Ichie Kurosaki

Proudly Presents

The Beauty of Silver Eyes

Rate: T+

Genre: Romance-Drama

Character Pairing: Draco Malfoy-Harry Potter

Disclaimer : J. K. Rowling

Warning : Typo, BxB, Yaoi, Fluff, AU, No War, Bash Chara! OOC! OC!

Summary : Sudah cukup lama Harry mengenal Draco Malfoy. Pemuda culun di Hogwarts, karena meskipun dia anak kaya, dia itu kutu buku dan jelas-jelas pemuda yang lebih tua sebulan itu anti-sosial. Nah, mana mungkin dia, Harry Potter, anak populer sehogwarts, jatuh cinta pada pemuda itu?

Hogwarts School
Manchester, England

Suara tawa murid-murid di sekolahnya pagi itu membuat seorang pemuda manis, dengan pakaiannya yang terlihat biasa saja namun semua tahu itu merk ternama, tersenyum miring. Dia menoleh ke belakang dan tersenyum senang melihat ayah baptisnya dengan mobil Audi Quattro sedang mengangkat alis.

"Aku heran belum ada yang lompat untuk menciummu melihat gaya berpakaianmu hari ini," sindir Sirius Black, seorang pengusaha kaya yang terkenal. Apalagi kini dia juga mengurus perusahaan sahabatnya, James Potter yang telah meninggal beberapa tahun lalu.

"Tidak ada yang cukup nekat melakukannya. Sana pergi! Hush!" usir Harry Potter, putra dari James Potter.

"Ya, ya, mengingat Daniel akan memukul kepala mereka dengan bola" sahut Sirius dan mendengus melihat motor Ducati menekan klakson di belakang mobilnya. "Bye Harry!" ujarnya dan melajukan mobilnya meninggalkan sekolah anak babtisnya. Motor Ducati itu berhenti di depannya.

Pemuda itu melepas helm berwarna hitamnya dan menampilkan wajah serupa dengan Harry. Hanya matanya yang berwarna Hazel yang membedakan keduanya, dan postur tubuh yang jauh lebih tinggi. "My Little Princess."

Harry cemberut. "Tidak lucu, Dan!" dia berbalik dan berjalan meninggalkan kakak kembarnya yang tertawa. Daniel adalah alasan tidak sembarang cowok bisa mengajak Harry kencan. Semua level cowok bekas kencannya selalu di atas standar. Mereka semua harus tampan, macho, populer, kaya raya, dan tentu saja Jerk.

Karena semua bekas kencan Harry itu teman-teman Daniel. Jadi sama brengseknya dengan Daniel. Harry menghentikan langkahnya, menyampirkan tas gemblok Guccinya, dia mengenakan kaos Cool boy, Jeans Louis di atas lutut, sepatu Reeboknya dan memasukan tangannya ke kantung jaket jeansnya. Dia lihat ada anak yang dibully. Itu hal biasa sebenarnya.

Apalagi mengingat kakaknya seorang tukang bully dan bajingan. Itu sudah pasti turunan ayah mereka, ayah baptisnya Sirius, dan ayah baptis Daniel, Remus Lupin, kekasih Sirius. Namun korban bully kroni kakaknya membuatnya mengernyit. Itu pemuda pirang. Yeah, banyak yang tidak menyukai blondie karena terlalu american.

Pemuda yang dibully itu bahkan tidak berkaca mata. Bukan itu sih alasan nerd di bully. Banyak weird yang dibully dan mereka tidak berkaca mata. Lebih ke arah mereka keterbelakangan mental atau mereka cupu dan tidak menarik. Itu yang Harry tahu. Dan Harry berkaca mata karena dia minus. Siapa yang nekat membully orang berkaca mata Gucci?

Sama seperti siapa yang berani pada kakaknya yang suka menonjok orang dengan tangannya yang mengenakan jam tangan Rolex. Okay, terlalu banyak sensor merk di sini. Kembali Harry perhatikan pemuda yang sedang dicekal itu. Tanpa sadar dia melangkah mendekati mereka. Tidak ada Daniel di sana. Hanya kawanannya yang pemanasan membully.

Pemuda pirang itu jelas anak orang kaya, Harry menyadari kemeja Polonya. Dan dia terlalu tampan untuk dibully meski pemuda itu menunduk dan Harry tidak melihatnya jelas. Bukan berarti jika kau tampan kau tidak akan dibully. Mungkin ada faktor lain kenapa pemuda itu dibully. Harry kenal pemuda itu, mereka seangkatan dan kelas mereka berseberangan.

"Kau pikir kau pintar, hah! Dasar kutu buku sialan! Sekali lagi kau pura-pura tuli saat ujian, kepalamu yang akan kumasuk-"

"Masukkan apa?" tanya Harry. Ketiga pemuda itu berbalik terkejut. Mata hijaunya menyipit sinis pada Blaise Zabini, Theo Nott dan Zach Smith. Yeah, kroni Daniel yang seangkatan dengannya. Daniel punya beberapa kroni di tiap angkatan. Maksimal lima orang di tiap angkatan. Diangkat menjadi kroni Daniel itu seperti diberi separuh sekolah. Kau berjaya.

"Well, Harry, merindukanku? Aku juga merasakan hal yang sama," sahut Zach dan mencoba mendekatinya. Dia mencibir dan melihat Blaise yang masih menahan leher pemuda pirang itu dengan lengannya. Tapi tatapan pemuda pirang itu masih saja tajam, tidak ada sirat takut seperti yang Harry temukan di sebagian besar anak yang dibully. Sedikit yang masih berani seperti pemuda di depannya ini.

"Lepaskan dia, dia temanku!" desis Harry membuat ketiganya langsung menjauh. Saat pemuda pirang itu memandangnya dengan mata silvernya, Harry ingat itu pemuda yang menjadi partnernya di kelas Kimia dan beberapa pelajaran lain. Nah, dia lupa siapa namanya. "Dasar brengsek!" ketusnya saat Zach masih menggodanya dengan mencolek dagunya.

Dia tarik si pirang dengan kasar agar menjauh dari ketiganya. Hingga sampai keduanya di depan pintu kelas Biologi, kelas Harry pagi ini. Dia lepas lengan pemuda pirang dengan wajah runcing dan kulit yang begitu pucat. Dia mengangkat alis saat pemuda itu hanya diam.

