Cinta hanyalah sebuah kesalahpahaman. Dan ketika waktu begitu baiknya memberikan sebuah kesempatan, apa yang akan Chanyeol lakukan untuk itu?
.
.
Title : Bleeding Hearts
Chapter 1 : Keajaiban di Bulan Desember
Author : Afifa Kyungsoo
Main Cast : Byun Baekhyun, Park Chanyeol, Yoon Bomi, Jung Eunji, Kim Jongin, and others.
Pairing : ChanBaek.
Genre : Romance, Hurt-Comfort
NB : Ini ff murni buatanku, castnya aja yang minjem. Tidak terinspirasi dari pihak manapun. No Plagiarism oke? Jika ada kesamaan cerita dengan apapun ff yang pernah kalian baca, itu murni kebetulan.
Huruf miring menandakan flashback, aku ceritain dari sudut pandang pairingnya, tapi kalian harus nebak sendiri itu pov-nya siapa.
WARNING : YANG JIJIK SAMA YAOI, GAY, HOMO, HUBUNGAN SESAMA JENIS HARAP TIDAK USAH DIBACA. TIDAK MENERIMA BASH HANYA MENERIMA KRITIK MAUPUN SARAN.
.
.
#Happy Reading!#
.
.
Hari demi hari telah berlalu. Musim demi musim telah berganti. Tahun demi tahun terlewati begitu saja. Semuanya hilang. Semuanya hilang sejak aku kehilanganmu. Apa yang salah dari cinta kita?. Bunga pun tetap diam walau terluka. Bungapun tetap diam walau mereka terbuang. Bunga. Satu kenangan yang selalu membuatku bahagia dan terluka diwaktu yang sama. Bukan karena kau. Tapi karena aku. Hanya satu yang kubutuhkan untuk menggapaimu. Tapi aku tak memilikinya. Sebuah keberanian.
Andai dulu aku memiliki keberanian, aku takkan kehilanganmu. Andai dulu aku lebih memilihmu, kau pasti masih ada disini. Andai dulu aku berpihak pada hati, kebahagiaan pasti akan menjadi akhir dalam cerita kita. Tapi aku tak sepintar itu. Aku bodoh. Aku bodoh. Lagu yang setiap hari menemaniku ketika hening berbicara. Aku bodoh. Aku bodoh. Bahkan musim semipun tak datang untuk menyapaku.
Kita diciptakan dengan jenis yang sama. Kau punya jakun, aku juga punya. Kau punya sel sperma aku juga punya. Lantas kenapa kita dapat terikat dalam sebuah cinta?. Cinta salah. Tapi kita lebih salah lagi karena membiarkannya hadir diantara kita. Tapi bahkan ketika kau mencintai, apa akal sehatmu masih dapat kau temukan? Cinta kita memang sebuah kesalahan. Tapi kesalahan itu membuatku merasakan kebahagiaan.
Kebahagiaan. Satu hal yang tak pernah kudapat semenjak kau tak lagi disisiku. Aku lupa caranya tersenyum. Aku lupa caranya menangis. Aku lupa segalanya. Hanya satu yang terus menemani hatiku. Kau. Kau. Kau. Andai detik bisa kembali. Andai tahun bisa berputar. Aku akan melihatmu untuk sekali lagi. Karena aku mencintaimu. Satu alasan bodoh yang membuatku menjadi gila. Sanggup mengubah bunga menjadi duri. Sanggup mengubah musim semi menjadi hujan lebat. Sanggup mengubah kebahagiaan menjadi kesedihan.
Byun Baekhyun. Dia bukanlah masa laluku. Dia bukanlah kenangan buruk dalam hidupku. Dia adalah masalalu, masakini, dan masa depanku. Dialah kenangan terindah yang pernah kumiliki. Senyumnya. Aku masih mengingat itu. Segala tentang dirinya. Senyum palsu setiap hari kulakukan demi dirinya.
Dia bukanlah kenangan buruk. Dia adalah bunga dimusim semi. Dan ketika bunga itu hilang dari hidupku, musim semi juga tak lagi kulalui. Sejak dia pergi, jika kau mengira aku terpuruk dan hidup seperti orang gila, maka kau salah. Sejak dia pergi, tak pernah sekalipun aku menangis, ataupun tersenyum dalam artian sebenarnya. Karena sejak dia pergi, hatiku telah mati. Hidupku telah mati.
Hari itu. Tanggal enam diawal bulan Maret, ketika bunga tengah mekar dengan segala keindahannya. Hari itu dia ada disana, seperti biasanya, berdiri dibawah pohon sakura yang tengah mekar, dengan seragam sekolah sebelah membalut tubuh mungilnya. Setiap hari dia selalu ada disana ketika jam menunjukkan pukul sembilan pagi, dan saat itu aku sedang berangkat ke sekolah. Aku selalu melihatnya, setiap hari menatapnya dari jauh, dan membiarkan hatiku berdebar diluar nalar ketika senyum terpatri diwajah manisnya.
Namun hari itu kurasa dia berbeda, dia tidak tersenyum seperti biasa. Dia menangis, hal yang pertama kali aku lihat dari dirinya, sisinya yang lemah, dan itu cukup untuk sekedar mengusir senyum dari wajahku. Aku tak tau apa yang kupikirkan, ketika dia melangkah, aku mengikutinya begitu saja. Dia masuk kedalam sebuah kafe yang tak pernah kudatangi sebelumnya. Aku memandangnya dari jauh. Selalu seperti ini.
Dia disana. Menatap jalanan dengan segelas kopi didepannya. Pandangannya kosong, seperti orang yang kehilangan semangat untuk hidup. Itu cukup untuk membuat hatiku sakit. Aku sendiri bingung dengan apa yang aku rasakan. Dia laki-laki. Dia sama denganku. Tapi kenapa hatiku selalu menghangat hanya dengan senyumnya. Aku tau ini salah. Pada awalnya aku memang terus menyangkal apa yang kurasakan, tapi hati tak pernah mengalah. Aku mencintainya, hanya dengan sebuah senyuman dipagi hari. Aku selalu melalui hariku dengan tergesa, berharap jam sembilan pagi datang dengan cepat dan ketika aku menatapnya waktu dapat melambat.
Saat itu kulihat dia melamun menatap jalanan yang sudah sedikit ramai karena hari sudah siang. Aku tau mungkin aku akan telat, tapi jika itu dia, maka bagiku itu tak masalah. Hari semakin siang tapi dia tak beranjak dari kursi tempatnya duduk. Aku masih disini, dibawah pohon maple dan terus menatapnya seolah jika aku mengalihkan mataku dia akan hilang.
Cukup lama aku menunggu, dan ketika dia bangkit, aku tak bisa menahan rasa senangku. Dia berjalan dengan lunglai meninggalkan kafe, meninggalkan kopi yang masih utuh dimejanya. Aku dibuat bingung karena perilakunya ini. Dia tidak seperti biasanya. hari ini dia berbeda. Apa dia sedang dalam masalah?
Kaki panjangku mengikuti langkahnya yang pendek ketika ia terus berjalan melewati pohon-pohon maple dipinggir jalan raya. Semakin lama langkahnya semakin pendek-pendek. Dan bahuku menegang ketika dia secara tiba-tiba berhenti, otomatis kakiku juga berhenti bekerja. Ia berbalik dan aku semakin tegang, apa dia merasa bahwa dia sedang diikuti? Aku menoleh kesana kemari mencari tempat untuk bersembunyi. Tapi sekali lagi spekulasiku salah, dia tidak menatapku sama sekali. Ia malah menatap jalan raya dengan mobil berlalu lalang seolah jalan itu adalah harapannya.
Ketika kakinya berubah haluan, ia menatap jalanan itu dengan pandangan tak bisa diartikan. Jaraknya beberapa meter dariku, jadi aku bisa melihat dengan jelas bagaimana wajahnya. Hazel kecoklatan yang tak lagi bersinar seperti biasa, dia menatap jalanan itu seolah menimbang apa dia harus atau tidak.
Dia sedang bimbang. Aku tau. Tapi aku tak tau kenapa. Dari sini dapat kudengar dia menghela napas dengan berat. Apa masalahnya begitu besar? Apa aku harus pura-pura menjadi orang lewat yang berbaik hati bertanya apa dia punya masalah? Tapi bukankah ideku itu begitu gila? Mana ada orang yang lewat tiba-tiba mengkhawatirkan seseorang hanya karena orang itu menghela napas?
Kurasa rasa penasaran seakan ingin membunuhku. Aku kembali menatapnya dengan kekhawatiran yang mendalam. Seharusnnya orang normal akan merasa risih ketika ditatap seintens ketika aku menatapnya, tapi sadarpun dia tidak. Matanya malah lebih tertarik dengan kendaraan besar yang berlalu lalang memecah kota.
