Gladiolus92 presents...
©Awkward Marriage
[1/4]
Genre: Romance, Drama, Hurt
Rate: T
Length: Chaptered (4 chapters)
GENDER SWITCH FOR SEVERAL CHARACTERS | AU | OOC | TYPO(s) | DLDR | NO PLAGIARISM!
All cast isn't mine, but this story is mine!
Summary:
Jongin dan Kyungsoo saling mengenal sejak SMP. Namun bisa dibilang, mereka berdua bermusuhan sejak lama. Lalu apa jadinya jika mereka kembali bertemu setelah belasan tahun tak saling bersua, dan tiba-tiba mereka memutuskan untuk menikah? Apakah sebenarnya ada cinta di antara mereka?
Menjadi seorang dokter bukanlah cita-citanya. Dulu, saat usianya masih lima tahun, ia berkata pada ibunya bahwa ia ingin menjadi seorang pemain sepak bola. "Aku ingin menjadi seperti Zinedine Zidane, Bu!" begitu bocah kecil berusia lima tahun itu berseru. Bocah itu memang mengidolakan sang pemain berkebangsaan Perancis, maka tak heran jika cita-citanya adalah untuk menjadi seorang pemain bola profesional seperti sang pemain Muslim.
Namun cita-cita itu rupanya hanya bertahan selama beberapa tahun saja. Saat usianya mulai menginjak remaja, yaitu saat ia menjadi siswa SMP, cita-citanya mengalami perubahan total. Ia ingin menjadi seperti Valentino Rossi. "Rossi keren sekali! Aku ingin menjadi sepertinya!" begitulah ambisi lelaki muda yang kala itu berusia empatbelas tahun. Saat itu ia memang sangat suka menonton pertandingan MotoGP. Bukan hanya suka menonton, tapi ia juga mempraktekkan secara langsung bagaimana caranya membalap dengan sepeda motor. Saat itu ayahnya memang membelikannya sebuah motor sport berwarna merah, dan kerap kali ia terlibat dalam ajang balapan liar. Maklum, saat itu ia memang mulai diberi gelar bad boy oleh orang-orang di sekitarnya.
Tapi cita-cita pemuda itu kembali berubah saat ia berusia enambelas, yaitu saat ia baru saja berganti status menjadi siswa SMA. Di sekolah barunya ia bertemu dengan seseorang, dan seseorang itulah yang menginspirasinya untuk berganti cita-cita menjadi seorang penari. "Aku ingin menjadi seperti Michael Jackson! Ah, tidak! Aku ingin menjadi seperti dirimu saja. Tarianmu lebih baik daripada tarian Michael Jackson." itulah kata-kata yang diucapkannya pada seseorang yang menginspirasinya saat itu. Dan menari ternyata memang passion-nya yang sesungguhnya. Entah dari mana darah seni itu mengalir. Setahunya, di keluarganya tidak ada yang berprofesi di bidang seni dan tidak ada yang memiliki bakat seni. Tapi ia tidak peduli dengan hal itu. Ia tetap menekuni seni menari selama ia menjadi siswa SMA.
Namun sayang, saat ia menjadi siswa tahun terakhir, ayahnya mengatakan secara tegas bahwa setelah ia lulus sekolah, ia harus menempuh pendidikan tinggi di Jurusan Kedokteran. Sebenarnya ia tidak terlalu kaget dengan hal itu. Pasalnya, hampir seluruh anggota keluarga besarnya memang berkecimpung di bidang kesehatan. Ada yang menjadi dokter anak, dokter gigi, perawat, dokter bedah, dan lain sebagainya. Namun hal itu tak serta merta membuatnya langsung tunduk di bawah perintah ayahnya. Ia tetap bersikukuh untuk mengambil jalan yang berbeda yaitu menjadi seorang penari. Tapi tentu saja ayahnya yang keras kepala dan bertangan dingin itu tidak merestui cita-citanya. Ayahnya tetap memaksa supaya ia menjadi seorang dokter. Dan akhirnya ia pun menyerah. Ia menyetujui keinginan ayahnya, tapi dengan satu syarat. Dan syaratnya itu adalah—
"Jongin! Kim Jongin!"