"Katakan siapa namamu, aku lupa, tapi aku tahu beberapa kali kita sekelas." Ujar Harry akhirnya karena pemuda itu hanya diam.

"Malfoy, Draco" sahutnya. Harry terpaku betapa berat suara itu. Mirip suara Daniel. Dan rahang Harry jatuh ke bawah saat pemuda itu melengos pergi begitu saja meninggalkan Harry.

Apa-apaan!

Pemuda tinggi itu! Apa dia dibully karena sikapnya? Harry akan cari tahu. Dia masuk ke kelasnya dan duduk di bangku paling belakang, agar dia puas chatting. Banyak yang menyapanya, dia hanya mengangguk saja. Tidak lama sampai masuklah gadis modis dengan rambut ikalnya. Itu Hermione Granger, sahabat Harry. (Bayangin gayanya Emma Watson).

"Holla, Harry!" seru gadis itu dan duduk di samping Harry setelah mengusir Sally-Anne yang ketakutan. Dia mendelik saat gadis itu buru-buru pindah ke depan. "Jauh-jauh Perks!"

"Hey, 'Mione!" sapanya. Hermione segera memainkan Iphone miliknya dan melakukan snapchat. "Ehm, Hermione, ada yang ingin kutanyakan!"

Gadis itu melempar ponselnya asal ke tas Pradanya dan memandangnya tertarik. "Serius sekali, katakan!"

"Kau kenal Malfoy Draco?" tanya Harry dan merasa bodoh saat nama itu aneh.

"Oh, kalau yang kau maksud si Sok Draco Malfoy aku kenal. Si Anti Sosial di Hogwarts, si bisu, si sok jenius, si lugu dan entah apa lagi gosipnya." Jawaban Hermione membuatnya kaget.

"Dia terkenal juga?"

Hermione mengibaskan tangannya. "Tidak, aku tahu karena banyak kelasku dengannya. Dia cukup terabaikan. Dia mengalahkanku di juara Umum, aku benci dia. Dia hanya si cupu yang akan kau lupakan dalam waktu seminggu. Wajar kau tidak kenal."

"Bagaimana bisa dia jadi seperti itu, maksudku, kupikir dia kaya juga dan tam-tidak jelek serta pintar sekali mengingat dia mengalahkanmu di-God-juara umum." Harry tidak menutupi keheranannya.

"Dari SD katanya dia memang sudah pintar, kau tahu, orang paling pintar adalah orang yang paling dibully," bisik Hermione membuat Harry memutar matanya.

"Kau kehilangan otakmu, ya? Kau 'kan murid terpintar selama hampir sedekade aku mengenalmu!" ketus Harry. Mengingat dia ada di bawah Hermione dan gadis itu dibawahi Malfoy. Itu artinya dia peringkat ketiga di sekolah mereka.

Dia jadi ingat tekanan dari Momma yang merupakan salah satu murid terjenius. Dan berharap Harry mengikuti jejaknya. Namun mengalahkan Hermione adalah kemustahilan, apalagi kini Malfoy juga merupakan saingannya.

Namun Hermione hanya mendengus. "Damn, Harry. Jangan naif ah! Aku benci dia mengalahkanku. Justru karena aku pintar inilah aku tidak di bully. Apa jadinya jika aku dibully? Kau lucu, Harry" Hermione malah tertawa kecil. Seolah Harry melontarkan lelucon soal iklan coklat kacang. "Dia dibully karena dia anti-sosial Harry. Kau tahu itu tergolong aneh! Coba kau dekati, dia akan tenggelam di Danau!"

Harry tidak paham bagaimana seseorang bisa dibully. Dia tidak pernah dibully. Lagipula dia tidak suka pembullyan. Tidak ada yang tega juga membullynya. Dia terlalu cantik. Dan terlalu berkuasa. Dan berbahaya, mengingat Daniel yang menjaganya.

Ini pertama kalinya, dia peduli pada anak yang dibully.

Berlalu bosan dalam kelas, Harry tidak peduli Hermione melotot galak pada para pria yang coba menggodanya. Dia mendengus saja pada gurunya yang mengajar. Dia lihat anak-anak mencoba mengerjai Mr. Slughron yang sedang menulis rumus Hidrolisis. Harry memutar matanya.

Hingga kelas berakhir dan Harry menyetujui saja ajakan Hermione untuk ke kantin. Dia berjalan santai karena tahu pasti, sudah ada meja yang disediakan untuknya. Ketika melewati koridor, Harry melihat pemuda pirang sedang duduk di bangku besi yang berkarat di bawah pohon di pinggir taman yang memiliki air mancur. Harry mengernyit.

"Keberatan kalau kau jalan duluan? Aku ingin melakukan sesuatu sebentar," ujar Harry yang berlalu begitu saja. Saat itu dia tidak tahu imbasnya, jika Daniel mengetahui apa yang akan dia lakukan. Dia dekati pemuda bernama Malfoy itu.

Saat menyadari ada yang membayanginya, pemuda berambut pirang platina itu menengadahkan wajahnya. Kilau matanya yang berkeping perak memandang Harry. Kulitnya putih pucat seperti tidak pernah terkena sinar matahari. "Draco Malfoy."

"Ya?" tanya Draco dan kembali menunduk. Saat itu Harry baru menyadari jika pemuda tampan itu-ya, tampan sekali astaga!-sedang memakan bekalnya. Dia putuskan duduk di samping pemuda tinggi itu dan memandangi wajah runcingnya yang bibir tipisnya mengatup.

"Boleh makan bersama? Sepertinya lezat." Ujarnya dan tersenyum. Hal yang tidak pernah dia lakukan di depan siapa pun, kecuali keluarganya.

"Tentu! Masakan Mother itu terbaik!" balas pemuda pirang itu dengan anggukan. Iris peraknya memantul di keping Emerald Harry dan dia menyukainya. Ketika itu, dia menemukan hal yang hilang selama ini.

Vvvv

Draco tidak suka keramaian. Dia bahkan membencinya. Kebiasaannya sejak Elementary adalah duduk sendiri atau mencari teman yang pendiam. Dia juga tidak suka pembuat keributan. Dia bahkan tidak suka anak-anak populer. Kerjaan mereka mencari perhatian. Dan Draco benci jadi pusat perhatian.

