Disclaimer

Bungou Stray Dogs punya Asagiri Kafka.

Ringkasan

Sakaguchi Ango sibuk dengan pekerjaan. Oda Sakunosuke menghubunginya pada jam makan siang. Apa yang terjadi? Fanfiksi ini menggunakan latar BEAST!AU, yaitu satu-satunya alam di jagad raya yang mengizinkan Oda untuk tetap hidup! Info selengkapnya silakan cari di tumbl*r, dijamin Anda akan menyesal telah tahu bahwa AU ini ada!

Catatan : fanfiksi ini ditulis kurang dari dua belas jam karena author sangat ingin dua karakter ini berbahagia. Jika ada kesalahan, mohon segera beri tahu via review agar dapat segera diperbaiki. Selamat membaca.

FEBRUARI BERSALJU

Pukul Dua Belas Siang


Setelah menunggu kurang lebih lima menit, akhirnya panggilan itu diangkat juga. Segeralah Oda Sakunosuke mendekatkan ponselnya ke telinga. Belum sempat ia memberikan ucapan selamat siang, laki-laki yang tengah dihubunginya itu sudah terlebih dahulu mengeluh.

"Aku sedang sibuk, Sakunosuke."

"Aku tahu, Ango."

"Kalau begitu, jangan meneleponku sekarang."

"Kamu tidak membalas pesan-pesanku."

Terdengar suara hela napas yang sangat tidak menyenangkan sebagai jawaban. Oda Sakunosuke langsung bisa membayangkan sosok berkacamata itu tengah menekan keras dahinya dengan jari. Jeda beberapa detik itu juga membuatnya bisa mendengar tumpukan dokumen baru yang diletakkan di meja Sakaguchi Ango. Ia juga bisa menangkap sekilas suara sang pegawai pemerintah yang mengiyakan suruhan seseorang terkait dokumen itu.

"Nanti akan kubalas," sahut Ango akhirnya dengan lemah, "setelah selesai menjawab surel-surel ini."

"Kalau begitu aku akan langsung saja pada intinya," ujar Sakunosuke buru-buru, "malam ini kamu kosong? Aku mau –um– mengajakmu makan di luar."

Ada jeda tiga detik setelah pertanyaan itu terlontar dengan cepat. Satu detik digunakan oleh Ango untuk mencerna pertanyaan itu. Detik setelahnya digunakan oleh Ango untuk menaikkan sepasang alisnya, berbarengan dengan sepasang bibirnya yang membuka perlahan. Detik terakhir digunakan oleh pembuluh darah Ango untuk membanjiri wajahnya dengan semburat merah.

Sakunosuke mengajaknya berkencan.

Ia mengenal pemuda bertubuh tinggi itu sudah lama. Sakaguchi Ango masih menjadi mata-mata Port Mafia. Oda Sakunosuke masih menjadi pembunuh di organisasi penjahat yang sama dengan Ango. Setelah kematian pimpinan tertinggi mereka, Mori Ougai, terjadi kekosongan kekuasaan yang membuat pengawasan menjadi lemah.

Pada waktu itu, tugas Ango sebagai petugas intelijen negara dianggap selesai. Benar sekali, ia adalah agen ganda yang ditugaskan untuk mengawasi Port Mafia. Akhirnya, ia dapat memanfaatkan kekosongan itu untuk kabur bersama Sakunosuke yang memang ingin berhenti menarik pelatuk senjata api dan mengakhiri hidup orang lain.

Sakaguchi Ango kembali duduk di meja kerjanya untuk menulis laporan, mengoreksi dokumen, dan membalas surat elektronik. Sementara itu, Oda Sakunosuke diterima bekerja di sebuah agensi detektif yang menangani kasus-kasus khusus, dan merawat lima belas anak yatim-piatu.

"...makan di luar?"

"Iya. Kamu dan aku saja, tidak ada anak-anak. Oh– atau kamu mau makan di rumahku...?"