Satu langkah. Dua langkah. Dia melangkah mendekat kejalan yang begitu ramai. Aku mulai berpikir. Apa yang akan dia lakukan? Apa ia akan menyebrang? Seharusnya ia menyebrang di zebracross?. Aku sibuk sendiri dengan pikiranku sampai ujung sepatunya sudah berada dibibir jalan. Kendaraan besar berlalu lalang dan kurasa tak akan berhenti untuk membiarkannya lewat.
Kukira dia akan menunggu hingga jalan raya sepi. Tapi sekali lagi aku salah. Dia melah melangkah dengan pasti walaupun mobil-mobil berlalu lalang disana. Mataku membola ketika menyadari apa yang akan dia lalukan. Dia akan bunuh diri. Dan aku harus menyelamatkannya.
Ketika kudengar bunyi klakson mobil yang memekakkan telinga, saat itu juga kulangkahkan kakiku dengan pasti dan membawa tubuhnya dalam pelukanku. Membawanya berlari menjauh dari tengah jalan. Mengabaikan sumpah serapah dari pengguna jalan raya umum itu. Dengan cepat aku membawanya untuk duduk dibangku panjang yang ada didepan supermarket.
"Apa kau gila hah?" Bentakku padanya. Ia tak menjawab dan hanya suara isak tangislah yang berbicara. Tiba tiba ia menjatuhkan kepalanya kedadaku dan memelukku dengan erat. Aku diam mematung. Seolah waktu terhenti saat itu sama seperti detak jantungku yang terhenti sementara.
.
.
.
Tumpukan berkas-berkas dimeja yang menggunung membuat kepalanya pusing. Kenapa disaat seperti ini pekerjaannya tak kunjung selesai? Ia lelah dan butuh istirahat. Tapi masih banyak berkas yang harus ditanda tangani. Bayangkan, betapa pusingnya jika kau berada diposisi Park Chanyeol. Pekerjaan yang belum selesai diwaktu selarut ini, dari kemarin ia belum tidur karena harus langsung bekerja setelah pulang dari Jepang, ditambah lagi ponsel yang sialnya terus berdering.
Sebut saja Chanyeol seorang workaholik dan itu memang benar. Tapi dia seperti ini bukan tanpa alasan. Ia hanya menjadikan pekerjaannya sebagai alasan agar otaknya tak memikirkan pria itu, pria yang sudah lama pergi dari hidupnya tapi hingga kini masih berperan besar bagi kelangsungan hidupnya. Ya, Byun Baekhyun. Pria yang dia cintai.
Mengingatnya membuat hati Chanyeol menghangat dan terluka disaat yang sama. Senyum itu, senyum yang selalu ia rindukan bahkan terbayang dalam mimpinya. Chanyeol sudah lelah mencintai, tapi hatinya belum. Dan mungkin tidak selamanya. Sebut saja Chanyeol gila karena tidak bisa melupakan seorang pria. Catat, seorang pria.
Chanyeol menghela napas. Kenapa Baekhyun selalu mengisi otaknya dan membuatnya bersalah atas masalalu yang ia sesali? Selama bertahun-tahun hidup dalam bayang-bayang penyesalan. Apalagi ketika mengingat wajah Baekhyun terakhir kali mereka bertemu. Pria itu tersenyum walaupun lelehan air menggenang dimatanya. Terakhir kali, sekitar delapan tahun yang lalu. Itulah terakhir kalinya Chanyeol merasa benar benar hidup.
Ketika mengingat kembali kisah masalalu membuat Chanyeol merasa seperti orang bodoh. Mencintai seseorang tapi bahkan tak punya keberanian hingga berakhir menyakitinya.
Pria itu menghela napas, menatap pemandangan luar kaca yang begitu indah. Gemerlap lampu terang benderang dibawah sana, seolah mengejek Chanyeol yang tidak memiliki cahaya dalam hidupnya. Suram. Membosankan. Itulah kehidupan Chanyeol.
"Drrt.. Drrt" ponselnya bergetar, untuk kesekian kalinya. Chanyeol mengambil ponsel diatas meja dan mengangkatnya.
"Halo, eomma"Sapa Chanyeol.
"Chanyeol, kapan kau pulang?" Sahut suara diseberang sana.
"Hmm, aku akan segera pulang"
"Kami sudah lama menunggumu"
"Baiklah, jadi di restoran mana?"
"Restoran China langganan kita"
"Aku akan kesana sekarang"
Chanyeol menutup telpon singkat dengan ibunya. Bangkit dan merengangkan otot tubuhnya sebentar, kemudian segera memakai jasnya dan melangkah meninggalkan ruangannya.
.
.
.
Waktu berlalu begitu lambat bagiku. Mungkin karena dia tak ada disini. Bertahun tahun kulewati dengan sebuah luka yang tersimpan dengan rapi dihatiku. Dia. Apa dia masih mengingatku? Bahkan luka ini selalu kembali ketika aku memikirkannya. Tahun yang berlalu tak sanggup mengeringkan lukaku. Cinta ini terlalu besar. Cinta ini sebuah kesalahan.
Bahkan ketika musim semi datang lagi dan lagi. Kenangan itu tetap sama. Dia, kenangan terburuk dalam hidupku. Disaat yang sama. Dia, kenangan terbaik dalam hidupku. Setiap hari aku menemani diriku dengan kumpulan bunga. Berharap ia hadir kembali seperti saat itu ketika bunga mekar dimusim semi.
Katakanlah aku gila. Aku bodoh. Mencintai makhluk Tuhan yang jelas jelas sama denganku. Kami sama. Kami sama-sama lelaki. Tapi apa cinta mengenal batasan? Aku mencintainya dengan caraku. Tapi kenapa dia begitu tega membuangku seolah aku barang tak berguna.
Bukan. Aku bukan membencinya. Aku mencintainya tapi cinta ini membuatku sakit. Sejak dia membuangku, aku pergi. Aku meninggalkannya. Saat itulah aku sadar. Tuhan telah menunjukkanku jalan yang benar. Mencintainya adalah sebuah kesalahan, jadi karena itu Tuhan memisahkan kami.
Aku meyakinkan diriku sendiri. Inilah yang benar. Inilah yang benar. Seolah menjadi lagu ketika keheningan menyapa. Inilah yang benar. Tuhan masih menyayangiku hingga dia menyadarkanku. Tapi aku salah, kebenaran itu malah semakin menusukku.
Setelah tahun demi tahun terlewati. Aku masih tetap sama. Menjalani kehidupanku dengan normal seperti sebelum ia datang kedalamnya. Tapi hanya satu yang berbeda. Hatiku berbeda. Tidak ada lagi senyum tulus. Aku selalu tersenyum, tapi itu hanyalah topeng untuk menyembunyikan air mata.
Park Chanyeol. Satu nama yang mampu mengubah hidupku menjadi jungkir balik. Satu nama yang mampu membuatku merasa mati. Dia. Pria brengsek yang pernah ku cintai, dan sialnya masih hingga kini. Masalalu yang sangat ingin kulupakan dan selalu ingin kuingat disaat yang sama. Kenangan indah tentangnya membuatku tersenyum walaupun tak pernah sekalipun air mata tak menemani.
Masalaluku adalah sebuah kesalahan. Kenangan besar didalamnya membuatku sakit. Bunga bunga pun tau betapa sakit rasanya saat dia membuangku. Bahkan bungapun dapat layu jika terlalu sering disiram. Seperti itulah aku. Dia terlalu banyak memberiku rasa sakit, hingga hatiku layu.
Jika aku punya kekuatan, maka aku berharap dia tak pernah hadir dalam hidupku. Kenyataan bahwa aku mencintainya sungguh membuatku muak. Tapi sekeras apapun aku menyangkal, aku memang mencintainya. Hal yang pertama kali kurasakan ketika aku memeluknya hari itu, disaksikan bunga-bunga yang begitu indahnya dimusim semi. Hal kecil yang tak pernah kulupakan dalam hidupku.
Hari itu dia menyelamatkanku. Ketika aku merasa tak sanggup lagi dengan hidup yang begitu berat. Pada akhirnya aku memutuskan untuk bunuh diri. Tapi dia menyelamatkanku. Membawa dirinya masuk kedalam hidupku lebih jauh. Dan dengan bodohnya aku membiarkannya.
Ketika pertama kali bibir kami bertemu dan tubuh kami menyatu. Aku sanggup merasakan kebahagiaan yang sudah lama terbuang. Dia bagaikan mawar putih yang membawa kebahagiaan abadi. Tapi aku begitu bodoh. Kita hanya anak remaja yang sedang jatuh cinta saat itu. Aku begitu bodoh.
Membiarkannya masuk kedalam hidupku adalah hal terbodoh yang pernah kulakukan. Apalagi membiarkannya masuk kedalam hatiku. Ia memperbaiki hidupku yang kacau. Tapi setelah itu ia menghancurkannya kembali. Lebih dari sebelumnya.
