Copyright © 2016 by Happyeolyoo

All rights reserved

.

.

The Way To Love You

Genre : Drama, Hurt/Comfort

Rate : T+

Pairing : HunHan as Maincast.

Chapter : 1/11

Warning : Genderswitch. Miss typo(s).

Disclaimers : The cast is belonged to God, their parents, and their company. All text here is mine. Dilarang memproduksi atau memperbanyak seluruh maupun sebagian dari cerita ini dalam bentuk atau cara apapun tanpa izin dari penulis.

Summary : Luhan tahu jika dia tidak punya hak untuk jatuh cinta, mencintai, dan dicintai. Kala Oh Sehun datang, persepsi itu pun dikesampingkan dan dia menjatuhkan diri padanya. Kiranya, semuanya akan baik-baik saja jika Luhan terus diam menyimpan rahasianya. Berbohong akan menjadi satu dispensasi untuknya; agar dia bisa terus bahagia bersama Oh Sehun.

BGM : One and Only by EXO

Luhan tidak pernah berpikir jika dia akan jatuh cinta pada seorang laki-laki berjas yang baru keluar dari sebuah gedung perkantoran yang sangat tinggi dan megah.

Laki-laki yang dilihatnya secara sekilas di sore hari itu memang kelihatan sangat menarik—punya ekspresi tegas namun penuh binar kehangatan pada sorot matanya, bertubuh tinggi dengan kulit seputih susu, helai rambut sehitam jelaga yang tersisir rapi, serta gurat senyuman yang penuh keramah tamahan.

Dia punya banyak poin plus—secara fisik atau pun finansial. Oke. Finansial.

Poin plus yang dimiliki laki-laki itu meninggalkan setitik ketertarikan singkat pada dasar hati Luhan. Hanya ketertarikan singkat, pikirnya begitu. Luhan tidak benar-benar menyukainya dalam artian yang sangat dalam—dia cuman mengaguminya dari segi fisik dan finansial.

Kala laki-laki itu naik ke sebuah mobil hitam mengilat yang (mungkin) datang untuk menjemputnya, ketertarikan itu benar-benar hilang tidak berbekas dari benak Luhan. Lagi pula, Luhan tidak pernah punya keinginan untuk jatuh dalam ketertarikan yang melibatkan banyak perasaan—dan juga hati. Dia punya alasan pribadi untuk terus menahan diri dari hal-hal yang menyangkut-pautkan perasaan.

Sebuah alasan yang akhirnya menciptakan batasan absurd yang memisahkannya dari kehidupan normal. Luhan tidak bisa menerima kebaikan tulus yang ditujukan padanya. Yang dapat diterimanya secara cuma-cuma cuman pandangan iba, merendahkan, dan juga uang. Itulah sebabnya Luhan tidak ingin punya alasan untuk jatuh cinta—apalagi jatuh cinta pada si laki-laki karyawan kantoran yang punya banyak poin plus seperti dia.

Hidupnya akan terus berjalan secara konstan seperti ini jika batasan absurd itu bisa dipertahankan. Yang perlu dilakukan Luhan hanya terus bersembunyi.

Namun tanpa disadari, benang takdir yang membawa kebetulan bermakna menyeretnya pada hal baru. Kala itu, Luhan sedang jalan di trotoar dengan membawa dua kantong kertas berisi belanjaan di kanan-kiri lengannya. Tanpa disengaja, seorang laki-laki yang sibuk memerhatikan layar ponsel saat tengah berjalan berlawanan arah dengannya, menabraknya.

"Kantong kertasnya sobek," katanya, sambil memasang raut penuh penyesalan. "Maafkan aku."

Luhan mengerjap beberapa kali, menyadari jika ada reaksi aneh yang melanda tubuhnya saat laki-laki berkemeja yang menabraknya melayangkan tatapan intens penuh permintaan maaf padanya. "T-tidak apa-apa," lidahnya terasa kelu mendadak. Tangannya yang bergetar samar bergerak memungut belanjaannya dan berusaha menjejalkannya ke kantong belanja yang lain.

"Tidak. Yang itu tidak akan muat," sahutnya sembari merebut apa yang ada di genggaman tangan Luhan dan melemparnya ke tas kerja yang ditenteng olehnya. Luhan kelihatan terkejut akan apa yang dilakukannya tapi laki-laki itu cuman tersenyum maklum. "Kuantar pulang saja, ya?"

"E-eh?"

