This Fanfiction belongs to:
_Gomiyehet_
But the cast belongs to God
Gomiyehet presents:
The Agent Chapter 1
Enjoy!
.
.
Daegu, 21 Januari
Door! Door!
Namja berambut coklat kayu dan bermasker hitam itu mengarahkan mulut pistolnya pada seorang namja berambut blonde yang sudah babak belur dan penuh darah di hadapannya.
"Katakan dimana kau menyimpan data itu, atau sesuatu akan keluar dari pistol ini dan mengakhiri hidupmu yang menyedihkan." Ujar Namja berambut coklat kayu itu
"Bit*h! Mati sekarang atau nanti apa bedanya?! Cepat atau lambat kau pasti akan membunuhku!" seru namja blonde itu
Namja bermasker hitam itu menyeringai di balik maskernya "Kau benar."
"Berhenti, Kai! Aku tahu dirimu, Kai! Kau—"
Door! Door! Door!
Namja bermasker itu memuntahkan isi pelurunya pada sosok dihadapannya. Mata sayunya melihat bagaimana tubuh itu perlahan jatuh dan ambruk sebelum sempat menyelesaikan perkataannya.
"Cih, kau membuang sisa waktumu dengan sia-sia. Menyedihkan." ujar namja bermasker itu lalu menendang tubuh yang sudah tersungkur dan bersimbah darah tanpa nyawa itu.
Kai—namja bermasker itu—berjalan pelan, matanya menyusuri setiap jengkal ruangan, mencari sesuatu.
"Merepotkan. Jika saja keparat itu membuka mulutnya sebelum mati maka tugas kotor ini akan lebih cepat selesai." Ujar Kai sambil membuka salah satu loker meja dan mengacaknya.
Menit berikutnya, Kai sibuk mengacak-acak seluruh isi ruangan itu. Mencari apa yang sudah di perintahkan padanya. Hingga telinga tajamnya menangkap suatu suara, seperti isakan tertahan yang lirih.
Kai menghentikan aktifitasnya, ia berdiri dan kembali menyusuri ruangan, ia mempertajam telinganya.
"Hiks—"
Lagi. Suara isakan tertahan itu terdengar lirih. Kai berjalan pelan tanpa suara mengikuti dimana suara isakan lirih itu terdengar. Langkahnya terhenti di dekat sebuah lemari berwarna coklat cerah. Kai memperhatikan lemari cokelat muda di sampingnya agak lama.
Tangannya terulur menuju gagang pintu lemari itu, namun sebuah suara dari suatu alat di telinganya menginterupsi , sehingga menghentikan tangan yang sudah terjulur itu.
"Kau sudah selesai? Kau tahu dingin sekali disini." Ujar seseorang dari alat itu.
"Jika kau pintar, maka kau akan tahu aku baru saja disini selama lima belas menit," ujar Kai setelah melihat jam pada pergelangan tangannya "daripada kedinginan di luar seperti orang bodoh, lebih baik kau masuk dan membantuku mencari data itu."
"Tidak, terima kasih. Aku lebih baik kedinginan seperti orang bodoh daripada membantumu." Kata seseorang dari alat itu
"Jadi berhenti mengeluh!" kata Kai dingin lalu membalikkan badan dan kembali mencari. Namun fikirannya tidak fokus saat suara isakan lirih itu kembali terdengar. Kai mengambil bebrapa tumpuk map sebelum kembali menuju lemari itu, ia yakin sekali isakan itu keluar dari arah lemari. Setelah sampai, ia segera membukanya.
Mata sayunya membulat ketika melihat apa yang ia temukan di dalam lemari itu.
"Jang—jangan… mend—dekatiku… k-kau pembunuh! Kau membunuh oppaku!... menjauh dariku!... k—kau.. pembunuh kejam!" ujar seorang gadis kecil beramabut hitam sebahu, matanya bengkak dan berair, wajahnya berantakan. Gadis itu duduk meringkuk disudut lemari, dibawah pakaian-pakaian yang digantung, di pangkuannya ada sebuah boneka kelinci putih.
Kai menyeringai di balik maskernya "Ya, aku memang seorang pembunuh, seperti oppamu asal kau tahu."