Park Chanyeol. Satu nama yang mampu mengubah segalanya dalam hitungan detik. Park Chanyeol. Pria yang aku cintai dan sayangnya tidak pernah mencintaiku.
.
.
.
Derap kaki seorang pria jangkung dengan setelan jas kantor membuat perhatian disana tersita olehnya. Wanita paruh baya dengan gaun berwarna merah terang tersenyum apik menatap kedatangan pria itu. Lantas wanita cantik itu melambai agar si pria mengetahui keberadaannya. Pria itu menoleh mendapati sang ibu tengah melambai kepadanya. Ia tersenyum-palsu-lantas berjalan menuju wanita itu.
Chanyeol menghampiri meja pojok dimana keluaganya dan keluarga sahabat sekaligus tunangannya sedang menunggu kedatangannya. Salah satu tangannya menarik kursi kayu yang elegan dan mendudukkan diri disana. Makan malam seperti biasanya. Keluarga Park dan keluarga Jung, dua keluarga yang sebentar lagi akan menjadi satu keluarga besar.
Chanyeol tersenyum-palsu seperti biasanya-. dan semua orang disana membalas senyum menawannya. Sebenarnya Chanyeol merasa sangat lelah dan ingin segera pulang. Tidur dibawah selimut tebal dan mengistirahatkan tubuhnya yang terasa remuk. Namun ia tidak bisa. Ibunya menyuruh ia untuk datang dan itu harus.
"Jadi,"ucap pria paruh baya dengan setelan jas mahal diujung meja mengalihkan perhatian semua orang dimeja itu, temasuk Chanyeol,"kami ingin membicarakan sesuatu"
"Apa yang ingin kalian bicarakan?"Tanya Chanyeol berbasa basi. Pasti pembicaraan ini tidak jauh-jauh dari pernikahannya.
"Kami berencana menikahkan kalian bulan depan"Ujar tuan Park seperti perkiraan Chanyeol sambil tersenyum seolah itu kabar bahagia. Chanyeol hanya diam. Toh, bisa apa dirinya disini?
"Paman, bukankah itu terlalu cepat?"Protes seorang gadis cantik disamping Chanyeol. Helaian rambut coklatnya bergoyang ketika ia berbicara.
"Kalian sudah dua puluh enam tahun, dan bibi ingin segera menggendong cucu"Sanggah wanita cantik yang melambai pada Chanyeol tadi.
"Nyonya Park benar Eunji, kalian sudah terlalu dewasa untuk menikah, bagaimana menurutmu Chanyeol?"Tanya wanita lain pada Chanyeol. Itu adalah ibu Eunji. Chanyeol menghela napas, menatap keluar etalase toko. Diluar sana butiran salju turun dengan pelan. Itu adalah salju pertama.
"Terserah kalian"Jawab Chanyeol tanpa mengalihkan pandangan matanya. Bagi Chanyeol pemandangan diluar sana lebih menarik daripada pembicaran mereka.
"Kau dengar Eunji, Chanyeol sudah setuju, lagipula kalian sudah tujuh tahun bertunangan, mau menunggu sampai kapan lagi?" Tanya tuan Jung pada putrinya hingga Eunji merasa terpojok.
Gadis itu menghela napas,"hmm, baiklah"
Seluruh orang yang ada dimeja tersenyum mendapati jawaban Eunji. Lain halnya dengan Chanyeol yang diam saja. Bukannya Chanyeol tak mendengar. Ia terlalu bosan untuk mendengar. Ia hanya pasrah akan bagaimana masadepannya nanti. Sebut saja Chanyeol gila yang bahkan setuju menikah dengan gadis yang jelas-jelas tidak ia cintai, dan mengorbankan masa depannya begitu saja. Tidak, bukan seperti itu. Chanyeol hanya akan menolak jika Baekhyun masih disampingnya. Karena sejak Baekhyun pergi, hati Chanyeol sudah mati untuk sekedar merasakan kebahagiaan ataupun kesedihan.
"Kami akan mengatur pernikahan kalian semewah mungkin. Kalian hanya perlu memilih tempat dan dekorasi yang kalin suka, kami juga akan mengundang semua teman kalian"kata Nyonya Park menggebu-gebu.
"Benar, kalian juga bisa memilih gaun dan cincinnya. Aku punya teman desainer terkenal dan kalian bisa pergi bersama diakhir pekan"tambah Nyonya Jung tak kalah heboh.
"Chanyeol, kau tidak sibuk kan akhir pekan ini?" Tanya Eunji dengan senyum mengembang. Chanyeol menatap sahabatnya dan tersenyum-sekali lagi palsu-
"Hmm, kita bisa pergi"jawaban Chanyeol membuat senyuman Eunji semakin mengembang.
"Jadi, dimana pernikahannya dilakukan?" Tanya tuan Park.
"Kalau itu terserah Chanyeol dan Eunji. Mereka sendiri kan yang akan menikah" saran nyonya Park.
"Kau ingin kita menikah dimana Yeol?" Ujar Eunji bersemangat.
"Dimana saja yang kau suka"
"Bagaimana dengan gereja yang ada dipuncak gunung? Pasti sangat indah"saran Eunji dan Chanyeol hanya mengangguk menanggapi. Bagi Chanyeol dimana saja pernikahannya itu tidak penting. Bahkan meskipun itu ditempat terindah didunia sekalipun, Chanyeol tetap tak merasa bahagia.
"Aku akan mencarikan dekorasi yang bagus, bagaimana menurutmu Eunji? Dekorasi apa yang kau suka?" Tanya nyonya Park. Eunji berpikir sejenak, lantas menoleh kearah Chanyeol.
"Dekorasi apa yang kau suka?" tanyanya dan Chanyeol malah menatap pemandangan salju diluar sana. Merasa pertanyaan Eunji tidak penting.
"Apapun yang kau suka, aku juga suka" Jawaban Chanyeol membuat Eunji bersemu. Tanpa tau bahwa itu hanyalah kebohongan yang Chanyeol buat untuk menutupi hatinya yang kacau.
"Aku sangat suka bunga"DEG. Saat itu juga hati Chanyeol mencelos. Eunji tersenyum sebelum melanjutkan,"jadi aku ingin pernikahan kita penuh dengan bunga"Chanyeol tidak tau apa yang harus ia katakan. Bunga. Satu hal yang selalu ia hindari karena kembali mengingatkannya pada masalalu.
"Ide bagus! Kalau gerejanya dihias dengan bunga pasti sangat indah"Ujar para wanita yang mulai bersemangat.
"Aku punya kenalan florist dari Jepang. Dia sudah sering merangkai bunga untuk pernikahan"Ujar Nyonya Park.
"Aku juga punya kenalan..Blablabla" Chanyeol tidak memperdulikan para wanita yang sibuk mengoceh. Hatinya serasa campur aduk.
Matanya memandang keluar sana. Lebih tertarik dengan jalanan yang sudah tertutup salju tipis. Chanyeol merasa benar benar kacau. Kenapa Tuhan dengan teganya membuat pernikahan yang akan ia laksanakan harus didekorasi dengan bunga? Bunga. Satu hal yang selalu ia hindari dari dulu. Satu hal yang selalu membuat ia teringat dengan seseorang. Byun Baekhyun.
Sudah cukup Tuhan mentakdirkan untuk berpisah dengan Baekhyun. Dan betapa kejamnya Tuhan kini padanya. Ia harus menikah, bukan dengan Baekhyun dan lagi dipernikahan itu, akan ada bunga dimana-mana. Ingatan Chanyeol kembali ke masalalu. Dimana Baekhyun masih ada disampingnya. Memberinya bunga setiap hari. Memberinya kebahagiaan dan kenangan indah yang tidak pernah Chanyeol lupakan.
Terkadang Chanyeol ingin menangis. Tapi hatinya sudah kering untuk itu. sudah terlalu sering ia menangisi Baekhyun. Biarkanlah ia terlihat lemah. Toh, Baekhyun tidak ada disampingnya. Jadi apa yang ia lakukan dikehidupannya yang suram dan membosankan selain memimpikan kehadiran seorang Byun Baekhyun?
Jika kalian berpikir bukankah lebih baik Chanyeol belajar mencintai Eunji? Maka kalian salah. Chanyeol sudah mencoba sebisa mungkin agar cinta tumbuh dihatinya untuk gadis itu. Tapi, setiap kali Chanyeol mencoba mempertemukan bibir mereka dan meyakinkan dirinya bahwa ia sudah mencintai Eunji, bayangan Baekhyun selalu muncul dan merusak segalanya.
Chanyeol sudah menyerah. Pada akhirnya perasaan Chanyeol untuk Eunji hanya sebatas sahabat. Tidak akan pernah berubah. Jung Eunji, tetaplah sahabat Chanyeol sejak kecil. Gadis yang sangat ia sayangi-dalam artian sahabat-dan selalu ingin ia lindungi. Yang sampai kapanpun tidak akan bisa menggantikan posisi Byun Baekhyun dihati Park Chanyeol.