"Kalau sudah begini, mau bagaimana lagi," Dia tersenyum lagi hingga matanya menyipit—terkesan sangat ramah tapi masih terdapat banyak rasa bersalah. "Aku cuman ingin menebus kesalahanku."

Luhan punya banyak pengalaman untuk membawa laki-laki asing yang baru dikenalnya ke flat. Tapi dia tidak pernah punya pengalaman untuk membawa seorang karyawan kantoran yang membuat jantungnya berdebum cepat untuk pulang ke flatnya.

Tidak pernah.

"Aku bukan cowok jahat. Aku cuman tidak punya jalan lain untuk meminta maaf karena sudah menabrakmu."

Banyak dari barang belanjaannya yang tertampung di tas kerja pemuda itu. Dan pikirnya, dia tidak akan mampu membawanya tanpa kantong kertas. "Apa tidak apa-apa?" cicitnya pelan. "A-aku bisa meminjam tasmu dan akan mengembalikannya secepat mungkin. Cukup berikan alamatmu, Tuan."

Pemuda itu kelihatan tidak suka dengan ide tersebut. "Sudah hampir pukul sembilan. Lebih baik aku mengantarkanmu sekalian."

Pukul sembilan. Luhan harus sampai di rumah secepatnya lalu pergi bekerja. Jadi, dia tidak punya pilihan lain selain memberi kesempatan pada laki-laki itu untuk membawa barang-barangnya. Ini bukanlah waktu yang tepat untuk berdebat karena Luhan tidak ingin terlambat pergi bekerja.

Sepanjang langkah, mereka terjebak dalam kecanggungan yang menyiksa. Tidak ada pembicaraan, cuman jalan berdampingan. Luhan hendak melontarkan permintaan maaf sekaligus rasa terimakasih, namun keinginannya diinterupsi oleh dering ponsel.

Id sang penelepon membuatnya tersentak selama dua detik.

"Ada apa?" Luhan memalingkan wajah saat pembicaraan via telepon itu dimulai. "Hm? Kalau cuman itu, aku bisa."

Si penelepon mengatakan sesuatu dan si karyawan kantoran memberikan privasi dengan mengedarkan pandangan.

"Nanti malam saja," Luhan berusaha untuk berbisik agar kalimatnya tidak sampai terdengar. Terlalu memalukan. "Nanti kita ketemu di sana. Iya. Aku akan bilang ke dia. ... Oke. Sampai jumpa."

Luhan baru bisa mendesah lega saat telepon ditutup.

"Pacarmu, ya?"

Kepala Luhan menoleh ringkas lalu menggeleng cepat, menyatakan penolakan tegas dan tindakannya malah mengundang tawa.

"Teman," ujarnya. "Cuman teman."

"Ah," pemuda itu mengangguk-angguk. Senyumannya yang menakjubkan masih tersemat pada bibir.

Luhan meringis. "Kita hampir sampai."

Mereka melewati satu lagi gang sempit dan terus berjalan di bawah remang-remang pancaran sinar kekuningan dari lampu jalan.

"Eung ..," Luhan mendengung memikirkan apa yang ingin dikatakannya. Dia banyak menghabiskan waktu untuk berkutat dengan dewi batinnya. Sambil memberanikan diri, dia menoleh menatap wajah si pemuda tampan dari sudut pandangnya. "S-siapa .., namamu?"

Si pemuda menoleh balik, menatap Luhan. "Oh Sehun. Lalu, kau?"

"L-Luhan."

"Oh, Luhan-ssi," Sehun menggumam. "Aku minta maaf sekali lagi karena sudah menabrakmu dan membuat kantung kertasnya sobek."

"Kenapa meminta maaf lagi? Tidak apa-apa. Kau sudah membantuku membawanya," Luhan melirik belanjaannya yang ada di tas kerja Sehun. "Apakah mereka tidak akan mengotori berkas-berkasmu?"

"Kalau iya, aku bisa mencetaknya lagi nanti."

"Ah! Bisa mengotorinya, 'kan? Sebaiknya aku bawa saja sendiri!"

"Hei. Tidak apa-apa. Jangan terlalu sungkan."

Luhan menggigit bibir. "T-terimakasih."

"Hm?"

"T-tidak! Kita sudah sampai."

"Oh, ini gedung flatmu?"

Luhan meminjam sebuah kantong kain pada si bibi penjaga flat dan memindahkan barang-barangnya ke sana. Si bibi penjaga flat sempat mengerutkan alis kala mengetahui jika Luhan tidak membawa laki-laki itu ke kamar. Bagusnya, Luhan tidak menaruh peduli.