"TIDAK! Oppaku bukan sepertimu! Dia orang yang baik! Dia bukan pembunuh!" gadis itu Nampak semakin berantakan saat dia menjerit.
"Ya.. ya.. dia orang baik.." Kai memutar bola matanya lalu tiba-tiba ia teringat sesuatu "ayo ikut denganku,"
"Kenapa aku harus mengikuti seorang pembunuh?"
"Karena pembunuh itu—"
"Kai kau sudah selesai? Kau berbicara dengan siapa?" kata seseorang dari alat itu kembali menginterupsi perkataan Kai.
"Diamlah bodoh!" bentak Kai, lalu mematikan alat itu. Mata sayunya yang tertutup poni melirik gadis kecil yang semakin terlihat ketakutan.
Kai menghela nafas "Dengar, kau percaya padaku atau tidak itu urusan belakang, sekarang kau ikut denganku."
Kai mendekati gadis itu dan mengangkat tubuh kecilnya. Gadis itu terlihat pucat dan meronta-ronta dalam gendongan Kai. Salah satu tangannya menggenggam erat boneka kelinci itu.
"Aku membencimu!"ronta gadis kecil itu
"Aku sudah biasa mendengar itu. Terima kasih." Kata Kai dingin.
Saat Kai sudah sampai di luar, namja bertubuh tinggi segera menghampirinya.
"Kenapa kau mematikan— Eh? Siapa dia?" kata namja itu mengernyitkan dahi saat melihat seorang gadis kecil berantakan dalam gendongan Kai.
"Bukan urusanmu! Ini, ambil !" Kai memukulkan map-map itu ke dada namja yang ada di hadapannya, lalu berjalan pergi sambil tetap menggendong gadis kecil yang sudah pucat itu. Sepertinya gadis kecil sudah mulai kehabisan tenaga karena sudah tak mampu hanya untuk sekedar meronta lagi.
"Kau mau kemana? Bagaimana dengan tugasmu?" kejar namja itu lagi membalikkan bahu Kai yang tidak lebih lebar dari bahu miliknya
"Sudah kubilang 'kan ini bukan urusanmu? Kenapa kau begitu keras kepala?" Kai berujar dingin dan menatap tajam namja keras kepala di hadapannya "Serahkan saja map itu pada ketua! Katakan padanya aku akan menemuinya nanti! Aku ada urusan sebentar. Dan. Ini. Bukan. Urusanmu." Kai menekankan tiap kata pada akhir kalimat sebelum kembali membalikkan tubuh dan membawa gadis kecil itu pergi
"Lakukan saja tugasmu, hyung!" kata Kai sebelum menghilang dari pandangan si namja tinggi.
Si namja tinggi menghela nafas. Walaupun penasaran, tapi ia tidak mungkin memaksa Kai memuaskan rasa penasarannya. Kai memang misterius.
Namja tinggi itu berjalan menuju mobilnya, meletakkan map diatas dashboard, lalu mengambil beberapa drum kecil dari bagasi.
Setelahnya, dia menyiramkan isi dari drum kecil itu ke seliling bangunan tempat dimana ada seorang mayat berambut blonde bersimbah darah. Setelah selesai menyiramkan isi dari drum-drum kecil itu, ia menyalakan pemantik api dan menjatuhkannya pada tumpahan bensin yang sudah ia siramkan tadi.
Tak lama kemudian, sang jago merah muncul dan kian membesar. Si namja tinggi tak ambil pusing, dia menuju mobilnya dan mulai meninggalkan tempat itu. Tak peduli jika sang merah kian kalap menghabisi bangunan itu, karena memang itu tugasnya. Membersihkan jejak.
.
.
.
"Kau mau membawaku kemana?" ujar gadis kecil itu, suaranya masih serak. Kai hanya diam, tak menjawab pertanyaan gadis kecil itu.
"Tunggu disini! Jangan kemana-mana! Aku akan kembali!" titah Kai pada gadis kecil itu setelah mendudukannya pada sebuah bangku. Gadis kecil itu hanya mengangguk kecil. Tangannya mencengkram erat boneka kelinci yang ia bawa.
