Wanita itu berdarah-darah dari ujung kepala hingga ujung kakinya. Wajahnya yang rusak tertutupi oleh tirai hitam panjang yang merupakan rambutnya. Pakaian putihnya entah mengapa robek di beberapa bagian, berwarna cokelat di bagian lainnya. Pemuda berambut perak itu dengan santai menutup pintu kamarnya, tidak terlalu terganggu oleh kehadiran makhluk lain di dalam kamarnya.
Langkah kakinya yang lebar membawanya ke meja kecil di samping tempat tidurnya dalam lima langkah sebelum ia berjongkok dan membuka laci bagian bawah. Dari sana, ia keluarkan dua buah kaleng susu yang tersambung dengan benang.
"Merepotkan sekali sih," keluhnya sambil membuka gerendel jendela, "Memangnya dia tidak punya handphone apa? Padahal jelas-jelas aku yang hebat ini punya handphone."
Di seberang jendela kamarnya, seorang gadis duduk santai di kusen jendelanya. Kakinya mengayun santai, seolah melupakan fakta bahwa mereka tengah berada di lantai dua dan ia bisa jatuh kapan saja. Dengan kekuatannya, pemuda itu melemparkan sebuah kaleng ke arah gadis di jendela.
"Heh, kau tidak bisa memanggilku dengan cara yang normal apa?" setengah berteriak, pemuda itu tidak terlalu mempedulikan angin yang membuat rambutnya menari, iris rubynya mendelik tidak senang.
"Heee?" suara soprano lembut itu terdengar teredam lewat sambungan telepon kaleng mereka, "Kukira Gilbert yang Hebat tidak suka cara yang normal? Lagipula, memangnya kau tidak suka pada Mary? Dia cantik loh."
"Apanya yang cantik, hah?" manik sewarna darah segar itu masih mendelik tidak senang. Dahinya berkerut dan bibirnya cemberut, "Hanya kau yang bisa melihat seorang hantu sebagai cantik," omelnya ketus.
.
.
A Ghost (Love) Story belong to Arleinne Karale
Axis Power: Hetalia belong to Hidekaz Himaruya
An Alternate Universe, possibly out of character, lot of typos story with straight pair
Read at your own risk
.
.
"Aku akan pulang malam hari ini," memang kalimat tersebut tidak enak di dengar, tapi mau bagaimana lagi? Sore ini ada latihan dan mengingat waktu yang tinggal sedikit menjelang kejuaraan membuat tim mereka harus berlatih lebih giat.
"Baiklah," pemuda berambut pirang itu menjawab singkat sebelum menghabiskan sarapan di piringnya, "Aku berangkat duluan. Jangan lupa letakkan piringmu di tempat cuci piring," kemudian terdengar bel di pintu. Tanpa harus membuka, Gilbert Beilschmidt sudah tahu siapa yang ada di baliknya. Tapi adik lelakinya tetap saja mengarah ke ruang tamu untuk membukakan jalan bagi sang tamu.
"West, biarkan saja! Itu Eliza," Gilbert berteriak dari ruang makan. Tapi tak berapa lama kemudian ia mendengar suara kunci dibuka. Entah adiknya itu memang tidak mendengarnya atau sengaja melawan kata-katanya.
"Ah, Ludwig!" sebuah suara yang sangat ia kenal mengalun lembut dari arah depan, "Sudah mau berangkat? Pagi sekali?"
"Aku ada rapat OSIS," adiknya menjawab dengan singkat, "Bruder masih makan di dalam."
"Hei, aku sudah selesai makan!" lagi, Gilbert berteriak dari dapur. Dengan tergesa ia menenggak susunya dan meletakkan piring kotornya di tempat cuci piring. Pemuda albino itu menyambar tasnya ketika adiknya berpamitan pada tetangga mereka.
"Aku duluan, Schwester," Gilbert merapikan rambutnya ketika ia melewati kaca di ruang tamu, "Auf wiedershen!"
"Weeeeest, tunggu!" begitu Gilbert sampai di pintu, hanya gadis berambut cokelat menunggunya, menatapnya dengan manik hijau bening penuh pengertian. Gilbert hanya menangkap siluet punggung adiknya sebelum pemuda berambut pirang itu berbelok di tikungan.
"Pagi yang buruk, eh?" gadis Hungaria itu bertanya. Ia belum melepas sepatunya, seperti biasanya. Ia selalu menunggu Gilbert sebelum berangkat ke sekolah. Mereka selalu berangkat ke sekolah bersama-sama, sudah sejak lama.
"Tidak ada yang buruk untuk aku yang hebat ini, Eliza," gumam Gilbert sebelum menutup pintu rumahnya.
"Jadi, bagaimana si Mary?" Gilbert bertanya dengan santai. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana. Di sisi kirinya, Elizaveta Hedervary berjalan santai.
