WARNING

FF ini adalah ff berkonten islami

FF ini terinspirasi dari beberapa cerita tentang diskriminasi muslim

sebagai minoritas dalam kehidupan social.

Pemeluk agama muslim terbesar di dunia adalah Indonesia karena ini adalah FF Naruhina

Maka aku ubah dicerita ini bahwa pemeluk agama islam terbesar di dunia adalah Jepang.

Dan Jepang disini ibarat indonesia. Masih dalam negara berkembang.

FF INI HANYA DUA CHAPTER

HAPPY READING
.

.

Seorang gadis berusia delapan belas tahun menatap kosong awan yang berwarna kekuningan. Pikirannya menerawang jauh. Ia menerka-nerka apa yang akan terjadi padanya di tempat tinggalnya yang baru. Iya benar, hari ini gadis cantik berhijab bernama Hinata akan menjalani kehidupan barunya di London, Inggris. Jujur dia sebenarnya tidak ingin tinggal di negeri orang, tapi karena ayahnya dipindah tugaskan disana. Mau tidak mau ia dan ibunya harus ikut kemana ayahnya pergi. Ayahnya adalah seorang karyawan perusahaan besar yang bergerak dalam bidang Turbin. Hinata merasa hidupnya akan sulit, ia bisa membayangkan jika ia tak akan punya teman disana. Apalagi ia hidup sebagai seorang penganut agama minoritas di negeri ratu Elizabeth itu. Islam, bisa dibilang agama yang paling di takuti disana. Karena propaganda media membuat mereka tak paham bagaimana Islam sebenarnya.

Perjalanan yang panjang yang begitu melelahkan akhirnya berakhir. Ia tiba di kota London yang terkenal dengan menara big ben. Memang beda sekali suasana di negara maju dan negara berkembang. Di sini jauh lebih bersih, rapi dan teratur. Berbeda sekali dengan keadaan Jepang masih banyak yang semrawut. Namun, bagi Hinata sebarapa hebat negara Inggris. Jepang adalah yang terbaik. Entah berapa culture shock yang akan Hinata alami ke depannya. Namun tidak seharusnya ia takut, karena Allah akan selalu menjaganya.

Hinata mencoba untuk menikmati kehidupan barunya di Negeri ini. Sang ayah berusaha menghiburnya karena ia tampak begitu murung sepeninggal keperegiannya dari Jepang. Kedua orang tuanya mengajak Hinata berjalan-jalan menyusuri kota London. Usaha ayah dan ibunya sedikit berhasil, untuk pertama kalinya Hinata tersenyum senang setelah melihat keindahan kota London dari atas "London Eye." Warna-warni lampu menambah gemerlap malam. Sembari menatap pemandangan kota, Hinata bertanya kepada ayahnya.

"Ayah, bagaimana kehidupan muslim di kota London?" tanya Hinata penasaran.

"Kehidupan muslim di kota ini baik. Semua berjalan dengan damai," tutur Ayahnya.

"Apa tidak pernah terjadi diskriminasi terhadap orang muslim disini?"

"Ehmm iya, beberapa muslim mengalaminya tapi itu sedikit sekali."

"Siapa yang sering didiskriminasi? Orang tua, remaja?"

Mata Hinata menatap tajam ke arah ayahnya. Seolah meminta kejujuran dari sang ayah. Pria berkumis dengan nama Hiashi itu tak langsung menjawab. Ia melihat putrinya sepersekian detik kemudian kembali mengalihkan pandangannya. Ia tahu sebelum keberangkatan Hinata ke London, hal yang paling putrinya takutkan adalah diskrimasi karena dia seorang muslim apalagi ia memakai hijab.

"Wah lihatlah gedung itu, indah sekali," ucap Hiashi berusaha mengalihkan topic pembicaraan.

"Jangan mengalihkan topik pembicaraan ayah," tegas Hinata.

"Baiklah, aku akan menjawab pertanyaanmu. Korban diskriminasi memang paling banyak di alami oleh para remaja baik di sekolah maupun di kampus. Tapi jika kau selalu yakin dan tak perlu ada yang kau takutkan kecuali Allah. Aku yakin kau akan baik-baik saja."

"Aku tidak yakin jika aku akan mempunyai teman disini. Negara ini sedikit menakutkan untuk gadis muslim berhijab sepertiku," keluh Hinata putus asa. "Lihatlah orang-orang disekeliling kalian. Menurutku itu bukan cara pandang yang normal."

