnya mulai berembun di depan mataku.

"Cukup! jangan meledekku hanya karena aku minum seperti orang kehausan tadi." Aku berkacak pinggang di depannya, tidak lupa disertai tatapan sinisku yang katanya bisa membunuh orang. Dia itu terlalu banyak menonton anime!

"Aku tidak meledekmu. Sekarang ambilah. Aku tahu kau masih haus, kan?" jawabnya bersungguh-sungguh, membuatku maju selangkah, mendekatkan mataku pada matanya . Aku tidak melihat kerlingan jahil di matanya. Dia juga tidak menyeringai seperti biasanya.

"Berterima kasihlah pada matahari yang semakin panas itu, karena membuatku jadi haus lagi," tukasku cepat.

Mengambil kaleng soda yang masih menggantung di antara kami. Lalu mulai membuka segelnya, sebelum meneguk habis isinya. Aku melihat dia masih memperhatikanku sambil tersenyum, saat menurunkan kaleng soda ini dari bibirku. Hah! Masa bodoh. Aku mau pulang sekarang, aku sudah membuang waktuku dengan percuma apalagi berdua dengannya.

"Hentikan senyum mencurigakanmu itu, Hiu. Sankyuu sodanya." Aku menepuk pundaknya dari arah depan. Meninggalkannya lagi kali ini. Benar-benar untuk pulang ke rumah.

"Tapi Karin—"

"Apa lagi?!" Aku menghentikan langkahku, tanpa menoleh ke arahnya.

"—kemejamu transparan." Suaranya terdengar ragu-ragu saat mengatakannya.

A-apa? Piass! Mukaku panas, ada getaran kecil yang berasal dari dadaku dan menyebar ke seluruh tubuhku membuatku merinding. Aku melirik ke arah kemejaku, tepatnya bagian dadaku. Bodoh! Aku lupa kalau kemejaku tadi basah.

"Aku melihat warna pink. Oh! atau merah—"

"STOP! Stop, Sui. Jangan teruskan, Bodoh! Gigi Hiu! Kau menyebalkan." Aku berteriak tanpa sadar. Intonasi dan nada suaraku berubah-ubah saat mengatakannya. Sebelum aku berlari secepat mungkin dari sini. Aku malu. Sangat malu.

Sedangkan Suigetsu, si hiu itu masih saja mematung jauh di belakangku.

Suigetsu menggaruk pipinya, kemudian tersenyum. "Dia manis juga." Kemudian terkekeh sendiri setelah sadar apa yang dikatakannya barusan.

(づ_ど)

Jika kalian berfikir hidupku baik-baik saja, maka kalian salah besar. Tayuya memang teman yang paling dekat denganku, tapi karena kesibukannya yang lumayan padat kami tidak bisa sering-sering menghabiskan waktu bersama. Aku lebih sering sendirian dan menghindari keramaian. Ketika teman-temanku yang lain berkumpul, mengobrol, dan tertawa satu sama lain, aku akan duduk di kursiku dan melanjutkan membaca novel-novel romansa yang belum selesai kubaca. Aku sering berfikir bahwa kehidupan si tokoh utama dalam novel yang walaupun penuh konflik, lebih menyenangkan daripada kehidupanku sendiri. Aku tidak punya teman, tidak punya musuh, tidak punya gebetan yang bisa dikagumi, dan jauh dari masalah. Menurut kalian ada sisi hidupku yang menarik? Selain Tayuya aku tidak punya teman yang dapat kuajak bertukar pikiran, aku hampir tidak punya musuh di dunia ini. Suigetsu? Kan sudah kubilang, dia itu fansku. Jika setiap remaja punya seseorang lawan jenis yang bisa dikagumi, aku tidak sempat untuk memikirkan hal semacam pacaran yang menurutku tidak penting—tidak akan ditanya pada saat ujian sekolah.

.

Ya, kalian boleh bilang aku tidak pandai bergaul. Aku tidak mudah percaya pada orang lain, terlalu sensitif, kata-kataku pedas, aku tidak terlalu cantik, aku tidak pintar, aku tidak dikagumi ribuan laki-laki, aku tidak kaya, dan yang paling menyebalkan sebagian makhluk kurang ajar di sekolahku ini menganggapku lesbian. Hell no! aku normal. Mereka saja yang bodoh, menghabiskan masa remaja mereka dengan menggantungkan cinta dari satu laki-laki ke laki-laki lain. Diperalat dan dihadiahi sejuta gombalan kata-kata cinta boleh copy-paste dari internet saja bangganya setengah mati. Idiot!

.

