Hy^^

Salam kenal, saya author baru di fandom snk, dan ini fic pertama saya. Banyak yang belum saya mengerti di fandom ini, jadi saya mohon bimbingan para senpai *bow*

Chapter pertama ini merupakan translate *hanya yang bergaris miring* dari salah satu fic favorit saya, dan saya sudah mendapat izin dari author aslinya untuk menggunakannya sebagai prolog di fic multichap ini ^^a. Berhubung ini pertama kalinya saya menterjemahkan fic *dan saya sebenarnya gak terlalu pinter bahasa inggris =.=* ada sedikit perbedaan dengan fic aslinya *lumayan banyak sih * jika ada yang ingin,silahkan membaca langsung fic aslinya yang berjudul 'Chance' by Jayewings atau langsung di link ini s/10133273/1/Chance atau bisa di tumblr beliau di ( .com)

Dan satu lagi... ini RivailexfemaleEren... saya gak akan mau terima flame pairing *walau saya tahu pair ini mungkin agak aneh* jadi kalau gak berminat baca pair ini silahkan tekan tombol 'Back'. Dan fic ini gak akan sama 100% dengan manga aslinya. Sayakan mengubah beberapa hal sesuai kebutuhan ^^a #plak.

Saya tahu saya nggak terlalu orisinil ^^a dan saya mohon maaf. Tapi saya harap ada yang suka fic versi saya ini^^

Happy reading minna^^

Disclaimer : Hajime Isayama

Pairing : RivaiFemEren (Rivaile/Levi x FemaleEren)

Warning : OOC, AR, SemiCanon, typos dll.

Don't like Don't Read!

.

.

## Linked Memories ##

By : Ayushina

.

.

Chapter 1

.

.

Ia tak tahu apa yang terjadi.

Di tempat dimana bunga-bunga yang terkoyak patah, ranting berserakan dengan batang pohon yang hancur, rerumputan yang terinjak dan kusut penuh lumpur. Tercabik oleh jejak kaki yang terlampau besar untuk ukuran manusia.

Ia bertanya tentang merah yang menodai setiap bebatuan, akar, rumput dan permukaan tanah yang bisa terlihat olehnya. Cairan merah itu menggenang dibawah setiap cabikan daging atau tubuh yang berserakan di tempat itu. Bercampur dengan pecahan pedang dan sepihan hijau jubah yang semula berlambang sayap kebebasan.

Hembusan angin membelai rerumputan yang terkoyak, menciptakan gelombang kecil di ujung daun yang sewarna darah kini. Ia mendongak dan menatap langit dari sela rimbun pepohonan yang masih tersisa, dan kembali bertanya kenapa tiba-tiba suasana menjadi sunyi, terlalu sunyi. Padahal yang terakhir ia ingat adalah teriakan, raungan, dan dengung mesin manuver gear serta dentingan pedang, dan sakit. Sakit dan darah dan terlalu banyak suara bising yang membuat kepalanya berdengung.

Tak ada asap atau uap yang muncul dari tubuhnya yang terkoyak. Dan ia bisa merasakan cairan basah yang lengket di sisi kiri tubuhnya. Tanpa menolehpun ia tahu bahwa itu darah, masih mengalir segar dari luka menganga di tubuhnya.

Ia pernah membaca sebuah buku dulu, dulu sekali di tempat yang menyenangkan dan sangat jauh dari sini, bahwa darah bisa disebut 'Cairan kehidupan'. Tapi seumur hidupnya yang pendek, setelah semua yang telah ia lihat, darah tak terlalu cocok dengan julukan itu. Baginya, dimana ada darah, disitu ada kematian.

Buku siapa? Otaknya mencoba mengingat kenangan yang telah usang itu...

Ia menoleh ke samping... menatap tubuh-tubuh yang bergelimpangan di tempat itu. Sebagian berupa serpihan merah yang bahkan takkan bisa dikenali lagi. Tapi ia bisa melihat... mengenali helaian pirang itu –Armin, Armin... buku milik Armin-, serpihan kain merah itu –Mikasa-, ia bisa mengenali itu semua... –Hanji, Jean, Connie, Sasha...-

Ia merasa hatinya telah hancur. Benar-benar hancur hingga ia bisa merasakan detaknya yang menyakitkan.

Ia mencoba bangun perlahan, kepalanya terasa berputar dan ia ingin muntah. Tapi tak ada apapun selain remukan tulang dan darah dalam tubuhnya. Di depannya ia melihat lebih banyak... darah. Entah mengapa ia tahu seluruh rekannya telah mati.