Kedua orang tua Hinata, beralih melihat orang-orang yang berada disekitarnya. Memang benar, beberapa orang melihat mereka dengan tatapan aneh. Baik Hiashi maupun Haruko ibu Hinata hanya bisa menghela nafas. Memang inilah resiko yang harus mereka hadapi jika hidup di negeri barat yang selalu memandang islam adalah teroris. Media barat memang selalu memberitakan hal-hal buruk tentang Islam namun jika agama lain yang melakukan tindakan brutal mereka diam. Sebagai seorang ibu, hati Haruko tergerak untuk menangkan putrinya.

"Jangan hiraukan mereka. Tunjukkan pada mereka bahwa islam adalah agama yang mengajarkan kedamaian dan kasih sayang. Sebagai seorang muslim kita harus menjadi agen yang baik untuk agama kita. Tak peduli jika mereka tak menganggapmu. Berjuanglah bersama Allah. InsyaAllah, kehidupanmu akan baik-baik saja disini Hinata," ucap Fatimah dengan penuh kasih sayang.

Mendengar ucapan ibunya, hati Hinata sedikit tenang. Ia sepertinya tak perlu khawatir untuk menghadapi kehidupan barunya. Tak banyak yang Hinata inginkan, ia hanya ingin semuanya baik-baik saja. Tak ada bullying, tak ada diskriminasi selama ia menjadi mahasiswa, di salah satu Universitas ternama di London. Dikabarkan diskriminasi terhadap muslim terus meningkat di negara ini sejak serangan bom paris beberapa hari yang lalu. Dalam hati, Hinata berusaha untuk memotivasi dirinya sendiri. Allah selalu berada disisinya maka dari itu ia tak perlu takut.

ooOOoo

Pagi yang ia khawatirkan bahkan ia takutkan akhirnya datang. Hari ini adalah hari dimana dia harus mulai aktif sebagai seorang mahasiswa. Jarak antara rumah dan kampus lumayan jauh, jadi Hinata harus berangkat menggunakan subway. Keadaan subway waktu itu lumayan ramai. Ia mulai, wawas, perasaannya penuh ketakutan. Ia takut jika tiba-tiba seseorang meneriakinya dan menyebutnya teroris. Dan sudah Hinata duga sebelumnya bahwa beberapa banyak orang akan menatapnya sinis. Hinata berusaha mungkin untuk tidak melihat wajahnya, ia hanya menunduk dan duduk ditempat yang kosong. Ia tak mau menatap seseorang sekali pun.

Sesaat kemudian, subway berhenti. Kurang dari sepuluh orang yag turun. Suasana yang tadinya ramai berubah menjadi lengang. Hanya ada dirinya, dua pemuda dan seorang pemuda lain mengenakan hodie berwarna biru. Pemuda itu sesekali memperhatikan Hinata, namun gadis itu tak menyadarinya. Bola matanya memperhatikan dua anak muda yang lain yang berada di depan Hinata.

"Hai, apa yang ada dikepalamu itu? apa kau mengidap penyakit kanker? Hahaha," ledek salah seorang pemuda bertubuh agak gemuk.

"Kembalilah ke negara asalmu! Lihat, apa yang ada di dalam tasnya?! Apa itu bom?!" ujar seorang pemuda kurus menimpali. Hinata tak mau meghiraukan cercaan dua pemuda itu. Ia berusaha fokus melihat ke arah lain. Namun tak disangka, seorang pemuda bertubuh gendut mengambil paksa tas yang ada dipangkuannya.

"Apa yang kalian lakukan?!" pekik Hinata penuh amarah.

Kedua pemuda itu tak peduli sama sekali dengan Hinata yang kebingungan. Mereka membuka resleting tas Hinata kemudian menumpahkan semua isinya. Kedua pemuda itu enggan untuk minta maaf walaupun kenyataannya tidak ada bom ditas Hinata. Mereka tersenyum sinis, melihat Hinata yang jongkok sembari memunguti tas beserta isinya.

"Enyahlah kau dari sini terrorist. Kau tak pantas hidup disini!" teriak pemuda bertubuh sedikit kurus.

"Hai apa yang sedang kalian lakukan terhadap gadis ini hah?!" ucap seorang pemuda berhodie biru.

"Hey, bro, dia seorang muslim!"

"Lalu apa masalahnya?" timpal pemuda tampan itu.

"Ini London, Inggris. Terrorist tak pantas hidup disini!" ucap pemuda gendut.

"Jangan berpikir sempit. Aku lahir di London dan aku seorang muslim. Lalu, apa aku bukan warga Inggris? Apa aku tak boleh hidup layak dan bebas disini? Hei, apa kau tahu siapa yang membantai rakyat Palestine?" pria berhodi biru itu berusaha keras untu menahan emosinya. Tak ada jawaban, dari keduanya. "Kalian tak bisa menjawabnya? Yang membantai ribuan rakyat Palestina, itu Israel dan mereka Yahudi. Apa kalian pernah menyebut mereka terroris? Mennjauhlah sebelum aku memukulmu."

