Ada yang mau nebak cerita ini idenya dari lagu apa?


Story of us


Siang ini bagaikan dejavu. Diseberang meja yang sama denganku, tepat hanya 1 meter didepanku, duduk dengan canggung seorang gadis cantik berambut pirang, seperempat rusia. Mata biru terangnya terarah sana sini kecuali padaku, jelas sekali kalau dia tak mau bertemu pandang denganku. Daripada dirinya yang terbukti tak nyaman dan gugupan, aku lebih bisa mengendalikan diri kali ini dan lebih bisa bersikap tenang, sedikit banyaknya status mahasiswa yang baru saja aku sandang membawa pengaruh terhadap sikapku dalam menghadapi orang-orang. Jika aku hitung kasar sudah satu tahun aku tak bertemu dengannya, atau bisa dibilang menghindar untuk bertemu dengannya. Aku rasa perasaan ini juga dimiliki olehnya. Reunian member muse tak pernah bisa lengkap karna kami berdua slalu menolak dengan berbagai alasan untuk ikut jika salah satu dari kami menyatakan pasti hadir, atau kami berdua akan batal datang atau balik badan untuk datang dalam rombongan saat melihat salah satu dari kami-berdua-sudah terlebih dahulu datang. Hah, kenapa hal macam ini harus terjadi kepada kami, aku rasa semuanya sangatlah baik sampai akhirnya kejadian yang penuh kecanggungan itu terjadi.

Aku dan Eli bisa dikatakan sangat dekat, karna aku sering bekerja sama dengannya dalam merumuskan koreograpi untuk muse. Kedekatan ini terasa agak berbeda dengan kotori dan honoka, tapi terkadang juga terasa sama. Kami memiliki kemistri yang bagus. Eli adalah tipe sempai yang easy going dan cukup playful kalau boleh aku bilang, sedangkan disisi lain aku adalah kouhai yang gampang malu dan gampang gugupan jika dihadapkan dalam masalah kepercayaan diri. Dari deskripsi sifat ini sudah jelas terlihat bahwa Eli suka bercanda denganku hanya untuk melihat wajahku yang memerah karna rayuannya yang dalam tanda kutip hanyalah candaan bagiku. Awalnya aku merasa tak nyaman karna sifatnya mulai mendekati Kotori yang suka nempel-nempel sambil becandain aku walau dalam pendekatan yang berbeda. Jujur saja, aku tak butuh dua Kotori dalam masa masa SMA ku. Tapi aku akui, aku mulai terbiasa dan nyaman dengan sifat playfulnya itu dan selalu menganggap bahwa begitulah cara dia berkomunikasi denganku, lagian dia memiliki pendekatan yang berbeda-beda terhadap member yang lain, dan aku merasa cara yang digunakannya padaku cukup ampuh untuk membuat kami terus memiliki ikatan yang bagus untuk selalu kompak dalam bekerja sama untuk koreograpi.

Kalau dipikir pikir lagi, eli bukanlah satu satunya partner kerja yang dekat denganku, sebenarnya aku juga cukup dekat dengan Maki karna kami sering mengkomposisikan musik dan lirik bersama diruang musik. Tapi jika bekerja dengan Eli, kami berdua lebih sering menghabiskan waktu di luar sekolah. Dia selalu menggodaku dengan ajakan ajakan "date", tapi aku tak pernah menganggapnya benar benar sebuah "date" karna lebih banyak pertemuan yang kami lakukan memang hanya membahas porsi latihan muse kedepan dan merencanakan beberapa koreo untuk lagu baru. Sangat sering pembicaraan kami keluar jalur dan aku tanpa sadar ikut ikutan tertarik dengan pembicaraannya hingga akhirnya aku sadar kami belum memperoleh progres dari pertemuan kami. Saat itu Eli hanya nyengir waktu aku mulai membentaknya untuk mengingatkan untuk apa aku bertemu dengannya hari ini.

Semua itu terasa sangat menyenangkan, bekerja dengannya, tertawa bersama, digodain olehnya, dia yang slalu melakukan pergerakan pergerakan yang tak terduga hingga membuat ku slalu gugup walaupun aku sudah latihan untuk tak lagi gugup dengan sifatnya, tapi semua percuma karna Eli selalu menemukan cara baru untuk menggodaku. Aku pikir tidak hanya muse yang bisa improve sebagai school idol, tapi Eli juga ikut ikutan improve untuk selalu membuat mukaku merah karna malu.