Lamunan sang pria berkacamata terpecah ketika sebuah suara keras menyergap indera pendengarannya. Pria bernama Kim Jongin itu mengerjapkan matanya sekilas, lalu melepas kacamata yang sejak tadi bertengger di atas hidung mancungnya, kemudian menatap seorang pria yang duduk di depannya. Entah sejak kapan ada seseorang yang duduk di depan mejanya.
"Kau tidak perlu berteriak, Hyung." Jongin berdiri dari kursinya. Pria itu melepas jas putihnya, menyampirkan jas itu ke kursinya, sebelum akhirnya pria itu duduk kembali. "Aku tidak tuli, kau tahu?"
Sang pria yang duduk di depan meja Jongin juga mengenakan jas putih yang sama dengan milik Jongin. Bedanya, name tag yang tertempel di bagian dada kiri jas putih itu bertuliskan hangul Kim Jongdae, dan di bawah hangul itu dituliskan nama yang sama tapi dalam huruf latin (yang juga disertai dengan gelar dokternya).
"Bukankah satu jam lagi kau ada jadwal operasi? Kau tidak bersiap?" Jongdae akhirnya bertanya, memilih untuk mengabaikan perkataan Jongin tadi.
"Aku lelah, Hyung. Setiap hari tugasku mengiris perut pasien dan bermain dengan organ tubuh mereka. Aku bosan."
Jongdae sejenak bergidik ngeri mendengar penuturan Jongin. Pemilihan kata-kata pemuda berkulit kecoklatan itu benar-benar buruk. Jongin terdengar seperti psikopat gara-gara kata-kata itu.
Tapi Jongdae memilih untuk mengabaikan perkataan absurd Jongin. Ia tahu bahwa lawan bicaranya itu sedang memikirkan hal lain saat ia masuk ke ruang kerja pemuda itu beberapa menit silam. Ia tahu bahwa Jongin tadi sedang mengingat masa lalunya. Sebuah masa lalu menyakitkan, dan hingga kini kesakitan yang dirasakannya belum bisa diobati.
"Kudengar kau menginginkan seorang asisten pribadi." Perkataan Jongdae membuat Jongin mengangkat satu alisnya bingung. "Ayah yang bilang padaku tentang hal itu. Seharusnya kau langsung bilang padaku kalau kau memang membutuhkan asisten pribadi. Aku adalah direktur disini, dan aku yang berhak menentukan siapa yang layak menjadi asistenmu."
Jongdae dan Jongin adalah sepasang kakak-beradik. Usia Jongdae tigapuluhdua tahun, dua tahun lebih tua dari usia Jongin. Satu tahun lalu Jongdae resmi menjabat sebagai direktur di rumah sakit khusus bedah itu. Rumah sakit itu adalah milik keluarga Kim, maka tak heran jika pimpinannya juga merupakan seorang Kim.
Ayah dari dua bersaudara itu memutuskan untuk pensiun satu tahun yang lalu, dan jabatan sebagai direktur ia serahkan pada putra sulungnya. Kemudian tepat satu bulan lalu, Jongdae mengangkat Jongin sebagai wakil direktur di rumah sakit. Jongin tentu saja menolak jabatan itu, tapi Jongdae terus memaksanya. Ia bilang, Jongin harus mulai belajar untuk mengemban tanggung jawab yang lebih berat.
Dan disinilah ia sekarang, Jongin yang merupakan dokter spesialis bedah—sama seperti Jongdae—menjabat sebagai wakil direktur.
"Aku tidak yakin kau akan mengabulkan keinginanku, Hyung. Kau selalu senang melihatku menderita. Menjadikanku sebagai wakilmu adalah penderitaan bagiku, Hyung. Lihatlah tugas-tugas yang harus kuselesaikan ini!" Jongin menunjuk pada berkas-berkas yang berserakan di mejanya.