Laki-laki itu kemudian berpamitan pergi, memberi Luhan kebebasan untuk menatap punggung tegapnya yang menyusuri jalanan petang hingga lenyap di ujung persimpangan.

Malam itu, Luhan punya sebuah mimpi indah yang tidak pernah terpikirkan oleh otaknya. Dia bermimpi jika si Oh Sehun datang lagi ke flatnya, mengajaknya menikmati taburan sinar matahari sambil bicara tentang banyak hal menyusuri jalanan. Mereka melewati waktu makan siang di sebuah restoran, bercanda dan membagi gelak tawa. Ketika hari mulai mencium malam, Sehun mengantarnya pulang dan jemarinya disematkan pada sela jari Luhan.

Kehangatan dari telapak tangannya di alam mimpi memberikan kehangatan yang begitu nyata. Di akhir mimpi indah itu, Sehun melayangkan kecupan kupu-kupu di dahi Luhan lalu segera berpamitan pulang.

Luhan terbangun dengan rona hebat di pipi. Perasaan asing yang tidak pernah dirasakannya malah membuatnya jadi setengah sinting. Apalagi saat kebetulan-kebetulan tidak masuk akal terus menghampirinya—membawa si Oh Sehun datang padanya pada pertemuan-pertemuan tidak terjadwal. Entah itu berpapasan di trotoar, di persimpangan jalan, di halte bus, atau pun mana saja.

Luhan menyebutnya sebagai takdir.

Takdir terus membawanya mengikuti arus, terlena, dan akhirnya terperangkap dalam sebuah hubungan romantis dengan si karyawan kantoran.

Dia diajak ke sebuah kencan yang sesungguhnya saat keduanya kembali bertemu secara tidak sengaja di sebuah mall. Sehun mengantarnya berkeliling mencari sayuran, lalu tanpa diduga dia malah bilang sesuatu yang mengawali semuanya—yang ternyata sanggup merubah hidup Luhan.

"Luhan, bagaimana kalau kita pacaran saja?" Sehun kelihatan sedikit salah tingkah saat kalimat itu berhasil meluncur dari mulutnya. Luhan menoleh ringkas menatapnya, kelihatan sangat terkejut dan itu menguji pertahanan diri Sehun. "Aku sudah lama memikirkan hal ini. Walau pun masih banyak hal yang tidak kuketahui tentangmu, tapi, itu tidak akan jadi masalah karena aku akan mengetahuinya sedikit demi sedikit setelah kita resmi pacaran. Bukankah itu bagus?"

Kedua telapak tangan Luhan tiba-tiba digenggam erat oleh Sehun. Tatapan keduanya saling terkunci terhadap satu sama lain.

"S-Sehun, k-kau .."

"Kau bisa memercayaiku karena aku jatuh cinta padamu."

Bola mata Luhan bergulir ke kanan dan pandangan mereka terputus. "K-kau tidak mengerti."

"Tentang apa?" Sehun mengejar. "Apa yang harus kumengerti, hm?"

"P-pekerjaanku," Luhan merunduk menyembunyikan rasa malu. "Pekerjaanku, Sehun."

"Kenapa malah mempermasalahkan pekerjaan saat aku memintamu jadi kekasihku?" Sehun kelihatan ingin tertawa. "Aku cuman peduli pada dirimu dan perasaanmu, Lu, bukan pekerjaanmu."

"A-aku nyaris pengangguran," Luhan menggumam, mulai ingin menangis saat dewi batinnya terus memaksa untuk melontarkan banyak kebohongan. "Aku cuman bekerja jadi pelayan di restoran."

"Apa salahnya jadi pelayan? Aku juga jadi pelayan perusahaan."

"S-Sehun .."

"Kalau kau tidak keberatan, kita jadian."

Luhan tidak punya opsi menolak untuk kasusnya yang satu ini. Saat dia akan mengiyakan hal itu, dia mulai menyusun tekad untuk terus berbohong mengenai pekerjaannya.

Tidak apa-apa.

Sekali pun dia bohong kepada Sehun, itu tidak apa-apa.

Dia melakukannya agar bisa bahagia.

Ya. Tidak apa-apa.

TBC

Tidak apa-apa ...

Tidak apa-apaa ..

Hmmm ..

Sebenernya udah pengen rilis ff ini sejak dahulu kala. Tapi karena aku belum merampungkan semua chapnya, jadi ya harus ditunda. So, gimana menurut kalian?

Gue tunggu reaksi kalian semua di kotak review. Yang gak review, awas aja, ya pfft

Xoxo.