Tayuya sudah sering menasehatiku untuk membuka diri pada teman-teman yang lain. Ia terus bilang padaku kalau mereka itu sebenarnya ingin berteman denganku, bila saja aku menunjukkan sikap positif dari dalam diriku sendiri. Tayuya harusnya lihat saat aku berniat untuk bergabung dengan mereka, apa yang mereka lakukan padaku? Mereka berhenti dari pembicaraan, tersenyum canggung padaku, lalu meninggalkanku satu-persatu. Apa itu yang dinamakan salam pertemanan?

.

Anggap saja orang tuaku tidak tau masalah ini. Aku tidak pernah bercerita pada siapapun tentang ini. Aku sibuk membangun duniaku sendiri. Yang ada di kehidupanku cuma aku, Tuhan, keluargaku, Tayuya, dan 1% Suigetsu. Kenapa aku terus membicarakan hiu bodoh itu? Ck! Cuma Suigetsu yang bisa membuatku cerewet. Aku bisa menjadi diriku sendiri saat bersama Suigetsu, aku bisa seenaknya memarahinya, mengomel, bahkan memukulinya jika dia sudah mulai bicara yang aneh-aneh. Aiiissshh! Berhenti membicarakan dia!

(づ_ど)

Kenapa lagi-lagi harus tugas kelompok? Aku sangat benci dengan tugas kelompok. Menurutku kerja kelompok bukan hal yang efektif untuk memantau kemampuan siswa. Belum lagi tugas kelompok itu hanya memberatkan yang pintar, atau yang lemah. Apa guru-guru itu yakin kalau semua anggota kelompok itu mengerjakan tugasnya? Heh! Mereka tidak tahu saja kalau kenyataannya tugas kelompok itu hanya dikerjakan oleh satu atau dua orang dari kelompok tersebut, lalu teman-temannya yang lain hanya numpang nama di cover depan. Mereka pasti tidak tahu. Tugas mereka hanya mengecek pekerjaan yang ada, lalu memberi nilai semua nama yang tercatat di cover depan itu.

.

Keadaan kelas yang seperti ini adalah keadaan yang paling kubenci. Semua siswa di kelasku sibuk mencari anggota kelompok masing-masing. Menyebabkan suasana kelas menjadi ribut dan tidak teratur karena hampir semua murid pergi dari tempat duduknya masing-masing dan bergerak tak beraturan. Apa mereka tidak malu dengan status Senior High School, tapi tingkah macam Elementary School? Saat mereka sibuk seperti ini, yang kulakukan biasanya hanya diam di bangkuku dan bertingkah seolah-olah aku tidak mendengar mereka. Nasibku selalu sama, setiap tugas kelompok mata pelajaran apapun, mau tidak mau akan sekelompok dengan 'si gigi runcing' di sebelahku ini. Kenapa? Alasannya sama, karena tidak ada yang mau sekelompok denganku. Mereka terlalu segan untuk mengajakku, mereka selalu begitu. Hanya melihatku sekilas kemudian bergidik dan mengedarkan pandangan pada orang lain. Pokoknya siapapun selain aku.

"Hei, Kacamata! kau sekelompok denganku."

Suigetsu itu mulai lagi, dia selalu memanggilku 'kacamata', 'mata empat', 'redhead' dan julukan-julukan aneh lainnya. Ck! Kenapa sih suaranya itu selalu membuat telingaku gatal!

"Huh, aku bosan sekelompok denganmu terus," jawabku ketus.

"Asal kau tahu saja ya, Mata empat! Aku juga bosan sekelompok denganmu setiap ada tugas kelompok. Tapi mau bagaimana lagi? Cuma kau yang belum kebagian kelompok. Kau mau mengerjakan tugas kelompok sendiri?" balas Suigetsu tidak mau kalah.

"Oh, jadi begitu? Kalau begitu aku bisa mengerjakannya sendiri." Aku membetulkan letak kacamataku, meletakkan buku paket yang sedang kubaca ke atas meja dengan agak keras, sehingga menimbulkan bunyi yang cukup menyebalkan.

Buk!

Lalu menyandarkan punggungku pada kursi sementara kedua tanganku menyilang di depan dada.

"Ck! Baiklah. Terserah apa maumu, Mata empat. Kau itu memang menyebalkan!" Suigetsu menatapku sengit, sepertinya dia benar-benar kesal. Lalu membuang mukanya ke arah lain.

Kriiiiiiiiinnngg. . .

Bel pulang sekolah berbunyi. Bunyi yang paling aku tunggu-tunggu sejak tadi. Aku mendengar dia berdecak. Lalu meraih tasnya kasar sebelum meninggalkan kelas diikuti oleh teman-temanku yang lain. Aku membereskan semua bukuku dengan gerakan lambat. Entah kenapa aku malas bergerak, padahal aku sudah sangat ingin pulang. Satu persatu semua orang di kelas ini meninggalkanku sampai aku sadar kalau ternyata kelas ini telah kosong. Aku menarik resleting tasku setelah semua barang-barangku telah dimasukkan.

