NARUTO | Masashi Kisihimoto
Genree : Slice of Life, Romance
Main Pair: NaruGaa& Slight SasuNaru , -NejiSasu
WARNING!
Boy X Boy (Yaoi),Satu sudut pandang, perbandingan chara menurut inner Naruto yang ditulis Author, Cinta segi banyak, Flat, Smut, Lemon, Typo(s), Gaje, more Absurd etc.
**********
)()()()(
\\\\\\\^o^/
…..
.
…..
Sinar matahari menerobos celah awan hitam yang mulai memudar, mempersilahkan langit biru menjadi panorama utama di sepanjang hari ini. Pagi hari yang cerah dimulai setelah hujan deras berlangsung semalaman. Dedaunan meneteskan gumpalan air yang tertampung olehnya menuju tanah gembur yang lembab.
Aroma hujan yang pekat menguar antara bau air bercampur tanah terasa sangat segar dihidungku. Aku menarik nafas dalam-dalam kemudian perlahan menghembuskannya. Langkah kakiku menapak pada jalanan beraspal dan sesekali melompat menghindari genangan air, agar sepatuku tidak kotor tentunya. Sebelah tangan ku masukkan pada saku blazer yang merupakan setelan dari seragam sekolah. Namaku Uzumaki Naruto, salah satu pelajar di Konoha High School tahun pertama. Dan memang saat ini aku sedang berjalan menuju sekolah. Walaupun matahari yang muncul setelah tertutup awan ternyata sudah nampak tinggi, aku masih berjalan dengan santainya. Entah mengapa aku masih ingin menikmati perjalanan ini, menghirup dalam-dalam udara sejuk dengan bau khas hujan, dan memandang hamparan rumput di sepanjang sungai Konoha. Lagipula,'Terlambat sudah menjadi kebiasaanku, tehhe~!…'
Aku senang dan sebenarnya cukup bersyukur jalan alternatif menuju sekolahku melewati sepanjang sungai ini. Biasanya sepulang sekolah aku akan bersantai pada rumput di bawah sana, menatap pergerakan awan atau tenangnya air sungai yang membuatku marasa sangat damai.
Tapi sekarang aliran sungainya tidak tampak seperti biasanya. Mungkin karena hujan deras tadi malam membuat airnya meluap, sehingga arusnya nampak deras. Cukup berbahaya jika seseorang (yang kurang bisa berenang) terpeleset dan jatuh ke dalamnya. Tapi entah kenapa–
—mungkin aku salah lihat atau mataku benar-benar menangkap seseorang sedang berenang di sana….?
Hah?
Aku menajamkan pandanganku dan ternyata benar. Dari jarak 20-an meter di depan seseorang sedang berenang di dalam arus sungai yang sedang meluap!
"Apa yang sedang dia lakukan?" Heranku. Jangan-jangan apa yang baru saja kupikirkan sedang benar-benar terjadi. Itu artinya..."Ahh, gawat!"
Aku segera berlari menghampirinya, takut jika orang itu benar-benar terpeleset dan sekarang membutuhkan bantuan dari seseorang. Dan juga… tentu saja aku tidak akan melewatkan kesempatan menjadi seorang pahlawan, walau ini sudah cukup siang.
Aku hampir sampai padanya, tapi baru saja tasku akan kulepas anak dengan kepala berambut merah itu sudah menepi. Jadi kuputuskan untuk membantunya naik sambil memastikan keadaannya.
"Hei, kau baik-baik saja?" Tanyaku sambil mengulurkan tangan.
"Uhhuk..." Pemuda itu sedikit terbatuk dan tidak langsung meraih tanganku. Kulihat dia menarik sebuah kardus yang terapung bersamanya dan mengangkatnya ke atas tanah. Baru kemudian tangannya menggenggam tanganku dan aku segera menariknya ke atas.
Dia terduduk di atas tanah, terlihat sedang menetralkan nafasnya. Sebelum perlahan kepala merah itu mendongak untuk menatapku.
"Arigatou– Naruto!" Ucapnya kemudian.
Aku mengerjapkan mataku menyadari wajah itu sangatlah familiar. "Gaara!" Seruku kepadanya, yang ditanggapinya dengan senyuman tipis membenarkan.
"Kenapa kau berenang di sungai pagi-pagi begini?" Tanyaku. Aku kira siapa yang nekad masuk ke dalam air dingin sungai yang sedang meluap tadi. Tidak tahunya adalah sahabatku sendiri.
"Kemarilah!" Isyaratnya kepadaku. Dia menghampiri kotak kardus yang tadi dibawanya dan akupun mengikutinya. Lagipula aku juga penasaran. Apa isi di dalamnya sehingga Gaara nekad untuk mengangkutnya?
Terlihat Gaara mulai menjulurkan tangannya, nampak seperti sedang mengusap sesuatu. Dan aku sedikit terkejut melihat kepala kecil berbulu oranye menyembul dari balik telapak tangannya. Rupanya seekor anak kucinglah yang menghuni kardus itu.
"meong~!" Anak kucing itu mengeong dengan suara yang kecil dan nyaring. Menatap dengan mata bulat biru besar yang berkaca-kaca.
"Tenanglah! Kau sudah aman." Ucap Gaara kepada anak kucing itu.
"Meong…" Dan si anak kucing seperti sedang menjawabnya dengan merespon baik usapan tangan Gaara.
"Anak kucing? Bagaimana bisa?" Heranku, ikut berjongkok dan menyentuhnya.
"Sepertinya dia dibuang dan dimasukkan ke dalam kardus ini. Dan mungkin kardusnya tidak sengaja hanyut. – Tadi aku melihatnya sedang terapung di atas sungai."
"Lalu kau langsung terjun ke sungai, tidak peduli arusnya sedang deras untuk menyelamatkannya begitu?" Tebakku.
Terlihat bibir pemuda merah itu masih tersenyum tipis, mengelus sayang kucing itu sebelum menjawab "Aku tidak mungkin membiarkannya tenggelam begitu saja bukan?"
Sebelah alisku terangkat sebelum kemudian terkekeh heran. "Hehh... Aku baru tahu kau memiliki sisi lembut yang seperti ini Gaara." Kataku. Jujur saja... melihat pemuda merah yang selalu nampak pendiam dan agak dingin ini perhatian terhadap binatang, apalagi mengelus kucing itu sambil tersenyum seolah sedang mencurahkan kasih sayangnya membuatku merasa agak geli. Err... aku jarang melihat Gaara tersenyum, tapi kalau diperhatikan rasanya... manis juga.
"Kau saja yang kurang memperhatikanku." Balasnya tiba-tiba. Iris jadenya beralih menatapku, sebelum kemudian bibir yang basah karena air itu terbuka lagi. "Kau tidak pergi ke sekolah Naruto? Bukankah ini sudah terlambat!" Ucapnya mengingatkan.
"Lalu bagaimana denganmu? Apa kau ada baju ganti?" Kalau diingat-ingat aku belum pernah sama sekali melihat Gaara bolos dari sekolah. Tapi tidak mungkin dia mengikuti pelajaran dengan ujung rambut sampai ujung sepatu basah begitu bukan.
"Aku ada... tapi dirumah. Jadi kalaupun aku ingin tetap masuk aku harus pulang terlebih dahulu. Sekalian aku harus memberinya makan." Ujarnya seraya mengangkat kucing itu dari kardus, kemudian berdiri dari posisi jongkoknya.
Aku mengalihkan pandangan menatap matahari yang sudah agak meninggi. Kira-kira sekarang sudah pukul delapan.
"Gerbang sekolah pasti sudah ditutup." Gumam Gaara menambahkan.
Walaupun gerbang sekolah sudah ditutup aku bisa saja membawanya menyelinap masuk. "Jadi? Masih ingin pergi ke sekolah?" Tanyaku sambil mengangkat alis, membuatnya yang tidak memiliki alis mengernyit.
"Jika kau ingin tetap mengikuti pelajaran ketiga dan seterusnya aku bisa membawamu masuk." Tawarku padanya.
Tidak butuh waktu lama sampai kemudian dia mengerti. Aku menyengir lima jari sebelum kemudian berbalik, melangkahkan kaki untuk berangkat duluan.
"Temui aku di pagar sebelah barat! Aku akan menunggumu disana." Teriakku sambil melambaikan tangan setengah berlari. Dapat kulihat Gaara balas melambai ke arahku dengan sebelah tangan mendekap si anak kucing.
Aku tiba di kelas dengan selamat. Sambil menyenderkan tubuh pada senderan kursi aku menghela nafas. Untunglah...! Seperti dugaanku Kakasih-Sensei masih belum datang. Guru aneh yang selalu memakai masker itu memang selalu terlambat dan suka beralasan. Seperti 'membantu nenek-nenek di jalan atau tersesat di jalan yang dinamakan kehidupan' misalnya. Alasan keseringan yang bergiliran diucapkannya dan sudah membuat seluruh murid jengah mendengarnya. Walau begitu tetap saja... berbahaya jika aku ketahuan terlambat saat dia sudah ada di kelas.
Aku menengok ke samping, mendapati bangku kosong di sebelahku membuatku bertanya-tanya. Seharusnya anak itu sudah duduk di sana, mengingat teman sebelahku itu bukan murid yang hobi terlambat sepertiku. Lalu dimanakah dia?
Pandanganku mengedar ke arah lain. Seperti biasa jika guru belum ada seperti ini beberapa anak terlihat menggerombol untuk mengobrol. Aku berdiri untuk menghampiri Lee yang sedang bersemangatnya memperagakan pertandingan boxing yang ditontonnya tadi malam. Si alis tebal yang berpotongan seperti mangkuk itu memasang kuda-kuda sambil mengepalkan tinjunya. Kiba, Chouji dan Shikamaru yang sesekali menguaplah yang menjadi penonton sekaligus teman mengobrolnya. Sebelum aku bersuara sehingga mereka mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Hei teman-teman!" Sapaku.
"Hei Naruto! Kapan kau datang? Aku tidak melihatmu" Kata Kiba, menyambar leherku dan merangkulnya erat.
"Baru Saja–Oh ya, apa kalian melihat Sasuke?" Tanyaku kemudian. Kiba beralih memandang Chouji yang asyik memakan kripik kentangnya. Kelihatan jika Kiba tidak tahu dan ikut mencari jawaban pada yang lainnya. Kemudian berganti menatap Lee yang sejenak terlihat berpikir. "Tadi aku melihatnya sudah ada di kelas. Tapi kalau sekarang aku tidak tahu ada dimana." Terang Lee.
"Uemm..." Aku bergumam sambil menatap lantai. Sebenarnya kemana si pantat ayam itu? Entah kenapa atau hanya perasaanku saja, akhir-akhir ini aku jarang mengobrol dengannya. Yah... bukan mengobrol gimana-gimana sih. Hanya kalau bertemu... kami setiap hari bertemu, mengingat aku dan Sasuke selalu satu kelas dari SMP dan saat ini duduk bersebelahan. Intinya kami sudah cukup dekat satu sama lain.
"Tadi aku melihatnya di kelas sebelah" Ucapan Shikamaru memecahkan pikiranku. Aku mengangkat kepalaku seraya menyengir tiga jari. "Kalau begitu aku kesana sebentar." Kiba melepaskan rangkulannya agar aku segera pergi.
Tidak sampai beberapa menit aku melihat bayangan Sasuke dari balik kaca jendela kelas tetangga, yang sebenarnya adalah tempat kelas dua, bisa dibilang kelasku adalah perbatasan antara kelas satu dan dua. Segera aku masuk ke dalam kelas itu dan menghampiri Sasuke.
"Hei Sasuke! Sedang apa kau disini?" Sapaku, menangkap bahunya.
Sasuke manoleh ke arahku dengan mata onyx yang rasanya agak mendelik. "Kenapa kau kemari? Aku sedang mengobrol dengan Neji-Senpai." Aku akui... dia memang memiliki tatapan yang tajam.