Semakin hari, becandanyas udah melampaui Kotori, bukannya aku kesal dan menolak, malah aku terus mengikuti arus permainannya, seperti yag ku bilang sebelumnya, disuatu sisi ini terasa menyenagkan. Pernah suatu hari aku tak berkesempatan untuk bertemu dengannya karna keseibukannya sebagai anak kelas 3 -biasalah, mau dekat ujian akhir- dan itu hanya menyisakan kekosongan dalam hatiku. Aku tak tau kenapa, hanya terasa sepi dan ingin mendengar suaranya, tapi disuatu sisi aku juga tak mau menganggunya.

Mungkin sekitar seminggu hari hari yang diisi dengan sedikit candaannya akhirnya berlalu, aku kembali mendapatkan sempaiku yang dulu seutuhnya, tapi keharmonisan yang aku dapatkan kembali hanya bertahan sesaat saja, karna disanalah awal kecanggungan itu dimulai. Di ruang club dimana hanya ada kami berdua. Kami duduk bersebelahan padahal masih banyak bangku kosong lainya tapi entah kenapa dia memilih duduk tepat disebelahku kali ini. Aku bukannya tak sadar, tapi sudah 10 menit matanya tak lepas dari ku, aku pikir ini hanyalah salah satu caranya untuk membuatku kehilangan fokus disaat aku tengah asyik membaca novel klasik yang notabene adalah tugas sastra jepangku.

"Eli, bisakah kamu berhenti memandangku dengan muka om-om mesum kayak gitu?" aku melepas pandanganku dari novelku dan memberanikan diri menghadapinya.

"Yah, mau gimana lagi. Salah kamu juga kenapa terlihat imut dan keren disaat yang bersamaan kalau kamu lagi fokus ngerjain sesuatu" Eli masih menopang dagunya diatas tangan kirinya sambil terus menatapku. Apa dia sadar dengan yang diucapkannya barusan? Aku tak begitu tau dan ambil pusing, aku pikir Eli ber improve lagi dalam merayuku.

"hah" aku bingung sekaligus malu. Mukaku mulai terasa panas, aku rasa juga sudah mulai merona pink.

Eli lalu bangun dari posisinya, tangan kanannya kali ini memegang daguku hingga kepalaku dibuat mendongak kearahnya, Eli tersenyum menggoda, hanya bibir kanannya saja yang melebar sedangkan bibir sebelah kirinya tak bergerak, mukanya perlahan mendekat, "candaan macam apa lagi ini" pikirku. Aku memejamkan mataku, berharap Eli berhenti dan tertawa melihat reaksiku, tapi tak satupun suara tawa yang kudengar, hanya terasa hangat dan lembut dibibirku. Seketika otakku nge blank dan tersentak bangun dari posisiku hingga menimbulkan kursi yang kududuki tadi jatuh terbalik. Saat sepenuhnya mata ku kembali berfungsi aku melihat ekspresi Eli tak kalah bedanya dariku, bahkan aku seperti bercermin. Kami sama sama memegangi bibir kami. Eli lebih dulu tergagap meminta maaf dengan wajah panik dan aku hanya menatapnya nanar bercampur bingung. Sedetik kemudian Eli berlalu dariku dengan berlari, meninggalkan bunyi BAM yang cukup keras.

Hari berikutnya, bagaikan siksaan. Aku selalu merasakan keanehan pada hatiku saat melihat Eli, satu sisi ingin menemuinya dan menanyakan apa yang sebanarnya terjadi diruang klub waktu itu, disatu sisi juga aku takut menghadapinya dan tak tau mau mulai pembicaraan kearah mana. Semuanya serba canggung saat itu, aku rasa tidak aku saja yang merasakannya karna Eli juga terkesan menghindar sebisa mungkin dari ku.

Jika dulu hanya aku yang Eli yang berdiskusi soal muse, kali ini kami melibatkan seluruh member hingga hubungan ku dengan Eli benar benar terasa memburuk, aku ingin semuanya kembali seperti dulu, tapi salah satu dari kami tak ada yang berani untuk memulai pergerakan kearah sana, hanya kabur sana sini dan menghindar bertemu hadap hadapan satu sama lain.

Kesenjangan yang tiba tiba terjadi diantara kami tak luput dari perhatian member lain. Mereka mencoba mencari tau tapi tidak satupun dari kami mau membicaraknnya dan berpura pura tidak terjadi apa apa. Tentu saja mereka tak percaya dan mulai melakukan berbagai cara untuk membuat kami kembali seperti sedia kala. Mereka mulai menjebak kami berdua dalam ruang klub dan menguncinya dari luar. Posisi duduk kami saling berjauhan kali ini, Eli mengambil sudut terdalam dari ruangan sedangkan aku memilih duduk di dekat pintu. Merasa tak nyaman dengan diam yang membuat telinganku pekak, aku mencoba membuka pembicaraan seputar program perkuliahan yang akan diambil oleh Eli. Eli menjawabnya seadanya dan kembali terdiam. Lalu Eli juga bertanya tentang latihan memanah dan kesibukan di OSIS. Aku pun menjawab seperlunya dan penuh kecanggungan seakan akan aku baru mengenal lawan bicara ku ini. Kondisi ini benar benar membuatku getir, tapi tak ada satupun langkah maju yang aku ambil untuk memperbaikinya.