Di sisi lain, Jongdae justru terkekeh melihat penderitaan adiknya. "Jangan terlalu banyak mengeluh, adikku sayang." Ia menghentikan tawanya. "Mood-ku sedang bagus, dan aku akan mengabulkan keinginanmu. Aku akan mencarikanmu seorang asisten pribadi yang siap untuk membantumu."
"Kenapa tiba-tiba mood-mu baik, Hyung? Katakan padaku, siapa yang semalam kau tiduri?"
"Ya! Adik kurang ajar! Aku adalah pria baik-baik dan aku hanya akan tidur dengan istriku kelak!"
Jongin tertawa sampai memukuli meja di depannya beberapa kali. Ia selalu suka menggoda kakaknya walaupun ia tahu bahwa kakaknya bukanlah pria brengsek.
"Berhenti tertawa, anak bodoh!" Jongdae mulai emosi, dan Jongin langsung mengatupkan bibirnya. "Aku akan meminta rekomendasi dari temanku tentang siapa yang pantas menjadi asisten pribadimu. Sekarang aku harus pergi." Jongdae berdiri, lalu mulai berjalan menuju pintu. Belum sempat ia menggapai gagang pintu, ia berhenti berjalan dan menoleh pada Jongin lagi. "Nanti malam keluarga besar Kim akan mengadakan acara makan malam di rumah. Ayah berpesan bahwa kau harus datang. Ada hal penting yang akan dibicarakan."
Jongin mengerutkan alisnya sambil terus menatap Jongdae. Wajah kakaknya itu serius sekali. Kira-kira apa yang akan dibicarakan oleh ayahnya?
Kembali sang dokter muda duduk termenung di ruangannya hari ini. Hari sudah berganti, namun wajah dokter itu tak kunjung berseri. Wajah itu suram seperti cuaca mendung. Gelap bagaikan tiada sang mentari.
Jongin baru saja menyelesaikan sebuah operasi. Pakaian warna biru muda yang menjadi kostum operasinya masih melekat di tubuhnya, masker masih bertengger di bawah dagunya, penutup kepalanya masih terpasang di kepalanya, dan kacamata minusnya juga masih ia pakai.
Sebuah operasi yang cukup sulit baru saja dilewatinya. Pasiennya merupakan anak kecil berusia sepuluh tahun, dan anak itu sempat mengalami pendarahan hebat saat proses operasi tadi. Detak jantungnya bahkan amat sangat lemah saat itu, hingga beberapa dokter yang mendampingi Jongin dalam operasi itu nyaris mengangkat tangan tanda menyerah.
Tapi Jongin tetap tak menyerah. Pemuda itu tadi bertugas memimpin operasi, dan ia tak bisa membiarkan nyawa pasiennya melayang begitu saja hanya karena ia dan dokter-dokter yang lain dengan gampangnya menyerah. Jongin adalah dokter yang sangat berbakat meskipun ia menjalani profesinya dengan setengah hati. Sejak kecil pria itu memiliki otak cemerlang, dan itu menjadi bekal yang amat berharga baginya saat ini. Ia bersyukur karena kemampuan dan kepandaiannya yang sangat luar biasa itu.
Lamunan Jongin terbuyarkan oleh suara ketukan halus di pintu ruangannya. Ia segera memerintahkan orang yang mengetuk pintu untuk masuk karena ia berpikir bahwa mungkin salah satu perawat atau dokter lain ingin menemuinya. Tapi rupanya dugaannya salah. Seseorang yang memasuki ruangannya adalah seorang wanita berkemeja putih yang memadukan kemeja itu dengan rok hitam selutut. Rambut wanita itu berwarna hitam dan diikat ekor kuda, menjadikan wajah dan leher wanita itu terekspose bebas tanpa sehelai rambut pun yang menutupi. Wanita itu membungkuk hormat di depan Jongin, dan Jongin mengerutkan dahinya, berpikir keras.