Perlahan... dengan sangat menyakitkan, ia menoleh ke kiri...

Dan cairan bening itu mulai menggenang di iris hijaunya saat melihat sosok itu... –Kumohon... semoga itu bukan dia- terbaring disisi sebuah pohon dengan kedua kaki yang tercabik, sebelah lengan yang tertekuk tak wajar sementara sebelah lagi terlihat masih memegang cutterblade. Dan ia bisa melihat cravat putih di lehernya bergerak pelan saat angin bertiup.

Dan tubuh itu tak bergerak.

Ia bisa merasakan airmata yang mengalir deras di kedua sisi wajahnya... hangat dan segera mendingin saat angin berhembus. –Kumohon...-

Tak peduli dengan nyeri di sekujur tubuhnya, ia mencoba bangun dan merangkak ke sisi sosok itu. –Kumohon...-

Harapannya langsung musnah saat melihat wajah yang familiar itu. Penuh noda darah dan lumpur yang ia tahu sangat dibencinya.

"Rivaille," Ia berbisik saat ambruk di sisi sosok itu. Dengan tangan yang bergetar mencoba membelai pipi pucat di hadapannya.

Perlahan kelopak itu terbuka, menampakkan iris silver yang selalu bisa membuatnya berdebar.

"Eren?" bisik Rivaille hampir tanpa suara. Iris silver itu bergerak perlahan, "Kau disana? A-aku-" sosok berambut kelam itu terhenti sesaat, mencoba mengatur nafasnya yang tak beraturan.

"Aku tak bisa melihat," lanjut Rivaille lagi. Pelan dan tak lebih dari sebuah bisikan.

Ia mencoba menjawab,"Ya, ini aku," jawabnya pelan dan terasa seperti darah. Ia membelai pipi pucat itu dengan tangannya yang dingin.

"Aku disini," bisiknya lagi.

Ujung jarinya sedikit bergetar,"Eren..." panggil Rivaille pelan seakan tengah berdoa. "Eren, maaf..."

Jemari itu bergerak membungkam bibir yang memucat, "Sssh..."

Ia menyeret tangannya yang lain , yang penuh darah, agar bisa menggenggam tangan Rivaille. Jemari mereka menyatu, namun tak bisa bertaut... lengannya mati rasa, dan Rivaille mungkin tak bisa lagi menggerakkan tubuhnya.

"Jangan berkata seperti itu..." ia tak ingin mendengar suara Rivaille yang penuh rasa sakit, ia ingin melupakan wajah Rivaille yang sekarat di depannya. Tapi ia tak bisa mengingat apapun yang membahagiakan saat ini.

Ia sedikit terbatuk saat darah di tenggorokannya membuatnya tersedak.

"K-kau baik-baik saja?" tanya Rivaille berusaha melihat dari matanya yang berkabut.

Ia menunduk menatap luka di sekujur tubuhnya yang masih mengeluarkan darah. Ia juga bisa merasakan denyutan nyeri di sekujur tubuhnya. Ia tahu ia takkan selamat kali ini.

"Y-Ya... kau tahu aku pulih dengan cepat," bisiknya sambil memejamkan mata dan menaruh kepalanya di dada sang Corporal. Merasakan denyut itu berdetak lambat.

"Itu bagus," bisik Rivaille memejamkan mata dan perlahan menghembuskan nafasnya perlahan.

"Dimana yang lain?" tanya sang Corporal itu lagi... ia tak menjawab. Tanpa mendengar jawabannya, Rivaille sudah mengerti. Ia memejamkan mata sejenak seolah berdoa.

Angin kembali bertiup... menggerakkan dedaunan dan membentuk gelombang di ujung rerumputan disekitar dua manusia itu.

"Kuharap aku bisa melihatmu untuk yang terakhir kali," bisik Rivaille, ia membuka mata dan kembali memandang sekeliling seolah tak ingin menyerah agar dapat melihatnya.

"Rivaille," Ia berkata dengan nada mendesak, ia tahu mereka tak memiliki banyak waktu. "Aku tak peduli lagi dengan semuanya, kita akan tetap bersama di dunia selanjutnya, iya kan? A-aku tahu kau tak percaya hal semacam itu... tapi kita akan bertemu lagi."

Sesaat suasana sunyi, sebelum Rivaille kembali berkata lirih, "Kuharap begitu,".