Permainan kucing kucingan ini terus berlanjut hingga akhirnya Eli benar benar lulus SMA. Selagi yang lain bersuka cita dihadapan Eli dan membicarakan ini itu yang tak penting, satu satunya kata yang keluar dari mulutku kala itu hanya "happy graduated" yang dibalasnya dengan senyum getir. Saat 9 dari kami akan berpisah di hari itu, Honoka dan Nozomi saling memberikan kode dengan kerlingan disusul dengan dialog "Aku yakin Eli dan Umi butuh waktu berdua untuk meluruskan kesalahpahaman yang mungkin terjadi diantara mereka" buka Nozomi.

"Oleh karna itu cepatlah berbaikan, figto dayo" tambah Honoka. dan anggota lainnya meninggalkan kami berdua ditengah lapangan di depan sekolah. Nico dan Nozomi berjalan ke arah gerbang sekolah sementara sisanya kembali ke gedung sekolah. Posisinya sekarang, Eli menghadap gerbang sekolah dan aku menghadap gedung sekolah.

Kecanggungan yang luar biasa kembali tercipta, masing masing kami mungkin punya kadar kegugupan yang sama. Dan kami berdua pun sepertinya sama sama menunggu ada yang memecah kebisuan ini sambil terus gelisah dan menghindari pandangan satu sama lain.

"hehe, jujur saja aku tak tau harus bicara apa" dia membuka pembicaraan dengan kekehan lalu raut mukanya mulai kebingungan. Eli menggaruk garuk belakang lehernya yang aku rasa tak gatal sama sekali.

"ah, hm, Eli, bagaimana kalau kita lupakan saja kejadian sebulan yang lalu itu. Aku rasa dengan begitu bebanmu dan bebanku jadi berkurang" aku mengatakannya sambil meremas remas tangan kananku oleh tangan kiriku dan pandanganku sama sekali tak terarah padanya, malah ke tanah. Saat aku selesai mengatakannya, perlahan ku tegakkan kepalaku dan melihat reaksinya.

Eli tersenyum pahit, aku tau itu, dia mencoba tersenyum walaupun sebenarnya tak ingin "Yah, aku rasa aku setuju"

Entah kenapa aku membalas senyumnya dengan hati sakit dan penuh kegetiran. Aku merindukannya, merindukan saat saat dekat dengannya, saat saat diganggu olehnya, saat saat dia menggodaku, saat saat dia melakukan skinship denganku, aku merindukan keceriaannya, suaranya, tawanya, kenakalannya, aku merindukan semua moment yang pernah kami lalui. Tapi hari dihari itu aku sadar aku takkan bisa kembali ke masa itu lagi. Kami takkan bisa kembali karna kami berdua terlalu penakut untuk mengutarakan perasaan masing masing. MENYEDIHKAN.

Seperti diberi tanda, kami saling berjalan ke depan, dan saling berpapasan. Eli kembali pada Nozomi yang menunggunya di gerbang sekolah dan aku kembali kepada Honoka untuk melanjutkan tugasku sebagai OSIS. Aku tak pernah merasakan hatiku sesakit saat ini, rasanya sangat berat, sakit dan tertindih. Tapi kakiku lebih berat untuk tidak berpaling dari jalan yang aku ambil sekarang. Apa ini yang dinamakan merelakan? Merelakan dia pergi dari hidupku. Lagian, perasaan macam apa ini? Bahkan sampai saat inipun aku belum sepenuhnya mengerti. Saat sudah berada di gedung sekolah, tepatnya di loker sepatu, kakiku tak sanggup lagi melangkah, pipiku terasa basah dan sesaat kemudian hidungku jadi tersumbat, aku mulai terisak.