Tak lama kemudian Kai kembali ke tempat gadis kecil itu dengan membawa sebuah es krim stroberi.
"Untukmu," Kai menyodorkan es krim stroberi ke arah gadis kecil "Tak ada racunnya jika kau ragu,"
"Jika ada racunnya juga tak masalah," Gadis kecil itu perlahan mengambil es krim dari tangan Kai "akan lebih baik jika aku mati, aku bisa bertemu oppa." Gadis itu berujar lirih, tangannya masih mencengkram kuat boneka kelinci putih.
"Sepertinya kau sayang sekali pada oppamu, eoh?" Kai menyandarkan punggungnya pada bangku yang ia duduki, kedua tangannya ia letakkan pada belakang kepalanya "Pasti kau sangat membenciku sekarang karena sudah menghilangkan dia darimu."
Gadis kecil itu diam, menikmati es krim stroberi yang Kai berikan padanya "Enak,"
Kai menoleh pada gadis kecil di sebelahnya "Es krimnya enak, Gamsahamnida." Gadis kecil itu berujar pelan.
"Cepat habiskan, aku tidak mungkin membuangmu di taman," ujar Kai datar
"Jadi dimana kau akan membuangku?"
Kai tidak menjawabnya. Ia malah memejamkan matanya. Merasakan semilir angin dingin membelainya.
"Aku sudah selesai, cepat bawa dan bunuh aku," gadis kecil itu lalu berdiri di hadapan Kai
Kai membuka matanya, menatap gadis itu "Untuk ukuran seorang gadis kecil, kau cukup dewasa dan berani,"
"Aku dua belas tahun!" gadis kecil itu berujar kesal "Tak usah basa-basi, cepat tuntaskan pekerjaanmu!"
"Kemana perginya gadis kecil yang bergetar ketakutan itu, eoh?" sindir Kai
"Aku.. sudah tak takut lagi. Bagaimanapun juga, aku harus menghadapinya!" gadis kecil itu terlihat berusaha tegar walaupun sinar ketakutan masih terpancar dari matanya "Cepat bunuh aku!"
"Baiklah kalau itu maumu." Kai berdiri dan menghampiri gadis itu
"Tapi sebelum itu, bagaimana agar adil, kau membuka maskermu dan aku akan memberitahu namaku?" gadis itu mundur selangkah saat Kai sampai di depannya "Yah, setidaknya aku tahu wajah pembunuhku sebelum mati."
"Kau sarkas juga," Kai menyamakan tingginya dengan gadis kecil itu, dia sedikit menyeringai di balik maskernya, "Asal kau tahu saja gadis kecil, aku tak butuh namamu, aku bisa mencari sendiri dengan caraku jika aku mau, tapi sepertinya kau penasaran sekali dengan wajahku,"
"Apa aku mudah ditebak? Ya kau benar, aku penasaran dengan wajahmu." Gadis kecil itu berusaha memohon "Ayolah, setidaknya kabulkan permintaan seorang gadis kecil yang nyawa-nya akan melayang sebentar lagi."
Kai menatap mata gadis itu dan tangannya terjulur menyentuh pundak kecilnya, "Kau—"
.
.
.
Seoul, 21 Januari
Suara dering telefon berbunyi saat dua orang dengan kedudukan tinggi sedang asik berbincang dalam sebuah ruangan, yang lebih berumur mangangkat telfon itu "Ya?"
"Maaf menganggu Tuan Oh, tapi Agen 88 ingin menemui Anda," ujar seorang wanita dari telefon itu.
"Ya, suruh dia masuk," setelahnya Tuan Oh menutup telfon itu.
"Apa ada masalah, Appa?" Tanya yang jauh lebih muda
"Tidak, hanya laporan Sekretaris Jung," ujar yang lebih tua, yang dipanggil Appa. Yang muda mengangguk paham. Tak lama setelah itu, suara pintu terbuka terdengar.