Father dan Mother menyayanginya, dan tidak memperhatikannya. Jadi Draco terbiasa diabaikan. Dan tentunya mengabaikan orang lain itu hal yang wajar dan normal untuknya. Lalu anak-anak populer menjahatinya karena dia mengabaikan mereka yang minta diperhatikan.

Itu sia-sia, bagi Draco.

Yang Draco tahu, tujuan hidupnya itu hanya belajar dan jadi nomor satu. Jika tidak Father akan marah karena dia tidak pintar dan tidak bisa menjadi penerus Father. Draco takut pada Father. Karena Father akan memaksanya melakukan hal-hal yang dia tidak sukai.

Ketika awal masuk high school, Draco sudah biasa dijahati anak-anak populer. Dan saat dia mengetahui salah satu dari manusia-manusia bodoh itu menjadi partner tetapnya di kelas Kimia-heran orang bodoh ambil kelas itu-dia yakin dia akan sangat menderita.

Namun dugaannya salah. Draco sudah biasa tahu jika para anak populer itu berwajah mempesona. Dan dia tahu siapa partnernya, orang yang akan membuat Draco menderita selama sekolah. Harry Potter. Adik dari tukang bully-setara pemilik sekolah-Daniel Potter. Dan Harry Potter itu incaran semua orang, dia nomor satu soal semuanya.

Sebetulnya Draco tidak peduli hal itu, namun setahu Draco, Harry Potter adalah murid yang ada di daftar nomor satu orang yang harus dihindari. Selanjutnya baru kakaknya.

Dia bingung, pastinya, saat pemuda cantik itu hanya menunjukan wajah datar dan bosannya ketika bekerja bersamanya. Bahkan cenderung tidak menyadari kehadiran Draco. Tapi dia partner terbaik Draco. Kemudian baru si Granger sok yang terkenal.

Setelahnya, Draco baru sadar jika Harry bukan bagian dari anak-sialan-populer yang suka bully. Dia hanya ada di lingkungan itu dan merupakan bagian dari mereka yang seharusnya. Namun dia tidak pernah peduli soal kegiatan anak-anak-sialan-populer itu. Bahkan tidak pada Draco.

Harry tidak akan pernah melirik Draco.

Ya, untuk Draco, melihatnya dari jarak kurang satu meter saja merupakan keberuntungan tersendiri. Draco takut keramaian, dan Harry ada di tengah-tengahnya. Bagi Harry, Draco hanya sehelai daun yang terbang di musim gugur. Yang intinya, tidak ada! HA!

Setelah Mother mengganti kacamatanya dengan lensa kontak berwarna bening, pagi itu Draco dapat sarapan gratis biasanya di sekolah. Ya, dipukuli teman seangkatannya setelah kemarin ujian campuran kelas di Aula. Draco selalu kesal jika murid-murid bodoh itu dengan seenaknya minta jawaban setelah dia berpikir keras. Enak saja kau!

Meski tidak lagi pakai kacamata, mereka rupanya masih ingat kepala terang Draco dan menghantamnya. Dan Harry datang. Draco heran sekali, bukan sekali dua kali Draco tahu Harry melihat pembullyan. Biasanya pemuda bermata paling indah itu hanya lewat, mendengus atau memutar bola matanya. Buat apa pemuda berkulit putih itu repot-repot menyelamatkan Draco.

Berpikir Harry hanya iseng, Draco pergi. Draco tidak suka buncahan-buncahan bahagia yang muncul. Dia harus berpikir jika Harry itu tidak ada. Orang asing. Alien atau semacamnya. Karena Draco telah meramalkan rasa sakit yang akan datang di masa mendatang.

Nah, dia akan berusaha melupakan saat ini nanti. Saat Harry Potter makan pasta miliknya menggunakan sumpitnya. Dia biarkan saja pemuda putih itu menghabiskan setengah makan siangnya.

"Enak sekali!" ujarnya. Dia mengelap sudut bibirnya dengan jari telunjuknya. Bibir tipisnya seksi, buat Draco. Dan dia yakin anak satu sekolah juga berpendapat demikian. Jika Daniel tahu pikiran ini pernah melintas dikepalanya, Draco tidak mau membayangkan apa yang akan terjadi padanya.

"Jangan habiskan makan siangku," keluh Draco. Dia jauhkan kotaknya dan mulai makan lagi. Dengan sumpit bekas Harry. Dia dengar pemuda berambut hitam itu terkekeh. Tawa pertama yang dia lihat dan dia dengar. Draco tahu Harry tidak suka tertawa. Suara tawa pelannya indah sekali.

"Sebagai gantinya, ini untukmu, khusus, ya, Draco," Harry meletakan sebuah amplop berwarna silver hijau di atas tas Reeboknya. "Aku menunggumu looh."

Itu dia bisikan di telinga Draco yang memunggunginya sebelum dia pergi. Setelahnya Draco berharap jika dia hanya mimpi di tidur siangnya di Manor. Namun itu hanyalah harapan.

Vvvv

Pandangan Mother pada surat undangan Harry itu seperti dia baru dapat villa atau mobil baru dari Father. Draco baru kali itu melihat binar di mata birunya.

"Kau dapat undangan keluarga Potter?" desis Mother tidak percaya. "Aneh, bagaimana bisa Draco?"

Mother tahu seperti apa kehidupan sosialnya. Dan kedua orangtuanya menyayangkan hal itu. Reputasi Draco jauh dari yang mereka harapkan. Apalagi Draco malah jadi korban bully, setelah dulu Father menjadi murid paling ditakuti.

"Harry Potter memberikannya setelah aku membagi bekalku untuknya. Dia bilang itu balasan kebaikanku." Kata Draco jujur.

Narcissa mengangkat salah satu alisnya. "Jaga diri saja, son."

Draco memarkirkan mobil Audi R8 V10 miliknya yang merupakan hadiah dari Lucius bulan Juni lalu di ulang tahunnya. Potter Mansion sama besarnya dengan Malfoy Manor. Father bilang dulu dia kenal dengan James Potter dan menjadi saingan bisnis yang cukup pelik.