"Baiklah, kurasa ini sudah terlalu malam dan kita harus pulang, besok kita bisa membahasnya lagi" Kata tuan Jung membuyarkan lamunan Chanyeol. Pria itu mengalihkan pandangannya dan mendapai para wanita sudah berhenti mengoceh. Lalu semua orang berdiri-termasuk Chanyeol.
"Chanyeol, kau antar Eunji ke apartemennya ya" ujar Nyonya Jung dan Chanyeol mengangguk sambil tersenyum walaupun hatinya terasa remuk.
"Baik, Bibi"Jawab Chanyeol sambil menarik tangan Eunji.
"Kalau begitu kami pulang dulu, selamat malam"Kata Eunji dan setelah itu Chanyeol menarik tangannya dan berjalan menuju mobilnya yang terparkir dipinggir jalan.
.
.
.
Pria itu menghela napas untuk kesekian kalinya. Menatap butiran salju yang turun dari kaca bening etalase. Hari sudah sangat larut dan ia harus segera pulang. Yang menjadi masalah adalah salju yang turun dengan tiba-tiba dan sialnya, ia lupa membawa payung. Jadi ia terjebak disini, didalam toko bunganya yang sudah sepi.
Baekhyun berdecak. Menghela napas dan kembali duduk. Hari ini benar-benar sial. Pelanggan yang tak ada habisnya membuat tubuhnya remuk karena harus meladeni permintaan pelanggan ini itu. Hari ini Bomi tidak datang membantunya dan itu membuat Baekhyun semakin repot.
Baekhyun menatap jalanan yang mulai sepi. Berpikir apa ia harus menginap saja disini? Yang artinya ia harus tidur dilantai karena tak ada kasur. Baekhyun menghela napas-lagi- dan sedetik kemudian ponsel disaku jeansnya berdering menandakan ada panggilan masuk. Baekhyun segera mengangkatnya tanpa melihat identitas si penelpon.
"Halo"Sapanya.
"Jongin, kau sudah mengatur rapat untukku besok?"Baekhyun mengernyit tak mengerti, pasti orang salah sambung. Baekhyun melihat ponselnya, dan benar saja itu nomor tidak dikenal.
"Ma-"
"Kau harus membatalkannya karena kurasa aku tidak bisa hadir, badanku panas dan kepalaku rasanya mau pecah, yasudah aku tutup, selamat malam" ujar orang diseberang sana dalam satu tarikan napas seolah tak memberi kesempatan untuk Baekhyun menjawab. Sedetik kemudian terdengar suara tut panjang yang mengartikan panggilan sudah berakhir.
Baekhyun menatap layar ponselnya dimana terpampang nomor yang baru saja menelponnya, lalu mengangkat bahunya acuh dan kembali menyimpan ponselnya disaku celana.
"Orang aneh"Gumamnya. Baekhyun kembali menatap salju diluar sana yang sialnya turun semakin banyak. Dan sepuluh detik kemudian ponselnya kembali berdering. Baekhyun menghela napas sebelum mengangkatnya tanpa melihat identitas si penelpon-ini adalah kebiasaan Baekhyun.
"Halo"sapa Baekhyun malas.
"Halo Baek, kau ada dimana? Kenapa apartemenmu kosong? Apa kau belum pulang? Apa ada hal buruk yang terjadi dan kau dalam masalah? Ya Tuhan Baek kau-" Baekhyun menjauhkan ponselnya dan melihat siapa si penelpon. Pantas saja, itu Yoon Bomi. Baekhyun sudah hafal sifat Bomi yang sangat cerewet.
"Hmm, aku masih ditoko"Potong Baekhyun sebelum Bomi semakin liar. Baekhyun bisa mendengar Bomi diseberang sana memekik.
"Apa yang kau lakukan disana? Apa kau menjadi seorang workaholik sekarang? Ini sudah sangat malam dan demi Tuhan-"
"Salju turun dan aku tidak membawa payung"Potong Baekhyun-lagi. Baekhyun dapat mendengar Bomi bergumam 'Oh' di seberang sana.
"Kenapa kau tidak menelponku dan meminta aku menjemputmu? Astaga Baek, kenapa kau begitu ceroboh ha?"
"Kupikir kau belum pulang. Lagipula kau pasti lelah karena duduk di bus terlalu lama"
"Aku sudah pulang dari tadi dan aku baru menyadari bahwa lampu apartemenmu tidak menyala"Kata Bomi. Bomi adalah tetangga Baekhyun sekaligus sahabat dekatnya sejak sekolah menengah.
"Oh"
"Tunggu disana oke, aku akan menjemputmu"
"Tapi Bomi, ini sudah malam, kau seorang gadis dan aku tak bisa membiarkanmu kesini sendiri"
"Ayolah Baek. Tokomu hanya berjarak dua ratus meter dari sini. Aku pasti-"
"Kau tidak perlu menjemputku. Jangan khawatir aku akan menginap disini dan-"
"Dan tidur dilantai? Kemudian besok kau demam dan membuatku semakin susah karena harus merawatmu? Ayolah Baek, kau itu tidak tahan dingin dan sekarang kau mau tidur dilantai di suhu serendah ini? aku bisa jamin besok tokomu tidak akan buka karena kau sakit"Oceh Bomi. Baekhyun terdiam. Memikirkan perkataan Bomi memang ada benarnya. Akhirnya ia pun mengangguk, walaupun itu tidak berguna karena Bomi tidak melihatnya.
"Baiklah" Jawab Baekhyun. Meyakinkan dirinya bahwa Bomi akan baik-baik saja. Dan setelah itu panggilan terputus.
Baekhyun kembali menatap salju diluar sambil menunggu kedatangan Bomi. Semakin lama matanya menatap, entah kenapa ia jadi teringat masalalu. Seketika itu hatinya berdenyut sakit ketika bayangan pria yang ia cintai berputar di memory-nya. Baekhyun tersenyum, berbanding terbalik dengan hatinya.
Park Chanyeol. Kenangan masalalu yang masih sangat Baekhyun ingat. Bagaimana pria itu hadir dihidupnya, memberinya cinta, dan setelah itu membuangnya begitu saja. Sejak itu hidup Baekhyun hancur, berkali kali lipat sebelum Chanyeol datang. Tapi Baekhyun tak pernah menyalahkan Chanyeol untuk itu. Itu adalah salah Baekhyun, yang telah membiarkan Chanyeol masuk ke hidupnya dan bahkan membuatnya jatuh cinta.
Awalnya Baekhyun merasa sangat terpuruk. Melewati hari-harinya dengan bayangan Chanyeol yang melambai-lambai seolah mengejek hidupnya yang kacau. Baekhyun hampir putus asa, ketika Yoon Bomi-teman semasa SMU-nya-datang ditahun kedua kehidupannya yang suram. Dulu mereka sahabat. Dan itu masih sama hingga kini.
Yoon Bomi, gadis cantik yang selalu ada menemani hari-hari Baekhyun. Membuat ia kembali hidup dan menutup luka yang menganga dihatinya walau luka itu takkan terhapus sepenuhnya. Bomi selalu ada untuk Baekhyun. Bomi mengetahui seluruh kisah hidup Baekhyun. Mengetahui bahwa Baekhyun menyimpang, dan Bomi tidak masalah untuk itu-Baekhyun mensyukuri fakta ini-.
Bomi juga tau tentang Chanyeol, pria yang Baekhyun cintai dan telah menghancurkan hidupnya. Sejak itu Bomi selalu ada disisi Baekhyun. Menjaga Baekhyun dan mencoba mengembalikan matahari dihidupnya. Setiap hari mereka selalu berdebat, tapi itulah yang membuat Baekhyun bahagia, karena sejak ada Bomi, harinya jadi lebih berwarna.
Jika kalian mengira Baekhyun mencintai Bomi, maka jawabannya adalah salah. Dan tentunya Bomi juga tidak mencintai Baekhyun. Mereka sahabat, hanya sahabat. Dan selamanya tetap seperti itu. Saling menyayangi dan saling membantu ketika membutuhkan. Bagi Baekhyun, sekarang Bomi adalah orang terpenting dalam hidupnya.
.
.
.
Pria itu masih meringkuk dibalik selimut tebalnya walaupun matahari telah naik menandakan hari sudah pagi. Chanyeol sudah bangun. Tapi ia merasa sangat pusing dan hidungnya berair. Mungkin karena salju kemarin. Kemarin tubuhnya sungguh lelah dan dia pulang selarut itu. Hujan salju pula. Jadi tidak heran kalau sekarang ia sakit.
Suara alarm dimeja nakas membuat kepalanya seakan mau pecah. Jadi dengan tangan menggapai-gapai, ia mengambil jam weker itu dan melemparnya asal kearah tembok. Seketika itu juga ruangan senyap kembali. Hanya terdengar napas Chanyeol yang pendek pendek.