Dengan pengalaman berteman selama itu, ditambah dengan kejadian-kejadian yang membuat mereka dekat, bohong kalau pria berkacamata itu mengatakan bahwa ia tidak kenal dekat dengan Sakunosuke.

Ia sudah terbiasa dengan sepasang netra akua yang terlihat tenang dalam situasi apa pun. Ia juga sudah terbiasa dengan kata-kata pasrah yang sering keluar dari mulutnya saat terperangkap dalam kesulitan.

Ia juga tahu bahwa Sakunosuke yang pendiam ini memerlukan keberanian ekstra untuk bisa mengajaknya pergi semacam itu. Bahkan, Sakunosuke tak punya nyali untuk mengutarakan isi hatinya kepada Ango lewat tulisan sekalipun. Ralat, mungkin bukannya tak punya nyali, ia hanya tidak ingin merusak hubungan baik mereka berdua dulu di Port Mafia.

Ia juga tahu bagaimana perasaan Sakunosuke kepadanya. Ia tahu persis. Ia sudah tahu soal ini lama sekali, dan memilih untuk memendamnya sendiri karena pada waktu itu, ia memang tidak merasakan hal yang sama.

"Memangnya... mau makan di mana?"

"Ah, jadi oke ya?"

Kejadian itu juga terjadi karena unsur ketidaksengajaan. Kejadian apa, katamu? Oh, tentu saja kejadian yang membuatnya tahu bahwa Sakunosuke selalu mencuri pandang ke arahnya.

Kemampuan khusus Ango, [Discourse on Decadence], membuatnya bisa mengamati memori dari benda mati. Tidak perlu banyak unsur kesengajaan. Selama ia mengaktifkannya, Ango akan bisa mengetahui apa pun yang dialami oleh benda yang ia sentuh.

Hal ini juga berlaku kepada segala benda yang dimiliki oleh Sakunosuke.

Jas berwarna gading itu, misalnya. Pada waktu itu, Ango hanya ingin tahu apa yang diingat oleh jas itu terkait perilaku pemiliknya selama tidak sedang bertugas. Ia mengambil kesempatan untuk menyentuhnya sebentar ketika pemiliknya menggantungkannya di kapstok Bar Lupin. Kemampuan itu diaktifkannya, dan Ango menahan napas.

Ada banyak sekali peristiwa tidak menyenangkan yang membuatnya pusing. Bagaimana jas itu menjadi saksi korban-korban Sakunosuke yang meregang nyawa, misalnya. Bagaimana jas itu nyaris tertembus peluru dan rusak oleh ledakan.

Akan tetapi, jas itu hanya menampilkan sosoknya sebagai satu-satunya orang yang selalu diperhatikan oleh Sakunosuke. Jas itu selalu terarah ke punggungnya, karena Sakunosuke selalu berjalan di belakangnya. Jas itu selalu menampakkan ekspresinya ketika bicara dengan Sakunosuke. Jas itu juga menampilkan betapa seringnya Sakunosuke mengulurkan tangannya kepada Ango yang tertunduk letih di meja bar.

Tangan kanan itu seakan ingin membelai rambutnya, tetapi Sakunosuke tidak pernah melakukannya. Ia selalu menarik tangan itu kembali.

Sama halnya dengan saat Ango mengucapkan salam perpisahan untuk pulang dari bar. Ketika tubuh itu berbalik, tangan kanan itu akan bergerak maju, terarah kepada bahunya. Terkadang, langkah kakinya pun ikut melaju, mengikuti Ango yang terus berlalu tanpa suara.

Akan tetapi, tangan kanan itu tidak mencegah Ango untuk pergi. Sakunosuke selalu menarik tangan itu kembali, menghela napas, dan pergi ketika sosok Ango tak terlihat lagi.

"...Ango? Jadi oke, ya?"

"...hah?"

Sama seperti ketika ia tak jadi merengkuh Ango yang menjauh, Sakunosuke menghela napas. Pasti Ango benar-benar sibuk sekarang, batinnya sendiri. Dalam hati, ia merasa sedikit bersalah lantaran mesti mengganggu pemuda itu hanya untuk perkara sepele.

