Summary:

Selamat datang di Hetalia Gakuen... [ASEAN] Pasti kelas ini, pikirnya. "KENAPA SIH TUH ANAK GAK BERUBAH-BERUBAH DARI JAMAN BAHELA DULU?! ISEEENG BANGET SAMA GUE!" "Nesia?" "… Netherlands." "Jauhin kakak gue." Mereka bertemu kembali, menyisipkan asa untuk menjadi kakak-adik normal yang saling menyayangi. "Sebenci itukah lo sama gue?" OC!Fem!Indonesia, OC!Fem!Malaysia. 1 of 3


APH (Awesome(?) Power Hetalia) © Om Hidekaz Himaruya

Sister, Long Time No See © maiTiramisu

Cerita ini hanyalah fiksi belaka. Masih menampilkan OC - OC pribadi hasil imajinasi saya yang berperan di cerita hasil imajinasi saya pula. Dan apabila ada kesamaan nama, cerita, atau kritikan yang telah lama terpendam(?)...

Monggo, reviewnya~


Genggaman tangan itu.

Yang dahulu genggam erat tanganku.

Kini semuanya terasa hilang.

Semenjak orang-orang Eropa itu datang.

Aku 'benci' mereka…

Hiruk-pikuk yang biasa terjadi di setiap sekolah di seluruh dunia setiap harinya, juga terjadi di sekolah klasik ini. Apalagi ini hari pertama dimulainya kembali aktivitas belajar-mengajar setelah libur panjang semester. Terlihat kumpulan remaja-remaja berseragam tengah menyebar ke seluruh pelosok sekolah sebelum dentingan bel pagi terdengar.

Selamat datang di Hetalia Gakuen, sekolah unik dengan corak bangunan khas abad pertengahan. Sekolah ini sangat berbeda, karena lapisan pelajar di dalamnya bukan terdiri dari remaja-remaja biasa yang menuntut ilmu demi masa depannya sendiri, melainkan personifikasi negara-negara di seluruh belahan dunia yang memperluas wawasan demi masa depan negara mereka masing-masing.

Malaysia, salah satunya.

Berambut hitam panjang dengan jepitan kecil di sisi kanan poni miringnya, gadis yang merupakan personifikasi negara berkembang dari kawasan Asia Tenggara ini untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di atas tanah Hetalia Gakuen.

Sebenarnya dia tidak terlalu menginginkan bersekolah di tempat yang begitu klasik nan mewah seperti ini. Bukan, bukan tidak suka. Hanya saja, bila ia boleh memilih, ia akan lebih senang tinggal di rumah dan bersantai-santai dibanding mempelajari hal-hal yang kata sang bos penting bagi suatu negara ketahui.

Dan kini, ia tengah berdiri gugup di depan sebuah gerbang hitam nan besar dengan sebuah taman yang luas dan gedung mirip museum di ujungnya. Setelah mobil si bos melaju pergi, kini tinggal ia sendiri mempersiapkan diri menghadapi nasibnya di antara personifikasi negara-negara lain yang—mungkin—lebih berwawasan darinya.

Menarik napas panjang, ia pun mulai melangkahkan kaki dan mencari kelasnya.

-o-o-o-

Memasuki gedung utama, sekilas ia terpukau dengan kemewahan interiornya. Lebih bercorak ke Eropa, memang. Dan belum sampai lima detik ia memandangi benda-benda di sana, ia mendengar sebuah suara menarik perhatiannya.

"Udahlah, Kamboja. Gak usah berlebihan, gitu." ucap suara itu terdengar menahan senyum.

Seketika Malaysia tersentak.

Itu bukan suaranya kan?

"Tapi beneran, Kak! Kau membuatku iri! Negaramu luas dan memiliki kekayaan alam yang melimpah! Tak ku sangka aku akan bertemu denganmu di sekolah ini!" ucap suara lain yang Malaysia belum kenal.

"Iya! Mendengar cerita-cerita dari Kamboja tentangmu membuatku iri juga!" sahut suara yang lain.

"Ah kalian berdua berlebihan, aku juga masih belum baik dalam mengurus Negara. Lihat, aku belum maju." ucap orang pertama diiringi tawa paksa. "Bahkan aku dikalahkan oleh Singapore…"

Malaysia semakin terpaku di tempat setelah mendengar nama adiknya disebut.

"…adikku sendiri."

Benar, bodoh sekali kalau Malaysia berpikir ia tak akan berada di sini juga. Jelas-jelas dia juga negara, tetangganya pula.