Dan memang benar, Hyuuga Neji yang merupakan murid kelas ini sedang berseberangan tempat duduk dengan Sasuke. Aku tersenyum untuk menyapanya juga dan berniat untuk menanyakan apa yang sedang mereka bicarakan.
"Jadi kalian sedang mengobrol soal apa?" Tanyaku ikut menimbrung sambil duduk di atas meja sebelah mereka.
"Bukan hal yang penting." Pemuda yang dikenal dingin itu hanya menjawabnya singkat.
"Ohh ayolah...! jangan bilang kalian hanya sedang bergosip seperti yang dilakukan cewek-cewek." Pancingku.
Kulihat Sasuke sedikit menghela nafas.
"Kami hanya sedang membicarakan rapat OSIS yang akan diadakan nanti siang." Kata Neji.
"Begitukah? Ahhh... jadi nanti aku harus menunggumu saat pulang sekolah?" Ujarku. Mengerti bahwa Sasuke adalah wakil ketua dari OSIS sekolah ini, Sedangkan yang menjadi ketua adalah Neji.
"Untuk apa kau menungguku?" Sasuke menatapku dengan sedikit kernyitan pada alisnya, seolah menatapku selidik.
"Oh ayolah...! Kita kan sudah biasa untuk pulang bersama, Sasuke."
"Dobe! Kau tidak perlu menungguku setiap hari hanya untuk pulang bersama. Lagipula rumah kita berbeda kompleks."
"Hanya berbeda beberapa blok." Kataku yang ditanggapi decakan oleh Sasuke. Aku hanya memiringkan kepalaku kurang mengerti. 'Apakah Sasuke sedang marah padaku?'
"Bisakah kau berhenti untuk selalu mengikutiku?" Pertanyaannya membuatku mengerjabkan mata.
"Eh? Maksudmu?"
"Cck!— Hahh... yasudahlah, ayo kita kembali ke kelas!" Sasuke berdiri dan langsung menarik tanganku. "Neji-Senpai, aku permisi dulu." Pamitnya kepada sang ketua OSIS tersebut.
"Sampai bertemu di ruang rapat!" Balas Neji.
"Hai, sampai bertemu!" Ujar Sasuke sambil tersenyum.
Hmm, aneh sekali... dari dulu aku tahu Sasuke itu memiliki sifat dingin dan tidak beramah tamah terhadap orang lain. Tapi sikapnya kali ini terlihat beda, mungkin Sasuke menghormati Neji sebagai ketua OSIS sekolah ini. Atau ada yang lain ya...
"Ehh, tunggu!-" Belum selesai aku berpikir, Sasuke sudah menggeretku ke luar kelas. Melangkah dengan jangka yang lebar dan cepat, membuatku sedikit terseret. Walau bergitu genggaman tangannya yang erat terasa hangat, membuatku tersenyum.
...
Jam pelajaran kedua hampir selesai, tanpa ada Kakashi-sensei yang ternyata tidak jadi masuk hari ini karena urusan mendadak. Aku melirik angka di hp-ku yang sedang menunjukkan pukul setengah sembilan kurang. Kemudian beralih menatap tembok tinggi yang merupakan pagar samping gedung sekolah. Tembok ini mencapai tiga meter, sedangkan pagar depan tepat di sebelah gerbang memang lebih rendah, tapi security sekolah tidak pernah lepas dari penjagaannya. Hanya ada satu gerbang untuk masuk dan keluar dari sekolah, tapi aku berhasil menemukan jalan lain untuk dapat masuk keluar seenaknya dari penjara yang disebut sekolah tersebut. Dan disinilah aku, melangkah santai pada jalanan batu tepat di samping gedung sekolah, yang tepatnya adalah sebuah gang yang memisahkan bangunan sekolah dengan bangunan lain di sebelahnya, plus jalan alternatif yang dapat digunakan untuk tembus ke arah bangunan di belakang sekolah.
Baru saja Gaara mengirim pesan kepadaku untuk menjemputnya, jika tidak diingatkan mungkin aku akan melupakan janji tadi pagi hingga bel istirahat tiba. Heheh... aku akui, aku ini cukup pelupa.
Aku berlari kecil ketika menemukan pemuda merah itu sudah menungguku di sana.
"Oiiy! Gaara..." Seruku memanggilnya. Melihatku melambai ke arahnya, diapun ikut berlari menghampiriku.
"Maaf terlambat." Ujarku sambil menyengir tiga jari.
"Tak apa... lalu bagaimana kita bisa masuk ke dalam sekolah?" Tanyanya langsung. Mata hijau pucatnya mendongak menatap tembok yang lumayan tinggi kemudian menatapku heran.
"Tenang saja! Kita tidak akan memanjat... karena aku sendiri tidak yakin, bisa memanjat pagar mulus yang tingginya kurang dari dua kali tinggi tubuhku ini." Sedikit berbasa-basi, seperti kebiasaanku yang kata orang-orang aku suka mengobrol hal yang tidak penting. Dan dapat kutangkap wajah yang tidak memiliki alis itu mengernyit menuntut penjelasan.
"Ayo ikuti aku!" Ajakku seketika berbalik, dan sedikit berlari agar Gaara mengikuti di belakangku.
Jalan gang ini cukup lebar, sehingga pihak dari sekolah dapat memutuskan untuk menanam pohon dan beberapa bunga di bawah gedungnya. Aku melompat melewati semak yang menutupi sisi dinding bawah dengan jalanan. Melihat Gaara yang belum juga ikut melompat ke belakang semak, aku mengisyaratkannya agar bergerak cepat.
"Sebenarnya kita mau kemana?"
"Ssst! Lihat ini!" Aku bergeser dan menyuruh Gaara melihat apa yang ingin kutunjukan. Kemudian kujulurkan tangan meraih sisi tembok yang terlihat berlubang, untuk menggeser papan kayu yang menutupinya dari dalam.
"Ba-bagaimana bisa ada lubang disini?" Aku menyengir penuh arti melihat ekspresi keheranan di wajah Gaara, setelah menunjukan lubang yang cukup besar di bangunan sekolah yang terlihat kokoh dari luar.
"Hehehh.. sudahlah, yang penting kita masuk dulu." Ajakku. Memasukkan kaki kananku terlebih dahulu melalui lubang, kemudian menunduk untuk masuk ke dalam sepenuhnya.
Aku mengintip keluar, mengisyaratkan Gaara untuk melakukan hal yang sama, melewati lubang yang mungkin berukuran lebih dari satu meter persegi itu.
Gaara pun memasukkan kepala dan badannya terlebih dahulu, "Ini, agak susah." Ucapnya yang segera kubantu, karena posisi lubang setinggi lutut dari lantai, dia memegang pundakku agar keseimbangannya terjaga saat membawa kakinya masuk. Namun saat hampir selesai tiba-tiba tubuh Gaara terhuyung ke depan, aku terkejut ketika tubuhku ikut terdorong ke belakang.
"BRUGH"
Rupanya sepatu Gaara sedikit tersangkut tadi. Kami terjatuh di lantai dengan Gaara di atas tubuhku.
Sedikit mengernyit dan aku mendorong kedua bahunya untuk segera bangkit. Wajah Gaara yang hanya berjarak lima senti menatapku, kami saling bertatapan untuk sejenak. Mata hijaunya yang memantulkan bayangan wajahku terlihat lebih bening pada jarak sedekat ini. Menyadari posisi kami yang belum berubah aku mengerjapkan mata membuatnya ikut tersadar. Aku bergerak untuk duduk, Gaara juga segera menjauh dariku dan duduk dengan wajah menghadap arah lain.
"Kau tak apa?" Tanyaku memastikan.
"Hem," Jawab pemuda merah itu seraya berdiri dari posisinya, tangannya menepuk-nepuk celananya yang kotor terkena debu lantai. "Terimakasih." Katanya kemudian.
"Aku harus menutup lubangnya sebelum ketahuan oleh orang lain." Lubang yang cukup besar itu memang mencolok. Untung saja dari luar tertutupi semak yang lumayan lebat, dan dalam ruangan ini aku tinggal menutupinya dengan papan kayu.
"Tempat ini gudang bukan?" Aku melirik Gaara yang terlihat mengamati keseluruhan ruangan yang redup. Banyak terdapat kardus dan bangku rusak yang tertutupi debu. Jadi dapat disimpulkan tempat ini memang adalah gudang.
"Gudang ini terletak di lorong paling pojok tikungan sebelah deretan ruang klub. Jadi kita berada di belakang gedung utama, bangunan yang paling tua di sekolah ini." Jelasku, sambil mulai menarik papan yang kugunakan untuk menutupi lubang. Untung saja lubangnya berada di pojokan ruangan, karena gudang ini sudah tidak terpakai jadi belum ada yang menyadarinya hingga saat ini.
"Lalu... kenapa dinding itu bisa berlubang?" Tanyanya lagi yang kini tepat berdiri di sebelahku.
"Err... kau tahu bukan kalau gedung ini sudah tua dan belum direnovasi, dinding yang terbuat dari kayu ini sudah rapuh. Jadi wajar saja jika ada yang tidak sengaja melubanginya." Kataku.
"Apa? kau bilang seseorang yang melubangi dinding ini?" Aku menoleh kearahnya, melihat wajahnya yang terlihat menuntut jawaban itu membuatku merasa gugup. Sepertinya aku mengatakan hal yang salah.
"Hahahh... kubilang dia tidak sengaja." Tawaku garing sambil menggaruk kepala belakang.
"Jadi kau... yang melubanginya?" Tebaknya kemudian dengan mata yang menyipit menyelidik.
"Ke-kenapa kau bisa tahu?" Jeritku sedikit terkejut.
"Karena belum ada yang mengetahui keberadaan lubang ini selain dirimu bukan. Kau sendiri yang bilang Naruto..." Jawabnya dengan muka datar.
"Ehehehhh..." Aku mengusap kepala belakang dengan tawa garing lagi. "Habisnya... waktu itu aku kesal dengan Kakashi-Sensei-"
"Hm?"
"Satu bulan yang lalu Kakashi-sensei menghukumku untuk membersihkan gudang ini, padahal sudah jelas sekolahan ini sudah tidak memakainya lagi. Jadi waktu aku kesal... aku tidak sengaja menendang dindingnya." Ucapku menjelaskannya kepada teman baikku yang satu ini, tentu aku mengharapkannya agar dia mengerti, tapi Gaara hanya menatapku dengan wajah datar seperti biasanya.
"Please!" Selanjutnya aku menangkupkan tangan di depan wajahnya "Jangan laporkan hal ini kepada Kakashi-sensei atau orang lainnya. Kerena aku masih sangat membutuhkan lubang ini...!" Mohonku kepadanya.
"Agar kau bisa tetap aman terlambat sekolah begitu. Hahh..." Pemuda merah itu menghela nafas. "Baiklah, karena tadi aku juga ikut menggunakannya aku tidak akan melaporkannya."
Perkataannya membuatku tersenyum.
"Tapi dengan lubang sebesar ini, cepat atau lambat mereka pasti akan menemukannya." Tambahnya. Membuatku ikut berpikir.
"Humm yeah... bisa-bisa setelah itu mereka akan merenovasi gedung ini dengan tembok beton."
"Bukannya itu bagus?! Sekolahan kita akan menjadi lebih kokoh bukan." Gaara berjalan di depanku untuk menuju pintu gudang.
"Tapi-tapi, aku tidak akan bisa membuat lubang sebagai jalan pintas lagi kalau begitu." Protesku, melangkah lebih cepat mendahuluinya.
"Dasar kau ini! Kau harus membiasakan diri untuk bangun lebih pagi." Nasehatnya. Aku membukakan pintu gudangnya dan segera kami keluar dari ruangan pengap itu.
"Tidak bisa Gaara... aku tinggal sendirian, jadi tidak ada yang membangunkanku. Kau tahu bukan, jam weker tidak akan berpengaruh terhadap Uzumaki Naruto." Ucapku sambil menepuk kepalan tangan kanan pada telapak tangan kiri.