Tanpa banyak kata, mereka menjauh dan memasuki gerbong lain. Sekarang hanya ada Hinata dan sosok pemuda tampan yang baik hati. Gadis cantik berhijab itu hanya diam dan mengucapkan terima kasih dengan perasaan ragu. Cairan bening menetes lepas dipelupuk mata Hinata. Berakali-kali, ia mengusap air matanya dengan tangan. Tiba-tiba, sebuah tangan berwarna putih berada didepan wajahnya. Pria tampan sekaligus penolongnya memberikan itu padanya.

"Pakailah," senyumnya ramah. "Siapa namamu? Namaku Uzumaki Naruto. Tapi orang-orang biasa memanggilku dengan nama Naruto." Hinata terlihat ragu untuk mengambil sapu tangan itu. Namun, pemuda bernama Narutoitu membujuknya dan ia pun menggunakannya.

"Namaku Hinata, terima kasih kau sudah menolongku."

"Apa kau sudah lama tinggal disini?" tanya Naruto.

"Aku baru tiga hari ini pindah ke London," Jawab Hinata singkat.

"Dari mana asalmu?"

"Jepang,"

"Wow, amazing. Aku begitu menganggumi orang-orang Jepang. Mereka begitu ramah dan peduli. Jika aku bisa memilih sebelum dilahirkan di dunia ini. Aku akan memilih Jepang sebagai tempat tinggalku heheh." Narutoberusaha menghibur Hinata namun usahanya sia-sia. Gadis cantik itu masih saja murung.

"Jika aku mau, aku tak ingin tinggal disini," jawab Hinata. Narutobegitu mengerti perasaan gadis yang duduk tak jauh dari dirinya. Karena beberapa menit lalu ia mengalami diskriminasi yang luar biasa.

"Kehidupan muslim di London memang begitu berat. Kau harus kuat dan berlindunglah kepada Allah SWT," ucap Narutoberusaha menyemangati. Hinata, tak merespon ucapan Naruto. Ia hanya diam dan sedikit melamun.

Saat kereta berhenti, pikiran Hinata masih penuh dengan pikiran yang menakutkan. Ia ingin bertanya, bagaimana ia harus bersikap saat memulai hidupnya sebagai seorang muslimah berhijab di London pada Naruto. Namun, pemuda tampan itu sudah pergi meninggalkan Hinata sendirian.

"Kemana perginya dia?"

oooOOoo

Ada rasa sedikit menyesal yang menyelimuti Hinata ketika Narutopergi atau jangan-jangan dia memang bukan manusia melainkan malaikat yang dikirim Allah untuk melindunginya. Ah, tapi itu semua tidak mungkin. Hal semacam itu hanya ada dalam negeri dongeng. Hati Hinata semakin lama semakin was-was ketika kereta mulai mendekati stasiun tujuannya. Langkah kakinya terasa begitu berat ketika keluar dari kereta. Seandainya ada Naruto, mungkin dia akan merasa jauh lebih nyaman. Hinata menghembuskan nafasnya, ia berusaha merilekskan pikiran dan hatinya. Dia juga berusaha menyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Langkah kakinya yang ragu membawanya ke sebuah kampus ternama nan megah. Hinata sedikit grogi, ia membenarkan hijabnya dengan perasaan khawatir yang luar biasa.

"Bismillah," gumam Hinata pelan bersamaan dengan langkah kakinya yang melewati gerbang kampus.

Sejauh ia melangkah, untuk sementara semua masih baik-baik saja. Tak ada orang yang meneriakinya ataupun memakinya. Namun, pandangan mereka kepadanya seolah mengatakan hal yang sama. Pandangan sinis mereka seperti pandangan dua pemuda sebelumnya. Menakutkan bahkan terkesan jijik padanya. Gadis cantik itu tak berani menatap mereka walau hanya sedetik.

Hinata masih tak paham arah menuju fakultas Ilmu sosial dan Humonaria, jurusan sosiologi yang ia ambil. Walaupun sebelumnya sang ayah sudah mengajaknya datang ke kampus namun Hinata masih tak hafal. Dan terpaksa ia harus berinteraksi dengan orang lain. Hinata memberanikan diri untuk bertanya pada mahasiswa lain.

"Hallo, permisi. Apa boleh aku tahu dimana arah menuju jurusan Sosiologi?" tanya Hinata ramah. Namun mereka hanya melihat Hinata sekilas kemudian pergi.