Sang kakak.

Ketiga suara itu telah sampai di belakang Malaysia dengan jarak yang tak lagi bisa dibilang jauh.

Malaysia menoleh.

Untuk melihat wajah itu lagi.

Indonesia.

"Eh?" gadis berambut hitam terkuncir kuda itu berhenti berbincang dan menatap lekat orang di hadapannya.

Melihat wajah yang hampir sama dengannya. Dengan poni yang saling berlawanan. Mata hitamnya bertemu dengan mata hitamnya.

"Malaysia?" gumam Indonesia langsung mengenali sang adik.

Malaysia masih terdiam.

Gadis yang telah lama tak ia jumpai hingga detik ini, sampai-sampai ia merasa orang yang berdiri dan terus menatapnya ini bukanlah orang yang ia kenal baik dulu. Tubuhnya jauh lebih kurus dibanding terakhir kali ia melihatnya.

Bahkan tubuhnya sendiri jauh lebih 'baik' dibanding tubuh orang ini.

Pasti gara-gara si kepala tulip itu, pikir Malaysia geram.

"Wah! Wajah kalian mirip banget! Kalian kembar ya?" Tanya gadis mungil berponi dengan rambut panjang lurus terjuntai di samping Indonesia.

"Jangan-jangan orang ini…" bisik pemuda manis berambut hitam sedikit gondrong di sisi lain Indonesia.

Indonesia menoleh ke arah pemuda itu.

Ia tersenyum.

"Ya, Kamboja…" ucapnya memulai. "...dia adikku."

Malaysia terlonjat, perkataan sang kakak membuat hatinya tiba-tiba berdegup tegang. Antara ingin menangis dan memeluk sang kakak demi melepas rindu, atau berlari pergi dan berlagak tak mengenalnya.

Ia menghembuskan napas, mencoba menenangkan hatinya dan bersikap normal.

Ia pun menampilkan senyum tipisnya.

"Hai Kak, lama tak jumpa." ucap Malaysia, berhasil mendapat perhatian sang kakak. "Lo…"

Jeda beberapa detik.

"…makin pendek aja."

Dan seketika itu pula wajah Indonesia memerah. Kita zoom-out, saudara-saudara. Faktanya, perbandingan tinggi mereka memang tak terlalu jauh. Hanya berkisar 2-3 senti.

...

...

...

Kenapa, ya?

"MALON! LO MASIH AJA DURHAKA SAMA GUE! ADEK SONGONG!" umpat sang kakak membalas dengan aura murka.

Membuat kedua orang di sisinya terkejut bukan kepalang melihat sisi asli sang idola.

Malaysia tersenyum puas. Ya, telah lama ia tak 'bermain' dengan sang kakak.

Dan inilah cara terbaik mengungkapkan kerinduannya.

-o-o-o-

Malaysia terdiam di depan sebuah kelas. Lekat-lekat, ia menatap papan yang terpampang di atas pintu besarnya.

[ASEAN]

Pasti kelas ini, pikirnya.

Ia pun membuka pintu di hadapannya dan memasuki kelas tersebut. Suara ramai nan menggelegar pun menyambutnya.

Bukan, bukan menyambut kedatangannya dengan pesta penyambutan yang seharusnya. Karena jelas sekali suara-suara itu lebih ke arah riuh dibanding menyambutnya.

"Aku menang!"

"Curang! Myanmar! Bantu aku!"

"Hahaha, gua nonton aja, ah."

"Ana~ Bukankah seharusnya kalian mengerjakan pr?"

"Kita belum punya pr, Thai."

"Brunei! Lo liat jepitan bunga gue gak?"

"Eh? Biar ku bantu cari."

"Singapurrr~ Pinjamin gue iPad baru lo, dong~"

"Berhenti ngerajuk gua deh, Kak Nesia. Gua gak mau kejadian BB gua pas itu terulang lagi."

Malaysia tercengang dengan keadaan kelas ini. Riuh sekali.

Sepasang mata biru yang terhalang kacamata itu tak sengaja menangkap sosok Malaysia. "Kak Malay?"

Malaysia menoleh reflek.

Itu Singapura. Dengan iPad barunya.

Malaysia tersenyum simpul. "Udah kaya lo, Pur?" ucapnya menghampiri Singapura di tempat duduknya. "Jangan lupa, bantuin gue bersihin gudang sepulang sekolah."

"Heh, lu pikir ini masih jamannya Bang England? Berhenti nyuruh-nyuruh gua." tolak Singapura kembali mengutak-atik sang iPad.