"Tadi aku mengajakmu makan malam."

"Oh iya," beberapa kali Ango berkedip sambil membetulkan letak kacamatanya, "aku mau sebenarnya, tapi aku tidak yakin pekerjaanku selesai sebelum pukul lima."

"Tidak apa-apa, akan kutunggu."

"Aku bisa saja menginap di kantorku."

Ini bukanlah sebuah kebohongan. Pekerjaan Ango saat ini sangat tidak ramah dengan pola hidup sehat. Saking lelahnya, Ango sering tertidur sambil terus menjawab surel-surel yang masuk. Tertidur di tengah-tengah menghabiskan sekaleng kopi juga pernah.

Saat ini, seorang pegawai menyerahkan laporan untuk dicek oleh Ango –yang langsung cemberut hanya dengan melihat halaman judulnya saja. Astaga. Apa ini, halaman tiga saja sudah ada salah ketiknya. Halaman berikutnya ada kesalahan ejaan. Halaman berikutnya lagi–

"Tidak apa-apa," suara Sakunosuke terdengar yakin, "aku akan tetap menunggumu."

"Agensi detektifmu itu sedang tidak ada pekerjaan sama sekali, ya?" ada sedikit rasa kesal pada celetuk Ango yang mengepalkan tangannya keras-keras, "Kubilang, aku sangat sibuk! Lebih baik kamu selesaikan laporan-laporanmu sendiri! Oh, kudengar kamu sedang menulis novel, 'kan? Selesaikan dahulu novelmu itu! Urusan makan denganku bisa diatur kapan-kapan."

Pemuda bersurai merah tertegun. Ah, celaka. Ia sudah membuat Ango benar-benar kesal. Bagaimana ini? Sambil ia mencari respon yang tepat, dari ponselnya terdengar suara laporan yang dirobek dengan sadis.

Ah, celaka deh, serius.

"Ango," ujarnya cepat-cepat, "aku– "

"Tolong hubungi aku lagi nanti."

Panggilan terputus. Ango yang mengakhirinya. Dengan kasar, pula. Sementara ia menahan diri untuk tidak membanting ponselnya, Sakunosuke menyeka bulir kecil keringat dingin yang menuruni lehernya.

Gagal total, deh.

Padahal, Sakunosuke sudah memikirkan soal ini dari jauh-jauh hari. Ia berasumsi bahwa Ango tak akan menyalakan ponselnya selama perjalanan menuju kantornya. Besar kemungkinan, Ango tak akan mau menjawab panggilan dengan tubuh yang lelah sepulang bekerja. Karena itu, ia berpikir bahwa jam makan siang adalah waktu yang tepat untuk menghubunginya dan membuat janji.

Layar ponselnya yang gelap itu tak lagi diperhatikannya. Benda yang ada di tangannya kini adalah pemantik. Sepasang bibirnya menjepit rokok yang hendak dinyalakan olehnya–

"Sakunosuke, di lorong gedung kantor kita ini dilarang merokok ya."

"Baik, Dokter Yosano."

Wanita yang awas itu adalah rekan kerjanya di kantor agensi detektif ini. Sejak kapan ia ada di sini, batin Sakunosuke sambil memasukkan pemantiknya ke saku. Jam makan siangnya sudah habis, sekarang ia akan kembali ke ruang bekerja, mengikuti dokter itu.

"Muram sekali," katanya ramah, "habis bertengkar dengan pacarmu?"

"Tidak."

"Tidak bertengkar, atau tidak punya pacar?"

Sakunosuke merasa bahwa ia tidak perlu menjawab pertanyaan ini. Entah untuk keberapa kalinya hari ini, ia menghela napas panjang, memancing rasa simpati Yosano Akiko yang pada akhirnya menepuk-nepuk bahunya.

Sakunosuke benar-benar menuruti Ango untuk mengurus laporan-laporannya sendiri.