Chanyeol mengingat rapat yang harus ia hadiri siang ini dengan klien dari China. Dan seketika itu, Chanyeol mendesah. Merasa sedikit lega faktanya ia telah menghubungi Jongin-sekretarisnya-semalam dan meminta pria itu untuk membatalkan rapat hari ini kalau-kalau ia sakit.
Chanyeol berpikir seharusnya rapat itu sudah dibatalkan sejak semalam. Jadi ia tak perlu khawatir dan bisa melanjutkan tidurnya. Tapi setelah dipikir-pikir lagi, Chanyeol jadi khawatir karena Jongin itu pelupa. Yah, walaupun tidak untuk hal sepenting ini. Tapi bukankah lebih baik memastikan daripada ia yang rugi?
Chanyeol menggapai ponselnya yang ada di nakas. Lekas mencari kontak Kim Jongin dan menghubunginya. Dan beberapa detik kemudian, terdengar bunyi tut pertanda panggilan terhubung. Chanyeol menarik napas dan hampir membuka suara ketika suara diujung sana lebih dulu menyahut.
"Halo, dengan Byun Flower Shop, ada yang bisa saya bantu?" Chanyeol mengernyit ketika mendapati suara Jongin tak seperti biasanya, seperti suara wanita. dan lagi, Byun Flower Shop? Ayolah, apa masuk akal seorang Kim Jongin bekerja sambilan sebagai pegawai di toko bunga sedangkan gaji sekretaris yang ia dapat bahkan bisa ia gunakan membangun rumah?
"Halo, dengan Byun Flower Shop, ada yang bisa saya bantu?" Ulang suara diujung sana dengan nada lebih dinggi dan Chanyeol kembali mengernyit. Sepertinya ini memang bukan Jongin. Tapi ia yakin sekali bahwa yang ia hubungi tadi nomor pria itu. Chanyeol baru teringat kalau ia baru saja ganti ponsel karena beberapa hari yang lalu ponselnya hilang saat di Jepang. Dan selama itu ia belum menghubungi Jongin sama sekali.
"Dengan Byun Flower Shop, kalau tidak ada yang bisa saya bantu saya tu-"
"Tunggu!"
"Ya?"
"Apa ini bukan dengan Kim Jongin?"
"Maaf, anda sedang berbicara dengan Byun Flower Shop"
"Oh maaf, saya salah sambung"
"Kalau tidak ada yang bisa saya bantu, saya tutup" Dan setelah itu terdengar suara tut panjang tanda panggilan berakhir.
Chanyeol merutuki kebodohannya. Seharusnya ia mengecek dulu setelah meminta nomor ponsel Jongin jadi tidak begini jadinya. Sekarang apa yang harus ia lakukan? Sudah pasti kliennya dari China sudah berangkat ke Korea sekarang dan artinya rapat tidak bisa dibatalkan.
Chanyeol berdecak lantas duduk dan bersandar diranjangnya. Mencoba mengurangi rasa pusing. Setelah beberapa menit, ia bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Chanyeol harus berangkat ke kantor karena kebodohannya sendiri. Pria itu terus menggerutu seperti lagu pembuka dipagi hari.
.
.
.
Bomi meletakkan ponsel Baekhyun setelah memutus panggilan dengan orang diseberang sana. Lantas kembali mengikat rangkaian bunga mawar putih dengan pita merah. Baru saja ia mendapat telpon dari orang aneh yang ternyata salah sambung. Saat itu Baekhyun sedang keluar memesan kopi ditoko sebelah dan ponselnya tertinggal. Mendapati ponsel Baekhyun berdering, sebagai sahabat yang baik Bomi mengangkatnya.
Bomi menatap hasil rangkaian mawar putih yang ia buat dan tersenyum puas. Ia sangat suka merangkai bunga-sama dengan Baekhyun. Segera ia letakkan bunga yang telah ia rangkai dijajaran bunga yang dipajang. Mengambil beberapa kuntum mawar merah dan kembali merangkainya sambil bersenandung.
Lima menit kemudian terdengar suara lonceng tanda pintu dibuka dan Bomi mendapati Baekhyun masuk sambil membawa dua gelas plastik yang pastinya berisi kopi. Baekhyun duduk disalah satu kursi dan membuka tutup gelasnya.
"Kau baru saja mendapat telpon"Ujar Bomi tanpa mengalihkan pandangannya dari bunga yang sedang ia rangkai.
"Dari siapa?" Tanya Baekhyun setelah menyesap kopinya.
"Orang salah sambung"Sahut Bomi dan Baekhyun mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia jadi ingat telpon semalam, kenapa akhir-akhir ini banyak orang salah sambung?
"Kemarin malam juga ada telpon salah sambung, kenapa nomorku begitu terkenal?"Tanya Baekhyun pada dirinya sendiri. Bomi berdecih.
"Bukannya kau yang terkenal, nomormu saja yang pasaran"Ejek Bomi membuat Baekhyun mengerucutkan bibirnya.
"Hei, daripada nomormu yang setiap hari dapat teror dari om om genit"Balas Baekhyun. Mendengarnya Bomi berdecak kesal dan Baekhyun tersenyum puas.
"Aish, itu juga bukan salahku, salahkan saja tubuh dan wajahku yang cantik"
"Dan membuat om om tergila gila?" Baekhyun tertawa puas mendapati Bomi memberengut kesal.
"Diam kau! Lagipula aku tak pernah meladeni orang itu. Padahal aku hanya sekali bertemu dengannya ketika melamar kerja di perusahaan tekstil dulu"Oceh Bomi.
"Oh, jadi dia CEO-nya?"Tanya Baekhyun, ia baru tau soal ini.
"Bukan. Dia itu security"Jawab Bomi dengan nada kesal. Dan Baekhyun terbahak-bahak mengetahui bahwa spekulasinya salah.
"Kau bercanda?"Ujar Baekhyun masih terbahak.
"Aku terlalu cantik untuk itu"Jawab Bomi dengan percaya diri dan seketika Baekhyun menampilkan ekspresi seperti orang ingin muntah. Memang apa hubungannya cantik dengan bercanda? Terkadang Bomi memang sedikit bodoh karena kepercayaan diri tinggi yang ia pegang teguh.
"Nah, sudah jadi"Bomi tersenyum puas menatap rangkaian mawar merah yang baru saja ia buat. Lantas meletakkannya untuk dipajang.
"Minum kopimu selagi hangat"Kata Baekhyun dengan dagu menunjuk secangkir kopi dimejanya. Bomi menghampiri Baekhyun dan duduk disampingnya.
"Kau mendapat pesanan sewa baru-baru ini?" Tanya Bomi sambil menyeruput kopinya.
"Tidak, mungkin orang-orang sedang malas berpesta" Jawab Baekhyun sembari meletakkan gelas kopinya yang sudah tandas. Bomi mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Baekhyun?" Panggil Bomi.
"Ya?"
"Akhir minggu ini apa kau sibuk?" Tanya Bomi sambil memainkan gelasnya yang tinggal setengah.
"Kurasa tidak"Jawab Baekhyun sambil bangkit dan menata bunga yang telah dirangkai.
"Mau pergi denganku?"
"Kemana?"
"Kerumah orang tuaku"Baekhyun menoleh dan mendapati Bomi menatapnya penuh harap.
"Hmm, baiklah"Jawabnya kemudian sambil mengangguk, mengambil sprayer dan berjalan kebelakang untuk menyiram bunga. Mendengar itu, Bomi tersenyum senang.
.
.
.
Chanyeol menghembuskan napasnya kasar. Rapat dengan klien dari China sudah selesai setengah jam yang lalu. Kini pria tinggi itu sedang makan di restoran bersama Jongin. Didepannya Jongin tengah makan dengan bersemangat. Sedangkan Chanyeol sama sekali belum menyentuh makanannya. Chanyeol merasa tidak nafsu. Pria itu merasakan kepalanya pusing sekali dan ia ingin segera tidur.
Melihat sahabat sekaligus atasannya dari tadi terus menghela napas tanpa menyentuh makanannya, Jongin menatapnya penuh dengan tanda tanya.
"Hei ada apa denganmu?"Tanya Jongin setelahnya menyendok nasi penuh kedalam mulutnya. Chanyeol hanya berdecak, lantas bersandar pada kursi.
"Kepalaku pusing"Jawabnya singkat.
"Kau baik-baik saja? Dari tadi kulihat kau kurang fokus"Ujar Jongin sambil menyendok nasinya kembali.
"Dari kemarin aku merasa tidak enak badan, dan saat aku menelponmu untuk membatalkan rapat dengan klien China semalam, sialnya aku salah sambung"Kata Chanyeol kesal. Jongin mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Bagaimana bisa kau salah sambung?"Tanyanya sembari mengambil tisu diatas meja.