Senyum Malaysia semakin lebar. "Dasar." bisiknya mengacak-acak rambut coklat sang adik.

Ya, sudah berubah rupa sang adik. Wajahnya lebih bersih dibanding jaman perang dulu. Lebih tampan. Rambutnya menjadi coklat, padahal terakhir kali Malaysia bersamanya, jelas sekali warnanya hitam legam.

Apa ia banyak main di lapangan?

Indonesia yang sedaritadi duduk di samping Singapura dengan harapan dipinjamkan iPad akhirnya mendongak menatap Malaysia.

Mata mereka bertemu—untuk kedua kalinya.

"…"

"…"

"ASTAGA! LO LAGI, LO LAGI!" teriak Indonesia jelas telatnya.

Malaysia hanya memutar bola matanya malas.

Lain dengan Singapura, sang kakak masih belum berubah. Mungkin malah lebih absurd lagi sekarang.

"Apa ini jepitanmu, Filipina?" tanya pemuda tampan berambut hitam legam bertutup peci hitam kecil di sisi kepalanya setelah membungkuk ke seluruh penjuru kelas hanya demi sebuah jepitan bunga pink.

"Ah! Ini dia! Terimakasih banyak, Brunei!" ucap gadis cantik berambut coklat bergelombang terkuncir dua itu menyambut kembali jepitannya.

Pemuda bernama Brunei itu hanya membalas dengan senyum sebelum—dengan tidak sengaja—menatap ke arah di mana Singapura, Malaysia, dan Indonesia berada. "Eh? Sudah kumpul semua, ya?" ucapnya.

"Huh?" gadis bernama Filipina itu menyelesaikan pemasangan jepitannya sebelum mengikuti arah tatapan sang pemuda di hadapnya. "Eh iya! Udah kumpul semua!" ucapnya tersenyum lebar seketika dan berlari riang ke arah sekumpulan itu, diikuti oleh Brunei.

"Hah? Kumpul semua? Maksud kalian, semua murid di kelas ini udah kumpul semua?" tanya Indonesia tak mengerti.

Filipina dan Brunei saling menatap. Lalu tersenyum.

"Bukan.., masa' Kak Nesia lupa?" ledek Filipina.

"Nusantara." Brunei menambahkan.

"Oh." Singapura dan Malaysia terlihat sudah mengerti maksudnya, sedangkan Indonesia masih menunjukkan wajah polosnya.

Singapura yang menyadari wajah polos orang ini, menoleh. "Nusantara. Kakek Majapahit." ucapnya santai.

Seketika itu pula mata Indonesia terbelalak.

"OALAH! IYA YA! KITA KAN KAKAK-ADIK MELAYU YA?! HAHAHA! GUE HAMPIR LUPA!" teriak Indonesia yang tiba-tiba sudah berdiri di atas meja.

"Jangan berdiri di atas meja, ana~ Nanti mejanya rusak." lelaki berkacamata dengan rambut hitam itu mengingatkan.

"E-Eh, sori." dan Indonesia pun turun dari meja tersebut dengan wajah memerah.

-o-o-o-

"Jadi.., saat Jepang memulai serangannya… (blablabla…)" terang seorang guru berkacamata yang terus memeluk sebuah boneka beruang kutub—atau malah beruang kutub beneran—selama ia berdiri di depan kelas.

Posisinya masih sama. Berdiri tegak memeluk 'benda itu' sambil terus membaca buku yang seisi kelas telah miliki.

Dan astaga, kalau kalian dengar suaranya itu, lirih sekali, saudara-saudara. LIRIH, saya tekankan. Bahkan Singapura yang paling rajin pun sampai hampir tertidur pulas karenanya.

Kalau Singapura sudah begini, jangan tanyakan keadaan yang lain.

Apalagi si Indonesia, yang duduk di barisan paling belakang bersama Malaysia.

Entah kebetulan, atau ini wujud kekompakan delapan murid lainnya untuk menyatukan kakak-beradik yang telah lama terpisah.

Mereka belum tahu resikonya.

Kembali ke cerita.

Ia sedang tertidur pulas, di pelajaran pertama dan di hari pertamanya sekolah. Sedangkan Malaysia yang duduk bertopang dagu di sisi kirinya, hanya menatap wajah tak elit sang kakak yang sudah mulai mengukir pulau di bukunya sendiri.

Malaysia tersenyum penuh arti.

Dan…

*BUUUKKK!*

"GIMANA SIH?! KAN SAYA BELI BAKSONYA YANG TIGA-RIBUAN! KOK JADI LIMA-RIBU?!"