Berkali-kali Hinata menerima perlakuan yang sama. Ia hanya bisa menghembuskan nafas panjang untuk mengeluarkan bebannya. Ia mulai menyerah untuk bertanya, mau tidak mau Hinata mencari sendiri dimana letak kelasnya. Namun untunglah ada salah satu laki-laki paruh baya yang dengan baik hati menuntun Hinata menuju kelas. Jika dilihat dari tampilannya, ia mungkin salah satu dosen disini. Gadis berkerudung merah hati tersenyum dan mengucapkan terima kasih secara tulus kepada beliau yang bersedia membantunya tanpa peduli dengan apa yang ia kenakan.

"Thank you so much, sir," ucap Hinata penuh keharuan. Orang itu hanya tersenyum kemudian meninggalkan dia sendirian.

Dari balik luar kelas, Hinata melihat kerumunan mahasiswa yang ada. Tak ada satu pun orang yang mengenakan Hijab. Bisa dipastikan jika hanya dia satu-satunya muslim di kelas ini. Perasaannya berkecamuk antara takut, khawatir dan sedih. Beberapa bayangan buruk bersemayam dikepalanya. Bagaimana jika… bagaimana jika… . Kalimat itu yang muncul berkali-kali diotaknya Dengan keteguhan hati, Hinata melangkahkan kakinya. Dan benar, kelas mendadak hening serta sunyi. Semua mata memandangnya tajam. Tatapan mereka menggambarkan ketakutan luar biasa.

"Berhenti," ucap salah satu mahasiswi berambut blonde. "Kami sebenarnya tidak ingin berpikir buruk tentangmu, tapi sebelum masuk kelas. Bisa kah kau memperlihatkan isi tasmu?"

"Heeh, untuk apa?" tanya Hinata kebingungan.

"Kami hanya ingin memastikan sesuatu agar kami aman," jawab yang lain.

Sekarang Hinata mengerti apa maksud dari semua ini. Mereka hanya ingin memastikan apakah di dalam tasnya terdapat bom atau tidak. Hinata tersenyum sinis, tanpa basa-basi ia melepaskan tas dari bahu kanannya. Dengan perasaan tersinggung, gadis cantik berhijab itu menumpahkan semua isi tasnya ke lantai. Semua barang dan buku yang ia bawa berserakan begitu saja. Gadis yang bertanya pada Hinata tampak memberanikan diri untuk melihat barang dan bukunya dilantai.

"Aku rasa tidak masalah," kata gadis itu pada teman-temannya yang lain. Semua siswa di kelas menghembuskan nafas dengan penuh kelegaan. Kelas kembali normal sedangkan Hinata sibuk memasukkan barang dan bukunya ke dalam tas.

Hinata berjalan menuju salah satu bangku yang ada. Meja dan kursi panjang itu sudah ditempat dua anak sedangkan kapasitas bangku bisa ditempati tiga orang. Namun, saat Hinata duduk ditempat yang sama, dua orang tadi menjauh dan mencari tempat duduk yang jauh dari dirinya. Gadis itu berusaha tegar dan tak mau memikirkan hal-hal kecil seperti ini. Jadi seperti ini rasanya hidup sebagai seorang muslim yang minoritas. Hinata tak tahu bagaimana cara mereka bisa menikmati hidup jika selalu didiskrimansi. Samar-samar Hinata mendengar desisan pelan dari mahasiswa yang duduk dibangku sebelahnya.

"Ssssst…. Ssst… ," desis siswa itu pelan. Hinata menoleh ke arahanya tanpa berprasangka apapun. "Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya ketus.

"Kuliah?" jawab Hinata bingung.

"Apa yang ada di dalam tasmu itu bom? Hahahah," ejeknya tanpa perasaan di ikuti dengan temannya yang lain.

Hinata tak mau membalas kata-kata mereka. ia ingat dengan ucapan ayahnya. Dia harus menjadi agen islam yang baik dan menunjukan pada mereka bahwa islam itu indah. Nabi Muhammad di lempar batu, di ludahi dan diperlakukan kasar seperti apapun beliau tetap baik dan tersenyum. Dan ketika ia membalas cacian mereka dengan sebuah senyuman manis. Siswa itu tampak terkejut dan hal itu berhasil membuat mereka diam.

"Jika dia membawa bom, pasti kalian semua sudah mati," ucap seorang laki-laki dengan suara lantang. Hal itu membuat seluruh ruangan terdiam.