"Ck, Kau lupa ya, ponselku hilang saat di Jepang dan saat aku minta nomormu, aku lupa tidak mengeceknya"Jelas Chanyeol dan Jongin yang mendengarnya malah tertawa.
"Ceroboh sekali, Park" Ejek Jongin karena baru kali ini sahabatnya itu bertindak ceroboh. Chanyeol tak menanggapi ucapan Jongin dan malah menarik segelas kopi yang ia pesan dan segera meminumnya hingga tandas. Sepuluh detik kemudian ponselnya berbunyi. Chanyeol menatap layar ponselnya yang berkedip-kedip.
"Siapa?" Tanya Jongin.
"Eommaku" Lantas Chanyeol segera menerima telpon itu hingga deringnya berhenti.
"Halo" Sapanya.
"Halo, Chanyeol?" Sahut suara diseberang sana dengan nada panik.
"Ada apa eomma?"
"Ini gawat, Florist kenalan eomma sedang pergi ke Amerika dan eomma tidak punya kenalan florist yang lain" Jawab orang diujung sana.
"Bagaimana dengan teman bibi Jung?"
"Dia sedang ada pesanan dan sedang sibuk sampai akhir bulan nanti" Mendengar itu Chanyeol berdecak kesal.
"Lalu bagaimana?"
"Kau bisa kan mencarikan florist untuk mendekorasi pernikahanmu?" Chanyeol berpikir sejenak. Bagaimana mungkin dikeadaannya yang seperti ini ia mencari seorang florist? Mengurusi kepalanya yang mau pecah saja ia tak bisa. Tapi jika tidak maka ibunya akan marah, jadi ia mengangguk pasrah walaupun itu tidak berguna karena sang ibu tidak ada disana.
"Hmm, baiklah" Chanyeol dapat mendengar ibunya memekik senang.
"Kau yang terbaik, Chanyeol. Ajak Eunji menemuinya kalau kau sudah menemukannya"
"Hmm, baiklah" Jawab Chanyeol singkat.
"Baiklah, eomma tutup" dan dengan itu sedetik kemudian sambungan terputus.
Chanyeol mendesah kasar. Sekarang bagaimana? Ia tidak tau menahu soal penjual bunga sama sekali. Ditambah ia sangat menghindari yang namanya bunga. Jongin menatap Chanyeol penasaran. Apa yang baru saja dibicarakan dengan ibunya hingga ia terlihat kesal seperti itu? Jongin sudah mau bertanya ketika Chanyeol lebih dulu membuka suara.
"Jongin, secepatnya carikan florist untukku"Itu bukan permintaan, tapi perintah. Mendengarnya, Jongin mengernyit heran, untuk apa sahabatnya ini mencari seorang florist?
"Baiklah, tapi untuk apa?"Tanyanya penasaran.
"Ck, cepat carikan saja, akan ku jelaskan nanti, aku tidak mau tau, nanti sore kau harus sudah menemukannya"Perintah Chanyeol tegas. Nyali Jongin jadi ciut, kalau sedang kesal Chanyeol memang sedikit berbahaya.
"Baiklah"Jawab Jongin pasrah dan Chanyeol mendesah lega.
.
.
.
Baekhyun sedang memotong tangkai bunga Aster ketika lonceng diatas pintu masuk berbunyi menandakan ada pelanggan. Jadi sebagai penjual yang baik, ia segera menghampiri seorang pria dengan setelan jas kantor yang baru saja masuk dan lantas ia membungkuk sopan.
"Selamat datang di Byun Flower Shop tuan, ada yang bisa saya bantu?"Tanya Baekhyun ramah. Pria itu menatapnya sebentar, lalu berkeliling melihat-lihat bunga yang dipajang.
"Apa tuan sedang mencari bunga?" Tanya Baekhyun sambil mengikuti pria itu. Pria itu mengambil sekuntum mawar yang sudah diberi pita.
"Apa kau menerima pesanan?" Tanya si pria dan Baekhyun mengangguk.
"Benar tuan, jika tuan ingin memesan rangkaian bunga kami bisa membuatnya" Jawab Baekhyun dengan senyum yang masih terpatri diwajahnya demi menjaga kesopanan.
"Apa aku bisa menyewamu?"
"Maaf Tuan?" Tanya Baekhyun bingung.
"Apa aku bisa menyewamu untuk mendekorasi sebuah pesta?" Tanya si pria sambil menatap Baekhyun dan sekali lagi Baekhyun mengangguk.
"Tentu saja bisa tuan, saya bisa mendekorasi ruangan untuk pesta sesuai dengan permintaan pelanggan" Jelas Baekhyun dan pria itu mengangguk mengerti.
"Begini, Atasanku ingin aku mencarikan seorang florist untuk dia, kau bisa menemuinya malam ini direstoran China yang ada diujung jalan?" Tanya pria itu dan Baekhyun berpikir sejenak apa malam ini dia sibuk atau tidak. Setelah memastikan bahwa ia sama sekali tidak sibuk, Baekhyun mengangguk mantap sebagai jawaban dan si pria tersenyum senang.
"Baiklah, kau bisa datang pukul tujuh ke restoran itu. Atasanku menunggumu dimeja atas pesanan Tuan Park, kau mengerti?" Ujar si pria dan sekali lagi Baekhyun mengangguk.
"Baiklah, saya akan datang" Jawab Baekhyun masih dengan senyumnya.
"Kalau begitu, saya permisi"Kata si pria dan melangkah menuju pintu.
"Terimakasih telah berkunjung tuan"Ucapan Baekhyun mengiringi langkah pria itu pergi.
Sepeninggal si pria Baekhyun kembali memotong tangkai bunga Aster yang sempat ia tinggal tadi. Sudah lama ia tidak mendapat pelanggan yang ingin menyewa jasanya. Dan sekarang Baekhyun tersenyum senang untuk itu.
Baekhyun sudah bekerja sebagai florist selama lima tahun terakhir. Sebelum itu ia pernah mengurus toko bunga milik pamannya saat ia masih Sekolah Menengah. Baekhyun memang menyukai bunga sejak dulu. Karena bagi Baekhyun, bunga adalah ciptaan Tuhan yang sangat indah. Selain itu, semua bunga juga memiliki makna yang unik dibalik kecantikannya.
Semenjak orang itu datang ke hidupnya. Membuat Baekhyun bangkit dari masalah duniawi, sejak itu Baekhyun menjadi lebih menyukai bunga. Mencari makna tersembunyi dibalik bunga setiap hari karena ia ingin selalu memberikan bunga untuk pria itu. Ya, pria itu Park Chanyeol.
Entah kenapa Baekhyun kembali mengingat masa lalu. Dimana ia selalu memberi bunga untuk Chanyeol hampir setiap hari. Bagaimana pria itu menerimanya dengan senang hati dan selalu mengatakan bahwa bunga itu sama cantiknya dengan Baekhyun, dan setelahnya Baekhyun selalu merona dan merasa menjadi pria paling beruntung didunia karena telah mendapat cinta seorang Park Chanyeol.
Mengingat masa itu, sekali lagi rasa benci menyeruak didalam hati Baekhyun. Mengingat kenangan itu tidak pernah tidak menyakitkan. Bagaimanapun juga, Baekhyun mengakui bahwa ia masih mencintai pria itu. sangat mencintai malah. Walaupun Baekhyun tau pria itu sama sekali tidak pernah mencintainya.
Baekhyun memejamkan matanya ketika rasa sakit itu kembali muncul dengan kenangan indah-yang entah mengapa menjadi pedang yang seolah menusuk hatinya- berputar-putar di memory-nya. Baekhyun selalu menikmati rasa sakit ini. Karena bagaimanapun ia juga bahagia ketika mengingat senyum itu.
Baekhyun menghela napas kasar menyadari bahwa ia kembali melamun tentang pria itu. lantas ia segera menyelesaikan acara memotong tangkai bunga Asternya dan setelah itu merangkai bunga yang telah ia potong sesuai dengan permintaan pelanggan tadi siang. Bomi sedang pulang sejak setengah jam lalu. Gadis itu beralasan bahwa ia ingin mandi dan akan membawakan makan malam untuk Baekhyun ketika ia kembali nanti.
Baekhyun melirik alrojinya, dimana jarum panjang menunjuk angka lima menandakan bahwa ini sudah jam lima sore. Dua jam lagi ia harus menemui pelanggannya di restoran China yang ada diujung jalan dan untuk itu Baekhyun harus segera bersiap.
Jadi, ia segera menyelesaikan rangkaian bunga Aster yang ia buat sambil menunggu Bomi kembali untuk menjaga toko saat ia pergi nanti.
.
.
.