Jadi Draco mengambil kotak kadonya dan turun dari mobil. Dia mengenakan jas dan kemeja silver semi-formal. DJ di dalam telah memainkan musiknya dan Draco ragu untuk masuk. Dia yakin dia akan muntah kurang dari lima menit lagi. Tepat saat dia akan memaksakan diri masuk ke dalam, seseorang menahan lengannya kencang.

Dia meneguk ludahnya.

"Well, lihat siapa di sini all!" seru Daniel Potter. "Aku tidak ingat mengundang anak pojokan ini." Katanya keras dan kini dia jadi pusat perhatian.

Draco kenal sebagian anak di halaman ini. Yang memandangnya sinis. Sedangkan di dalam ruangan anak-anak lainnya sedang melompat-lompat menikmati iringan DJ yang semakin meriah. Juga gelapnya ruangan dan hanya kedipan-kedipan lampu diskotik yang membuat keremangan.

Hermione keluar dari ruangan tengah dan berhadapan langsung dengan Daniel dan Draco. Gadis itu terlihat cantik dan seksi dengan gaun Chloenya yang diatas lulut. Juga punggung mulusnya yang terlihat.

"Holla, Malfoy. Datang juga kau" sapa Hermione dan menepuk bahunya. Lalu gadis itu merogoh tasnya sambil berjalan ke arah datangnya Daniel dan mengeluarkan ponselnya.

Daniel kembali mengeratkan cekalannya. "Kenapa kau di sini?" tanyanya tajam.

"Aku diundang, Potter" balas Draco dan meringis merasakan sakit akibat cengkraman Daniel.

"Aku tidak ingat mengundangmu."

"Lalu?"

"Brengsek!" lengan Daniel segera menyerang leher Draco hingga pemuda itu membentur tembok.

"Bisa kau lepaskan temanku, Daniel?" tanya suara tajam di belakang Daniel.

Setelahnya Draco bersyukur dia dapat kembali bernapas normal dan terbatuk-batuk. Yang dia ingat, dia ditarik menjauh dari ancaman dan dia hanya bisa mengikuti orang itu hingga dia masuk ke sebuah ruangan. Dan orang yang dia yakin Harry Potter itu mengunci kamarnya.

"Senang sekali kau datang!"

Dia pandangi kamar Harry yang sama luasnya dengan kamarnya. Astaga, dia masuk kamar Harry. Kapan pemakamannya? "Ya, tentu."

"Maaf, aku selalu mengunci kamar ini. Tidak ada yang berani ke sini. Jadi kita akan tenang di sini." Harry mengajaknya duduk di sofa kamar itu. "Kau tampan sekali hari ini, Malfoy."

"Trims, ini kadomu. Selamat Ulang tahun, Potter." Draco menyerahkan kadonya dan Harry terlihat senang sekali. Dia bahkan tersenyum. Senyuman yang membuat dada Draco bergetar sesak.

"Kau baik sekali. Aku akan minta pelayanku membawa makan malam kita." Dia melangkah ke telepon rumah di kamar itu dan meminta di bawakan makanan ke kamarnya. "Sebetulnya aku tidak suka pesta." Katanya setelah menutup telepon. Dia terlihat mempesona sekali dengan kemeja putih dan rompi silver panjang hingga lutut. Juga seksi dengan jins ketatnya.

"Lalu kenapa kau mengadakannya?" tanya Draco yang masih duduk kaku. Dia gugup namun menutupinya dengan memandang datar pada Harry.

Pemuda itu tertawa pelan. "Akhirnya aku punya teman curhat. Ya, ini semua Daniel dan Sirius yang mengadakan. Mereka itu suka buang uang." Dia duduk di bahu sofa di sebelah Draco. Suara tawanya yang seperti dentang lonceng begitu indah di telinga Draco.

"Kau kan punya banyak teman?" tanya Draco lagi heran. Dia lihat Harry mengibaskan tangannya bosan.

"Mereka hanya teman saat senang, Draco. Tidak cocok kau jadikan orang yang bisa kau percaya. Aku mencari sahabat. Bukan juga teman kencan yang hanya digunakan untuk waktu luang. Pasti menyenangkan memiliki kekasih."

Draco mengalihkan pandangannya pada Harry yang terlihat menerawang. Pemuda beraroma bunga Lily itu melangkah ke pintu saat mendengar ketukan di sana. Draco bangkit saat seorang wanita berambut merah dan terlihat rapi juga cantik masuk membawa nampan. Draco membantunya meletakan piring di meja sementara Harry hanya mematung di pintu.

"Mom!" serunya tidak percaya. Draco bahkan hampir membuat piring di tangannya terpeleset. Dia memandang terkejut pada wanita itu yang baru dia sadari bermata Emerald seperti Harry. Wanita itu tersenyum senang padanya. Terlihat seperti menang lotre.

"Jadi ini kekasih barumu? Sopan sekali." ujarnya membuat Draco berdebar. Namun juga ada denyutan sakit karena dia mencoba memupuskan harapan. Dia tidak mau larut dalam mimpi.

"Astaga Mom, jangan ganggu aku!" Harry mendengus kesal dan menutup pintu lalu mendorong Draco kembali duduk.

"Habisnya Mom penasaran. Baru kali ini kau membawa masuk teman ke kamar. Bahkan teman cewek pun tidak. Jadi Mom yakin dia spesial. Dan tebakan Mom benar. Tangkapan bagus! Dia tampan sekali," bisik wanita cantik itu dan menepuk pipi Draco sayang. Tatapannya hangat sekali membuatnya mengingat Mother. "Siapa namamu?"

"Draco Malfoy, Ma'am."

Draco tidak menyangka jika ibu Harry itu akan bersiul kagum dan berlalu keluar kamar. Harry mendengus kesal dan memilih duduk di sebelahnya. Menghempaskan aroma Lilynya ke hidung Draco dan membuat Draco merasakan tangannya mendingin.

Tidak Draco, kau hanya sedang beruntung!

"Mom itu orangnya suka ikut campur. Apa lagi Sirius. Maaf kalau Mom membuatmu tidak nyaman. Kau tidak suka keramaian kan, juga jika diganggu. Maaf ya, kau rela menghadapi itu demi datang menemuiku," Harry kembali tersenyum dan menyentuh tangannya. "Dingin sekali tanganmu!"

