It's 7 a.m.

Park Jimin (BTS) short story

Jimin x reader

by Morning Eagle

Rating: T

Genre: Romance

.

Disclaimer:: BTS members are belong to God

::Author don't take any material profit from this fiction::

.

.

.

Rintik hujan memberikan ketenangan tersendiri, menetes turun dari dedaunan ke atas tanah. Wangi mint pekat bercampur dengan kesejukan embun pagi. Pagi yang terlalu dini, ketika langit sendu membayangi mentari di ujung cakrawala. Rasanya aneh saat kicauan burung membentuk melodi lembut di dalam benak. Mengingatkan sang gadis yang terpaku sendirian pada suara seseorang yang sangat dikenalnya.
Seseorang yang memiliki tempat tersendiri, sangat spesial di lubuk hatinya.
Dia mendesah dengan senyum terukir di wajah. Jantung berdegup lebih kencang hanya dengan mengingat suara tawanya. Sosok pria yang memberikan warna beragam di dalam monokrom hitam putih kehidupan yang begitu kelam.

Suara derap kaki menarik perhatian sang gadis dari lamunan. Wajahnya menoleh, menemukan senyum di dalam benaknya dalam sebuah bentuk nyata.

Dia yang memiringkan kepalanya, mengamati dengan tawa ringannya.

"Ada apa? Kau seperti melihat hantu."

Suaranya begitu ringan, bercampur dengan kesejukan menjelang pukul tujuh pagi.

"Kau menepati janjimu."

Matanya tetap mengamati si gadis, seraya beranjak ke sisi meja, mengambil tempat duduk di sebuah kursi besi yang menimbulkan decitan ringan saat ditarik. Dia terduduk, menatap langit sendu dan memberikan sengatan dingin di telapak tangan.

"Tentu saja," ucapnya tanpa keraguan. "Kaupikir aku tidak akan datang?"

"Jadwalmu padat, bukan?"

"Aku bisa menyisihkan waktu sebentar. Tidak akan mengganggu jadwalku."

"Bagaimana dengan yang lainnya?"

Dia mendesah, meraih tangan si gadis yang tertekuk di atas meja, membentuk kepalan. Rasa hangat tersalurkan dari jari-jari kurusnya, menggenggam kuat. Memastikan tatapan si gadis yang sesendu awan di atas langit bisa terfokus kepadanya.

"Jimin…"

"Mengapa membahas pekerjaanku? Kau punya waktu untuk mengatakan hal lain. Ceritakan mengenai hari-harimu, misalkan. Apa yang sudah kaulakukan kemarin? Apa kau tidur cukup?"

Si gadis mendesah, menatap mata Jimin yang penuh rasa ingin tahu. Dia bisa menangkap rasa lelah, jejak kantung mata di balik make up yang sengaja dipakai sebagai kamuflase. Jimin berusaha untuk terlihat sempurna, demi sebuah waktu yang jarang sekali bisa didapatkannya.

Saat di mana dia bisa menggenggam tangan si gadis tanpa rasa risih. Hanya berdua, menatap langit tanpa rasa putus asa. Kesendirian yang terobati oleh sentuhan ringan juga suara tawa. Kepedulian yang terpancar untuk menyokong punggung masing-masing—mengusir keraguan.

Si gadis tertunduk malu. Kepada dirinya sendiri. Tidak seharusnya dia bersikap seperti ini, berusaha peduli dan menyangkal perasaannya sendiri.

Berusaha menjauh, demi kehidupan yang tak akan pernah bisa dimasukinya. Di mana Jimin menjadi pribadi yang berbeda, tersenyum di depan kamera dan menanti sorakan juga dukungan para penggemar.

Si gadis merasa jauh, hanya bisa menatap pada layar kaca. Rasa sakit menggerogoti dadanya yang berdetak kencang, menggigit bibirnya menahan air mata. Seandainya, dia bisa bertemu lebih lama, lebih banyak. Berbicara lebih banyak dan tertawa lebih lebar.

"Wae?"

Si gadis merasakan kehangatan menjalar di pipinya. Tangan Jimin menengadahkan wajahnya. Mata bertemu mata. Emosi yang lebih jujur saling menyambut satu sama lain.

"Hanya berpikir, apa kau makan cukup?"

Jimin tersenyum, setengah menyeringai. "Hei, itu pertanyaanku."

"Aku menghabiskan waktuku memikirkan pertanyaan itu, kemarin siang, kemarin malam, ketika aku tidak bisa tertidur dan memeriksa pesan terakhirmu dengan tanda hati yang begitu banyak. Kau memiliki waktu untuk merangkai kata picisan seperti itu, jadi aku berpikir apakah kau tidak melupakan waktu makan malammu?"

Mulutnya setengah menganga dan semburat merah muda mewarnai pipi pucatnya. "Seburuk itukah pesanku?"

Si gadis menggeleng, tertawa kecil. "Kau mengespresikannya dengan cara yang tidak biasa."

"Apa itu mengganggu?"

"Kalau mengganggu, aku tidak akan membalas pesanmu."

Jimin mendesah ringan, menarik tangan si gadis dan mengaitkan jari-jarinya. Merasa lebih dekat. Senyumnya tidak berhenti merekah. "Aku akan membuat pesan lebih baik."