Kedua orang itu menoleh ke arah pintu yang dibuka oleh seseorang. Orang itu berjalan ke arah Tuan Oh, lalu membungkukkan tubuh, "Maaf, saya menganggu waktu Anda,"
Tuan Oh terkekeh pelan, "Gwenchanayo… silahkan duduk Agen 88,"
Agen 88 lalu duduk di sebelah pemuda pucat dengan warna rambut yang sama pucatnya, "Gamsahamnida."
"Tidak usah terlalu formal Kai, oiya perkenalkan, ini anakku Oh Sehun, Sehun, kenalkan agen terbaik tiga tahun ini, Kai," kata Tuan Oh memperkenalkan mereka.
Sehun dan Kai berjabat tangan sambil saling menggumamkan salam perkenalan. Entah ini hanya perasaan Sehun saja, dia merasa familier saat dia melihat mata Kai. Sehun merasa seolah dia telah mengenal namja berkulit lebih gelap darinya ini.
"Kalian canggung sekali," Tuan Oh kembali terkekeh pelan "Ngomong-ngomong Kai, aku ingin mendengar alasanmu kenapa Minho yang menyerahkan data pada saya. Bukankah itu tugasmu?"
Kai menundukkan kepalanya "Maaf Tuan Oh, saya ada urusan sebentar tadi," Kai merasa khawatir jika Minho—rekan kerjanya kali ini—menceritakan soal gadis kecil itu pada atasannya.
"Araseyo."
"Saya juga ingin menyerahkan flashdisk ini, saya rasa data lengkapnya ada di dalam sini," Kai menyerahkan flashdisk kecil berwarna putih kepada Tuan Oh.
"Terima kasih, Kai. Kerjamu selalu bagus, tapi lain kali, saya harap kamu menyelesaikan tugasmu setuntas mungkin," Tuan Oh sedikit menyindir Kai perihal penyerahan data yang dilakukan Minho tadi.
"Araseyo, maaf itu tidak akan terjadi lagi. Gamsahamnida. Saya permisi dulu, Tuan Oh, Sehun-ssi," Kai membungkukkan tubuh dengan sopan lalu berjalan keluar.
Sehun menatap punggung Kai yang menjauh sampai menghilang dibalik pintu. Sungguh! Sehun merasa tidak asing tentang namja bernama Kai itu.
"Dia memang namja yang manis, benar begitu Sehun?" kata Tuan Oh setelah Kai menghilang di balik pintu "Dia namja yang berbakat, dan memberikan keuntungan yang besar pada perusahaan kita, walaupun dia misterius,"
Sehun tersentak dari lamunannya tentang Kai saat sang Appa berbicara padanya.
"Sampai mana kita tadi, Sehuna?" Tanya sang Appa lagi. Sehun segera memfokuskan fikirannya lagi. Melupakan tentang Kai sejenak.
.
.
.
Daejeon, 21 Januari
Jongin merasa perutnya lapar, dia belum makan sama sekali sejak pagi dan sekarang sudah sore. Pantas saja perutnya begejolak sedari tadi. Dia melewati salah satu restoran cepat saji. Disaat genting seperti ini, dia tidak mempedulikan tentang ketidaksehatan makanan cepat saji. Lagipula, restoran ini menjual fried chicken, makanan favoritnya.
Saat akan memesan, Jongin teringat sesuatu. Akhirnya ia memilih untuk membeli tiga bucket fried chicken lalu membawanya pulang.
Matahari semakin turun, mobil yang dikendarai Jongin baru saja sampai pada sebuah rumah yang tidak terlalu besar dan luas. Dengan senyum cerah dan tiga bucket fried chicken di pelukannya, dia mengetuk pintu itu rumah itu.
Pintu terbuka dan teriakan-teriakan ceria ala anak kecil memenuhi telinganya.
"Jongin Oppa!"
"Jongin Hyung!"
Teriakan-teriakan semacam itu tumpang tindih memenuhi indra pendengarannya, menyambutnya datang.
"Hai adik-adik kecil! Bagaimana kabar kalian?" Jongin tersenyum cerah dan mengusap rambut salah satu anak "Coba tebak Jongin hyung bawa apa?"
"Jongin oppa membawa fried chicken! Yeaaaay !"
"Waahh baunya enak!"
"Terima kasih, Oppa."
"Terima kasih, Hyung."