Kepala merah itu menoleh ke arahku. "Jadi... apa kau mau aku membantumu, untuk membangunkanmu agar tidak terlambat lagi?" Ucapnya tiba-tiba.
"Ehh?" aku memiringkan kepalaku, tidak dapat menyimpulkan jika itu tadi adalah sebuah tawaran.
"Ini untuk kebaikanmu jika ingin bantuan dari seseorang." Ucapnya lagi.
"Hah? Kau serius? Tapi Gaara, aku tidak enak jika harus merepotkanmu." Kataku. Jujur saja sebenarnya ucapannya tidak terbayang diotakku. Yeah... aku tidak dapat menyimpulkan bagaimana cara membantuku bangun yang dia maksud.
"Hmm, itu terserah padamu Naruto. Kita harus cepat, mungkin Kurenai-sensei sudah ada di kelasku sekarang." Ajaknya untuk menambah kecepatan berjalan.
"Yossha!" Dan aku pun mengikutinya dengan semangat masa mudaku yang seperti biasa. Tunggu! aku tidak sedang meniru Lee, yang selalu melakukan apapun dengan embel-embel semangat masa muda. Ohh, lupakanlah!
...
lol
...
Gumpalan awan putih dengan bias warna kuning berarak di langit yang tidak lagi berwarna biru. Angin sore berhembus menerpa rerumputan dan rambutku kala aku berbaring di tepi sungai Konoha.
Hari biasa kembali selesai kujalani hari ini. Sambil bersantai sebenarnya aku juga sedang menunggu seseorang. Karena terlalu lama harus menunggu di sekolah, jadi aku putuskan untuk menunggu disini saja sambil berbaring. Tapi bukannya kalau terlalu fokus menatap awan seperti ini, orang itu akan terlewat begitu saja tanpa kuketahui?
"Ahh- gawat!'
Aku segera terduduk dengan tergesa membuat beberapa potongan rumput ikut terbang di sekitarku. Kepalaku menoleh ke belakang, tepat ke arah jalanan di atas untuk memeriksa adakah orang yang lewat. Dan dengan mata berbinar, dadaku terasa lega melihat dia tepat berada di belakangku. Hampir saja terlewat begitu saja... jika aku tidak segera tersadar.
Menempatkan posisi, aku merangkak perlahan di atas posisi tanah yang miring dari jalan yang agak tinggi. Berniat mengendap-endap mendekatinya, lalu aku akan mengejutkannya setelah itu. 'Hehehh... sepertinya dia tidak menyadari kehadiranku' Pemuda raven itu berjalan tepat di atasku, sedangkah aku merayap mendekatinya kemudian bersiap untuk melompat di depannya. TAP!
"YOO SASUKE!" Sapaku dengan suara tinggi, berdiri menghadangnya sambil mengangkat sebelah tangan.
Pemuda raven itu sempat mundur selangkah karena terkejut, mengerjapkan mata seolah baru sadar yang ada di depannya adalah aku."Na- cck! Apa yang kau lakukan?" Tanya pemuda stoick itu, tatapan onyksnya kembali menajam ketika dia berdecak. Sayang sekali... karena sifat uchiha yang selalu dijaganya untuk tidak memperlihatkan emosi yang berlebih, aku tidak mendapatkan ekspresi kaget Sasuke yang ku inginkan.
"Hahahh... tentu saja menunggumu. Apa rapatnya sudah selesai?"
"Dobe! Apa kau ini tuli? Tadi kan aku sudah bilang untuk tidak menungguku!" Ujar Sasuke, terdengar dengan memakai nada kesal.
"Tapi aku sudah berjanji akan menunggumu bukan. Sudahlah... ayo kita pulang!" Ajakku. Baru saja aku ingin meraih tangannya tapi Sasuke menghindarinya.
"Yasudahlah... aku juga sudah cukup lelah hari ini." Terlihat Sasuke menghela nafas lalu mulai berjalan kembali. Aku pun menyamakan langkahku di sampingnya.
Berjalan beriringan dengan santai, sambil menautkan tangan di belakang kepala mateku melirik ke arah Sasuke. Kuperhatikan rambutnya yang mencuat ke belakang melawan gravitasi itu sedikit bergoyang sesuai langkahnya. Dia sedikit lebih tinggi dariku, dan aku akui kenapa semua cewek bisa langsung menyukainya saat melihat parasnya. Hidung yang mancung, mata yang tajam, dan mmm... bibir yang sensual. Benar-benar ukiran wajah yang sempurna. Tapi sayang sekali... tidak hanya di kenal dingin tapi dia itu juga sombong, aku sendiri juga tidak menyukai sifatnya yang satu itu. Itu mengingatkanku saat pertama kali bertemu di kelas yang sama, sewaktu SMP dulu. Karena digilai banyak wanita aku akui itu membuatku iri, ditambah lagi sifat sok pintarnya, membuatku tanpa sadar selalu mencari masalah dengannya. "Hehehh..." Aku sedikit terkekeh mengingat masa lalu itu. Sedangkan sekarang keadaannya sudah berbeda, walau beberapa hal masih sama. Well, kita sudah menjadi cukup dekat sekarang.
"Kenapa kau tertawa?" Tanya Sasuke dengan kernyitan heran di alisnya.
"Hahahh-tidak. Aku hanya teringat masa lalu." Jawabku.
"Hmm," Dan ditanggapi gumaman olehnya.
"Nee...Sasuke! ngomong-ngomong kapan kau akan ke rumahku lagi?"
"Untuk apa aku kerumahmu." Aku terus menatapnya, tapi Sasuke terus memandang ke depan.
"Sekedar ngobrol atau bermain PS mungkin... ayolah! sudah lama kita tidak main bersama." Ujarku. Itu memang benar. Padahal dulu hampir setiap hari aku mengajaknya main ke rumah atau aku yang bermain ke rumahnya. Tapi akhir-akhir ini Sasuke terlihat sibuk, bahkan di sekolah sulit sekali untuk menemuinya.
"Aku sibuk. Aku tidak bisa menggunakan waktu luangku hanya untuk bermain bersamamu." Jawabannya membuatku agak merasa kesal. Apakah tugas OSIS benar-benar sesibuk itu? Haeah... seharusnya Sasuke tidak usah saja untuk bergabung dalam organisasi merepotkan itu.
"Kenapa? "
"Apanya?"
"Maksudku... lalu bagaimana denganku?"
Sasuke menoleh sejenak ke arahku dan kembali menatap ke depan. "Kenapa menanyakan dirimu kepadaku? Bukankah sudah cukup setiap hari kau menemuiku."
"Bertemu sih bertemu... tapi akhir-akhir ini kau seperti menghindariku. Kau tahu ... itu membuatku kesepian." Gerutuku. Jujur saja, itu tidak seperti Sasuke yang dulu saat hubungan persahabatan kita menjadi lebih daripada itu.
"Jadi kau kecewa karena tidak lagi bisa menempel terus padaku?" Bibir Sasuke menyeringai dengan mata yang menyipit.
"Humb," memiringkan bibir, aku mengerti jika itu bukanlah nada menggoda, tapi lebih sesuatu pada pertanyaan yang tidak disukai.
Tiba-tiba Sasuke menghentikan langkahnya, aku pun berbalik. Menatap mata onyxnya yang memandang serius ke arahku.
"Sebenarnya apa yang membuatmu begitu lengket kepadaku? Bahkan sampai membuatku susah sekali untuk melepaskanmu dariku."
Aku mengerjap beberapa kali mendengar pertanyaan seperti itu tiba-tiba terlontar dari mulutnya.
"Apa maksudmu Sasuke? Bukankah kita memang dekat—"
"Yang kumaksud—kenapa kau itu harus seperti itu? Tidak bisakah kau untuk tidak mencariku setiap waktu? Aku punya hidupku sendiri. Dan kau tidak bisa selalu menempel padaku." Ucapnya penuh ketegasan.
Itu membuat perasaanku mulai tidak enak. Yeah... aku mengerti jika dia tidak suka aku selalu mengganggunya, tapi "Aku kira hubungan kita sudah lebih dari sahabat."
Sasuke memutar matanya menghadap arah lain. Dia menghela nafas setelah sedikit berdecak. "Kenapa susah sekali untuk membuatmu mengerti? Yeah... kau memang sahabatku, tapi tidak lebih dari itu. Aku hanya berharap agar kau bersikap kepadaku seperti yang lainnya, kita berteman biasa, tanpa kau harus mengikutiku lagi... kau tahu Naruto, aku butuh waktuku untuk sendiri." Ujarnya terlihat begitu ingin membuatku mengerti, agar aku tidak lagi mengikutinya.
"Tapi-"
"Cukup! Aku hanya memohon kepadamu agar kau tidak lagi mengikutiku." Sasuke memotong perkataanku, dia bahkan mengucapkan kata 'memohon'. Terlihat jika kali ini dia tidak ingin ada kesempatan bagiku untuk membantahnya, atau aku mengabaikan ketidak nyamanannya lagi.
"Apa kau lupa kita sudah sering melakukan itu?" Aku menatapnya intens, dengan dadaku yang terasa berdenyut tidak tenang.
Ekspresi kerasnya sedikit meluntur setelah aku mengatakan hal itu.
"Itu memang benar." Ucapnya. Lalu kenapa? Kenapa bisa-bisanya dia menyuruhku menjauhinya padahal kita sudah melakukan 'itu' yang membuatku mengira kita sudah memiliki satu sama lain. "Tapi dari awal status kita sudah jelas, jika saat itu kita hanya menjadi partner. Tidak perlu dibahas lagi bukan... tidak mungkin kita berdua memiliki perasaan khusus yang membuat hubungan kita menjadi seperti sepasang kekasih."
"Jadi intinya kau ingin memutuskan hubungan kita agar aku menjauh darimu?" Tanyaku memperjelas semua perkataannya yang telah kutangkap. Memikirkannya membuatku meneguk ludah dengan rasa sakit di tenggorokan.
"Tidak ada hubungan yang dapat diputuskan. Kau masih sahabatku, aku hanya ingin kita berteman seperti biasa."
Sasuke kembali berjalan, dia melewatiku dan aku berbalik untuk melihatnya tanpa ingin segera menyusulnya. Beberapa meter kemudian Sasuke sudah berbelok dan menghilang dari pandanganku. Aku tersadar, rupanya kita sudah berada di gang perumahan dimana kita biasa berpisah.
.
.
.
Hari berikutnya, sangat sulit untukku menyapa Sasuke seperti biasa. Kuperhatikan Sasuke yang berdiri dari bangkunya dan langsung menuju keluar kelas.
"Hahh..." Aku hanya menghela nafas.
"Ada apa Naruto? Kau tidak seperti biasanya?" Tanya Lee yang menghampiriku kemudian duduk di bangku di depanku.
"Kau tidak mengejarnya? Biasanya jam istirahat begini kau akan mengikutinya walau harus nongkrong di ruang OSIS." Kiba juga menanyakan hal yang sama sambil bersandar di bangku milik Sasuke.
"Entahlah...! aku tidak mengerti." Desahku sambil memegangi kepala dengan siku menumpu di meja.
"Apa kalian bertengkar?" Tanya Lee.
"Jangan-jangan kalian put-tus?"
Aku menoleh ke arah Kiba yang terakhir bertanya barusan. Kemudian mendengus lelah sebelum meletakkan wajah di atas meja.
"Jadi itu benar?" Sedangkan Kiba malah jadi penasaran.
Aku menoleh masih dengan kepala di atas meja.
"Tidak ada yang namanya putus. Sejak awal kita tidak memiliki hubungan apapun selain sahabat." Ucapku memberi tahu.
"Lalu kenapa kau depresi seperti itu setelah mendengar kalimat putus?"
"Ini memang tidak seperti itu... tapi entah kenapa rasanya seperti itu?"