Terhenyak, Draco segera menarik tangannya dan mengusapnya. Berusaha menghilangkan dingin dan lembabnya karena keringat. Juga memanasnya pipi Draco, membuatnya membuang wajah. Berharap rambutnya sepanjang rambut Father dan dia bisa menutupi wajahnya. Meski itu akan membuat Daniel makin membullynya.

"Apa pemanasnya kurang? Mungkin kamarku terlalu dingin untukmu." Namun Draco tidak menghiraukan itu. Dia masih berusaha menenangkan debar jantungnya. Ini tidak baik! Dia mau pulang dan merasakan lagi ketenangan yang biasanya dia dapatkan. Dia tidak menyukai keadaan saat ini yang membuatnya tidak nyaman. "Draco…"

Seperti kembali ke kenyataan, Draco menoleh pada Harry yang menyentuh bahunya. Wajah itu berekspresi seperti Mother yang melihatnya baru pulang dan penuh luka. "Aku haus." Dia tidak berpikir ketika mengucapkan itu. Namun dadanya seperti membuncah saat melihat Harry tertawa pelan dan mengusap bahunya.

Dia menerima gelas berisi minuman dari tangan Harry dan meminumnya. "Ayo kita makan, Draco. Setelah itu kita mengobrol atau apa pun yang menyenangkan."

Draco mengangguk dan makan bersama Harry yang tidak menghilangkan senyumnya selama bersama Draco. Saat itu, Draco tidak menyesali hidupnya. Karena untuk pertama kalinya, dia menyukai hidupnya. Semua karena dia bisa mengenal Harry Potter yang terkenal.

Vvvv

"Draco Malfoy!?"

Harry sekali lagi memutar bola matanya. Dia mendorong dada Daniel. Ekspresi wajah kakaknya menunjukan keheranan yang sangat. "Ya, aku mau kau membantuku menjadikannya kekasihku. Seperti semua cowok yang kau comblangkan untuk kencan denganku. Kali ini biarkan aku memilih dan aku mau Draco Malfoy."

Wajah Daniel menunjukan keprihatinannya. Dia seperti melihat adiknya sakit cacar air dan wajahnya jadi jelek. Dia usap pipi adik kesayangan dan kebanggaannya itu. "My little bunny… apa kau mau istirahat?"

Harry langsung menepis tangan Daniel kesal, senyumnya hilang dan berganti wajah datar. "Aku sehat dan waras, jerk! Ayolah, bantu aku mendapatkan Draco! Kalau kau tidak bisa, berarti kau payah!" ejeknya dan menyembunyikan seringai saat Daniel terhenyak.

"Apa maksudmu!? Aku bisa membuatmu kencan dengan Diggory itu dan lainnya. Kenapa kau tidak meminta yang seperti mereka saja? Kenapa malah sama si aneh Draco Malfoy itu, hah?" kini emosi Daniel benar-benar tersulut. Harga dirinya tersinggung.

Lily Potter mendekati kedua anaknya dan dengan memeluk toples cookies dia duduk di sofa di ruang keluarga itu. Menikmati tontonan pertengkaran itu. Dia tahu kecerdikannya-kalau tidak mau dibilang licik-akan menurun pada anak bungsunya. Dan sifat James akan turun pada anak sulungnya, tidak mau mengalah dan ceroboh.

"Kenapa? Kalau kau bisa membuat Diggory kencan denganku, lalu apa sulitnya membuat Draco Malfoy yang katamu aneh itu tidak? Kemampuanmu hilang ya?" Harry tersenyum sinis. Dia melirik Lily yang menyeringai. Dia lihat Daniel mendengus marah.

"Kau tahu jika dia jadi pacarmu, apa yang akan terjadi?" tanya Daniel tajam.

"Tentu saja, dia terlindungi dari kolonimu itu 'kan? Lagi pula banyak anak lain. Kehilangan satu tidak membuatmu impoten 'kan?" Harry balas pandangan dari iris Hazel itu dengan iris Emeraldnya.

"Argh! Baiklah!" Daniel menghela napasnya pasrah. Dia acak rambut merah berantakannya.

Harry menjerit senang dan memeluk Daniel erat. "Thanks Daniel! Thanks! You're my best brother!"

Daniel tersenyum lembut. Dia acak rambut hitam Harry. "Yes, anything for you, my little bee."

Lily bangkit dan mengacak rambut keduanya. "Jangan sampai kau menyesal, Daniel. Apa lagi jika mereka bertahan lama." Sindir Lily lalu berjalan ke dapur.

Vvvv

Pagi itu senin, ya, siapa yang tidak benci hari itu. Draco salah satunya. Tapi hari itu berbeda. Setelah Harry mengirim pesan agar menemuinya dulu di perpustakaan, dia tidak ragu membawa mobil Audi R8 V10 miliknya. Dia tahu jika dia pergi dengan supirnya atau menaiki bus itu akan memperlama dirinya.

Dia berhenti di lantai tempat perpustakaan berada dan berusaha menenangkan dirinya. Dia hanya mengenakan kaos dan kemeja juga jeansnya. Dia sampirkan tasnya dan menunduk saat anak-anak memandangnya sinis. Apa lagi bisik-bisik soal datangnya dia ke pesta Potter kemarin malam. Tidak pernah punya teman membuat dia terbiasa tidak ada yang membelanya.

Dia kembali melangkah dan berusaha tidak ditabrak. Itu prestasi buat Draco.

Dia buka pintu perpustakaan dan menyusuri rak untuk mencari Harry berada. Dia lihat pemuda itu sedang duduk bersama Granger. Gadis berambut coklat itu mengangkat alisnya saat melihatnya.

"Seriously, Harry, bunuh aku" desis gadis itu heboh. "Kau! Si bisu ini?" dia menunjuk-nunjuk Draco tak sopan. "Beri aku racun!"

"Aku akan meminumkanmu sianida" kata Draco dan menepis tangan gadis itu.

"Yeah, aku akan sial seharian ini setelah mendengar suaramu" balas gadis itu dan menabrak bahunya sambil berjalan keluar perpustakaan.