Tiba-tiba Indonesia sudah berdiri tegap layaknya siap tempur sambil membentak.

Membawa mimpi ke dunia nyata.

Tak usah repot-repot menebak, sudah pasti ini ulah si adik 'songong'—Malaysia.

Lihat dia, sedang asik terkekeh.

Rupanya setelah ditelisik, gadis personifikasi Negara 'Harimau Asia' itu tadi menepuk meja sekeras mungkin TEPAT di samping wajah kakaknya sendiri sampai-sampai sang kakak tersentak bangun.

Lalu, bagaimana dengan Matt?

Sang guru sejarah yang terkenal paling sabar itu hanya membeku di tempatnya dengan tatapan kaget tak percaya.

"Indonesia?"

Indonesia membuka matanya perlahan setelah mendengar suara lembut-tapi-marah dari sang guru.

Dan betapa terkejutnya ia ketika melihat semua pasang mata tertuju padanya. Wajahnya yang sungguh berantakan membuat Myanmar terkikik dan mulai tertawa, diikuti yang lainnya. Wajahnya memerah.

"Indonesia, istirahat nanti temui saya di ruang konseling." teguran Matt mengembalikan tatapan matanya ke arah sang guru.

"I-Iya, pak." ia mengangguk lemas.

Dan jangan harap kejahilan Malaysia akan berhenti sampai di situ.

Ia terus beraksi mengusik sang kakak seakan hidupnya hanya untuk membuat kakaknya kesal.

Setiap hari.

Ya, SETIAP hari.

Hingga akhirnya…

"GAHHH! SI MALON EMANG KAMPRET! KENAPA SIH TUH ANAK GAK BERUBAH-BERUBAH DARI JAMAN BAHELA DULU?! ISEEENG BANGET SAMA GUE!"

"Hmnn…"

"PADAHAL GUE GAK NGERASA ADA MASALAH SAMA DIA! GUE JUGA GAK PERNAH NYARI MASALAH SAMA DIA DULUAN! IYA, KAN? IYA, KAN?"

"Hmnn…"

"NYOLONG PULPEN DKK. GUE, LAH! NGUMPETIN PR GUE SAMPE GUE PANIK, LAH! MAUNYA APA SIH TUH ANAK?!"

"Hmnn…"

"….."

"Hmnn…"

"Grrr..!" Indonesia langsung menyambar iPad Singapura secara paksa dan menyembunyikannya di belakang punggungnya.

"E-Eh! Balikin! Mahal tuh!"

"Lo dengerin gue gak sih daritadi?!"

"Denger, kok! Denger! Sekarang balikin!"

"Gak! Lo sama nyebelinnya sama tuh anak! Emang kalian satu didikan si alis tebal!"

Singapura terkesiap. Ia menatap mata Indonesia dalam-dalam. Indonesia pun balas menatap. Dan terjadilah kontes menatap di antara mereka berdua.

Sebelum akhirnya Singapura berhasil merebut kembali sang iPad dengan mudahnya.

Indonesia geram. "Ih! Sia-sia gue curhat sama lo!"

Singapura tak memperdulikannya dan kembali memainkan sang iPad.

"Cih!" Indonesia pun berlalu dan berniat meninggalkan rumah Singapura.

Sebelum Singapura kembali berkata:

"Itu cara dia menunjukkan kasih-sayangnya."

Indonesia tersentak memaku di depan pintu dengan tangan hampir menarik knop pintu, sebelum akhirnya menoleh dan melempar pandangan penuh tanya ke arah Singapura.

Tanpa melihat Indonesia balik, Singapura melanjutkan. "Lu yang paling dia sayang, dan begitulah cara dia nunjukkin itu."

"Gue gak ngerti." respon Indonesia jujur. "Seharusnya dia bisa lebih lembut, kan?"

Singapura tak menjawab.

Indonesia menghela napas. "Yaudah. Gue pulang dulu, ya." ucapnya memutar knop pintu di hadapannya. "Thanks." ia pun lenyap di balik pintu.

Langkah kaki Indonesia terdengar menjauh. Diam-diam, Singapura menyunggingkan senyum tipis di wajahnya.

Gua mengenal Malaysia lebih baik. Jadi.., percaya sama gua.

-o-o-o-

Sepulang sekolah.

Tak terasa sudah sebulan penuh Indonesia dkk berada di sekolah ini. Menyenangkan baginya memiliki banyak teman baru dan ilmu-ilmu penting guna keberlangsungan negaranya.