Kiba hanya berkedip mendengar kalimatku sambil memiringkan kepala seolah berpikir.
"Apa yang dikatakannya?" Bisik Lee dengan isyarat dagu kepada Kiba.
"Ahh... aku mengerti." Tiba-tiba si penyuka anjing itu berkata mengerti dengan nada kalem. Seperti sudah maklum dengan apa yang sudah ditangkapnya. Dan itu membuatku mengerang frustasi.
"Kami masih sahabat, hanya saja Sasuke memintaku untuk tidak terus mengikutinya. Kalian tahu... itu membuatku tidak mengerti apa yang harus kulakukan. Rasanya itu seperti diikat dengan rantai-rantai besi." Curhatku.
"Hahahh... wajar saja. Kau sudah menempel padanya sejak SMP." Tawa Kiba. Membuatku memanyunkan bibir dengan mata memelas, seperti anjing yang baru saja kehilangan tuannya.
"Jika aku menjadi Sasuke aku juga akan melakukan hal yang sama." Suara seseorang yang tiba-tiba ikut dalam pembicaraan kami. Aku menoleh dan melihat rusa dengan pupil kecil itu berdiri dibelakangku.
"Apa maksudmu?" Gerutuku masih dengan bibir kecut.
"Maaf... hanya saja mana bisa aku tahan jika ada seseorang yang menempeliku ibarat prangko, sampai-sampai pergi ke toilet saja aku tidak bisa sendirian." Ujar Shikamaru si jenius tukang tidur tersebut.
"Hahahhh... aku juga bisa membayangkan." Tawa Kiba.
"Lebih baik memiliki anjing penurut yang bisa diikat, apalagi jika sudah kau latih untuk patuh. Jadi walaupun dia selalu ingin mengikutiku aku bisa mengendalikannya sesukaku." Tambah Shikamaru.
Tiba-tiba Kiba bangkit dari posisinya bersandar dan langsung mendelik kepada Shikamaru. "Hei! Apa maksudmu?" Ucapnya dengan nada kesal.
Shikamaru sedikit terkekeh, kemudian tangannya bergerak menepuk-nepuk kepala Kiba. "Maksudku, aku hanya senang memiliki anjing yang manis." Ujarnya.
Dan berikutnya aku melihat daun telinga Kiba berwarna merah.
"Auch! Kenapa kau mengigitku?" Ringis Shikamaru karena Kiba menggigitnya.
"Jangan mengatakan hal yang aneh-aneh, dasar rusa pemalas!" Kata Kiba dengan nada tingginya kepada Shikamaru.
"Sepertinya anjingku belum cukup terlatih. Dia masih suka menggigit." Gumam Shikamaru lirih, membuat Kiba tambah kesal.
Aku hanya memperhatikan mereka heran. Baru sadar kalau mereka sedekat ini.
"Sebenarnya aku kurang mengerti." Aku beralih menoleh kepada Lee. "Tapi jika kalian bersahabat itu artinya hubungan kalian baik-baik saja." Ujarnya, yang tepatnya untukku.
Yang dikatakan Lee benar. Hubunganku dengan Sasuke masih sama, hanya saja mungkin saat ini Sasuke tidak mau aku mengganggunya.
"Naruto!" Seseorang yang memanggil namaku mengintrupsi.
Aku melihat Gaara yang sebenarnya kita berbeda kelas datang menghampiri.
"Aku tidak bilang, tapi sepertinya kau mendapat masalah." Aku masih menatapnya tanpa berkedip. "Kepala sekolah memanggilmu untuk datang ke ruangannya." Dan setelah dia menyampaikan hal itu barulah aku berkedip beberapa kali.
"Eh?"
.
"
Aku menutup pelan pintu ruangan kepala sekolah, kemudian melangkah kembali ke kelas dengan lunglai.
"Hahh.. rasanya menguras tenaga sekali harus mendengarkan ceramah si nenek Tsunade." Gerutuku. Seperti yang dapat ditebak, aku dipanggil ke ruang kepala sekolah untuk diintrograsi dan akhirnya mendapat peringatan keras. Itu karena mereka sudah mengetahui lubang yang kuciptakan di gedung belakang. Padahal kukira dapat bertahan tidak ketahuan lebih lama. Tapi akhirnya si kepala sekolah yang kupanggil nenek dengan penampilan muda itu menemukannya lalu menceramahiku panjang lebar. Dikarenakan aku tidak memiliki orang tua, jadi hanya itu yang bisa dilakukannya. Meskipun aku memiliki seorang wali, tapi Jiraiya-jichan yang merupakan teman seangkatan Tsunade-baachan selalu berpergian keluar kota.
"Apa kau dimarahi?" Suara familiar seseorang membuatku mendongak. Seketika padanganku bertemu dengan pemuda merah yang seolah sengaja menungguku dengan bersandar di dinding.
"Yeah... menurutmu?" Sedikit pikiranku berkata 'mungkin saja Gaara yang telah melaporkan hal itu kepada kepala sekolah'. Tapi Gaara sudah berjanji.
"Kakashi-sensei menemukannya ketika mencari sesuatu di gudang. Aku tidak tahu pasti... tapi sepertinya dia langsung mencurigaimu." Ujar Gaara kepadaku.
"Ohh... jadi begitu." Rupanya Kakashi-sensei yang menemukannya, tapi "Apa yang Kakashi-sensei cari di dalam gudang tua itu?" Tanyaku heran.
"Aku dengar dia mencari dokumen lama yang mungkin tertinggal disana." Jawab Gaara. Akupun mengangguk.
"Yasudahlah... sepertinya memang tidak rezekiku untuk tetap aman terlambat ke sokolah." Aku mendesah pasrah. Lalu kembali berjalan ke kelas dengan Gaara di sampingku.
"Sudah kubilang untuk membiasakan bangun pagi."
"Humm.." Gumamku sambil memanyunkan bibir.
.
0o0
.
Hari minggu, merupakan hari tenang tanpa harus repot bangun pagi untuk pergi ke sekolah. Aku melirik jam yang menujukkan pukul sepuluh. Sudah menjelang siang, aku pun membuka lemari dan bergegas memakai pakaian, well- barusaja aku selesai mandi. Memakai kaos biasa dan celana oranye selutut.
"Apa yang harus kulakukan hari ini ya?" Gumamku. Karena tidak mungkin untuk tetap bertahan di rumah yang sepi seperti ini. Sudah terlalu membosankan untuk menghabiskan hari libur dengan bermalas-malasan. Terutama karena tidak ada teman yang dapat diajak bicara. Itu membuatku kesepian jika berada di rumah.
Melirik ke arah meja, aku meraih sebuah bingkai foto yang terdapat gambar Sasuke dan diriku di dalam sana. "Hah, wajah stoic ini memang tidak pernah berubah." Ujarku sambil menyentil cetakan wajah Sasuke pada kaca foto, hingga berbunyi -tak-tak- kecil. Padahal hari seperti ini biasanya aku akan berkunjung dan menghabiskan waktu di rumah Sasuke. Mengganggunya hingga tidak dapat membaca buku-buku miliknya dengan tenang. Tapi setelah dia mengatakan hal itu kemarin, apa itu artinya aku tidak dapat bermain ke rumahnya lagi? "AAARGH!" itu membuatku frustasi. Sekarang aku benar-benar ingin menemuinya.
Aku kembali membuka lemari dan mengeluarkan gantungan jaket dari dalam sana. Sebuah jacket kuning dengan penutup kepala, yang terlihat janggal dari benda ini adalah... sebuah mata dan telinga sebagai hiasan penutup kepalanya. Bisa dibayangkan jika jaket ini sengaja dibuat menyerupai model Pikacchu dari anime Pokemon. Aku mebolak-balikkan jaket lama itu dan memiringkan kepala sambil berpikir. Jaket ini kumiliki saat kelas dua SMP, lebih tepatnya diberikan oleh Sasuke yang membuangnya kepadaku. Jadi ingat waktu itu, kita pergi jalan-jalan ke mall berdua. Saat membeli jam tangan Sasuke memenangkan hadiah bonus jaket ini yang langsung disodorkannya kapadaku. Dia bilang jika jaket ini hanya cocok digunakan oleh perempuan, jadi dia tidak memerlukannya dan terserah kepadaku mau ku apakan. Yang kemudian dia berkata 'bukankah kau menyukai warna kuning, mungkin kau akan terlihat manis jika memakainya' sambil menyeringai mengejek. Dasar! menurutku dia itu hanya tidak pandai mengungkapkan perasaan. Apa karena sikap arogannya ya? Tapi walau bagaimanapun cara dia memberikannya aku tetap senang untuk menyimpannya. Bisa dibilang ini adalah hadiah pertama yang diberikan pemuda sok dingin itu.
Jacket ini memang kekanak-kanakan. Tapi aku tidak keberatan untuk memakai apapun. Toh sebenarnya aku tak acuh pada penampilanku, termasuk tidak peduli pada penilaian orang lain.
Membuka resletingnya, akupun mulai memasukkan tanganku pada lengan jaket itu. "Urgh... sudah lama aku tidak mencobanya, jaket ini jadi kesempitan". Entah jaketnya yang mengecil atau tubuhku yang semakin tumbuh besar, hahahh... lengannya bahkan hanya menutupi tiga per empat lenganku. Aku menarik paksa penutup kepalanya, dan untungnya bagian lehernya cukup panjang, jadi masih dapat dipasang walau ini sedikit ketat.
Kuputar badanku menyamping kiri dan kanan di depan cermin. "Hmm... aneh sekali." Aku bergumam karena jaket ini kekecilan rasanya jadi bertambah aneh. "Tapi kalau seperti ini lucu juga." Ujarku mendekatkan wajah pada cermin sambil memiringkan kepala, aku bangga menyadari rupa tampanku ternyata cukup manis.
"Mungkin begini aku bisa membangkitkan libido Sasuke." Komentar yang langsung saja terlintas di otakku seperti baru saja memberikanku sebuah ide. "Ahh... itu benar. Cck, harusnya Sasuke tidak akan berpaling jika aku bersikap manis layaknya Uke yang sesungguhnya." Setuju dengan pemikiran itu, aku mengangguk-angguk sambil memegangi dagu mematangkan niat. "Baiklah..." Menepuk kepalan tangan kanan pada telapak kiri, "sudah aku putuskan, aku akan pergi menggodanya dengan sisi imut tersembunyi yang kumiliki... dan akan kuperjelas, jika aku adalah satu-satunya partner yang paling manis untuknya, hingga Sasuke tidak lagi memintaku menjaga jarak dengannya!" Kataku mengedipkan mata sambil berpose centil ala figuran anime, membentuk huruf 'V' dengan telunjuk dan jempol di dagu penuh percaya diri menghadap cermin.
.
.
.
Aku mengetuk pintu beberapa kali tapi masih tidak ada suara dari dalam rumah. Mungkin Sasuke sedang sibuk berada di kamarnya.
Aku memutar ganggang pintu yang sudah kuduga 'tidak dikunci'. Biasanya aku akan masuk begitu saja ke kamarnya. Dengan perlahan aku membuka pintunya dan memasukkan kepalaku terlebih dahulu sebelum benar-benar masuk.
"SASUKE! Apa kau ada di kamar?" Teriakku menggema di dalam rumah itu. Sama sepertiku, Sasuke juga tinggal sendirian di kota ini karena orang tuanya bekerja di luar negeri. Tidak mendapatkan sahutan sama sekali, akhirnya kuputuskan untuk langsung menaiki tangga menuju kamar Sasuke.
Ceklek~
"Sasuke," Tanpa sadar mataku berbinar ketika pintu itu terbuka menampilkan sosok Sasuke keluar dari kamarnya.
"Kau rupanya... ada apa?"
"Karena terlalu bosan di rumah, aku datang untuk menemanimu." Jawabku sambil menyengir tiga jari.