Dalam keheningan, si gadis merasa nyaman dengan tangan saling terkait. Perasaan saling terhubung. Hanya terdiam menatap rintik hujan yang belum kunjung berhenti, di halaman belakang sebuah pondok kecil di atas bukit. Seakan terabaikan dari padatnya Kota Seoul.

Di pagi yang membuat kantuk semakin terasa berat. Si gadis merasakan matanya terbuka lebih lebar, jantungnya berdetak lebih cepat, seakan tak normal. Jimin di sisinya menikmati ketenangan yang hanya akan bertahan kurang lebih enam puluh menit lagi. Waktunya tak banyak.

Sebelum semua orang terbangun dari tidur lelapnya, sebelum matahari menelisik dari balik awan. Dan hujan berhenti meninggalkan tanah lembab tanpa suara. Burung-burung berhenti bernyanyi.

Rasa tenang yang hanya menjadi milik mereka berdua, biarlah itu tetap berlangsung lebih lama. Seakan menolak realita dan kejamnya dunia.

"Aku merindukanmu," celetuk Jimin. "Aku tahu seharusnya aku tidak membuat yang lain khawatir, terutama para hyung. Bisakah kau meyakinkanku untuk bisa fokus pada apa yang kulakukan? Bahwa ini adalah jalan yang tepat bagiku?"

"Jangan pernah ragu mengambil langkahmu, jangan melihat ke belakang," ucap si gadis, mengeratkan tangannya. "Jalani apa yang menurutmu benar, Jimin-ah. Lakukan apa yang kaulakukan sekarang—menjadi dirimu yang sebenarnya, yang selalu tersenyum walaupun terkadang kikuk. Selalu memerhatikan hal yang luput dari orang lainnya, yang tak pernah menyerah untuk bekerja lebih keras, yang terkadang menangis bila itu tidak tertahankan. Rasa sakit adalah bagian dari sebuah perjalanan."

Tangan si gadis terangkat, diraih Jimin hingga menyentuh bibirnya. Dia mengecupnya, memberikan balasan manis dengan kebahagiaan di matanya.

Keraguan terangkat bersama embun pagi. Rasa damai seakan memeluk selembut beludru.

"Kau selalu mengagumkan, selalu ada untukku. Terima kasih, (y/n)."

"Sebagai balasannya, yakinkan aku untuk tidak berpaling darimu."

Mata Jimin terbelalak. Senyum di wajahnya seakan tak pernah ada.

"Apa?" tanya si gadis, tertawa dengan mulut terkatup. "Ekspresimu sungguh aneh."

"Kau … dekat dengan seseorang … kah? Siapa?"

"Aku tidak mengatakannya seperti itu! Kau terlalu serius."

"Lalu apa maksudmu, meyakinkan dirimu untuk tidak berpaling? Dari siapa? Apa?"

Si gadis berdecak canda, menggigit bibir bawahnya. Tak peduli bila Jimin merubah cara pandangnya. Rasa takut membiarkan sikap tubuh pria itu kaku, bahunya tegap terangkat dari sandaran kursi.

"Hanya merasa semua ini seperti mimpi, kau begitu jauh dan begitu sempurna berdiri di atas panggung. Ketika para penggemar meneriakkan namamu—nama kalian—aku bisa merasakan rasa itu, seakan tersengat listrik. Seakan kau tidak benar-benar nyata."

"Bernyanyi dan menari, apanya yang membuat itu tidak nyata? Aku adalah diriku sendiri, (y/n)." Jimin mengangkat tangan si gadis, mengecupnya sekali lagi. "Lihat, kau bisa merasakannya, bukan? Aku menggenggam tanganmu."

Rasa gugup membuat wajahnya merona. Si gadis tidak pernah tidak terkejut dengan afeksi yang terkadang diberikan kepadanya. Terlalu manis dan kepalanya seakan berhenti berpikir.

"Hanya dengan melihat wajahmu, itu sudah membuatku sangat bahagia," gumam Jimin. Senyumnya kembali melebar, menampakkan deretan giginya yang putih. Menawan. "Teruslah berada di sampingku, karena aku akan terus berada di sana—di mana kau menempatkan pijakanmu. Jadilah gadis yang selalu menepuk bahuku, menggenggam tanganku. Aku bisa terjatuh tanpamu."

Si gadis tertawa, mengganti suara tetesan hujan dengan kebahagiaan seperti dentingan bel. Pagi hari yang membangunkan jiwa juga hatinya semakin besar. Semakin berwarna, tidak lagi sesendu langit berawan.

Sinar mentari menyapa rerumputan dan daun-daun yang tertunduk. Angin dingin mereda, diganti kehangatan musim semi menjelang panas.

Dan dua manusia terasingkan saling menatap, bercengkrama, mencari waktu lebih lama. Menyadari bahwa waktu masih berhenti bagi mereka. Di sebuah taman belakang yang berwarna majis.

.

.

.

.

.

(y/n): namamu, noona, nama panggilan, dan sebagainya…

Cerita pertama untuk BTS. I'm a new ARMY, so nice to meet u! ^^