.

Aku kemudian melepaskan kacamataku dan meletakkannya di atas meja. Menunduk, menahan wajahku dengan kedua telapak yang menutupi seluruh wajah, kedua sikuku menopang di atas meja. Rasanya kepalaku pusing, mataku memanas, aku tidak bisa menahan perasaan ini lagi. Perasaan yang telah aku sembunyikan setahun terakhir ini. Bagaimana rasanya dikucilkan, bagaimana rasanya tidak diperhatikan, bagaimana rasanya saat kau tidak punya teman untuk diajak bicara, bagaimana saat kau dijauhi, kau digosipkan hal yang macam-macam tetapi kau tidak bisa membela dirimu sendiri, kau tidak punya teman-teman yang bersikap hangat padamu, memperhatikanmu, menghiburmu saat sedih, membantumu saat kesulitan. Kau tidak punya tempat bersandar, tidak bisa berkumpul dan tertawa bersama, jalan-jalan bersama, berbagi kesenangan, tidak ada teman yang membelamu saat kau dituduh disalahkan atas semua yang tidak kamu lakukan. Dan aku mengalami itu semua.

.

Aku tidak sadar air mataku sudah jatuh satu-persatu dan membentuk genangan-genangan kecil di atas meja. Aku sengaja tidak mengapusnya. Aku membiarkannya menetes sebanyak mungkin untuk melegakan hatiku. Mungkin saat air mata ini berhenti, beban di hatiku bisa berkurang. Hatiku semakin sakit saat mengingat hal-hal yang membuatku merasa bahwa aku sendirian di dunia ini. Tidak ada siapapun yang bisa kupercaya. Aku sudah terbiasa sendirian. Aku selalu membatasi diri dengan dunia luar. Aku membuat duniaku sendiri. Dunia yang menganggap aku ada, yang mengacuhkanku, sehingga aku sering terlihat menyibukkan diriku sendiri dengan kegiatan yang sebenarnya kubuat-buat.

.

Sekarang aku bisa mendengar isakanku sendiri. Nafasku mulai tersenggal-senggal. Aku juga benci air mata. Saat air mata mulai menetes keluar, itu membuat dadaku sesak, aku jadi susah bernafas, hidungku merah, dan mataku akan terlihat bengkak sesudahnya. Dan itu membuatku terlihat jelek. Bukankah semua orang di dunia ini senang berteman dengan gadis yang cantik?

"Kau belum pulang?"

Aku tersentak. Suigetsu! Sedang apa dia di sini? Apa dia ingin mengejekku lagi? Aku menghapus jejak air mata di pipiku dengan kasar. Lalu mendongak menatap sosoknya yang berdiri di sebelahku.

"Mau apa kau ke sini?" suaraku serak, mungkin karena efek menangis tadi.

"Aku cuma mau ambil headphoneku," katanya sambil mengeluarkan perangkat kesayangannya itu dari loker meja. "Kau belum menjawab pertanyaanku. Kau belum pulang?"

"Bukan urusanmu," jawabku singkat.

"Dasar Mata empat! Kenapa sih kau keras kepala sekali. Aku itu tanya baik-baik tapi kau malah menjawabnya seperti itu!" katanya kesal.

". . ."

Aku diam saja, tidak tertarik untuk menjawab omelannya.

"Kau mau pulang tidak?" tanyanya sesaat setelah memasukkan headphone ke dalam tasnya. "Kudengar sering ada hantu yang muncul setelah pulang sekolah," katanya dengan suara berbisik.

Aku tersentak, refleks bangun dari kursiku. Jujur, aku takut sekali pada hantu. Walaupun aku belum pernah melihatnya—aku tidak ingin melihatnya satu kalipun. Segera menyambar tasku dan memakai kacamataku kembali.

"Ayo kita pulang," kataku agak takut. Dia ini menyebalkan sekali sih. Kenapa tiba-tiba bicara soal hantu.

"Hahaha. Ternyata selain keras kepala, dan menyebalkan, kau itu penakut ya," kata Suigetsu mencibir.

Ish, aku melihat seringaian lebar itu lagi, menampakkan gigi-giginya yang runcing. Seringai yang dipakai jika dia sedang menggodaku. Seringai paling menyebalkan dari orang yang paling menyebalkan di seluruh dunia.

"Diam kau, Hiu!"

Suigetsu mulai berjalan meninggalkan kelas, aku berjalan mengikutinya dari belakang. Aku terlalu malas untuk berjalan sejajar dengannya.