Mata biruku menangkap kerutan di alis Sasuke yang sedang menatapku aneh. "Apa yang kau pakai itu? Hahhah..."
Dia sedikit tertawa karena melihat penampilanku, dan dengan semangatnya aku merentangkan tangan dan berputar untuk memamerkannya. "Bagaimana? Kawai bukan?" Ujarku sambil menangkup pipi dengan menggenggam seperti neko, plus membesarkan mata menatapnya.
"Hahah,... apa? kau konyol! Ingat umur dobe! Wajahmu itu terlalu tua untuk berpakaian seperti itu." Komentarnya sambil terkekeh pelan.
"Hei! Kau sendiri yang pernah bilang kepadaku jika aku akan terlihat manis jika memakai jaket ini." Selaku sambil mem-pout-kan bibir.
"Hah? Kapan?" Ekspresinya kembali mendatar, dengan raut wajah yang sepertinya memang tidak mengingat hal itu.
"Saat kau memberikan jaket ini padaku lah." Jawabku ketus.
"Ohh.. begitukah? Yeah terserahlah, kau memang manis layaknya idiot."
'Huh... kata-kata pedasnya muncul lagi' gerutuku dalam hati.
"Nee... Sasuke. Bagaimana kalau kita ke kamar?" Kukalungkan kedua tanganku pada leher Sasuke dan memiringkan wajahku mendekat ke wajahnya.
"Upp-"
"Dasar dobe... aku sedang ada acara di luar. Lebih baik kau pulang saja."
"Thafi-" Tangannya yang menahan mukaku tidak mengizinkanku untuk melakukan apa yang tadi terlintas di otakku. Yang kuharap sambutan antusias darinya, tapi malah mencengkram mukaku hingga aku tidak bisa bicara jelas seperti ini.
"Aku ada janji hari ini." Katanya, setelah aku sudah mundur sehingga dia melepaskan tangannya dari wajahku.
"Mengapa begitu. Padahal aku sudah datang kesini untuk menemanimu." Aku mengernyitkan alis tajam layaknya seorang kekasih yang mengambek.
"Maaf Naruto... sepertinya aku tidak lagi dapat melakukan hal itu denganmu." Ucapnya tiba-tiba. Mengetahui apa yang mungkin aku inginkan darinya. Asal tahu saja... bukan hanya sekali atau dua kali saja kami melakukan hal itu sebagai partner. Menyadari orientasi kami yang agaknya menyimpang, sudah sejak kelas dua SMP kami menjajal hal itu dengan niat iseng menghabiskan waktu dan sebagai pengalaman tentunya.
Sebenarnya aku tidak benar-benar gay, ketahuilah aku juga masih menyukai bukit besar seorang wanita. Bisa dibilang aku ini biseks sedangkan Sasukelah yang seorang gay seutuhnya. Dia pernah menyukai seorang senpai waktu SMP, mengetahui ternyata orang yang ditaksir adalah straight, aku membantunya untuk melupakan patah hatinya. Hahahh... Sasuke patah hati. Aku bisa benar-benar tertawa saat ini jika saja keadaannya lebih mendukung.
Ada janji dengan seseorang dia bilang? Lalu ingin meninggalkanku begitu saja dan memupuskan niatku sejak menginjak garis start dari rumah. Jujur saja... itu membuatku benar-benar kesal.
"Memangnya siapa yang membuat janji denganmu?"
"Neji-senpai."
TOK TOK TOK
Suara ketukan dari pintu depan mengintrupsi pembicaraan kami.
"Sepetinya dia sudah datang." Sasuke berjalan menuruni tangga berniat segera membukakan pintu.
"Tunggu Sasuke! Apa boleh aku ikut bersama kalian?" Pintaku meraih sebelah tangannya.
"APA? Tentu saja tidak boleh. Neji akan marah jika aku mengajakmu." Tolaknya. Menarik tangannya dan berjalan lebih cepat.
"Kenapa tidak? Kalau begitu aku akan bicara padanya." Kataku. Yang kemudian Sasuke langsung berbalik dengan onyx yang menatapku tajam seolah ingin mengulitiku.
"Kau tidak juga mengerti?" Tanyanya dengan desisan dingin. Tanpa sengaja aku meneguk ludah. "Kami tidak ingin diganggu. Tidak boleh ada yang merusak rencana hari mingguku dengannya." Ucapnya penuh penegasan.
"A-apa kalian berkencan?" Tanyaku menyimpulkan dengan suara yang berat.
"Yeah... jika kau sudah tahu, sebaiknya kau berhenti menahanku! Kau membuat Neji harus menunggu." Sasuke kembali berjalan dan segera membukakan pintu yang sebenarnya tidak dikunci.
"Ada apa?' Tanya Neji, mengintip ke dalam dan bertemu mata denganku.
"Tidak ada. Hanya perdebatan kecil dengan Naruto seperti biasa." Jawab Sasuke.
"Ohh,"
"Kenapa diam saja dobe? Apa kau ingin kukunci di dalam rumah ini? Cepat keluar!" Perintahnya. Membuatku tersentak.
Sesuai perintahnya, akupun berjalan seperti robot ketika keluar melewati mereka, dan Sasuke segera mengunci rumahnya.
"Ayo senpai, kita berangkat!" Ajak Sasuke yang menggandeng tangan Neji. Aku hanya mematung menatapnya.
"Jaket yang bagus." Ujar Neji kepadaku, sebelum mereka pergi meninggalkanku layaknya orang bodoh. Kelihatannya Sasuke benar-benar senang dapat pergi bersama Senpai-nya. Membuatku semakin mematung dengan hembusan angin padang pasir yang menerpa tubuhku. Aku tidak tahu mengapa, tapi 'rasa sakitnya tuh disini'. Meremas dada dengan sebelah tangan bersandar di tembok.
.
.
.
"Hahhhh... siiialll..." Geramku, sambil menendang-nendang kerikil kecil dijalanan.
Ini benar-benar membuatku kesal. 'Kenapa Sasuke harus meninggalkan aku untuk bersama Neji? Jika Sasuke bersama Neji lalu aku harus bersama dengan siapa?' Jeritku pilu dalam hati. Seketika menumpuhkan tanganku di samping tembok jalanan, dan meninju-ninju permukaan keras itu.
Bukankah ini tidak adil? Selama ini akulah yang terus bersama Sasuke, dan tiba-tiba dia meninggalkanku begitu saja sekarang. Ini benar-benar tidak adil. Harusnya Sasuke lebih memilihku! Kenapa dia harus memilih Neji coba? Apa bagusnya dari pemuda yang suka memanjangkan rambut itu?
"Dasar Kuntilanak! Dasar Sadako tak berpupil!" Sumpah serapahku terhadap orang yang sudah merebut Sasuke dariku. Tanpa sadar aku sudah menggigiti jaket kuning yang sudah aku lepaskan.
Breett~
Hiasan telinga dari penutup kepalanya tersobek saat aku menariknya dengan gigiku hingga benar-benar copot.
Belum juga tersadar, mata biruku menatap jaket kuning itu dengan pandangan nanar. "Benar... jaket ini— benar-benar konyol." Detik berikutnya aku menghempas-hempaskan jaket itu ke tembok, lalu menariknya berlawanan arah, menyobeknya dengan kekuatan penuh hingga terbagi menjadi dua. Krrraakk~! Mengoyaknya brutal seolah jaket itulah yang menjadi sumber kesialanku hari ini.
"Hahh-hahh...benar-benar tidak berguna." Dan terus melakukan itu dengan gemas, menumpahkan semua kekesalanku pada jaket yang sangat sangat sangat sangat konyol itu. Dan baru sadar jika aku itu benar benar sangat sangat idiot.
"Naruto! Apa yang kau lakukan disini?" Seketika aku menghentikan perbuatanku mendengar seseorang tiba-tiba mengintrupsi. Perlahan aku memutar kapala untuk menoleh ke belakang. Dan kudapati Gaara yang sedang membungkuk penasaran melihat apa yang sedang kulakukan.
"GAG-GAG-GAARA!" Panggilku gagap karena kaget, mundur dari posisiku berjongkok dan tanpa sengaja membanting pantat di atas aspal. 'Apa tadi dia melihatku seperti orang gila?'
"Yaa?" Jawabnya. Memandangku yang masih belum beranjak dari posisi. Jelas saja dia memandangku dengan bertanya-tanya.
Kemudian mata hijaunya melirik ke arah potongan kain yang baru saja aku cincang.
"Sebenarnya kau sedang apa?" Tanyanya lagi.
"Ahh-hehehh... tidak." Aku bangkit dan menepuk-nepuk celanaku dari debu. Menetralkan ekspresi terkejut, yang entah sekarang aku malah jadi bingung sendiri kenapa harus berlebihan begitu.
"Lalu, itu apa?"
"Ahh- bukan apa-apa? itu hanya sampah." Elakku.
"Kau tidak boleh membuang sampah sembarangan Naruto! Sebaiknya kau mengumpulkannya untuk dibuang ke tempat sampah."
"Haik haik... akan ku bereskan sekarang." Aku berjongkok dan mulai memunguti kain jaket yang sudah tidak berbentuk itu.
"Biar kubantu." Kata Gaara yang langsung ikut memungutinya.
"Ahh tidak usah!" Tidak ingin Gaara menebak sebenarnya apa wujud dari kain itu, dengan cepat tanganku bergerak menyahut potongan kain yang akan diambil Gaara.
Greb~ Tapi sial, Gaara sudah lebih dulu memegang kainnya, sedangkan aku malah menggenggam tangan Gaara.
'Tangan yang hangat dan lembut...' Gumamku dalam hati. Perlahan menoleh untuk menatap wajahnya. Dan kudapati Gaara hanya memandang tangan kami, aku mendekat ke arahnya hanya untuk melihat lebih jelas ada sedikit semu merah di pipinya.
"Serahkan padaku!" Kataku. Seketika dia menoleh dan terkejut ketika menatap wajahku yang begitu dekat, tiba-tiba saja dia jatuh terduduk ke aspal.
Aku mengerjapkan mata ketika melihat tingkah lucu yang baru saja pemuda itu lakukan. "Hahah... kau kenapa?" Tanyaku dengan sedikit geli. Tidak seperti Gaara yang biasanya.
"T-tidak. Bisa kau lepaskan tanganku?" Pintanya kemudian yang langsung kuturuti. Kemudian dengan gerakan cepat Gaara berdiri sambil menepuk celananya.
Selesai memunguti sisa kainnya aku berjalan beberapa meter menuju tempat sampah yang terletak di seberang jalan.
"Kau mau kemana?" Tanyaku pada pemuda merah yang masih memandang arah lain tersebut.
Ia menoleh untuk menjawab. "Aku sedang dalam perjalanan pulang."
"Aku ikut!" Ucapku semangat. Daripada terus kesal gara-gara Sasuke dan Neji lebih baik aku menghabiskan waktu di tempat teman lain bukan. Lagipula aku sudah beberapa kali datang ke rumah Gaara. Disana ada Temari kakak perempuan Gaara yang cerewet dan Kankurou kakak laki-laki Gaara.
"Kerumahku?" Ulang Gaara.
"Tentu. Kau tahu aku kesepian sendirian di rumah. Tadi aku ke rumah Sasuke, tapi aku harus diusir kerena Sasuke pergi dengan Neji." Ujarku yang malah menceritakan kejadian barusan.
Gaara masih memandangku yang kemudian sudah berjalan mendahului. "Ayo!" Ajaknya.
Aku tersenyum sambil menyejajarkan langkah dengannya. "Sebenarnya hari ini aku sedang kesal..." Dan sepanjang jalan akupun mulai mengoceh panjang lebar.
.
.
.
"Duduklah! Aku akan pergi ke dapur untuk mengambil snack."
"Hai, arigatou..." Jawabku, duduk di samping meja, sementara Gaara mengambil cemilan.