"Anda siapa? Dan, ada perlu apa Anda menemui saya?" Jongin akhirnya bertanya.
Sang wanita berdiri dengan kikuk, lalu menjawab, "Saya Do Kyungsoo. Kim Jongdae-ssi meminta saya untuk menemui Anda. Beliau bilang, Anda membutuhkan seorang asisten pribadi."
"Ah, jadi kakakku merekomendasikanmu?" Kyungsoo mengangguk, dan Jongin kembali bicara, "Kalau begitu, silahkan duduk."
Kyungsoo pun duduk, lalu ia bicara lagi, "Sebenarnya kakak saya yang merekomendasikan saya pada pada Kim Jongdae-ssi. Sepertinya kakak saya berteman dengan beliau."
Jongin mengangguk paham. Penjelasan Kyungsoo itu sama sekali tidak penting baginya. Ia tak peduli siapa teman kakaknya yang merekomendasikan Kyungsoo. Ia hanya butuh asisten, itu saja.
Jongin tak bicara lagi setelahnya. Ia sibuk memperhatikan sosok wanita berkulit putih di hadapannya. Ada sesuatu yang familiar tentang wanita itu. Sepertinya ia pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya.
Kyungsoo juga memperhatikan Jongin dengan seksama meskipun kegiatannya untuk menelisik wajah Jongin itu terhalang oleh kacamata dan penutup kepala yang bertengger di wajah dan kepala si pemuda. Sepertinya Kyungsoo pernah bertemu dengan Jongin sebelumnya, tapi dimana?
"Sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya," Jongin akhirnya memecah keheningan.
"Saya juga memikirkan hal yang sama, tapi saya tidak bisa mengingat kapan kita pernah bertemu," Kyungsoo menimpali.
Jongin tak bicara lagi. Ia memutar otaknya untuk berpikir lebih keras. Ia benar-benar pernah bertemu dengan Kyungsoo. Ia yakin itu. Atau mungkin ia salah mengenali orang? Seingatnya, ia memang pernah bertemu dengan seseorang yang mirip sekali dengan Kyungsoo. Tapi bedanya, seseorang yang mirip Kyungsoo itu mengenakan kawat gigi dan memakai kacamata tebal setiap saat. Lalu rambut seseorang itu selalu dikepang dua dan sama sekali tidak terlihat modis. Kemudian, seseorang itu selalu kikuk sepanjang waktu, bahkan saat berjalan selalu tersandung kakinya sendiri. Dan seseorang itu bernama...
"Dumb Kyungsoo!" tanpa sadar Jongin berteriak saat ia mengingat nama seseorang yang mirip dengan wanita di depannya. Atau, sepertinya tidak hanya mirip, tapi mereka memang orang yang sama. Nama mereka sama-sama Kyungsoo, 'kan?
"Maaf, apa yang tadi Anda katakan?" Kyungsoo ragu-ragu bertanya. Ia takut salah mendengar ucapan Jongin.
"Kau!" dengan tidak sopan Jongin menunjuk wajah Kyungsoo. "Kau adalah Dumb Kyungsoo! Siswa paling bodoh dan paling jelek di sekolah, tapi kau selalu berani melawanku. Kau lupa, huh? Kalau begitu, coba lihat ini." Jongin mulai melepas kacamatanya, lalu menanggalkan masker yang tadi menutupi dagunya, kemudian melepas penutup kepalanya. "Kau mengingatku sekarang?"
Kyungsoo membulatkan matanya saat dirinya bisa melihat wajah Jongin secara utuh. Jari telunjuk gadis itu secara refleks menunjuk wajah Jongin. "Kau adalah Kkamjong? Siswa sok pintar dan sok tampan di sekolah yang selalu mencari masalah denganku?"
Jongin menyeringai, lalu membalas perkataan Kyungsoo, "Kau yang selalu mencari masalah denganku, bodoh. Tak kusangka kita bertemu lagi disini. Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Kurasa sudah lama sekali."