"Oh, dia sudah kembali," gadis itu menjawab dengan santai, "Sepertinya ia cukup tersinggung dengan kata-katamu kemarin."
"Oh," Gilbert bergumam, "Toh dia tidak cukup cantik menurut selera aku yang hebat ini."
"Aku bisa mengirimkan yang lebih cantik," bibir gadis itu terkembang. Manik hijaunya berbinar penuh semangat.
"Kalau maksudmu lebih cantik dengan lebih seram, aku yang hebat ini pass saja," Gilbert menjawab singkat sebelum berhenti karena lampu masih melarangnya untuk menyeberang.
"Well, apakah Gilbert yang Hebat ini takut?" bahu gadis itu menyenggol bahunya beberapa kali, "Asal kau tahu saja, teman Mary ada yang mengikutimu dari tadi. Menurutnya kau tampan."
"Jelas aku tampan," Gilbert menarik tangan Eliza untuk menyeberang jalan bersamanya keburu lampu lalu lintas berubah warna, "Aku adalah Gilbert Beilschmidt yang hebat!"
"Hmmmm," Eliza hanya bergumam tidak jelas, "Kau tahu banyak hantu yang naksir kau. Agak mengganggu mendengar mereka berbisik-bisik kagum membicarakanmu. Mereka tidak tahu saja kelakuan aslimu."
"Well, kalau begitu jangan dengar pembicaraan mereka terus," Gilbert mengangkat bahunya cukek, "Lagipula menguping pembicaraan orang itu tidak baik, Eliza. Hal-hal yang tidak baik tidak boleh dilakukan oleh orang, kecuali aku. Hal-hal buruk pun menjadi baik kalau aku yang melakukannya."
Gadis Hungaria itu hanya mendengus, "Kau tahu aku tidak bisa melakukan itu," sorot mata hijau bening itu menerawang ke depan, "Lagipula, yang aku dengar kan bukan pembicaraan manusia, tapi hantu."
Kelas berlalu lambat sekali, menurut Gilbert. Kertas yang niatnya ia gunakan untuk mencatat kini sudah berbuah menjadi sebuah komik singkat, tentang kisah Mary yang ia karang sendiri. Well, ia bukan Eliza jadi ia tidak tahu bagaimana sebenarnya hantu yang dipanggil Mary ini.
Elizaveta Hedervary bisa melihat mereka yang sudah mati, namun belum menyeberang ke alam lain. Elizaveta Hedervary bisa melihat hantu, dan fenomena-fenomena lain yang belum bisa dijelaskan secara ilmiah. Menurut gadis Hungaria itu, ia sudah memiliki kemampuan mistisnya sejak kecil. Awalnya Gilbert sedikit taku mendekati gadis itu. Tapi karena ia adalah Gilbert yang Hebat, maka ia memberanikan diri. Dan sekarang mereka bisa dibilang menjadi teman yang baik.
Lagipula, Elizaveta Hedervary cukup awesome untuk menjadi teman dekatnya.
Ketika Gilbert mengangkat kepalanya untuk menatap guru mereka di depan kelas, manik ruby itu harus menyipit. Gilbert mengedipkan matanya berkali-kali, bahkan ia mencubit tangannya untuk memastikan bahwa apa yang ia lihat adalah nyata. Bagaimana tidak? Di depan matanya, di belakang guru mereka berdiri sesosok pemuda yang tembus pandang yang cukup tinggi.
Masalahnya, orang yang Gilbert yakini sebagai hantu itu memasang wajah-wajah aneh di belakang guru mereka. Seolah ia sedang mengejek guru mereka. Mulai dari menjulurkan lidah, mengangkat lubang hidungnya, menarik matanya, dan kedua tangannya mengelilingi kepala guru mereka yang tidak berambut seolah sedang memeragakan seorang peramal yang sedang melihat bola Kristal.
"Verdammen," Gilbert menutup mulutnya untuk menahan tawa. Ini bukan pertama kalinya Eliza menggunakan kekuatannya untuk menggoda Gilbert. Sudah tidak terhitung berapa kali gadis Hungaria itu mengirimkan hantu untuk membangunkan Gilbert, untuk mengagetkan Gilbert, untuk mengerjai Gilbert. Tidak pertama kalinya juga Eliza menggunakan kekuatannya di sekolah, biarpun hanya Gilbert yang tahu bahwa itu adalah kelakukannya.
"Verdammen, Eliza," Gilbert mengucek matanya berkali-kali, berpura-pura mengantuk. Hantu di belakang guru mereka sekarang meniup-niup leher guru mereka, membuat pria paruh baya itu menggaruk lehernya berkali-kali. Gilbert menatap Eliza, mengirimkan pesan menggunakan matanya.