Hinata merasakan kelegaan dan kenyamanan yang luar biasa ketika melihat sosok pria itu. Iya, pria tampan itu adalah orang yang melindunginya di kereta dari dua pemuda tak dikenal yang membullynya. Pria yang bernama Narutoitu tersenyum manis pada gadis cantik yang ada dihadapannya. Naruto berjalan maju dan duduk disamping Hinata tanpa ragu. Baru beberapa menit Narutodan Hinata duduk, dua orang security tiba-tiba memasuki kelas dengan seorang gadis berkulit hitam yang berparas manis.

"Disana, mereka mengatakan bom atau semacamnya," ucapnya sembari menunjuk Narutodan Hinata. Kedua satpam itu bergerak cepat menghampiri mereka. Keduanya memandang Hinata dan Narutodengan perasaan was-was.

"Kalian berdua ikut kami!"

ooOOoo

Narutodan Hinata sekarang berada diruang ketua jurusan untuk menjelaskan apa yang terjadi di kelas. Tak lupa, seorang saksi juga dihadirkan disana. Keduanya maupun saksi terdiam karena terlalu ngeri melihat tatapan ketua jurusan. Tatapan matanya yang tajam ibarat singa yang siap menerkam mangsanya. Tas Hinata beserta isinya sudah tertata rapi diatas meja. Dan wajah ketua jurusan tampak masam karena tak menemukan bom di tas Hinata seperti yang dikatakan Naruto.

"Naruto, apa kau tahu apa akibat dari perkataanmu?" tanya yang tampak begitu kesal.

"Membuat mereka takut. Tapi menurutku mereka terlalu berlebihan," bantahnya.

"Mereka tidak berlebihan mengingat kejadian Bom Paris dua hari yang lalu."

"Sir, hanya 1 % muslim yang melakukan tindak radikal. 99% sisanya mereka membenci kekekarasan. 1% tidak mewakili semuanya. Jadi islam bukanlah terrorist."

"Tapi semua terroris yang melakukan pengeboman adalah muslim. Islam jelas agama yang menakutkan," bantah pak tua itu tak mau kalah.

"Sir, ribuan rakyat gaza meninggal tiap tahunnya. Apa anda tahu siapa yang membunuh meraka?" tanya Naruto penuh keberanian. Pak tua itu terdiam mendengar pertanyaan Naruto. "Jika anda tidak menjawab aku akan menjawabnya. Yahudi, tapi apa anda pernah menyebut mereka terroris? Ribuan rakyat Irak akibat agresi Amerika, tapi kenapa anda tidak menyebut mereka terrorist? Jawabannya hanya satu, karena mereka bukan seorang muslim!" ucap Naruto tegas.

Satu kata untuk Naruto yang ada di otak Hinata adalah gila. Terang-terangan dia melawan ketua jurusan, apa dia tidak takut dikeluarkan dari kampus. Jika dia menjadi pria ini, lebih baik diam daripada banyak bicara yang ujungnya merugikan diri sendiri. Tapi memang sehrusnya kita membela agama yang kita anut dan itu yang terbaik tapi Hinata masih tak memiliki keberanian seperti Naruto. Tampak sekali wajah Ketua jurusan memrah karena menahan amarah yang luar biasa. Tatapannya yang tajam sekarang beralih ke arah Hinata.

"Kau boleh keluar dari sini dan melanjutkan kelasmu. Sedangkan kau? tetaplah disini dan tulis kata-kata ini sebanyak lima ratus kali. 'Aku akan lebih menghormati orang yang lebih tua.' Apa kau mengerti?"

Hinata melihat Naruto dengan perasaan iba. Namun, pria itu hanya tertawa mendapat hukuman seperti itu. Aneh, dia benar-benar pria yang aneh. Tapi semua ini terjadi karena Naruto membelanya. Tak etis jika ia tetap menerima mata kuliah sedangkan orang yang membelanya mendapatkan hukuman. Hinata memutuskan untuk tak mengikuti kelas di Hari pertamanya. Ia menunggu Naruto di luar ruang ketua jurusan.

Disisi lain Naruto termenung melihat tumpukan kertas yang diberikan oleh Kajur. Menulis kalimat sepanjang itu sebanyak 500 kata? Ia tak yakin hari ini ia bisa pulang atau tidak. Karena ini hukuman, mau tak mau ia harus melakukannya. 'Aku akan lebih menghormati orang yang lebih tua.' Tulisnya dilembar kertas pertama namun mengingat kata-kata pria tua menjelekkan islam. Naruto mencoret tulisan sebelumnya dan menggantinya dengan kalimat yang lebih singkat.

"WE ARE MUSLIM BUT WE ARE NOT TERRORIST."

TO BE CONTINUE