"Ne.. ne.. bawa ke meja makan ya, itu untuk makan malam. Berikan pada Han Ahjumma." Kata Jongin seraya menyerahkan ketiga bucket itu pada anak-anak kecil di sekelilingnya.
Anak-anak di panti asuhan ini memang menggemaskan semua. Jongin ikut bahagia melihat mereka tertawa dan tersenyum bahagia seperti itu. Lihatlah bagaimana kelima belas anak kecil itu berebutan bucket untuk diberikan pada Han Ahjumma.
"Jongin! Kenapa berdiri saja di pintu? Ayo masuk!" tegur Han Ahjumma.
"Ne, Ahjumma." Jongin lalu masuk dan menutup pintu.
"Anak-anak, jangan berebut! Bibi akan menghidangkannya di atas meja." Kata Han Ahjumma seraya melerai anak-anak kecil yang sedang berebut makanan tersebut. "Ayo gadis-gadis, bantu Bibi menyiapkan makanan, dan yang laki-laki tunggu bersama Jongin hyung ya.."
"Jongin, kenapa kau membeli sebanyak ini? Kau tahu, makanan cepat saji tidak baik untuk kesehatan, Jongina.." nasihat Han Ahjumma.
"Iya, aku tahu.. tak apa 'kan Bi? Hanya sekali-sekali…" Jongin tersenyum kecil
"Dasar kau ini." Decak Han Ahjumma yang dibalas cengiran oleh Jongin.
"Ohya Bi, dimana Wendy?" Tanya Jongin saat dia tidak mendapati seseorang disana.
Han Ahjumma menghela nafas, "Entahlah, dia tidak keluar dari kamar sejak kau mengantarnya kesini." Tangannya tak berhenti bekerja untuk menyiapkan makan malam "Sulli-ya, jangan letakkan gelas disitu! Bobby jangan mengusili Luna noona mu! Yak! Jungkook-ah! Jimin-ya! Berhenti bermain kejar-kejaran! Soojung-ah cepat ambilkan piring! " Han Ahjumma tak berhenti mengomeli anak-anak kecil itu. Jongin tertawa kecil melihatnya.
Tiba-tiba Jongin teringat Wendy. Ia melangkahkan kakinya kearah tangga, menuju lantai dua. Saat sudah sampai di lantai dua, ia mengetuk sebuah kamar. Tak ada jawaban. Jongin mengulanginya lagi, namun tetap tak ada jawaban. Jongin menghela nafas pelan lalu membuka pintu kamar itu, "Wendy?"
.
.
.
Seoul, 21 Januari
Kai mendaratkan tubuhnya diatas tempat tidur saat dia sudah sampai di apartemennya, masih satu hari yang sama dengan sebelum-sebelumnya. Tapi hari ini ada sedikit perbedaan. Gadis kecil polos itu. Kai masih memikirkan gadis kecil itu. Satu lagi, Oh Sehun. Entah kenapa Kai merasa tidak asing dengan namja pucat itu.
Kai menggelengkan kepalanya. Mengusir jauh-jauh hal yang mengganggu fikirannya. Dia hanya ingin istirahat sebentar malam ini, sebelum tugas lain memanggilnya.
Saat Kai ingin memejamkan mata, suara notifikasi terdengar dari laptopnya. Dengan kesal Kai berdiri lalu berjalan menuju meja dekat jendela, dimana laptop itu berada. Kai membukanya. Laptop itu berisi berbagai macam hal-hal yang menyangkut pekerjaannya. Oleh sebab itu, Kai tidak pernah mematikan laptop tersebut, hanya menutupnya saja.
"Sial!" umpat Kai saat dia membaca salah satu pesan.
.
.
.
.
.
.
.
.
(TBC)
[A/N] Halo, Shizu comeback dari liburan membawa fics baru ^^
Oiya. Selamat Tahun Baru! *telat woy telat*
Cieee besok senin udah sekolah TT
Eung… gimana? Gimana? Ini dilanjut apa enggak xD
Ini fics sih sebenernya ga pengen di publish sih, tapi ya akhirnya publish juga xD
Komentarnya ya^^
