Disclaimer : Bleach milik Tite Kubo. Saya hanya fans, tidak mengambil keuntungan materiil atas pembuatan fanfiksi ini.
Note: Ichigo-centric, Alternate Timeline, dan double-fiction atau fiksi kembar, fiksi yang bisa dibaca dari paragraf pertama ke paragraf akhir, maupun dari paragraf akhir ke paragraf pertama, nantinya dihasilkan dua cerita yang (mungkin) berbeda plot dan ending. Got it?


The Vivace
plot by:kuroliv; november 2010.


Jendela kamarku beradu dengan angin, memaksaku untuk menutupnya sejenak.

Dan hujan—terus turun menghujam tanah-tanah cokelat. Lalu..

Aku mengingat segalanya.

Aku tahu Okaasan, aku tahu. Bahkan ketika aku terjun, aku menyadari tanganmu merengkuhku dari dunia semu itu, lalu semuanya buyar tak bermakna. Saat itu aku merasa aku telah gagal, Okaasan.

Aku tahu Okaasan, aku tahu. Aku bukanlah anak yang terbaik untukmu, bukanlah keturunan yang memiliki kesan mendalam bagimu. Aku hanyalah anakmu yang hanya bisa berulah dan mempertemukanmu dengan dunia yang berbeda denganku.

Aku tidak tahu Okaasan, aku benar-benar tidak tahu apa yang ada di dalam hatimu saat itu. Yang aku tahu adalah kau telah tak berdaya di samping sungai itu, persis di bawah hujan, dan payung putihmu terlepas dari genggamanmu.

Bencilah aku, Okaasan.

Aku hanya bisa menangisi kepergianmu, namun aku tidak bisa mengerti bagaimana kau meninggalkanku saat itu.

Seperti gerimis yang cepat datang dan cepat pergi.

Umurku baru delapan tahun saat itu, belum benar-benar dewasa untuk melepas kepergian Okaasan, belum mengerti tentang apa itu kematian, maupun apa itu kesedihan.

Aku ingin menjadi peka bagi orang lain setelah kehilanganmu, Okaasan.

Aku ingin tahu rasa haru ketika menikmati hujan, ketika mengecap deru hujan, dan ketika ikhlas kehilanganmu. Aku hanya ingin mengerti bagaimana kehidupan bahagia setelah kehilanganmu.

Aku ingin merasakan hujan meletup di mataku, yang sedikit banyak sama dengan memandang bayanganmu di poster besar pajangan Otousan. Bukankah sama ketika mengenangmu melalui siluet di balik gambar dua dimensi itu?

Bodoh sekali, mengapa kau yang selalu kuingat, Okaasan.

Hujan, tak bisakah kau berhenti dan berubah menjadi gerimis saja? Dan biarlah ingatanku melebur dalam benakmu, dalam saripatimu, sehingga aku bisa terlihat lemah hanya saat bersamanya.

Penyesalan terbesarku tentangnya, seperti hujan, seperti kabut, yang terus melayang ringan tanpa arah, yang terus transparan tanpa yakin ada yang mampu melihatnya.


(silahkan membaca dari paragraf terakhir ke paragraf pertama)

FIN.


Feedback?