"Amin" ketus Draco. Dia memandang Harry yang masih berwajah datar seperti biasanya. Harry melirik saja murid-murid yang memandang keduanya ingin tahu. Dia tarik lengan Draco yang siku kemejanya digulung. Draco diam saja saat Harry membawanya ke sudut yang sepi.

Saat itu Draco merasa dunia berhenti ketika Harry tersenyum lebar dan senang. "Aku tidak bisa tidur memikirkanmu. Dan kecewa kita tidak ada kelas bersama hari ini. Nah, kutunggu di Caffe depan gerbang. Kita bisa jalan-jalan berdua, bagaimana?"

"Tentu kalau kau tidak sibuk," Draco memandang pemuda pendek di hadapannya itu dengan heran.

"Bagus!" seru Harry. Dia berjinjit dan mengecup pipi Draco. Lalu berlalu setelah mengelus lengan Draco.

Setelah yakin Harry pergi, Draco menarik napas keras. Seolah Harry mengambil seluruh oksigen yang bisa dia hirup. Dia berpikir keras. Apa yang Harry inginkan dari pemuda culun sepertinya?

Tidak mau terlambat, Draco berlalu keluar perpustakaan dan menuju kelasnya.

Vvvv

Dia tahu cepat atau lembat-kalimat klise-Daniel akan datang meninjunya. Tapi bukannya dikeroyok, Daniel malah membawanya ke pinggir koridor sepi. Dan memandangnya serius, bukan amarah.

"Kau berkencan dengan adikku, 'kan?" katanya. Dia tidak menunduk, tingginya setara dengan Draco.

"Tidak, aku pikir kami hanya teman," sahut Draco dan mencoba tenang. Diam-diam dia mengingat pelajaran boxing dari kursus seminggu dua kali yang dia ikuti. Berharap lukanya ringan saat pulang.

"Apa kau suka adikku?" tanya kakak kelasnya itu lagi. Draco menelan ludahnya gugup. "Katakan sejujurnya atau kau kehilangan wajah mulusmu!" bentak pemuda berkulit tan itu.

"Iya," jawab Draco dengan datar. Menyembunyikan semua perasaan kalutnya. Terbiasa hanya berhadapan dengan koloninya saja, membuat setiap keberanian Draco membangkang hilang.

"Cih, tentu saja. Tapi pasti menyakitkan ya, selama ini hanya memendamnya." Pemuda dengan kaos Crochodile itu terkekeh sinis mengejeknya. "Mana mungkin, the beast bisa mendapatkan the beauty. Apa pertemanan ini membuatmu berharap lebih hah?"

"Apa kau hanya ingin mengejekku?" tanya Draco. Luka yang terbalut di hatinya kini kembali membuka dan mengalirkan darah. Tidak perlu Daniel mengingatkannya akan cinta sepihak miliknya. Draco sadar diri jika cintanya tidak akan pernah berbalas. Jika Harry tidak mungkin meliriknya.

Sejujurnya, Draco membenci hidupnya. Jika saja dia sekeren Daniel. Jika saja dia bukan anti sosial. Jika saja dia bukan seorang pengecut. Jika saja dia bukan pecundang. Begitu banyak kata jika dan seandainya berkelebat di kepala pirangnya. Ada denyutan menyakitkan di dadanya membuatnya sulit bernapas. Dan perasaan yang sulit hilang itu membuatnya berharap tidak pernah mengenal Harry.

"Tidak, aku ingin memperingatimu." Ekspresi Daniel tidak semenyebalkan tadi. Dia bahkan memandang Draco dengan aneh. "Aku ingin mengancammu sih, jika adikku terluka segores saja. Kepalamu akan masuk ke kloset sekolah selama seminggu."

Draco balas memandang datar pada Daniel. "Kau serius? Weasley dan Jordan sudah mencoba melakukan itu padaku sejak minggu pertama aku sekolah di sini."

"Kalau begitu, wajahmu akan benar-benar membutuhkan pertolongan dokter. Kau tidak akan bisa sekolah paling cepat seminggu, Malfoy."

Buagh!

Draco merasakan sakit di perutnya. Dia membungkuk dan Daniel menengadahkan wajahnya dengan menarik rambutnya. "Ingat, ini hanya bayaran restu dariku membiarkan kau mendekatinya. Aku tidak ingin ada sesuatu yang kurang ketika dia kembali." Bisikan itu terdengar dekat di telinga Draco.

Dug!

"ARGH! BAJINGAN!" seru Daniel marah sambil mengusap kasar tulang kering kaki kirinya. "APA MAKSUDMU MALFOY!?"

Draco mencengkram perutnya yang ngilu dan tidak hilang. "Pembalasan." Sahutnya dan melarikan diri dari Daniel yang mengumpat-umpat dan dihampiri beberapa kroninya. Draco masih mencoba berlari meski tertatih-tatih. Dia ingat Harry menunggunya.

Dia sedikit bingung saat sampai parkiran dan mencoba menenangkan diri agar meredakan sedikit sakitnya. Dia masuk mobilnya dan tidak menemukan satu pun kroni Daniel yang mengejarnya. Heran. Sebetulnya tadi itu tindakan cari mati.

Dia tersenyum sinis saat menyadari sindiran Daniel tadi begitu menyakiti hatinya. Dia tahu dia tidak akan bisa memiliki Harry. Menjadi temannya saja sudah keajaiban. Dan sakit dari pukulan pemuda gagah itu tidak mengurangi perih di dadanya. Bahkan tidak terasa.

Dia nyalakan mobilnya dan melaju keluar dari pelataran sekolah. Pandangan iri menghampiri mobilnya dan dia memutar sedikit agar bisa parkir nyaman di Caffe depan kampusnya itu. Meredakan ketegangan tadi, dia turun dari mobilnya. Dia harus siap dikeroyok seluruh kroni Daniel besok. Mungkin dia cowok pertama yang berani melakukan itu pada Daniel di sekolah.

Dia merapikan sedikit penampilannya, mengelap sedikit keringatnya dengan bahunya. Dia lihat Harry sedang duduk sendiri di sudut Caffe yang posisinya nyaman. Pemuda itu masih semanis tadi pagi. Dia memainkan ponselnya dengan wajah datar dan bosan. Khas Harry Potter yang terkenal jutek pada semua orang. Draco tersenyum dan membuka pintu Caffe.