Aku menelentangkan tubuhku di lantai tatami kamar ini. Mengacak-acak rambut sambil berguling tidak tenang saat mengingat kejadian menyebalkan tadi. Kemudian mencoba menenangkan diri dengan berbantalkan kedua tangan menatap langit-langit.
Aku melirik ke arah pintu, tapi Gaara masih belum datang juga. Bukankah ini sudah terlalu lama untuknya mengambil snack? Aku berdiri dan mulai berjalan keluar. Mengintip ke bawah tangga dan berjalan ke ruang sebelah.
"Gaara..." Panggilku pelan, sebelum seluit keberadaannya kulihat di ruang sebelah. Pemuda merah itu nampak sedang mencari sesuatu, dengan menunduk ke bawah ranjang dan pergi ke sudut ruangan.
"... keluarlah!" Terdengar suara Gaara yang berbisik memanggil sesuatu. Aku jadi penasaran apa yang sedang dia cari, jadi akupun mendekatinya dan mendengar suaranya memanggil dengan lebih jelas. "Dimana kau... Naruto?" Memiringkan kepala saat terdengar namaku disebut.
"Naruto... kau dimana?" Dan dia menyebut namaku lagi, membuatku mengernyitkan alis dengan penuh tanda tanya. Sudah jelas dia tadi menyuruhku menunggu di kamarnya bukan... lalu kenapa dia mencari di dalam ruangan ini? dengan posisi mencari yang aneh pula. "Naru... cepat kemari!" dan aku semakin heran saat dia bersuara dengan nada memerintah dengan berjongkok ke bawah ranjang. Padahal aku kan ada di belakangnya.
"meong..." dan sekelebat bayangan tiba-tiba berlari ke arahnya, sebelum kemudian Gaara mulai berdiri.
"Kucing pintar." Ujarnya kemudian. Sedangkan aku masih berdiri di belakangnya.
Pemuda merah itupun membalikkan tubuhnya, terlihatlah seekor kucing berada digendongannya sambil sebelah tangan Gaara mengusap tubuh si kucing. Ketika menyadari keberadaanku, kepala merah itupun mendongak dan dengan sedikit terbelalak mata jade itu bertemu tatap dengan mataku.
"Tadi aku mendengar namaku disebut," Kataku. Sedangkan Gaara masih belum menjawab, seolah pemuda merah itu sedang membeku.
Aku memiringkan kepala sambil mengibas-ngibaskan tanganku di depan wajahnya. "Oi Gaara!"
"Ahh... maaf!" Ucapnya ketika tersadar. "Maaf aku tidak bermaksud."
"Kenapa kau meminta maaf?" Tanyaku sebelum pandanganku kembali pada si kucing. "Jangan-jangan...?" Sudah dapat menebak kepada siapa panggilan 'Naruto' itu, aku melangkah mundur dengan menatap horor kucing yang didekap Gaara.
"Kau memberi nama kucingmu Naruto?" Tanyaku setengah berteriak.
Gaara menatap lantai sambil mengangguk mengiyakan. Sedangkan mukaku semakin pucat tidak mengerti. 'Seekor kucing harus memiliki nama yang sama dengan namaku?'
.
Aku mendengus dengan sebelah tangan menyangga wajah di atas meja. Tangan kananku terjulur untuk meraih keripik kentang yang kemudian memakannya dengan pelan.
"Maaf sudah menggunakan namamu tanpa izin. Apa kau marah?" Tanya Gaara yang duduk di sebelahku.
Aku berbalik dari posisi memunggunginya, kemudian melipat kedua tangan di atas dada sambil menyipitkan mata.
"Bukan masalah izinnya... Gaara! Hanya saja, kenapa kau harus menggunakan namaku? Kenapa tidak Shiro, Puko, atau Kuma!" Tanyaku menuntut.
"Maaf..." lagi-lagi dia meminta maaf, masih dengan mengelus kucing itu. "Kau lihat kucing ini!" Ujarnya, memintaku untuk ikut memperhatikan rupa kucing tersebut. "Dia memiliki warna oranye dan mata biru,"
Aku menyipitkan mata ketika memperhatikan kucing itu sesuai yang dia bilang "Memang benar sih..." kucing itu memiliki warna favoritku yaitu 'oranye', ditambah lagi matanya berwarna biru bening. Kalau dipikir-pikir memang seperti menggambarkan diriku, dalam hal warna tentunya. "Yasudahlah, terserah kau saja!" Gumamku pada akhirnya. Toh itu hanya masalah nama saja.
"Benarkah tidak apa-apa?" Tanyanya memastikan.
"Yeah... lagipula sudah berapa lama kau memberinya nama itu?" Tanyaku kemudian.
"Sejak aku menyelamatkannya di sungai. Jadi sudah lima hari ini." Jawabnya. Yang membuatku teringat kejadian di sungai beberapa hari yang lalu.
"Ahh... iya benar, aku ingat. Betapa nekadnya kau terjun ke dalam sungai untuk menyelamatkan kucing itu."
"Yeah... kau tahu Naruto?"
"Apa?"
"Aku tidak bisa memberikan kucing ini pada orang lain. Meski nenek tetangga telah memintanya." Perkataan Gaara membuatku kembali memandang ke arahnya.
"Hah, kenapa?"
"Karena aku sudah memberikannya nama 'Naruto'." Jawabnya.
Aku memiringkan kepala sedikit tidak mengerti. Mungkin yang dimaksud, dia akan merasa tidak enak memberikan kucing yang sudah terlanjur memiliki nama yang sama denganku. Rasanya pasti juga bertambah aneh jika orang lain terus memanggil nama 'Naruto...pusss-puss...Naruto!' hanya untuk mencari kucing tersebut.
"Hahahh..." membayangkan hal itu membuatku sedikit tertawa.
Gaara meletakkan kucing itu di lantai dan melemparkan bola karet kepada si kucing. Membiarkan kucing itu bermain dengan bolanya.
"Bermain ya..."Gumamku yang memperhatikan kucing itu.
"Hm?" Gaara menyahut.
"Kau punya mainan apa saja? Yang bisa kita mainkan berdua..." Melihat kucing itu bermain, tanganku jadi gatal ingin juga memainkan sesuatu. Hanya bersantai dengan tiduran sambil makan kripik kentang, tentu bukan hal yang bisa dibilang mengasyikan. Karena di rumah sendirianpun sudah sering kulakukan.
Gaara sedikit berpikir untuk mengingat apa saja yang dimilikinya. "Hanya monopoli kurasa."
"Hmm... tidak ada yang lain?"Tanyaku lagi. Sambil memeriksa kesekeliling, aku menatap bosan pada rak kamar Gaara yang dipenuhi dengan buku. Koleksi buku Gaara bahkan hampir sama dengan Sasuke. Yang menjadikannya lebih parah adalah Gaara tidak memilki play station di kamarnya. Harusnya kalau di tempat Sasuke, remaja pantat ayam itu akan memiliki banyak koleksi video game lengkap. Dan akan ada yang baru tiap minggu. Salah satu hal yang membuatku merasa betah di kamar Sasuke. "Sial... apasih yang dilakukan si Teme itu." Gerutuku. Kembali menjadi kesal mengingat si pantat ayam Sasuke telah pergi bersama si kuntilanak Neji.
"Sebenarnya aku ingin menayakan sesuatu." Kata Gaara tiba-tiba, masih dengan wajah kecut aku menoleh padanya yang menatapku lurus.
"Yeah? Soal apa?"
"Sebenarnya, kenapa kau merasa kesal karena Sasuke pergi dengan Neji?" Tanyanya, tatapan intensnya seolah menuntutku agar segera menjawab.
"Yeah, tentu saja aku kesal! Selama ini Sasuke biasa pergi bersamaku, tapi tadi..dia bahkan mengusirku." Ucapku dengan ketus. Wajar saja, ditanyai begitu membuatku memiliki kesempatan untuk meluapkan mood jelekku. 'Dasar Teme jelek! Awas saja kau nanti'.
"Kau aneh Naruto." Ujar Gaara tiba-tiba, dan aku langsung melotot kearahnya.
"Apanya?"
"Kau bilang kalian hanya berteman. Tapi kenapa kau harus marah melihat Sasuke memilih orang lain. Sebenarnya apa kau menyukai Sasuke?"
Mendengar pertanyaannya membuatku mengerjapkan mata beberapa kali, lalu memiringkan kepala sambil berpikir. "Iya juga ya," melipat tangan di atas dada. Memikirkan sebenarnya sejauh apa kata partner itu dalam hubungan kami? Kami bahkan tidak berpacaran dan cukup sadar bahwa selama ini hanya menjadi sahabat. Tapi sepertinya... selama ini aku merasa Sasuke hanya bisa dekat denganku, dan melupakan orang lain bisa saja mendekatinya. "Apa itu karena aku menyukai Sasuke?" Gumamku, malah bertanya-tanya sendiri.
"Maaf jika berbicara seperti ini. Tapi orang lain bisa saja tersakiti jika kau terus seperti ini." Ujar Gaara yang membuatku terkejut. Gaara beranjak dari posisinya, tapi aku mencegahnya dengan menahan pergelangan tangannya. Gaara kembali menengok ke belakang untuk menatapku.
"Aku tidak tahu mengapa, tapi sepertinya ada yang salah..." Kataku sambil menggaruk pipi dengan telunjuk. "Kalau begitu, bisakah kau mendengar ocehanku lebih lama lagi?" Pintaku dengan menatapnya lurus. Sedikit aku menyadari Gaara terlihat kesal karena hal itu, dan mungkin akulah yang tidak benar.
Gaara pun menghela nafas. Kulepaskan tangannya ketika dia kembali duduk disebelahku.
"Kuharap kali ini kau tidak mengatakan hal yang bodoh." Ucapnya.
"Aku mengerti." Jawabku. Kalau selama ini semua ocehanku adalah hal-hal yang bodoh, jadi sebaiknya kumulai darimana? Ahh, langsung sajalah. "Akan kuberitahu semuanya. Sebenarnya-" Dengan telapak tangan di sebelah bibir seperti orang berbisik, aku mendekat ke arah Gaara. "-aku sudah sering melakukan hal itu dengan Sasuke." Kataku pada akhirnya.
"Hah?" Seperti belum dapat menangkap apa maksudku, Gaara menatapku dengan kernyitan tajam seolah menuntut perkataan yang lebih rinci.
"Iya... melakukan itu." Kembali meletakkan tangan di atas meja, aku berusaha menjelaskannya masih dalam jarak yang sama. Dengan tatapan serius yang tidak kalah tajam pula. Seperti sedang membicarakan sesuatu yang sudah lama menjadi rahasia, dan kini telah berusaha untuk dibocorkan. Sebenarnya aku tidak berniat untuk merahasiakannya... tapi apa boleh buat, Sasukelah yang telah memintaku untuk tidak mengatakan hal ini pada orang lain, bahkan mengancam akan membunuhku. Walau ancaman membunuh itu sudah sering dia pakai.
"Me-lakukan itu?" Eja Gaara, terlihat raut wajah yang mulai berubah menjadi pucat. "Maksudmu... bukan sesuatu-" dia terlihat meneguk ludahnya sebelum mengatakan "yang orang dewasa lakukan bukan?!" Tanyanya, terlihat jelas kegugupan dalam suaranya.
Waah... sepertinya Gaara masih polos soal itu. Mungkin dia akan sangat terkejut. Tapi itulah kenyataannya.
"Yah," Aku mengangguk. "Yang seperti itu." membenarkan
BRAKK
Aku terkejut dan hampir terjengkang ke belakang. Kemudian mendongak menatap Gaara yang tiba-tiba saja berdiri sambil menggebrak meja.
"Tapi kaliankan masih di bawah umur!" Tanyanya tidak percaya.
Sudah kuduga, dia masih polos. Tapi tidak usah lebay begitukan! Mengagetkanku saja.
"Yah, apa boleh buat"
"Apanya yang boleh buat?!" Bentaknya dengan tatapan yang langsung menusuk.