Rivaille tahu apa yang ia mau, dan apa yang ia mau adalah dunia dimana mereka memiliki kesempatan, sebuah kesempatan untuk hidup sebagai manusia normal, sebuah kesempatan untuk memiliki sebuah hubungan tanpa perlu takut akan kehilangan semuanya dalam sekejap. Sebuah kesempatan agar dapat peduli pada diri sendiri dan orang lain, kesempatan untuk hidup, untuk saling mencintai. Sebuah kesempatan untuk mengucapkan 'Aku mencintaimu'. Kesempatan untuk hidup tanpa ketakutan, tekanan, dan kesedihan yang berkelanjutan, menuju sebuah kehidupan yang penuh harapan dan kebebasan. Ia ingin melihat dunia itu. Ia ingin seluruh teman-temannya. Ia ingin Rivaille.

Dan ia tahu Rivaille juga menginginkan itu.

Mungkin mereka tak bisa mengatakan itu sekarang, meskipun mereka tengah mengambil nafas terakhir mereka dalam dunia yang kejam ini. Tapi suatu hari, suatu saat, di dunia yang indah seperti dunia ini sebelum semua yang telah terjadi.

"Jangan menangis," bisik Rivaille. Ia tak sadar ia telah menangis, ia mengambil nafas dalam, mencoba menyembunyikan isakan yang mulai terdengar. Ia membelai jemarinya dalam surai hitam sang kekasih dan meletakkan kepalanya di dada Rivaille. Mendengarkan jantung itu tergagap, sesaat mengingatkannya tentang malam-malam saat mereka bersama.

Nafas Rivaille mulai tak beraturan, dan ia bisa merasakan kelopak matanya terasa semakin berat. Tapi Rivaille harus pergi lebih dulu,ia tahu itu. Ia sedikit menolehkan wajahnya agar bisa melihat wajah itu, ingin mematrinya dalam ingatan agar seribu atau bertahun-tahun dari sekarang ia bisa mengenali wajah itu meski dalam keramaian. Kulit Rivaille sangat pucat, penuh noda darah, dan matanya terlihat berkabut dan berkaca-kaca. Tapi itu tetap Rivaille. Ia mengecup bibir pucat itu singkat sebelum kembali meletakkan kepalanya di dada sang Corporal.

Rivaille menggumam, seakan ingin berbicara di antara nafasnya yang tak beraturan.

"Sssh..." Ia menghentikan bibir pucat itu. Ia bisa mendengarnya, bagaimana jantung itu mulai kehilangan fungsinya. Ia tahu bahwa ini adalah nafas terakhir Rivaille, nafas terakhir orang yang dicintainya.

Rivaille mengambil nafas dalam hingga tubuhnya bergetar. Jantungnya berdetak sekali. Dua kali.

Dan tubuh itu terdiam.

Dengan tangan bergetar ia menutup sepasang mata silver yang masih setengah terbuka. Dan ia tetap berbaring disana, mendengarkan jantung yang telah mati. Hingga ia tenggelam dalam kegelapan, membiarkan matanya tertutup, dan kesadarannya menghilang.

Selanjutnya, nanti, mereka pasti memiliki kesempatan.

"Eren,"

"Eren,"

"EREN!"

Sosok itu terkesiap kaget dengan iris hijau yang terbuka lebar. Menatap gadis kecil berambut hitam dengan syal merah di lehernya. Angin yang berhembus membuat rerumputan di sisi wajahnya melambai pelan.

"A-are... Mikasa?" sosok berambut coklat yang tengah terbaring itu bertanya. Nafasnya masih tak beraturan.

"Lebih baik kita segera pulang," gadis kecil yang dipanggil Mikasa itu berkata dengan wajah tanpa ekspresi.

"Apa... yang kau lakukan... disini?" sosok kecil beriris hijau bertanya dengan wajah yang setengah sadar.

"Bukannya kamu yang tidur terlalu lelap hingga bermimpi, Eren?" tanya Mikasa sambil berdiri dari posisinya yang semula berjongkok.

"Tidak..." Eren berkata sambil bangun. "Sepertinya aku mengalami mimpi yang sangat panjang." lanjutnya pelan.

"Apa yang aku impikan... aku tak bisa mengingatnya..." kata sosok berambut coklat pendek itu lagi sambil memegang kepalanya yang berdenyut.

"Eren... kenapa kau menangis?" tanya Mikasa saat ia berbalik sambil menggendong setumpuk ranting kering.

"Eh..." bocah beriris hijau itu meraba pipinya yang basah.

.

.

.

