"Batu Pijakan"

Disclaimer : Gintama milik Hideaki Sorachi
Warning : Typo, AU, OOC, DLDR


Aku tidak punya banyak ingatan yang menyenangkan. Orang-orang mengabaikanku dan aku mengabaikan perasaan kesepian yang diam-diam bersarang dalam diriku. Tapi, akhir-akhir ini hidupku terasa menyakitkan dan benar-benar hina. Luka yang terus terukir di kulitku dan lebam yang mulai menodai tubuhku adalah bukti atas keberadaanku.

Bukti atas keberadaan mainan yang rusak.

"Kau tidak apa-apa?"

Saat aku menoleh, suara seseorang terdengar.

Sosoknya yang berjalan masuk ke gang sempit ini mulai terlihat jelas. Laki-laki itu bertubuh tinggi dengan rambut keriting dan mata yang tertutup oleh kacamata hitam. Wajah tegangnya membuatku tidak bisa menatapnya lama-lama.

"Apa aku terlihat tidak apa-apa?"

Dia berlutut di hadapanku yang terduduk di tanah.

Tangan besar itu menyentuh memar di pipiku, membuatku spontan meringis dan menahan tangannya agar tidak menyentuh kulitku lebih lama lagi.

"...hentikan."

"Kenapa kau tidak mengatakan itu pada orang-orang yang membuatmu seperti ini?"

Aku melepas cengkeramanku pada tangannya sembari tersenyum miris, "Kau orang yang baik." Dan sambil menahan rasa nyeri di tangan kananku, aku bangun dari posisiku sebelumnya.

"Aku akan mengantarmu ke dokter."

"Lukaku tidak separah itu."

Tiba-tiba dia menarik tangan kananku, pelan, tapi tetap saja terasa sangat menyakitkan. Akupun meloloskan jeritan tertahan yang membuatnya tersenyum puas, "Sepertinya tidak begitu."


Tangan kananku patah dan memerlukan waktu 2 bulan untuk sembuh.

Lalu tanpa kuminta dan tanpa bisa kutolak, pria berusia 20 tahunan berambut keriting di sampingku ini memutuskan untuk mengawasiku selama gips di tangan kananku masih terpasang.

Namanya Sakamoto Tatsuma, mahasiswa di universitas Kaientai yang bekerja paruh waktu di sebuah kafe.

Bakatnya adalah menggoreskan kuas di atas kanvas, tapi sayang tak ada satupun orang yang menghargai karya-karya yang ia buat.

Sudah 2 minggu berlalu sejak pertemuan pertama kami dan sejak saat itulah Sakamoto selalu mampir ke apartemenku setiap harinya. Dia selalu menyuapiku makan dengan paksa karena aku tidak bisa memegang sumpit dengan tangan kiri. Dan baru-baru ini dia juga kerap kali mengisi peran wali-ku di sekolah saat dia tahu kalau aku tinggal seorang diri di kota Edo.

Berkatnya entah kenapa aku merasa seperti orang tua di panti jompo yang selalu di kunjungi oleh si anak setiap harinya.

"Sakamoto," panggilku lirih.

Sakamoto menoleh seraya mendaratkan satu takoyaki di depan mulutku. "Aku membelinya di depan stasiun. Rasa takoyaki ini lumayan enak, cobalah."

"Hah... kau ingin membuatku segemuk babi, huh? Aku sudah tidak bisa makan lagi."

"Yah, sayang sekali."

Dia akhirnya memakan takoyaki tersebut dengan wajah kecewa.

"Sekarang sudah jam 11 malam." Lanjutku, "Kau tidak ingin pulang kerumah?"

Cukup lama aku menunggu jawabannya, tapi si bodoh itu malah asyik dengan takoyakinya dan mengabaikanku. Pandangan matanya lurus ke arah televisi, berita tentang segala hal yang ada di Edo adalah apa yang kulihat di layar 22 inch itu.

"Disini hanya ada satu ranjang, jadi jangan harap aku akan berbagi kasur denganmu."