"Ehh-hehe... tapi itu kenyataannya." Tawaku gugup, menggaruk pipi dengan telunjuk.
Terlihat Gaara menghembuskan nafasnya berusaha untuk tenang, lalu kembali duduk pada posisinya. Tapi kemudian dia meletakkan telapak tangan di wajah sambil menyangganya di atas meja.
"Jadi... sejak kapan kalian— melakukan hal itu?" Tanyanya kemudian.
"Sejak kelas dua SMP," Jawabku pelan.
"Cck, yang benar saja..." Sebuah decakan terdengar keluar dari mulutnya. Mungkin itu membuatnya benar-benar terkejut, mendengar ternyata temannya sudah melakukan hal-hal dewasa bahkan semenjak masih di bangku SMP, yang artinya baru saja menginjak usia puber.
"Uemm... kau tidak apa-apa?" Tanyaku khawatir.
"Tidak, hanya saja aku tidak menyangka kalian sudah sejauh itu." Ujarnya, meletakkan tangannya dengan masih terlihat termenung.
"Jadi sebenarnya apa hubungan kalian?" Tanyanya menoleh untuk menatapku.
"Hanya partner kurasa." Jawabku sambil meletakkan dagu di atas meja.
"Begitukah?"
"Humm yeah," Gumamku.
"Lalu... bagaimana jika Sasuke ternyata berpacaran dengan Neji?"
Aku langsung bangkit dengan melotot ketika Gaara mengatakan hal itu.
"Yang benar saja?!" Ucapku khawatir dengan bibir tertekuk. Menatap Gaara untuk memastikan itu hanyalah dugaannya saja. Bukan sesuatu yang memang dia ketahui.
"Maaf, tapi akhir-akhir ini Sasuke terlihat dekat dengan Neji, dan bukankah sekarang mereka sedang berkencan?" Ujarnya kemudian, mengingatkanku tentang apa yang terjadi tadi pagi.
"Soonna!" Membuatku semakin lemas saja.
TOK TOK TOK
Tiba-tiba pintu kamar Gaara di ketuk, kemudian terbuka dan menampilkan Temari yang menengok ke dalam mencari Gaara. Gaara pun segera berdiri dan menghampirinya.
"Bisakah kau berbelanja Gaara? Kita tidak memiliki apapun untuk makan malam nanti." Kata Temari, menyerahkan sebuah dompet kepada Gaara.
"Hai." Angguk Gaara tanpa protes.
"Terimakasih." Senyum Temari sebelum kembali ke dapur.
"Jadi-" Gaara berbalik dan menatapku. "apakah kau akan ikut berbelanja denganku, Naruto?"
Daripada sendirian dengan pikiran tidak jelas disini akupun mengangguk. Dan segera berdiri mengikuti Gaara keluar dari kamar.
FLAT _ FLAT
"Arigatou gozaimasu!" Ucap paman penjual sayuran seraya ber-ojhigi.
Kamipun kembali berjalan untuk mencari bahan makanan yang lain.
Aku melirik tas kresek di tangan Gaara yang penuh dengan sayuran. "Apa kau tidak membeli daging?" Gumamku. Kupikir malam tidak akan sempurna jika tanpa daging.
"Sebenarnya tidak. Tapi aku bisa membelinya jika kau berkeinginan makan malam di rumahku." Ucapannya membuatku berbinar semangat.
"Benarkah? Senangnya...! jarang sekali aku bisa makan daging, apalagi masakan rumah." Ocehku mengikutinya berjalan di sepanjang ruko untuk mencari penjual daging, dan akhirnya pun kami mendapatkannya.
"Kau memang baik Gaara!" Pujiku, dan dia hanya bergumam. "Biasanya tiap hari aku hanya makan ramen. Untunglah... kau mengundangku untuk makan malam di rumahmu."
"Aku heran, bagaimana kau bisa tumbuh hanya dengan makan ramen."
"Hahahh... jangan heran! Tulang dan ototku ini memang terbuat dari ramen Ichiraku." Kataku dengan sebelah tangan terangkat, memamerkan otot lengan. Mengoceh dan mengoceh, itulah satu kelebihanku untuk meramaikan suasana.
Tapi ketika kami berjalan melewati sebuah gang langkahku terhenti. "Huh?" Terlihat ada dua orang di sana dengan posisi yang begitu dekat, terlalu intim malah. 'Anak muda jaman sekarang... bisa-bisanya mereka melakukan hal itu di tempat umum' batinku, aku tidak sempat berkedip ketika menyadari jika mereka sedang berciuman. Apalagi ketika mengenali betapa familiarnya mereka, akupun membeku.
Rambut panjang itu... tidak salah, itu Neji. Dia sedang dengan ganasnya saling melumat bibir dengan orang yang tidak lain adalah— Sasuke? Tidak mungkin... bisa-bisanya mereka melakukan itu di tempat umum seperti ini.
"Naruto, ada apa?" Pertanyaan Gaara tidak kudengarkan, sampai pemuda merah itu menoleh sendiri dan melihatnya.
Detik kemudian tiba-tiba saja dia menyeretku, dan membuatku tersadar dari segala pikiranku.
"Gaara!" Panggilku, sedikit terheran ketika dia berjalan dengan langkah cepat menggandeng pergelangan tanganku. Terlihat dia mendengar panggilanku dan memperlambat langkahnya.
"Ayo kita pulang Naruto! Temari sudah menunggu." Ajaknya, tanpa menoleh sedikitpun.
"Kau membeli daging juga?" Ujar Temari. Membongkar isi belanjaan Gaara di dapur.
"Aku mengundang Naruto untuk makan malam." Ucap Gaara. Temari melirik ke arahku sejenak "Kankuro sebentar lagi juga pulang. Kau ingin membantu memasak Gaara?"
Gaara menoleh ke arahku "Aku akan membantu Temari-nee memasak. Kau bisa menunggu di kamar atau menonton tv di ruang tamu jika mau." Ucapnya.
"Baiklah." Jawabku.
.
CEKLEK
Pintu kamar Gaara sepertinya terbuka. Aku menoleh dan mendapati pemuda merah itu berjalan menghampiriku yang berbaring di lantai kamarnya.
"Maaf membuatmu menunggu. Apa kau bosan?"
Akupun bangkit untuk duduk. "Tidak juga. Sebenarnya aku sempat tertidur tadi. Jadi sekarang sudah jam berapa? Emmmhh~" Tanyaku sambil meregangkan tangan ke arah berlawanan.
"Sudah jam 6 sore."
"Apa? Sudah selama itu?"
"Kau ingin mandi? Tadi aku sudah mandi sebelum kemari."
"Humm... kurasa nanti saja." Gumamku malas. Kemudian kembali lagi terlentang.
Sejenak aku melirik Gaara yang menatapku, lalu kembali menatap langit-langit sambil melamun.
"Apa kau masih memikirkan kejadian tadi?" Tanyanya tiba-tiba.
"Ohh, soal yang kita lihat diperjalanan pulang tadi... tidak salah lagi, mereka adalah Neji dan Sasuke." Kataku yakin. Gaara tidak terlihat ingin menyela, tapi sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
"Uemm jadi... apa kau cemburu ketika melihat mereka?"
Aku menoleh ke arahnya, kemudian bangkit untuk duduk berhadapan dengan Gaara.
"Sebenarnya aku kesssal..." Ucapku dengan penekanan dalam gerakan kepala. "tapi setelah kupikirkan, aku memutuskan untuk 'yasudahlah'." Pasrahku, menganggkat kedua tangan. Apa lagi yang bisa kulakukan jika Sasuke sudah jadian dengan Neji.
"Tadi kau terlihat begitu kesal karena Sasuke pergi dengan Neji. Tapi sekarang kenapa kau bilang yasudahlah? Apa sebenarnya kau tidak menyukai Sasuke?" Tanya Gaara beruntun.
"Aku memang menyukai Sasuke." Jawabku.
"Kalau kau menyukainya kenapa kau menyerah?" Ucap Gaara yang entah kenapa ekspresinya terlihat mengeras.
"Tapi Sasuke sudah memilih Neji. Apa yang bisa aku lakukan?"
"Jika kau mencintainya, tidak seharusnya kau diam saja Naruto!" Kata Gaara lagi, terlihat menuntut.
"Tu-tunggu! Memangnya aku pernah bilang aku mencintai Sasuke?" Tanyaku bingung. Perasaan tadi aku hanya bilang kalau menyukai Sasuke.
Gaara mengernyitkan alisnya yang tidak ada.
"Ehh-hahah... rasanya kalimat mencintai itu terlalu jauh." Ucapku ragu.
"Kau membuaku bingung Naruto." Ucap Gaara dengan dingin. Ditatap seperti itu membuatku merasa tidak enak. "Jadi sebenarnya bagaimana perasaanmu terhadap Sasuke?"
"Uemm... aku memang menyukainya sebagai partner. Tapi jujur, aku bahkan tidak mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta." Jelasku tanpa basa-basi.
"Kau— tidak pernah jatuh cinta?"
"Kupikir yeahh begitu. Aku memang senang jika bersama Sasuke. Tapi menurut komik yang aku baca, perasaan cinta itu lebih dari itu... misalnya perasaan yang membuat jantungmu ingin melompat keluar ketika berada begitu dekat dengannya. Dan jujur, aku belom pernah merasakan hal itu dengan Sasuke. Hahahhh..." Tawaku ketika selesai menjelaskan, sebenarnya sedikit kurang yakin aku mendiskripsikan jal itu. Tapi sungguh... perasaanku ketika bersama Sasuke sepertinya bukan cinta.
Tadinya aku pikir juga aku menyukai Sasuke. Ketika melihat Sasuke berciuman dengan Neji memang awalnya kesal, tapi setelah terlalu lama berpikir... entah kenapa perasaan itu sudah tidak ada lagi. Lagian mah... si Sasuke itu memang seperti itu. Sama seperti saat masa SMP dulu, lagi-lagi dia menyukai senpainya. Wajar saja Sasuke selalu tertarik pada sosok dewasa yang menyerupai anikinya. Sedangkan anikinya telah meninggal beberapa tahun yang lalu. Jadi kurasa sekarang tidak buruk membiarkan Sasuke bersama dengan Neji.
"Kau sudah melakukan ini itu dengan Sasuke, tapi kau tidak pernah jatuh cinta dengannya?" Tanya Gaara dengan ekspresi terheran-heran.
"Ehheheh... mungkin kita berdua memang terlalu mesum. Tapi kurasa kami hanya sekedar bersenang-senang." Gumamku seraya menggaruk pipi yang berkeringat. Membayangkan kembali ketika pertama kali aku dan Sasuke menonton sebuah blue film bersama.
Kelihatannya Gaara sudah mulai mengerti. Pemuda merah itu tampak melemaskan pundaknya dengan sedikit helaan nafas.
"Aku pikir kau akan semakin frutasi ketika melihat mereka." Gerutu Gaara.
"Hahahh..." Tawaku.
"Jadi, kau sudah merelakan Sasuke dengan Neji?"
"Apa boleh buat."
"Kanapa jawabanmu masih apa boleh buat?" deliknya.
"Hehe... habisnya kalau Sasuke sudah punya kekasih... itu artinya aku sudah tidak punya partner lagi." Tawaku garing. Sedikit menyesali nasib apalah diriku ini tanpa seseorang yang terasa begitu dekat, dan sekarang orang terdekat itu telah diambil orang lain dan meninggalkanku sendiri. Huhuhu... Walau jika semua itu benar hubunganku mungkin tidak banyak berubah dengan Sasuke, tapi tetap saja seperti ada yang kurang.
"Jaa- kalau begitu..." Aku kembali menatap kepada Gaara, dia tampak menghentikan suaranya sejenak sebelum kembali bicara. "-bagaimana kalau denganku?"
Aku mengerjapkan mata ketika dia mengatakan itu. "Denganmu?"
"Kalau kau mau, aku bisa menjadi partner barumu." Ucapnya lebih jelas.