"Ack!" Gilbert memekik keras ketika ia merasakan ada sesuatu yang tajam menusuk bagian pinggangnya di sebelah kanan dan kiri. Pekikannya yang keras membuat perhatian semua orang memandangnya. Kemudian Gilbert sadar bahwa bukanlah manusia yang mengganggunya, "Ahahaha aku yang hebat ini kaget ternyata pelajaran kita terlalu mudah ya, Pak."
"Begitukah?" Gilbert harus mati-matian menahan tawa karena hantu di belakang guru mereka kembali memasang muka aneh, "Kalau begitu tolong kerjakan soal ini, Tuan Beilschmidt."
"Ha! Rasakan!" Gilbert berteriak sambil melayangkan tendangan pada bola sepak yang melaju ke arahnya. Ia menunggu beberapa saat sebelum bola itu melengkung dengan indahnya melewati kepala dan kedua tangan sang kiper hingga akhirnya bertengger manis dalam net di belakang sang penjaga gawang, "Aku ini memang awesome!" pemuda albino itu menepuk dadanya sendiri dengan bangga.
Well, jelas! Ia adalah kapten tim inti dan sudah menjabat sebagai kapten sejak tahun keduanya disini. Mana mungkin dia tidak hebat? Dulu waktu ia kelas dua, bahkan ada seorang anak kelas satu yang menyembahnya sebagai dewa.
Hmmmm… mungkin diam-diam salah satu dari rekan satu timnya itu memiliki kuil yang diperuntukkan untuk menyembahnya. Siapa tahu kan? Karena Gilbert adalah seseorang yang awesome.
Suara peluit mengalihkan fokus semuanya. Rekan-rekan satu tim Gilbert segera menuju pinggir lapangan tempat pelatih dan manajer mereka menunggu. Manik hijau cemerlang manajer mereka mengalisis dengan kritis sebelum menuliskan sesuatu di atas kertas yang berlasakan papan kayu. Pelatih memberi sinyal pada pemain-pemain yang lain untuk melakukan pendinginan.
"Bagaimana kau melakukan tendangan melegkung seperti itu, Kapten?" salah seorang rekannya bertanya.
"Well, begitu saja," Gilbert menjawab sambil membukukkan punggungnya ke depan untuk meraih kakinya, "Aku kan hebat," setelah itu tidak ada lagi yang bertanya kepadanya tentang tendangan melengkung itu. Memang seharusnya begitu. Tendangan itu sangat rumit untuk dicerna oleh manusia biasa. Hanya ia yang Hebat yang bisa melakukannya.
"Sombong sekali," manajer mereka, gadis Hungaria bermanik hijau cemerlang, mendekat ke arahnya sambil menyerahkan botol minuman. Rekan-rekan Gilbert yang lain sudah selesai melakukan pendinginan. Sepertinya Gilbert yagn Hebat terlalu fokus pada tubuhnya yang luar biasa hebat ini untuk menjaganya selalu di puncak performa sehingga tidak sadar waktu.
"Heh?" Gilbert menaikkan sebelah alisnya, "Memang aku hebat kok."
"Kalau kau memang hebat," Eliza melingkarkan handuk di leher Gilbert sebelum mengusap rambut perak pemuda itu dengan handuk putih yang ia pegang, "Kenapa kau tidak bisa menjawab pertanyaan matematika guru tadi?"
"Oh itu?" Gilbert melanjutkan usaha Eliza dalam mengusap rambutnya yang basah karena keringat sebelum beralih ke wajahnya dan lehernya, "Karena aku mau merendah sedikit saja. orang-orang akan iri kalau ada orang yang sempurna bukan? Aku hanya menyembunyikan jati diriku sebenarnya. Kalau ada orang yang tampan, atletis, dan pintar, pasti semua orang akan memusuhinya karena terlalu sempurna kan?"
Eliza mendengus mendengarnya, "Yang benar saja…."
"Lagipula, sekarang saja wanita-wanita sudah mengantri untuk mengajakku kencan," Gilbert menghabiskan minumannya dalam sekali tenggak, "Contohnya saja Mona, si gadis Monako itu. kau tahu?"
"Yang berambut pirang, selalu dikepang, menggunakan kacamata?" dahi gadis Hungaria itu berkerut, "Memangnya ada apa dengannya?"
"Aku habis ini ada kencan dengannya," Gilbert menyerahkan botol kosongnya pada Eliza, "Kau pulang duluan saja."
.
.
To Be Continued
.
.
Bacotan Arleinne:
Halo, Fandom Hetalia! Salam kenal! Arleinne Karale disini, biasa dipanggil Aru.
Ini fict pertama Aru di fandom Hetalia. Fyuh semoga Gilbert gak terlalu OOC yah. Sebenernya gak bakal terlalu banyak bacot karena bingung juga mau bacotin apa wkwkwkwk. Well, semoga reader sekalian menikmati cerita Aru. Mohon maaf kalau masih banyak kekurangannya.
Kritik, saran, dan masukan silakan dituangkan dalam kotak review. Sampai jumpa di chapter berikutnya!