"Wah, wah, terimakasih, Mutsu." Balas Sakamoto dengan nada yang lega.

Dia lalu menggaruk belakang kepalanya, menatap ke arahku dengan penuh harapan serta belas kasihan.

"Dan kalau bisa, apa aku boleh tinggal di sini lebih lama lagi? Aku baru saja diusir dari tempatku, ahahaha."


"Ahahaha! Ahahaha!"

"Berisik." Desisku, tak luput kulancarkan tatapan tajam.

"Ahahaha! Maaf, maaf. Habis acara ini benar-benar lucu! Ahahaha!"

Entah kenapa tawa itu terus terngiang di telingaku. Sekrup di otaknya sudah rusak. Dan aku harus mendengar tawa menyebalkannya setiap saat.

Apakah ini neraka?

"Diamlah. Aku tidak bisa konsentrasi." Kataku sembari membalik lembar buku di atas meja.

Sekitar seminggu lagi aku akan mengikuti ujian tengah semester. Sialnya selain tanganku belum lepas dari gips ini, setelah Sakamoto datang kemari keadaan rumahku benar-benar jauh dari kata tenang.

"Kau terlalu rajin untuk anak seusiamu." Kali ini Sakamoto menyahut setelah ia mematikan televisi dengan remote. "Aku sering melihat anak-anak SMA yang berkeliaran di kota sampai tengah malam. Mereka pasti sedang bersenang-senang, menikmati masa muda yang singkat."

Tanpa menatapnya, aku membalas dengan ketus, "Aku tidak punya waktu untuk bersenang-senang karena belajar adalah tujuan utama seorang pelajar."

"Tapi pelajar juga manusia, 'kan? Aku berani bertaruh kalau kau pernah merasa bosan dengan semua tugas yang diberikan oleh gurumu."

"Ya. Tentu saja."

"Lalu?" sahut Sakamoto, nada suaranya seakan memancingku.

"Lalu apa?"

"Mau berkencan denganku ke taman bermain hari minggu nanti?"

Sakamoto memamerkan deretan gigi putihnya.

Akupun menghela napas panjang.

"Tidak."

"Eh!? Kenapa?"

Sembari mengeluarkan alat tulis dari tempat pensil, akupun membalas Sakamoto, "Aku tidak bersahabat dengan matahari dan siang. Lagipula sudah kukatakan kalau aku tidak punya waktu untuk itu semua, 'kan?"

Sudah beberapa kali aku berlatih menulis dengan tangan kiri. Sekarang tulisanku semakin membaik meski masih saja terlihat acak-acakan.

"Aku sudah kelas 3. Beberapa bulan lagi aku akan menghadapi ujian kelulusan."

Sakamoto menaruh dagunya di atas telapak tangan. Ia tersenyum padaku dengan kacamata hitam yang turun dan memperlihatkan mata berwarna birunya.

"Orangtuamu pasti bangga padamu."

Senyuman tipis terukir di wajahku, "Entahlah."

"Kenapa? Kau punya masalah dengan mereka?"

Sebenarnya apa masalahku?

Ah... aku hampir melupakan alasan kenapa aku bisa berakhir seperti ini.

"Sudah 2 tahun aku tidak pulang ke rumah. Mungkin ayahku tidak akan senang dengan perilaku putrinya ini, tapi sayangnya aku tidak akan kembali sampai aku lulus."

"Kenapa?"

Kenapa, katamu?

Itu sudah jelas 'kan?—

"Aku menolak untuk bertunangan dengan seseorang."


bersambung—


Author's Note :

Terlalu OOC? Yah, itu 'kan menurut kalian, menurut saya sih, iya /plak
Romancenya mana?
Sabar, ini ujian—maksudnya ini masih chapter awal.
Alur ceritanya mau dibawa kemana? Ke hatimu aja deh :v
Kok pendek, sih?
...no comment.
Kok nggak jelas sih ceritanya? ...yaudah sih, nggak usah dibaca ._.

C&C?

Udah, ah,
—setengah2