Aku tidak tau, sejak kapan perasaan ini tumbuh dihatiku. Sudah satu bulan berlalu semenjak dia menyelamatkanku saat itu. Dan setiap hari pula ia datang kesini hanya untuk menghibur dan membuat hari-hariku menjadi lebih berwarna.
Namanya Park Chanyeol. Ia pria yang sangat lucu dan menyenangkan. Kami sangat cepat akrab dan itu membuatku cukup heran karena biasanya aku adalah pria tertutup. Mungkin karena pribadinya yang sangat hangat sehangat matahari di musim semi. Ia selalu membuatku nyaman dan merasa seperti aku adalah orang yang spesial ketika dia ada disampingku.
Sudah satu bulan dan aku sangat bahagia memiliki teman sepertinya. Tapi aku tau, ada perasaan lain dihatiku yang menganggap bahwa ia lebih dari sekedar teman. Aku merasa ini mustahil. Ini salah. Karena pada dasarnya dia sama sepertiku. Dia juga seorang pria.
Ini tidak mungkin bukan? Aku merasa malu karena telah menyimpan perasaan yang mustahil bahwa ia juga memilikinya. Aku takut dia membenciku setelah tau bahwa aku ini tidak normal. Jadi, aku mencoba menyembunyikan perasaan ini dan bersikap seperti biasanya.
Tapi itu sulit. Sangat sulit menyembunyikan detak jantungku yang bekerja diluar nalar ketika dia ada didekatku. Sangat sulit menyembunyikan rona merah dipipiku ketika ia memberi perlakuan manis padaku. Ini sangat sulit, dan pada akhirnya aku menyerah.
Aku menjauhinya. Selalu menghindar ketika kami bertemu. Seolah tidak mengenal ketika kami berpapasan. Lewat jalan yang tidak pernah ia lewati. Namun entah kenapa ia malah terus mengejarku. Ia selalu datang ke toko bunga milik pamanku setiap sore tempat aku bekerja. Aku mencoba menghindarinya dengan berbagai alasan. Entah itu ujian akhir yang segera datang-padahal kami masih kelas dua-, ataupun jadwal sekolahku yang cukup padat hingga tidak memungkinkan aku untuk bermain dengannya, tapi ia tidak menyerah.
Sama sepertiku yang juga tidak mau menyerah untuk menghindarinya. Memang rasanya sakit, ketika kau harus menjauh dari orang yang kau cintai. Tapi cintaku ini salah, aku tidaklah normal dan aku tidak mau dia berakhir kecewa dengan kenyataan ini. Jadi, aku menguatkan hatiku walau rasanya sangat rindu ketika waktu kami yang dulu semakin terkikis seiring berjalannya waktu.
Hingga suatu ketika, saat teriknya matahari telah lama menggantikan keindahan musim semi, ia datang ke toko bunga pamanku dan saat itu kami sedang libur musim panas. Sudah dua minggu ia tak lagi menemuiku setelah berulang kali aku beralasan agar dia menjauh.
Siang itu ia datang dengan sepedanya dan ia mengajakku bermain ke taman. Pamanku yang tidak tau apapun masalahku, memberinya ijin untuk membawaku karena toko bunganya sedang sepi. Aku merutuki kebodohan pamanku yang sebenarnya sama sekali tidak bersalah.
Dengan berat hari, aku naik di jok depan sepedanya hingga jarak kami yang sangat dekat membuat jantungku berdebar dengan kupu-kupu menggelitik perutku. Rasanya sangat bahagia, tapi aku juga sadar diri bahwa ini adalah sebuah kesalahan. Jadi, aku mengubur dalam-dalam perasaan senangku.
Hari itu ia mencoba membuatku senang. Mengajakku membeli es krim stroberi yang sangat kusuka, mengajakku bermain game kesukaanku di playstation. Mengajakku untuk membeli boneka. Hingga aku menyerah pada perasaanku sendiri dan aku tertawa bahagia dengan perasaan senang yang sudah lama tak kurasakan.
Sampai saat ia mengantarku hingga diperempatan jalan rumahku. Aku baru menyadari bahwa apa yang telah kulakukan hari ini adalah sebuah kesalahan. Tak seharusnya aku bahagia untuk itu. Perasaan ini salah dan aku harus menjauhinya.
Saat itu ia berdiri didepanku dengan senyum idiot yang entah mengapa selalu membuat hatiku bergetar. Aku menatapnya dengan nyalang seolah aku sangat membencinya, tapi berbanding terbalik denganku, ia malah tersenyum, sangat tampan. Aku merasa benci, bukan padanya, tapi pada diriku sendiri. Aku tak mau ia kecewa tapi aku sendiri juga tak mampu membuatnya menjauh dariku. Jadi aku mengatakan satu hal, satu hal yang telah membuat senyum rupawan itu luntur dari paras eloknya.
"Chanyeol, menjauhlah dariku, aku tidak mau kita berteman lagi"Itulah yang aku katakan. Dan seketika senyum itu lenyap dari wajahnya, membuat hatiku berdenyut sakit.
"Tapi kenapa Baek?"Pertanyaan yang membuat hatiku semakin hancur.
"Kita tak seharusnya berteman, kau adalah orang kaya, tidak sepertiku"Alasan yang kuucapkan untuk menutupi perasaan bodohku. Satu-satunya alasan yang kurasa masuk akal.
"Itu tidak masalah Baek, bukankah kita teman?"Sangkalnya yang membuat hatiku semakin nyeri.
"Tidak Chanyeol, kita bukanlah teman mulai saat ini"Keputusanku yang membuatnya kecewa, tapi asal kau tau, hatiku lebih sakit dari apa yang ia rasakan.
"Tidak, kau pasti punya alasan lain, tidak mungkin hanya karena masalah sosial, ada apa Baek? Apa terjadi sesuatu?" Dia menyentuh bahuku dengan kedua tangannya yang begitu hangat, sentuhan kecil yang mampu membuatku berdebar dengan hati berdarah disaat yang sama.
"Tidak, tidak ada alasan lain"Sangkalku mencoba meyakinkannya.
"Kau bohong"Tuduhnya yang memang sebuah kebenaran. Aku mendongak dan saat itulah mata kami bertemu.
"Aku tidak" Jawabku sambil menggeleng.
"Kau iya" Bentaknya membuatku membeku. Dia menyingkirkan kedua tangannya dari bahuku. Membuang wajahnya agar tak menatap mataku.
"Memangnya alasan apalagi yang membuatku menjauh?" Tanyaku entah pada siapa. Dia tidak menatapku, malah menatap taman kompleks yang semakin sepi karena hari semakin petang.
"Kau bohong" Ujarnya dingin.
"Aku tidak"Sangkalku lagi.
Dia menatapku dengan mata nyalang,"kau menjauhiku selama berbulan bulan, kau bersikap seolah tidak mengenalku ketika kita bertemu, kau menjauhiku tanpa aku tau apa kesalahanku, kau menghindariku seolah aku adalah pengganggu kehidupanmu"Bentaknya hingga dia terengah. Aku tercekat, jelas sekali pandangannya itu salah.
"Tidak, bukan seperti itu, aku hanya-"
"Lalu apa? Kenapa kau menjauhiku? Kau selalu memberikan banyak alasan ketika aku mengajakmu bermain, dan sekarang kau bilang bahwa itu masalah sosial, apa masalahmu?" Aku menatapnya dan baru kusadari mataku sudah berair, sama seperti matanya.
"Katakan apa masalahmu hingga kau seperti ini? Jika itu karena masalah-"
"Itu karena aku tidak normal"Gumamku membuatnya bungkam. Aku terus menatapnya walaupun pandanganku mengabur oleh air yang coba ditahan kelopak mataku.
"Itu karena aku tidak normal,"ulangku dengan bibir bergetar,"aku tidak normal dan kau tidak boleh berteman dengan orang sepertiku"
"Apa maksudmu? Alasan bodoh apa lagi ini?" Tanyanya melemah.
"Aku gay. Aku mencintaimu bukan sebagai teman, tapi sebagai seorang lelaki"Akuku dengan suara bergetar. Aku sempat melihat bahunya menegang dan aku sudah siap menerima apapun reaksinya. Entah dia akan membenciku ataupun menganggapku menjijikkan sekalipun, aku tidak peduli. Yang penting aku sudah mengatakan alasannya.
"Kalau begitu, aku juga tak pantas menjadi temanmu,"ucapnya membuatku tertegun. Ini lebih menyakitkan dari apa yang aku bayangkan. Kubiarkan air mataku mengalir tanpa kucegah lagi. Rasanya sangat sakit. Sangat sakit,"karena aku juga tidak norma,"mataku membola ketika ia mengucapkan itu, air mataku yang mengalir terhenti sementara. Aku menatapnya yang juga menatapku.