Dia lihat Harry memandangnya dan senyum gembira terulas di bibir tipisnya. Draco melangkah cepat dan duduk di depan Harry, mengabaikan nyeri di perutnya bekas pukulan Daniel. Dia sudah biasa babak belur karena berusaha melindungi diri dari dipukuli. Jadi menutupi rasa sakit sudah biasa dia lakukan demi menghindari kekhawatiran Mother.

"Akhirnya kau datang. Kau mau pesan apa?" tanya Harry yang tidak menyembunyikan kegembiraannya. Draco heran. Kemana si jutek Harry Potter jika bersamanya? Sampai beberapa hari lalu padahal pemuda itu masih tidak melihatnya meski mereka berdiri tidak kurang dari 30 cm.

Setelah pesanan mereka datang, keduanya menikmati makanan mereka tanpa berbicara. Karena memang mereka tidak tahu apa yang ingin dibicarakan. Sedangkan Draco ingin sekali memuaskan rasa penasarannya akan sikap Harry. Tapi dia takut.

Takut kebahagiaan yang seperti mimpi ini lenyap.

Draco takut ketika dia bertanya, maka sihir ini akan hilang dan dia terbangun.

Itu menyakitkan.

"Bagaimana harimu?" tanya Harry namun tidak memandangnya. Rambut hitamnya terjatuh menutupi dahinya.

"Biasa saja. Tidak ada masalah yang serius." Jawab Draco dan menyudahi makannya. Dia mengelap mulutnya dengan serbet diikuti Harry yang kini tersenyum miring. Terlihat sinis untuk Draco. Dan dia pernah melihat Harry mengulas senyum itu.

Dia ingat saat itu dia sedang di loker, Harry memiliki loker yang berhadapan dengannya. Saat itu Harry sedang memasukan bukunya kasar dan dia diganggu oleh Krum, ketua football yang merupakan teman Daniel. Harry mengulas senyum miring saat Victor Krum mengajaknya kencan.

"Disgusting. Larilah dengan hanya mengenakan celana dalam di lapangan setelah bertanding. Lalu kembali dan tanyakan hal yang sama." Harry menutup pintu lokernya kasar dan memandang dingin Krum. Lalu dia berlalu begitu saja dan Draco bisa mencium aroma Guess sesaat.

Setelahnya Draco tidak mau tahu apa yang terjadi. Dia tidak ingat senyum Harry selain senyum miring itu. Tidak sampai Harry tersenyum manis padanya. Makanya Draco yakin dia overdosis obat halusinogen. Harry Potter itu tidak pernah tersenyum!

Kalau kau mendapatinya tertawa, kau sama saja melihat Michael Jackson hidup lagi! Terlalu berlebihan mungkin, karena Draco melihat keajaiban itu dan Michael Jackson tetap mati.

Harry menopang dagunya dengan satu tangan dan memandangnya dengan sirat tertarik. "Interesting. Ceritakan tentang dirimu, Draco."

Apa coba yang menarik dari Draco? Pemuda pirang ini heran, apa Harry Potter terkena sihir atau kepalanya terbentur? Atau yang lebih mungkin lagi habis kecelakaan, hanya saja tidak ada yang tahu, dan dia jadi menganggap, Draco Malfoy yang membosankannya setengah mati itu menarik. Draco ingin menjedukkan kepalanya ke meja.

Draco diam sesaat. Dia benci sekali rasa penasaran. Tapi dia tidak mau kehilangan moment menyenangkan ini. "Tidak sebelum kau memberi alasan atas semua ini." Jika setelah ini Harry angkat kaki dan meninggalkannya.

Draco siap.

Siap merasakan kehancuran.

"Apa aku harus punya alasan atas kencan ini?" tanya Harry dan Draco yakin ada yang berkilat di keping Emeraldnya.

"Aku kaget ternyata ini kencan. Tapi kenapa kau mengencaniku!?" suaranya tidak sepelan yang dia harapkan. Kalau itu tidak mau dia anggap menuding dengan keheranan yang sangat. Draco jadi merasa dia tidak karuan dan mengacaukan semuanya. Harusnya dia tidak bertanya jadi dia tidak sekalut ini dan mengacaukan kencan mereka. God damn! Kencan! Bodoh kau Malfoy.

Suara tawa kecil Harry yang terdengar seperti dentang lonceng membuat Draco yakin jika Daniel akan muncul. Lalu menertawakan kebodohannya yang terjebak lelucon yang dibuat pemuda itu. Tapi itu tidak terjedi meski dia memandang sekeliling Caffe dan Harry bertanya siapa yang dia cari.

"Aku tertarik padamu sebetulnya," ujar Harry membuatnya kembali ke kenyataan. Dia kembali memandang serius pemuda manis di hadapannya dan berpikir. Tertarik untuk mengerjainya atau tertarik yang dalam arti lain. Dia bahkan menyatukan alisnya dan pemuda tercantik di sekolah itu tersenyum malu serta gugup.

Setelah beberapa menit yang awkward, Harry memutar bola matanya bosan dan kesal. "God! Kau memang lugu, ya?" desisnya dan berdiri.

Draco ingin mencegah pemuda itu pergi dan merasa panik. Tapi Harry masih berdiri diam di depannya dan memandangnya intens. Harry membungkuk padanya dan menarik kerah kemejanya. Draco yakin Harry ingin meninjunya karena kesal telah membuang-buang waktu dengan anak aneh sepertinya.

Tapi pikiran Draco kosong saat dia membelalak karena wajah Harry menempel dengan wajahnya. Dia bisa melihat bulu mata Harry yang lentik dan panjang menutup matanya. Bibir Harry bahkan menempeli bibirnya dan mengemut sedikit. Draco blank.

Harry Potter menciumnya?

MENCIUMNYA SAUDARA-SAUDARA!

Setelah Draco yang membeku seperti manekin, Harry menegakkan kembali tubuhnya dan pipinya terlihat merona. Namun ekspresinya tidak bisa Draco mengerti. "Aku yakin kau yang peringkat satu di angkatan, tahu apa maksudku jika aku bilang tertarik padamu dan melakukan hal ini." Kata Harry dan berlalu keluar dari Caffe itu setelah membayar ke kasir.