Aku mencoba move on setelah memulai kehidupan baru sebagai anak kelas 3 SMA. Selama aku fokus pada klub memanah, OSIS, ujian akhir dan ujian masuk universitas, Eli tak begitu mengganggu otakku. Tapi jika waktu senggang mulai ada, pikiranku kembali kepadanya. Aku tak pernah menceritakan apa yang aku rasakan ini pada dua sahabatku, dan mereka tak pernah memaksaku untuk bercerita. Sampai akhirnya ujian akhir dan ujian masuk universitas selesai, menyisakan waktu luang yang cukup banyak bagiku. Stress karna pikiranku kembali pada Eli, aku mulai sering main kerumah Honoka atau Kotori. Kadang aku mulai membaca koleksi manga shoujo yang di miliki Honoka. disanalah aku mendapatkan jawaban atas perasaanku terhadap Eli. Gejala-gejala yang aku rasakan pada Eli begitu sinkron dengan manga shoujo yang aku baca. Untuk pertama kalinya saat mengenang kisah kami, aku bisa tersenyum, dan aku tak tau kenapa, terasa manis sekaligus pahit.

Kembali ke masa sekarang, sudah 15 menit berlalu, dan kami berdua masih sibuk dengan urusan masing masing. Hari ini baru "Konnichiwa, Umi" yang aku dengar dari mulutnya. Tak seperti dirinya yang pura pura sibuk dengan ponselnya, aku hanya memandanginya dengan wajah datar dan sedikit menyelidik. Aku tau, pertemuan aku dan Eli adalah akal akalan Honoka dan Nozomi lagi. Sampai kapan mereka akan melakukan ini. Mungkin mereka gregetan juga karna satu tahun mencoba mempertemukan kami lewat reunian, tapi tak satu pun yang berhasil karna kelihaian kami dalam menghindar satu sama lain. Tapi kali ini aku akui mereka punya taktik yang cukup matang dan patut diacungi jempol hingga akhirnya mereka berhasil membuat kami duduk saling berhadapan di sebuah cafe dekat kampus.

Aku tak tau sampai kapan kami akan berdiam diri seperti ini terus. Satu tahun tak bertemu dan kami sama sekali tak berubah, masih menjadi dua orang PENAKUT.

Eli sudah mengosongkan cangkir coklatnya, dan aku masih menyisakan setengah lemon tea di gelasku. Aku hendak pamit saat Eli mulai bersuara.

"Aku akan menarik kembali kata kataku saat aku bilang aku setuju untuk melupakan sesuatu yang kita sepakati untuk kita lupakan" Eli menggenggam cangkir kosongnya dengan kedua tangannya, kedua matanya juga tertuju ke cangkir itu seperti sedang menyelidiki seseuatu didalam sana. Sesaat kemudian matanya bertemu dengan mataku.

Aku butuh waktu untuk mencerna perkataannya hingga akhirnya aku tersenyum setelah paham sepenuhnya apa yang dimaksud olehnya. Eli pun membalas senyumku. Senyum yang selama ini aku rindukan dan selalu ingin aku lihat. Aku merasa sebuah percabangan jalan baru terbentang di sebelah jalan buntu dimana kami berdua terhenti. Eli kah yang membuat jalan ini? Apakah dia ingin aku melangkahkan kakiku kesana bersama dengannya? Aku takkan pernah tau apa yang terjadi di jalan baru itu jika aku tak pernah melewatinya. Jadi aku putuskan untuk meraih tangannya yang sedari tadi disodorkannya padaku dan mulai berjalan berdampingan dengannya ke jalan baru yang belum kami ketahui seluk beluknya.

The End


Komentar mantan leader muse

"Aku pikir Umi-chan dan Eli-chan sudah jadian saat musim panas di tahun terakhir Eli-chan di SMA, mereka begitu akrab dan kadang terlihat mesra, bisa dikatakan Eli kayak pacar yang lagi godain ceweknya. Musim dingin aku dan Nozomi-chan pikir mereka berdua putus karna mereka saling berkelit satu sama lain. Jangan kan putus, ternyata jadian aja mereka enggak pernah. Fakta itu cukup bikin member lain kaget. Selama ini aku pikir aku saja yang berpikiran seperti itu, ternyata kebanyakan member lain berpikiran sama. Atas dukungan Nozomi dan yang lainnya kami menyelidiki kasus pecah kongsi nya duet "Storm in Lover" ini. Kami mulai frustasi karna usaha yang kami kerahkan untuk menyatukan mereka kembali lebih banyak gagalnya, jikapun berhasil, progresnya ga begitu memuaskan. Tapi aku rasa aku dan Nozomi berhasil hari ini. Akhirnya aku dan Nozomi bisa lega setelah melihat dua insan yang bodoh dan ga pekaan itu kembali tersenyum satu sama lain di cafe tempat kami menjebak mereka berdua"


xxx


Okay, oneshoot ini terinspirasi oleh lagunya Taylor Swift – The Story of Us. Makasih atas atensinya untuk membaca karya saya dan silahkan tinggalkan review tentang perasaan kalian saat membaca cerita ini.