"Mikasa, jangan bilang siapa-siapa kalau aku menangis ya," kata Eren sambil berjalan menuju gerbang yang menghubungkan kota Shinganshina dan padang kecil tempat mereka mengumpulkan kayu bakar di bagian dalam dinding Maria.

"Iya, aku mengerti," kata Mikasa sambil berjalan disisinya. "Kalau kau tak mengingat alasanmu menangis, lebih baik kau bicarakan ini dengan ayahmu." lanjut Mikasa.

"Yang benar saja, mana mungkin aku membicarakan hal semacam itu," jawab Eren sedikit kesal.

"Apa yang kau tangisi, Eren?"

Sebuah suara tiba-tiba menyela. Membuat dua bocah berumur sekitar sepuluh tahun itu mendongak. Menatap penjaga gerbang berambut pirang cepak dengan seragam coklat bersimbol mawar.

"Hannes-san," Eren tersentak kaget.

"Apa Mikasa yang membuatmu menangis?" tanya penjaga gerbang itu dengan wajah merah. Ia memang mengenal dua gadis yang selalu bersama itu. Dan menggoda Eren adalah salah satu hal yang bisa membuatnya tersenyum disela tugasnya menjaga dinding yang membosankan.

"Apa! Memangnya kenapa aku menangis?" elak Eren panik,

"Ugh... kau bau sake," kata Eren lagi sambil menjauhkan kepalanya.

Seperti biasa... para penjaga gerbang yang seharusnya menjaga dinding dari serangan Titan itu malah bersantai sambil mabuk-mabukan. Dan seperti biasa, Eren kembali menggerutu dan mengomeli mereka. Bukankah mereka seharusnya bertugas?

Seperti biasa pula, para penjaga itu hanya tertawa dan malah menawarinya minum juga. Mengatakan bahwa mereka tak perlu menjaga dinding yang sudah selama 100 tahun menjaga mereka dari raksasa diluar sana. Mereka sungguh percaya bahwa dinding setinggi 50 meter itu tak akan jebol dan akan selalu menjaga mereka dari raksasa.

Setelah mengomel panjang lebar –yang seperti biasa tak pernah di dengar para tentara itu- Eren kembali berjalan pulang dengan wajah kesal dan bersungut-sungut.

"Eren, menurutku kau tak usah bergabung dengan pasukan pengintai," kata Mikasa saat mereka berjalan.

"Kenapa? Apa menurutmu mereka juga bodoh seperti penjaga gerbang payah itu?" tanya Eren dengan nada tinggi.

"Bukannya aku berpikir mereka itu bodoh, tapi-"

Kata-kata Mikasa terhenti saat bunyi bel berdentang keras terdengar dari pintu gerbang utama.

"Pasukan pengintai kembali," kata Eren sambil memandang gerbang dari kejauhan. Melupakan apa yang telah dikatakan Mikasa,

"Ayo Mikasa! Para pahlawan telah kembali!" kata Eren antusias sambil menarik tangan Mikasa dan mengajaknya berlari menuju jalan utama yang akan dilalui para pasukan pengintai.

"Sial, aku tak bisa melihat!" gerutu Eren saat kerumunan sudah memenuhi tepi jalan dan membuatnya tak bisa melihat para tentara yang menjadi idolanya itu. Ia melihat tumpukan kotak kayu dan segera naik di atasnya.

Dengan penuh semangat dan senyum di wajahnya, Eren memandang gerombolan tentara berjubah hijau dengan simbol sayap berwarna hitam dan putih di punggungnya. Mata hijaunya menyapu setiap wajah seakan mencari seseorang.

"Eh," Eren memasang wajah bingung saat wajah yang dicarinya itu tak ada.

Kenapa? Padahal ia yakin sosok bermata silver itu akan ada diantara pasukan itu.

Eren segera memegang kepalanya yang berdenyut nyeri...

Dimana? Dimana dia?

"Eren... kau baik-baik saja?"tanya Mikasa di sisinya.

"Mikasa," panggil Eren masih sambil memegang kepalanya. "Dimana dia?" tanyanya.

"Siapa?" tanya Mikasa balik. Membuat Eren tertegun.

Siapa? Siapa yang ia cari?

"Dimana... Rivaille...?"

.

.

.

To be continue...

.

.

.

^^ saya tahu bakalan banyak yang bingung, yang pasti ini bukan reinkarnasi fic ^^a

Jika ada yang ditanyakan silahkan review ^^ mohon juga komentar dan sarannya^^

REVIEW PLEASE...