"Dan sialnya aku mencintaimu, jauh sebelum kau mencintaiku, aku mencintaimu ketika pertama kali aku melihatmu dibawah pohon sakura saat jam sembilan pagi. Aku terus memperhatikanmu tanpa berniat mendekatimu. Memandangmu dari jauh, mengagumimu dari jauh. Setiap hari menunggu jam sembilan pagi datang hanya agar aku bisa melihatmu. Aku mencintaimu, sejak pandangan pertama. Aku juga tidak normal, dan sialnya itu karena kau"Jelasnya dengan menatap jauh kedalam mataku. Aku merasa ini seperti mimpi. Jantungku berdebar dan debaran itu terasa sangat menyenangkan.
"Jadi, jangan pernah menjauhi aku lagi, karena aku juga mencintaimu, Byun Baekhyun"
Seakan waktu terhenti, ketika ia menangkup wajahku dan mempertemukan bibir kami. Ia menyesap bibirku dengan lembut. Memberikan lumatan-lumatan kecil yang terasa begitu manis dan membuatku melayang. Aku memejamkan mataku, menggerakkan bibirku untuk membalas ciumannya. Seiring dengan sisa air mata yang menetes begitu saja. Aku tidak lagi peduli ini salah atau benar. Karena bagiku. Jika itu bersamanya, kesalahan kami adalah sebuah kebenaran.
.
.
.
Baekhyun merapatkan jaketnya ketika udara terasa makin dingin. Matanya menatap bangunan besar didepannya yang bernamakan Chinese Restaurant. Baekhyun memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaket. Lantas melangkah masuk dan menghampiri meja kasir.
Baekhyun mendapati seorang gadis cantik yang merupakan pelayan tersenyum padanya dibalik meja kasir.
"Selamat datang tuan, ada yang bisa saya bantu?" Tanya gadis itu sopan.
"Meja atas pesanan Tuan Park?" Tanya Baekhyun dan gadis itu langsung mengangguk mengerti. Kemudian telunjuknya menunjuk meja yang ada disamping jendela.
"Disitu tuan" Baekhyun mengikuti arah jari si gadis dan tersenyum tipis.
"Terimakasih"Ujarnya dan pelayan itu mengangguk sambil tersenyum.
Baekhyun melangkah menuju meja yang ditunjuk pelayan tadi. Menarik salah satu kursi kayu tepat disamping jendela dan mendudukinya. Tuan Park itu belum datang. Artinya Baekhyun harus menunggu. Jadi, ia menggunakan waktunya untuk menatap jalanan di luar sana yang sedang turun butiran salju kedua.
Baekhyun meletakkan tasnya diatas meja dan bertopang dagu menatap pemandangan diluar. Ia adalah orang yang tidak suka menunggu dan sangat mudah bosan. Merasa tidak ada yang menarik, ia mengeluarkan ponselnya, memakai earphone dan mendengarkan lagu yang ia suka. Apa salahnya menunggu sambil mendengarkan lagu?
.
.
.
Chanyeol sudah sampai didepan rumah sakit tempat Eunji bekerja. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh dan ia tau bahwa ia mungkin sedikit terlambat. Itu semua murni bukan kesalahannya. Jongin yang baru menemukan seorang florist di jam setengah lima sore membuat Chanyeol harus membatalkan rapat dengan kliennya yang sebenarnya diadakan jam enam petang.
Dari sini Chanyeol dapat melihat Eunji berdiri disana, masih memakai jas dokter dan membawa tasnya. Chanyeol tau bahwa Eunji pasti sebenarnya juga sama sibuknya dengan Chanyeol. Jadi ia membawa mobilnya untuk berhenti tepat didepan gadis itu berdiri. Chanyeol membuka kaca mobilnya dimana Eunji menatap kedalam.
"Hei, masuklah" Ujar Chanyeol dan Eunji segera membuka pintu mobil dan mendudukkan dirinya di jok depan-disamping Chanyeol.
"Kurasa kita sedikit terlambat, aku harap dia belum datang" Kata Eunji sambil melirik alroji putih yang melingkar dipergelangan tangannya.
Tak buang waktu, Chanyeol pun segera menjalankan mobilnya menuju restaurant yang telah dipesan Jongin. Membelah jalanan kota Seoul yang cukup padat karena malam sudah menjelang, walaupun salju tipis turun dengan pelan diluar sana.
Mereka sudah sampai. Chanyeol segera memarkirkan mobilnya ditempat parkir. Lantas membuka pintu mobil, dan melangkah keluar, begitupun dengan Eunji. Mereka berjalan beriringan sebelum Eunji dengan menja bergelayut mesra dilengan Chanyeol. Chanyeol hanya tersenyum palsu dan tidak mau peduli.
Mereka berdua melangkah bak pasangan romantis yang sedang bahagia. Yang sejujurnya hanya Eunji yang bahagia. Pintu restoran terbuka dan mereka berdua melangkah masuk dan berjalan menuju meja kasir. Jongin yang memesan meja atas namanya, jadi Chanyeol sama sekali tidak tau meja sebelah mana yang telah dipesan atas namanya.
"Permisi"Ujar Chanyeol membuat gadis pelayan menoleh setelah sebelumnya bercakap dengan pelayan desampingnya.
"Oh, maaf, ada yang bisa saya bantu tuan?" Tawar si pelayan sambil tersenyum ramah.
"Meja atas pesanan tuan Park?" Tanya Chanyeol dan pelayan itu mengarahakan jari telunjuknya pada meja disamping jendela. Tampak dari sini seorang pria mungil sedang bertopang dagu dan menatap keluar jendela. Chanyeol mengangguk.
"Terimakasih"Ucapnya dan mereka berdua berjalan menuju meja yang ditunjuk pelayan tadi, dengan Eunji yang masih bergelayut mesra seolah memamerkan kemesraan mereka pada siapapun yang melihat. Chanyeol tidak terlalu peduli untuk itu.
Pria itu sedang duduk melamun sambil bertopang dagu dan menatap jalanan dimana salju tipis menutupi. Chanyeol tak bisa melihat wajahnya karena pria mungil itu tak menoleh dan Eunji yang berada didepan pria itu, bukan dirinya.
"Permisi"Ujar Eunji namun tak ada tanggapan. Eunji menengok apa yang dilakukan pria itu hingga tak mendengarnya. Dan setelahnya ia berbisik pada tunangannya.
"Ia sedang menggunakan earphone"Bisik Eunji dan Chanyeol mengangguk mengerti.
"Kurasa aku harus menepuk pundaknya, apa itu terlihat tak sopan?" Lirih Eunji dan Chanyeol hanya mengedikkan bahunya sebagai jawaban.
Gadis yang masih memakai jas dokter itu pun menepuk bahu pria mungil itu dengan pelan,"permisi,"ucapnya.
Chanyeol dapat melihat pria itu gelagapan melepas earphone-nya. Dan ketika ia berbalik..
"Ah, maaf"DEG. Chanyeol melihatnya. Pria yang amat sangat ia kenali. Pria yang selalu ia cari-cari keberadaannya dan pria yang telah ia sakiti dimasa lalu. Seketika itu Chanyeol tercekat dan merasa napasnya berhenti. Surai madunya yang amat sangat Chanyeol kenali.
"Maaf"Ulang pria itu sambil membungkuk. Suara itu. suara yang sangat Chanyeol rindukan. Suara itu, suara yang selalu ingin ia dengar tiap pagi.
"Ah tidak apa"Chanyeol seolah tuli akan apa yang baru saja Eunji katakan. Bakhan mengabaikan tangan Eunji yang menariknya untuk duduk seperti yang tengah gadis itu lakukan sekarang. Chanyeol masih berdiri, sama dengan si pria yang masih menunduk.
Kemudian pria itu mengangkat wajahnya. Awalnya melempar senyum ramah pada Eunji, lalu beralih menatap Chanyeol dan ketika mata mereka bertemu. Ini seperti mimpi. Seolah waktu berhenti berputar. Keduanya sama-sama tercekat. Ketika menyadari bahwa mereka sama-sama mengenal dan pernah membuat cerita bersama dimasa lalu.
"C-Chanyeol?"
"B-Baekhyun?"
Bolehkah Chanyeol menyebut ini Keajaiban di Bulan Desember?
.
.
.
TBC
Saya tau betapa gaje dan anehnya ff ini -_-. Gak banyak omong deh, review sangat diharapkan yahh. Liat responnya dulu baru aku lanjut ff ini. Kalo ada yang kurang jelas bisa ditanyakan dikotak review karena aku juga sadar bahasa aku yang berantakan banget mungkin bikin kalian pusing.
Jadi ceritanya di ff ini aku selipin kisah masalalu Chanbaek sedikit sedikit ditengah kisah mereka yg sekarang. Juga masih banyak kejutan menanti loh di chapter depan. Aku harap kalian suka yahh karena aku bekerja keras untk ff ini(saya sibuk sama UN) #wuih gue sok bgt# wkwk, okeh sekian dan sampai jumpa..
Jika respon bagus saya usahakan update cepet.. luv yu all..