Di sepanjang lorong kami terus saja dalam posisi yang sama. Suigetsu berjalan di depan, sedangkan aku mengikutinya dari belakang persis seperti anak ayam dengan induknya. Aku masih waspada sambil melangkah pelan-pelan, jangan-jangan yang dibilang oleh Suigetsu dan murid-murid lainnya benar. Kalau selama ini 7 misteri di sekolah itu benar-benar ada. Apa iya? Kenapa aku merasa seperti diikuti?

Kkriiieeett. . Blam!

Suara derit pintu kelas dan debaman itu mengagetkanku. Aku segera berlari mengejar Suigetsu yang terpaut beberapa langkah di depanku dan tanpa sadar memeluk lengannya. Membuat dia juga tersentak dan menghentikan langkahnya. Kakiku masih gemetar, karena saat aku benar-benar ketakutan tadi, suara debaman yang cukup keras itu mengagetkanku.

"Hei, hei, kau kenapa?"

". . ."

"Hei, tubuhmu bergetar. Kau baik-baik saja?"

"A-aku. . . takut," entah kenapa suaraku mengecil. Aku mendongak menatap wajahnya yang sangat dekat itu takut-takut. Aku baru tahu kalau warna pupilnya itu agak keunguan.

Suigetsu tersenyum. Lalu tangannya yang lain yang tidak kupeluk, menepuk puncak kepalaku. Mencoba untuk menenangkanku.

"Itu hanya angin. Kau tidak perlu takut."

Aku mengangguk tanpa sadar. Kata-katanya ditambah tepukan di puncak kepalaku membuatku tenang.

"Sudah, jangan memelukku terus. Aku tahu kau cuma cari kesempatan saja kan? Hahaha," tawanya terdengar menyebalkan, aku sesegera mungkin melepaskan pelukanku. Kalau aku tidak takut, aku juga tidak mau memeluknya. Cih! Enak saja.

Aku mulai berjalan kembali, meninggalkannya yang masih tertawa karena percaya dirinya yang berlebih. Gantian kini Suigetsu yang mengikutiku dari belakang, tapi kemudian mensejajarkan langkahnya denganku.

"Kau habis menangis ya?" tanyanya tiba-tiba. Ekspresinya kini berubah serius setelah sebelumnya puas menggodaku. Dia itu memang tidak bisa ditebak. Kadang saat aku menganggapnya serius ternyata dia bercanda. Saat aku menganggapnya bercanda, tenyata dia sedang bicara serius. Jadi, kita sebut saja dia Mr. Ambigu.

Aku melirik sebentar ke arahnya sebelum membuang muka. "Bukan urusanmu."

"Ck! Kenapa sih kau itu selalu menyebalkan, keras kepala, penyendiri, bicaramu selalu kasar, terus kau itu galak, tidak pernah mau mendengarkan orang lain, tidak pernah bertingkah seperti perempuan, dan kenapa kau harus selalu berduaan dengan novel tebalmu itu? Kau itu seharusnya—"

"URUSAI! AKU BILANG BUKAN URUSANMU!" teriakku tanpa sadar. Aku sudah tidak bisa mendengarnya berceloteh lagi. Perasaan sakit itu kembali lagi, setelah tadi aku sempat mengeluarkannya. Mataku kembali memanas, bibirku mulai bergetar. Aku menatap matanya yang membulat kaget, mungkin ia tidak menyangka aku akan berteriak padanya. Pandanganku buram, bukan, ini bukan karena minus kacamataku yang bertambah. Tapi ini karena air di pelupuk mataku yang menggenang yang menghalangi pandanganku.

Tes.

Air mataku menetes. Di depan orang yang paling kubenci.

"KAU! TIDAK TAU APAPUN TENTANG AKU. BERHENTI MENCAMPURI URUSANKU!"

"Karin. . ." Dia menggumam lemah. Pandangan matanya tiba-tiba melembut.

"Hiks. Kau tidak tau apapun, Sui. Hiks," ucapku sambil terisak. Aku tidak bisa berbicara dengan lancar. Nafasku kembali sesak. Tangan kananku mengepal di dadaku, di situ rasanya sesak sekali. Aku masih meneruskan isakanku sampai aku merasakan hangat.

Suigetsu memelukku.

"Karin. . ." Suigetsu kembali memanggil namaku. Pelukannya semakin erat, aku bisa merasakan suhu tubuhnya yang hangat. Entah kenapa aku tidak ingin melepaskan pelukan ini. Tapi aku juga tidak menggerakkan tanganku untuk membalas pelukannya. Aku hanya membiarkan air mataku mengalir membasahi kemeja sekolahnya.

TO BE CONTINUED


(づ_ど)


Jadi, ini sebaiknya KEEP OR DELETE?

Saya ragu-ragu nerusinnya.

Arigatou sudah baca, jangan lupa klik 'Review' di bawah ya~ ^^v