Dan yang paling penting adalah…dipertemukannya kembali kakak-beradik yang telah lama terpisah.

"Ah! Pulpen gue ketinggalan di kelas! Lo pada duluan aja! Ntar gue nyusul!" kata Indonesia seraya berlari kembali memasuki gerbang sekolah tanpa menunggu respon dari adik-adiknya.

"Eh? Terus kita gimana, nih?" tanya Filipina. "Mau nungguin?"

"Lo pada pulang aja, gue yang nungguin dia." jawab Malaysia sebelum melangkah mengikuti arah ke mana sang kakak pergi. Juga tanpa menunggu respon dari yang lainnya.

"Eh?" Filipina masih bingung.

Brunei dan Singapura bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk.

"Ayo pulang." ajak Singapura berbalik, diikuti Brunei.

"T-Tapi Kak Nesia masih—"

"Tenang saja, ada Kak Malaysia, kok!" ucap Brunei tersenyum lembut.

Filipina terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan mereka benar-benar pergi meninggalkan Indonesia.

Bersama Malaysia.

-o-o-o-

"Sial! Kemana, ya, pulpen satu-satunya gue itu? Kok, gak ada di kelas? Masa' gue harus beli lagi?" gerutu Indonesia. Tak menyadari kelalaiannya sendiri, ia menyalahkan sang adik. "Pasti si Malon lagi, nih, biang keroknya!"

"Nesia?" suara berat seseorang menghentikan langkahnya.

Dan Indonesia kenal benar dengan suara ini.

Ia pun menoleh.

Benarlah dugaannya.

"Oh, syukurlah kau benar-benar Nesia." ucap lelaki bertubuh besar itu dengan nada senang, namun wajah tetap datar. "Sudah lama ya tak jumpa? Tak ku sangka kau masuk sekolah ini juga." lelaki itu melanjutkan, sesekali menghisap cerutunya. "Oh iya ya, kau kan sudah jadi Negara."

Indonesia berusaha keras untuk tidak menunjukkan emosinya ke orang berambut jabrik nyentrik di hadapannya ini. Semakin ia marah, semakin senang orang ini dibuatnya.

"Yaa... Lama tak jumpa..." Indonesia menyapa balik dengan nada bermalas-malasan sembari memutar bola matanya.

Di saat yang bersamaan, Malaysia menemukannya. Ia segera menyadari kalau sang kakak sedang tak sendiri tepat sebelum ia memanggil sang kakak.

Ia pun bergegas sembunyi.

Ia tatap lekat-lekat orang yang menjadi lawan bicara Indonesia. Dan saat ia tahu siapa orangnya, matanya terbelalak. Orang ini, salah satu orang yang merampas sang kakak dan mengurungnya lama sehingga tak dapat berjumpa apalagi bermain dengannya.

Ia tak suka—atau malah benci?—dengan orang di hadapan sang kakak saat ini.

"Oh iya, siapa nama lo?" Indonesia berpose layaknya mengingat-ingat, lalu tersenyum sebelum melanjutkan. "Sori, gue hampir lupa..." senyumnya balas mengejek. "… Netherlands."

~To Be Continued~


MaiTiramisu is back! Ugh...

Anda tahu betapa bahagia hati saya pas liat daftar PR laknat itu? UDAH SELESAI SEMUAAA~! (/=3=)/

Oke! Cerita ini tentang anggota ASEAN yang baru masuk Hetalia Gakuen. Jadi sebelum kisah keponya si Timor...

INI BUKAN YURI. My god, saya cuma suka hint-hint slash doang kok!(?)

Kok pake bahasa gaul? Ya, ini untuk menunjukkan keformalitasan yang beragam di keluarga ASEAN.

Yang pake 'gue-elo' berarti cewe gaul. Kalo 'gua-elu' cowo kece *Singapuratunjuktangan* *maungapainlu,bang*. 'aku-kamu' macam Brunei, Laos, und Kamboja berarti sopan/polos gitu...

Saya udah bikin cerita ini dari zaman bahela dulu(?), lamaaa banget, tapi males ngeditnya lagi, ehehe.

Oh iya, maaf ya kalo ceritanya rada lebay. Menyesuaikan dengan author soalnya..*whutt!?*

Oke! Seperti biasa! Mohon kritik, saran, plus komentarnya, ya!

Gak usah repot-repot ke kantor pos, kok! Tinggal klik aja di kotak bawah ini~

MaiTiramisu undur diri dulu! Babaaay~! *lambaibenderaputihnyaItaly*