"KAU SERIUS GAARA!" Tanyaku dengan mata melebar. Memastikan jika tadi pemuda berambut merah itu benar-benar menawarkan hal yang -uem- sedikit intim. Walau bukan hal seperti seseorang menginginkanku menjadi pacarnya. Tapi jujur, itu membuatku berdebar.
"Apa aku selama ini termasuk orang yang suka bercanda?" Ucapnya dengan mata yang menyorot tajam.
"Habisnya kau tiba-tiba seperti orang yang sedang tertarik padaku setelah aku menceritakan semua itu." Gumamku, sambil sebelah tangan memegangi tengkuk.
Gaara hanya masih menatapku lurus, terlihat jika dia sedang menunggu jawaban.
Ditatap seperti itu membuatku jadi gugup. Sedikit aku dapat menangkap kilatan harapan dari mata hijau Gaara, yang terlihat lebih besar dari dekat ditambah lingkaran hitam yang membingkai keduanya. Itu membuatnya nampak seperti sedang menampilkan rakun eyes no jutsunya.
"Jaa-" aku meneguk ludahku sebelum menyelesaikan jawabanku. "baiklah, kita menjadi partner mulai dari sekarang!" aku tersenyum senang setelah mengatakan hal itu. Tidak seperti saat bersama Sasuke yang tanpa tawaran ataupun pernyataan tiba-tiba saja kami sudah melakukan hal itu berkali-kali. Tapi melihat Gaara menawarkan dirinya seperti ini apakah ini akan menjadikan hubungan yang sama seperti saat aku besama Sasuke? Menjadi partner namun hanya sebatas sebagai teman.
"Jadi apakah kau akan menginap malam ini?" Tanya Gaara pelan.
"Menginap?" Beoku.
"Kupikir kita akan melakukannya nanti." Ucapnya frontal.
"Ergh~!" Aku hampir terselak ludahku sendiri. Kupikir dia terlalu terus terang untuk seorang pemula. Rasanya aku sedikit tidak terbiasa jika bersama orang lain, terlebih sudah lama aku tidak melakukan itu karena Sasuke selalu menghindar.
"Sebenarnya tidak perlu tergesa-gesa. Kita bisa melakukannya kapan-kapan." Jawabku, karena aku merasa kita masih gugup untuk saat ini. Terlebih lagi aku belum mengetahui Gaara itu termasuk type top or bottom. Dengan memperhatikan detail wajah Gaara aku berpikir dia sebenarnya cukup manis walau biasanya terlihat stoic. Tapi melihat sifatnya yang tegas tanpa ragu-ragu bisa saja dia menjadi top. Karena posisiku saat bersama Sasuke adalah bottom, sebenarnya aku ingin mencoba menjadi top.
"Jadi Naruto, kau itu uke atau seme?"
"Errgh~" Dia mengatakannya, dengan wajah biasa saja pula. Aku kira Gaara masih tidak mengetahui istilah macam itu. Lalu apakah aku harus segera menjawabnya?— Sebenarnya sedikit malu juga aku mengakui diri sebagai seorang uke di hubungan sebelumnya.
"Tapi sebenarnya itu tidak penting. Kita bisa tentukan sendiri saat melakukan itu." Belum juga aku menjawab Gaara sudah kembali bicara.
Aku mengangguk kemudian menyeringai. "Kita bisa melihat siapa yang lebih dominan sekarang jika kau mau."
"Ide bagus." Sahutnya. Kemudian bergeser lebih mendekat ke arahku sambil menunduk. "Tapi..." Dia terlihat terdiam sebelum perlahan mengangkat kepalanya. "Sebenarnya ini yang pertama bagiku. Jadi aku harap kau malakukannya dengan lembut." Ucapnya dengan pandangan lurus langsung ke mataku. Membuatku berkedip beberapa kali. Dia menanggapi hal ini dengan cepat, tapi anehnya terlihat takut-takut dalam waktu bersamaan.
"Ha-hai!" Perkataan dan ekspresi wajahnya yang seperti orang memasrahkan diri itu entah kenapa membuatku ikut merasa gugup. Pandanganku kemudian jatuh kepada bibirnya yang berwarna merah muda sedikit pucat. Dari dekat seperti ini bibirnya terlihat sedikit mengkilap. Dan entah kenapa jantungku kini mulai berdebar.
Aku memegang kedua bahunya dan Gaara memejamkan matanya setelah membalas memegang lenganku juga. Sedikit meneguk ludah dengan perlahan aku mendekat kepadanya, memiringkan kepala dan menempelkan bibirku pada bibirnya.
'Lembut' pikirku, mulai menggerakkan bibir melumat bibir Gaara, dan seperti yang dapat kurasakan Gaara juga membalas gerakanku. Gerakannya memang agak kaku dan sedikit ragu, seiring mulai terbiasa aku menuntunnya dan menyesuaikan irama hisapan bibir kami menjadi lebih nyaman. Untunglah aku cukup sering memiliki pengalaman tentang hal ini, jadi tidak sulit untuk mengajari Gaara yang masih seorang pemula.
Tapi aku tidak menyangka Gaara memeliki tekstur bibir yang kenyal dan lembut seperti ini. Membuatku ingin menghisap dan melumatnya lagi dan lagi.
"Uem.." Gaara sedikit mengerang ketika aku menggigit bibir bawahnya dengan agak keras.
Kuselipkan lidahku di sela bibirnya. Gaara membuka mulut dan menjulurkan lidahnya yang langsung kusambut dengan lidahku, saling bergelut lidah di dalam ruang mulut yang menyatu.
Aku menyeringai di dalam hati menyadari lidah Gaara yang masih amatir tidak dapat menandingi lidah terlatihku, dan lalu mendorong lidahnya ke dalam untuk menginvasi seluruh mulut Gaara.
"Ummngh..." Erang Gaara yang agaknya merasa geli ketika aku menggelitiki langit-langit mulutnya. Rasa di dalam sini sungguh manis, seolah air liur Gaara ini terbuat dari cherry, yang semakin lama kurasakan semakin membuatku ketagihan. Mulut Sasuke yang beraroma mint bahkan tidak selezat ini. Dengan nikmatnya aku membelit lidah Gaara, menuntunnya ke dalam mulutku dan dengan lahap menyesapnya seolah ingin memeras seluruh salivanya. Menginvasi rongga basahnya lagi dan membelit lidahnya lagi.
Hingga aku melepaskannya karena kebutuhan oksigen yang tidak tercukupi. Aku membuka mata sambil merasapi sisa sensasi ciuman barusan. Menatap mulut basah yang terbuka dengan lidah sedikit terjulur, wajah Gaara terlihat begitu merah dengan nafas yang sama memburunya. Jadenya terbuka dan menatapku dengan pandangan sendu. Melihatnya seperti itu membuatku terpaku. Masih dengan memegangi bahunya aku berpikir 'bagaimana bisa ekspresi dingin itu kini berubah menjadi seperti ini?' Yang membuatku bangga dengan kesimpulan bahwa Gaara telah mabuk oleh ciumanku. Dan kini aku menjadi penasaran, jika hanya dengan ciuman saja dapat membuatnya terengah semerah ini, bagaimana jika aku melakukan yang lebih?
"Naruto," Panggilnya.
Kembali aku memiringkan kepalaku dan menghisap kulit leher Gaara.
"Ahh~!" Desahnya, yang membuat telingaku berdiri saking seksinya. Suara yang tidak pernah kudengar darinya sebelumnya. 'Imut juga' pikirku. Menjilati lehernya dan menyesap lebih ke bawah.
Tangannya yang meremas lenganku terlihat sedikit bergetar. Aku mendorongnya dan merebahkannya ke lantai. Kemudian melanjutkan aksiku dengan mengapit daun telinganya lalu menjilati rongganya.
"Akh- Naruto! Jangan disana!" Larangnya.
Aku menyeringai. "Kenapa jangan? Kulihat kau malah menikmatinya." Kataku, lalu meniup lubang telinga Gaara hingga tubuhnya menggigil. Menikmati bagaimana cara ini berhasil pada tubuh sensitive Gaara.
Gaara membuka matanya yang terpejam untuk melirikku.
"Jadi siapa yang lebih dominan?" Tanyaku, masih sambil menciuminya.
"Ba-baiklah… kau yang menang, Naruto!" Jawabnya, sedikit terengah.
"Jadi sekarang aku semenya, dan kau adalah ukeku?"
Gaara mengangguk dengan kaku. "Te-mari, dia akan datang. Bukankah ini- sudah cukup?"
"Belum cukup!" Selaku. "Aku belum melihat seberapa submissive dirimu di bawahku." Menjilat dagunya.
"Ta-pi kau bilang bisa lain kali? Hhh- kita belum makan malam."
"Kenapa pada saat seperti ini kau malah ingat untuk makan? Bisa kau buka bajumu! Aku ingin melihatmu sedikit jauh lagi!" Pintaku.
"Haruskah sekarang?" Tanyanya dengan wajah semakin merah menyaingi rambutnya.
"Sebentar saja!" Jawabku. Menenggelamkan wajah pada sisi leher yang belum terjamah, dan menghirum aroma segarnya yang berbau sabun dalam-dalam. Berkat Gaara yang baru saja mandi membuatku betah untuk menciuminya.
"Ennh- Naru!" Tidak ketinggalan tanganku ikut andil dengan melepas kancing baju Gaara mulai dari atas.
Kulitnya tidak kalah putih dengan Sasuke. Membuatku tidak sabar untuk menandainya.
TOK TOK TOK
Seketika kami membeku. Dengan kurang ajarnya orang di luar sana mengetuk pintu pada timing yang tidak tepat. Padalah aku sedang penasarannya dengan pemuda merah di bawahku yang kini berubah menjadi erotis.
"Gaara…! Sudah waktunya makan malam." Suara dari orang yang tidak lain adalah Temari.
'Plok' aku melepaskan kulit dada Gaara yang berada di mulutku dan segera beranjak saat pintu benar-benar terbuka.
"Apa yang sedang kalian lakukan?" Tanya Temari dengan pandangan menyelidik. Menatap Gaara yang baru mulai bangun dan merapikan kemejanya. Ohh… yaampun, dan jangan lupakan ekspresinya yang masih memerah dan agak berantakan.
"Bermain gulat!" sahutku untuk menjawabnya dengan senyuman nervous.
"Jangan berlebihan pada adikku Naruto!" Delik Temari. Mungkin karena melihat keadaan Gaara yang lebih berantakan daripada aku. Sehingga mengira jika adiknya telah kukerjai habis-habisan. Memang itu sebagian besar benar sih…
Setelah itu dia pergi ke ruang makan lebih dulu.
"Naruto."
"Ya?" Aku menoleh dan mendapati Gaara sedang memperhatikan kemejanya. Lebih tepatnya memperhatikan bercak merah yang ada di dadanya.
"Kau benar-benar menandaiku." Gumamnya datar.
"Ahh-err itu… apa kau tidak suka?" Tanyaku bingung. Takutnya jika benar ternyata dia tidak menyukai tanda kepemilikan seperti itu. Sedangkan walau aku partnernya… nyatanya aku bukan pacarnya. Saat melakukannya dengan Sasuke juga pemuda raven itu hampir tidak pernah memberikan kissmark yang begitu kentara.
"Tidak." Ucapnya pendek.
"Hah?"
"Tidak apa-apa." Ulangnya, kemudian pergi dan berjalan keluar kamar.
Dia bilang tidak apa-apa. Apa itu artinya…aku bebas memberikan cupang seperti itu lagi?
TBC
Gomen~!
Aku nulisnya pakai Naruto POV doank.
Soalnya aku pengen ajah nulis dengan gaya seperti ini. Pingin mendalami bagaimana jadi Naruto.
Yah… mungkin agak flat. Aku kurang bisa mikirin kalimat yang menarik. Rasanya nggak bakat.
See ya! ;)