Draco masih terdiam saat mendengar suara pintu Caffe yang tertutup. Tidak… Dia tidak mau semua berakhir begini. Dia terburu-buru bangkit dengan derak keras dan tak peduli kakinya terantuk meja. Dia mengejar Harry yang melangkah santai menuju halte bis. Dia tahan lengan kecil pemuda manis itu untuk menghentikan jalannya.

Draco bersumpah dia melihat sudut pemuda manis itu berkedut seolah menahan sesuatu di ekspresinya. Dan Draco tidak mau menebak artinya. Dia segera memandang pupil pemuda yang menjadi pujaan hatinya itu.

"Aku tidak mengerti!" desak Draco setelah diam cukup lama. Dia tidak kuat menatap wajah cantik itu. Dadanya pasti bergemuruh membuatnya ingin lari dan bergelung dibalik selimutnya di Malfoy Manor.

"Apanya yang tidak kau mengerti?" Harry tidak menunjukan kejutekannya. Seolah itu Cuma mitos jika di hadapan Draco. Dia malah terlihat sabar menghadapi seorang Malfoy junior saat ini.

"Kau!" seru Draco kelewat keras. Wajahnya terlihat kalut dan semua pertahanannya menutupi perasaan lenyap. "Kenapa kau melakukan semua ini padaku?"

"Melakukan apa?" Harry mengangkat satu alisnya. Dia menikmati ekspresi yang ditunjukkan pemuda tampan di hadapannya. Jarang-jarang melihat Malfoy berekspresi. Biasanya hanya wajah dingin saja yang muncul.

"Mendekatiku…" desis Draco. "Kau kan tidak pernah melihatku. Kau harusnya kencan dengan cowok seperti Wood! Kenapa kau malah ada di sini dan menyia-nyiakan waktumu dengan pemuda sepertiku?"

Akhirnya keluar juga apa yang dirasakan Draco. Dia menghembus napas lega dan menunggu reaksi Harry dengan degup jantung yang kencang. Apa lagi pemuda itu malah menatapnya terlalu lekat. Detik berikutnya dia terhenyak saat Harry malah tertawa. Gembira sekali. Seolah dia tidak pernah tertawa. Meski Draco yakin itu benar.

"Kau tidak suka aku mendekatimu?" tanya Harry setelah tawanya mereda. Dia memandang Draco dengan mengulum senyum.

Draco mendesah berat dan memandang ke arah halte yang cukup ramai. "Aku menyukaimu. Cukup lama dan cukup untuk puas untuk merasakan perasaan itu. Kau tidak tahu aku begitu menantikan pelajaran Kimia hanya untuk memandangimu sangat dekat. Namun cukup juga sakitnya saat kau tidak mengetahui keberadaanku sama sekali."

Ekspresi Harry tidak berubah. Dia kini menggigit bibirnya untuk menanti kelanjutan cerita Draco. "Bagiku, ini bukan seperti Romeo atau Juliet. Tapi seperti penyair yang mencintai seorang putri. Aku tidak suka terlalu dramatis. Terbiasa dianggap tidak ada olehmu membuatku membuang jauh-jauh semua harapan. Tidak mungkin 'kan murid populer sepertimu menyukai aku yang jadi bulan-bulanan di sekolah."

Draco menahan kernyitan melihat Harry memandangnya dengan tatapan sulit dimengerti. Tapi karena pemuda cantik itu diam saja, maka dia lanjutkan ceritanya. "Aku sudah patah hati, terbiasa patah hati setiap melihatmu. Dan aku tidak mau menambah sakitnya. Yang kau lakukan, aku tidak tahu apa tujuanmu. Tapi jika kau teruskan dan kemudian kau menganggap semua ini hanya untuk mengusir kebosanan. Lalu kau akan kembali menganggap aku tidak ada."

Draco mengangkat tangannya untuk menyentuh sisi wajah Harry, namun dia kepalkan tangannya dan menurunkannya kembali. Mengurungkan niatnya. "Itu sama saja kau membunuhku. Bukan melukaiku lagi. Mungkin perasaanku tidak berarti apa-apa untuk orang sepertimu. Aku tahu kau tidak sadar sudah lama membuatku patah hati. Seperti pada semua pemuda cupu lainnya. Tapi kumohon hentikan jika kau hanya main-main denganku."

Dan senyum mengerikan itu muncul. Draco yakin itu seringai. Ada yang mengiris hatinya saat seringai itu berubah menjadi senyum senang. Dia merasa bodoh sudah mengungkapkan semua perasaannya pada orang seperti Harry. Mana dia mengerti perasaan seperti itu. Dia tidak mengenal cinta. Dia hanya tahu senang-senang. Maka dia berbalik ke arah Caffe untuk menuju mobilnya.

Hati kecilnya berbisik pada harap agar Harry mengejarnya. Hanya desisan kecil. Namun cukup besar kecewanya saat itu tidak terkabul. Kembali ada denyutan di hatinya yang terasa ngilu. Dan dia mempercepat langkahnya.

To Be Continued….

Author's Note :

Huwaaa! Maaf! Niatnya bikin oneshoot. Malah jadi panjang gak karuan begini. Apa kalian bisa menebak akhirnya. Ichie harap enggak. Daniel tega yah…/plak/ my honey Draco di jahatin /slapped/

Teheee, ichie emang sengaja bikin Draco dibully../ditimpa Draco/ Abis biasanya kan dia tukang bully. Rasakan! /gampar/ ichie harap cerita ichie gak ngebosenin ampe kalian gelinding nungguin. Ichie bakal apdet endingnya minggu depan. Harap dikasih saran atau komen. Ichie emang terlalu banyak bikin AU. Abis kalian tahu udah lama Ichie gak ubek-ubek soal HP. Tapi setelah ini kelar Ichie bakal kasih kalian Drarry yg multichap. Projek banyak amat. Doain juga Ichie bisa keterima di Univ yang Ichie mau.

Sebel juga liat doi udah uncang-uncang kaki gak mikirin univ karena udah keterima. Wuek! Tapi jangan pikirin dia. Udah dari pada ngoceh gak jelas. READ AND REVIEW PLEAAASSSEEEE! /pake puppy eyesnya Harry/gelinding/