Kyungsoo menarik kembali tangannya dan meremas tangannya di atas pangkuannya. Kenapa juga ia harus bertemu dengan musuh bebuyutannya itu?
Kyungsoo dan Jongin bersekolah di sekolah yang sama saat SMP. Dua orang itu bahkan selalu satu kelas. Saat itu Jongin menjadi siswa terpandai, sementara Kyungsoo menjadi siswa terbodoh. Jongin membenci Kyungsoo karena Kyungsoo terlalu bodoh seakan tak punya otak, sedangkan Kyungsoo membenci Jongin karena Jongin terkesan sombong hanya karena otaknya jenius. Intinya, dua orang itu saling membenci.
"Aku tak menyangka aku harus melamar pekerjaan disini," Kyungsoo menggumam lemas.
"Penampilanmu sudah jauh lebih baik sekarang." Mata Jongin menelisik penampilan Kyungsoo dari atas ke bawah. "Tapi aku yakin otakmu masih saja bodoh seperti dulu. Kalau kau sudah tidak bodoh, kau pasti sekarang memiliki pekerjaan dan tidak harus bersusah-payah mencari pekerjaan di usiamu yang sudah kepala tiga, 'kan?"
Kyungsoo menggeram menahan emosinya. Memang benar bahwa sekarang ia menganggur. Tepatnya sudah enam bulan ia menganggur. Memangnya apa yang kau harapkan dari seorang lulusan SMA seperti dia? Ia dulu tidak melanjutkan studi ke jenjang pendidikan tinggi karena ia terlalu bodoh, dan keluarganya tidak cukup kaya untuk membiayai perkuliahannya di universitas swasta yang sangat mahal. Jadilah ia hanya bisa pasrah menjadi lulusan SMA yang sangat kesulitan dalam mencari pekerjaan.
Setelah lulus SMA ia memang beberapa kali bekerja, tapi semuanya selalu berakhir dengan pemecatan. Ia pernah bekerja sebagai asisten koki di restoran selama satu tahun, tapi ia dipecat karena ia nyaris membakar dapur. Kemudian ia pernah menjadi guru bantu di sebuah taman kanak-kanak selama enam bulan, tapi ia dipecat karena ia membuat siswanya menangis karena matanya yang seram. Ia juga pernah bekerja sebagai resepsionis di hotel selama satu tahun, tapi ia dipecat karena ia sangat sering datang terlambat. Dan masih banyak lagi jenis pekerjaan yang pernah dilakoni Kyungsoo, tapi semuanya berakhir dengan tragis.
Dan hari ini ia melamar di rumah sakit ini atas rekomendasi kakaknya, tapi ia tak tahu jika Jongin lah yang akan menjadi atasannya. Ia hanya ingin mendapatkan pekerjaan karena ibunya cerewet sekali melihatnya menganggur di rumah. Ibunya sering sekali membanding-bandingkan dirinya dengan kakaknya yang sekarang bekerja sebagai perawat di sebuah rumah sakit anak yang letaknya tak jauh dari rumah sakit ini. Kuping Kyungsoo sudah terlalu panas mendengar ocehan ibunya.
"Aku memang membutuhkan pekerjaan, tapi aku tidak terlalu bodoh untuk menyerahkan diriku kepadamu disini. Jadi sebaiknya aku pergi." Sopan santun Kyungsoo sudah hilang entah kemana. Lagipula memang tidak ada gunanya untuk sopan pada musuhnya itu.
Kyungsoo sudah akan berdiri dari kursinya, namun suara Jongin menghentikan gerakannya, "Kau bisa bekerja padaku, kalau kau mau."
"Tidak mungkin kau menawarkan pekerjaan itu dengan cuma-cuma. Katakan, apa maumu?"
