summary
Demi membalaskan dendam ayahnya, Chatrina memohon ke Franco untuk mengajarkannya menjadi perakit bom. Hanya saja, ada sebuah tes yang harus dia lalui untuk mendapatkan bantuan pria itu. "Kau terlalu suci untuk menjadi teroris. Lebih baik kau pulang dan jadilah biarawati."
.
.
Cermetery, Turin, Italia.
Seorang wanita berpakaian serba hitam berdiri di hadapan makam salib.
Makam ayahnya.
Kedua mata berbulu mata lentiknya tertutup; kedua tangannya saling bertautan, dan bibirnya terus bergerak. Samar-samar, terdengar bisikan doa yang keluar dari pita suaranya. Wanita itu terus memanjatkan doa kepada Tuhan, tak peduli seberapa terik sinar matahari yang menerpa tubuhnya.
Angin berhembus, membuat helaian pirangnya yang semi-keriting itu bergoyang pelan. Sampai akhirnya, setelah menit kelima, wanita yang bernama lengkapkan Chatrina Marchinov itu membuka kelopak matanya.
Ia menghela nafas terlebih dulu, dan barulah ia berbalik. Wanita itu kembali ke Alfa merahnya yang terparkir rapi di halaman kosong milik pemakaman. Namun ketika ia akan mengambil kunci mobil dari tas tangannya, tiba-tiba saja ada bunyi deringan ponsel.
Chatrina mengambil ponsel tersebut, lalu dilihatnya nama siapakah yang tertera di layar.
Ternyata... Mangello Marchinov. Pamannya.
Tak ingin membuang waktu, ia segera menjawabnya sembari menyalakan mesin mobil.
"Ada apa?"
"Christina, kau di mana?"
"Di mobil." Jawabnya, singkat.
"Maksudku, di mana lokasimu yang sekarang?"
"Turin."
"Ke pemakaman ayahmu, ya?"
"Hm..."
"Jangan-jangan kau masih dendam dengan pemerintahan Italia?"
Christina Marchinov mendengus. Tersirat kesinisan dari sana. "Tentu saja. Aku tidak akan bisa melupakan pemerintahan busuk yang telah membunuh ayahku yang tak bersalah."
"Mau bagaimana lagi? Dunia politik itu memang tidak pernah bersih..." Suara yang keluar dari ponsel pun mengeluarkan helaan nafas.
Di detik berikutnya, tak ada lagi yang memulai topik obrolan.
Hening.
"Kalau paman tidak mau berbicara lagi, aku akan menutupnya." Chatrina menjalankan mobil mewahnya itu dengan kecepatan sedang di pinggiran kota Turin. "Kau tau, menyetir sambil menelefon itu berbahaya?"
"Ya, ya. Aku tau, Chatrina. Namun ada satu hal penting lagi yang harus aku katakan kepadamu."
"Apa?"
"Kalau kau ingin membalaskan dendammu ke pemerintah Italia, sebaiknya kau segera berputar arah."
Kalimat dari Mangello pun membuat keponakannya mengernyit. Chatrina masih agak ragu untuk menghentikan laju mobilnya. "Memangnya ada apa?"
"Di pinggiran kota Milan, temuilah Franco. Dia adalah seorang perakit bom legendaris. Mungkin kau bisa bekerja sama dengannya."
"Bekerja sama? Untuk apa?"
"Untuk membalas kematian ayahmu. Dengan menjadi teroris, mungkin?"
.
.
.
C-H-A-T-R-I-N-A
Gunslinger Girl by Yu Aida
AR—Alternate Reality
Pieree Present...
(Franco—Franca)
.
.
one of two
-franca-
.
.
Milan, Italia.
Ketika mobil Alfa merahnya sudah sampai di sebuah pekarangan milik seseorang, Chatrina memarkirkan mobilnya dengan rapi. Sembari mematikan mesin mobil kesayangannya, kedua matanya—yang saat ini ditutupi kacamata hitam—melirik ke arah rumah lusuh yang kini terletak di depannya. Kata pamannya, di sinilah tempat tinggal dari Franko.
Ia baca lagi sebuah email dari Mangello untuk memastikan kalau alamat yang ditujunya benar.
Setelah yakin, wanita cantik berambut pirang itu pun segera turun dari mobil dan melepaskan kacamata hitamnya. Bersama wajah datar yang sedikit diselimuti kegugupan, Chatrina mengetuk pintu mabel yang sudah sedikit lapuk itu.
Tok tok tok.
"Permisi..."
Tak ada jawaban.
Chatrina meneguk ludahnya, lalu mencobanya sekali lagi.
Tok tok tok.
"Aku datang karena ingin membicarakan sesuatu."
Masih tak ada jawaban.
Mungkin, ia salah rumah—
Cklek.
Wanita berumur awal 20 tahunan itu terbelalak saat tangannya tak sengaja menggerakkan kenop pintu. Nyatanya, pintu rumah ini terbuka; tak terkunci. Kini, sebuah ekspresi tegang mewarnai paras tenang miliknya.
"Kalau tak ada yang menjawab, aku akan masuk..."
Sesudah mengatakannya, Chatrina pun melangkah masuk. Ia mencoba berjalan sebanyak beberapa langkah. Sesampainya di ruang tengah, dirinya terdiam. Ia menengadahkan wajahnya, lalu melihat-lihat ke dinding di sekitarnya. Wanita tersebut memerhatikan segala frame foto yang terpajang di sana.
Namun, baru saja ia akan meminimalkan jarak—agar dapat melihat gambar apa yang ada di dalam bingkai—dirinya tersentak. Baru ia sadari bahwa ada seorang pria yang sedang tertidur di permukaan sofa. Pria kekar itu bertelanjang dada, dan di sekitarnya terdapat banyak sekali berbotol-botol wine—yang entahlah masih ada isinya atau sudah kosong.
Pasti orang itu adalah Franco. Perakit bom yang sebelumnya dikatakan oleh Mangello Marchinov. Tapi, kenapa pertahanannya begitu lemah—seperti membiarkan pintu rumahnya tak terkunci? Meski di meja sebelah sofa ada sebuah pistol, tetap saja terasa aneh untuk seorang teroris legendaris sepertinya.
"Pulanglah..."
Chatrina sedikit terkesiap saat mendapati suara dari pria itu. Ternyata sedari tadi ia sudah mendengar panggilannya.
Wanita berdarah eropa asli itu segera menghela nafasnya kuat-kuat, dan kemudian ia segera berkata dengan lantang. "Kau Franco, kan? Tolong ajarkan aku cara merakit bom..."
"Tsch..." Masih di posisi terbaring, tangan Franco bergerak. Ia meraba sesuatu di mejanya.
Sempat khawatir Franco akan mengambil revolver-nya, Chatrina sedikit bersiap-siap. Tapi nyatanya pria berambut hitam gondrong itu malah mengambil botol anggurnya.
"Aku sudah berhenti menjadi perakit bom."
Chatrina tetap diam di tempatnya, seolah-olah menunggu jawaban lain dari Franco. Tapi pria—yang sepertinya sedang setengah mabuk itu—tampaknya juga tak ingin lagi berbicara.
"Kau dengar aku, kan? Cepatlah pulang."
"Tidak."
"Kau tidak cocok menjadi teroris."
"Aku merasa cocok."
Srek.
Franco pun membangkitkan posisinya menjadi terduduk. Ia menghela nafas, dan kemudian berdiri sambil menenggak wine.
Di dalam diam, Chatrina menunjukkan kondisi siap siaganya. Terlebih lagi ketika pria itu berjalan ke arahnya. Namun ketika ia akan memundurkan langkah, Chatrina baru menyadari kalau punggungnya sudah menabrak tembok.
Brakh!
Kini, salah satu tangan Franco sudah berada di samping kepalanya; mengunci pergerakannya.
"Apa motifmu?" Kata pria itu. "Apa yang dipikirkan oleh wanita amatiran sepertimu?"
Bersama kedua pasang mata mereka yang saling bertemu, Chatrina menjawab. "Ayahku di penjara atas kesalahan yang tidak dilakukannya. Aku sudah berusaha mengeluarkannya melalui jalur hukum, tapi tetap saja tidak bisa! Akhirnya, ayahku meninggal di penjara!" Nada suaranya meninggi, terlihatlah sebesit kebencian dari sesuatu yang saat ini ia ceritakan.
"Jadi... kau ingin balas dendam ke negara... dengan cara menjadi teroris?" Wajah Franco mendekatinya.
"Ya." Chatrina Marchinov itu pun mencoba menenangkan diri. "Aku ingin mengubah dunia yang tak masuk akal ini."
"Kalau begitu..." Franco menarik sebuah kalung salib yang sebelumnya tersembunyi di balik pakaian Chatrina. "Gunakanlah cara lain."
"A-Apa?"
"Kau terlalu suci untuk menjadi teroris. Lebih baik kau pulang, dan jadilah biarawati."
Plak!
Mendadak, Chatrina menampar Franco sampai pria itu oleng ke belakang.
"Jangan sentuh!" Jeritnya sambil menggenggam erat kalungnya. "Kalau kau memang tak bisa mengajarkan, lebih baik kau jujur kepadaku!"
Franco pun mengangkat wajahnya dan kemudian berdecak. Sebenarnya, Franco berniat memaki wanita sialan yang barusan menamparnya. Namun, niatannya berhenti karena satu hal. Baru dia ketahui bahwa tatapan Chatrina benar-benar berani menantangnya. Franco memicingkan matanya, dan kemudian ia perhatikan baik-baik penampilan dari Chatrina yang terlihat kesal itu. Lalu, terlintaslah sebuah pemikiran di otak pria berbadan tinggi tersebut.
Kalau dilihat-lihat, wanita itu terlihat sangat cantik. Dimulai dari rambut pirangnya, poni ratanya yang sedikit acak-acakan, sampai tubuhnya yang saat ini dibalut oleh kaus tanpa lengan dan juga celana panjang.
"Siapa namamu?"
"Untuk apa kau bertanya?" Ia balas bertanya dengan ucapan sinis.
"Kau ingin kujadikan murid, kan?" Tanyanya, lalu sedikit menyeringai.
Chatrina terdiam sebentar. "Ya."
"Karena itu, sebutkan namamu."
Ia memalingkan wajahnya terlebih dulu. "Chatrina..."
Sambil mendengus geli, Franco pun meminum kembali wine-nya dari ujung botol. Setelah tegukan kelima, ia mendesah lega.
"Kau akan kujadikan murid..." Katanya. "Tapi ada syaratnya."
"Syarat?" Ia terdiam, mencoba mendengarkan.
"Ya. Syarat." Franco menyeringai. "Hanya ada satu syarat mudah."
"Kalau begitu, apa syaratnya?"
"Buka bajumu."
.
.
see you
.
.
my note
Ah, akhirnya aku ngebuat fict Franco/Franca. Ini cuma twoshot kok. Niatnya sih kayak buat kelanjutan dari Gunslinger Girl chap 24—yang juga berjudul Chatrina. Oh, ya. Berhubung aku kurang tau nama asli Franca yang lengkap, aku menggunakan nama Chatrina Marchinov ('Marchinov' kudapetin dari nama pamannya Franca; Mangello Marchinov).
Semoga kalian suka, ya?
.
.
warm regards,
Pieree...