Jongin sejenak tertawa. Ternyata Kyungsoo masih sama. Meskipun Kyungsoo dulu adalah siswa nerd yang sering di-bully, tapi Kyungsoo bukanlah gadis lemah yang akan mengalah begitu saja. Ternyata Kyungsoo masih sama.
"Ya, aku memang menginginkan sesuatu darimu." Jongin meletakkan dua sikunya di atas meja dan menatap Kyungsoo intens. "Menikahlah denganku, Do Kyungsoo."
Kyungsoo yakin, telinganya pasti salah dengar. Setelah ini ia harus mengunjungi dokter THT.
"Apa kau bilang? Sepertinya aku salah dengar."
"Tidak, Kyungsoo. Kau tidak salah dengar. Aku memang ingin menikah denganmu."
"Lelucon macam apa ini? Atau jangan-jangan, sejak dulu kau memang menyukaiku, tapi kau terlalu malu padaku, makanya kau mem-bully-ku?"
Pertanyaan Kyungsoo itu membuat Jongin terbahak. Sepertinya sudah lama sekali pria itu tidak menggerakkan mulutnya untuk tertawa lepas seperti itu. Akhir-akhir ini tawanya dipenuhi kepura-puraan, dan baru kali ini ia tertawa dengan bebas tanpa beban.
"Kau terlalu banyak menonton drama sampai-sampai cara berpikirmu dramatis sekali," Jongin berucap saat tawanya reda. "Aku akan memberitahumu dua hal. Pertama, aku tidak pernah menyukaimu. Dan kedua, aku ingin menikah denganmu karena suatu alasan, dan alasan itu bukan cinta."
Selama beberapa saat Kyungsoo terdiam. Ternyata ia telah salah menebak. Tadi ia sangat kaget karena tiba-tiba Jongin ingin menikahinya, tapi sekarang rasa kagetnya itu lenyap, digantikan oleh rasa penasaran.
"Kalau bukan karena cinta, lalu karena apa?"
"Tadi malam ayahku membuat sebuah keputusan. Keputusan itu mengharuskanku untuk menikah secepatnya, karena kalau tidak, ayahku akan memaksaku untuk menikah dengan gadis pilihannya."
"Keputusan macam apa itu? Memangnya kenapa kau harus cepat-cepat menikah? Kakakku bilang, Jongdae-ssi saja belum menikah, jadi kenapa kau harus buru-buru menikah?"
Kali ini Jongin tak lantas menimpali pertanyaan Kyungsoo. Hidupnya terlalu rumit, dan semuanya semakin rumit sejak enam minggu yang lalu. Otak Jongin terlalu lelah sampai-sampai ia memikirkan solusi yang bodoh, yaitu solusi dengan menikahi Kyungsoo. Tapi setidaknya menikah dengan Kyungsoo (yang merupakan 'teman' sekelasnya selama tiga tahun di sekolah) masih lebih baik daripada menikah dengan gadis yang sama sekali tidak ia kenal.
Lagipula untuk apa ia menikah jika di hatinya sudah tak ada cinta sama sekali? Pernikahan sama sekali tak ada gunanya, apalagi jika harus menikah dengan orang yang tak dikenalnya. Kyungsoo adalah alternatif terbaik mengingat Jongin memang tak memiliki banyak teman wanita yang berstatus single. Kebanyakan temannya sudah berpasangan, bahkan sudah menikah. Dan ia yakin Kyungsoo masih single karena tadi ia tidak melihat cincin pernikahan melingkar di jari manis gadis itu.
"Kalau kau tidak mau, ya sudah. Jangan banyak bertanya." Jongin yang sudah frustrasi akhirnya memutar kursinya hingga ia duduk memunggungi Kyungsoo. Meskipun ia membutuhkan bantuan Kyungsoo, tapi ia belum siap untuk menceritakan semua kisahnya pada orang luar, apalagi orang luar itu adalah musuh lamanya.
Tapi sikap diam Jongin justru mengusik rasa penasaran di benak Kyungsoo. Gadis itu belum pernah melihat Jongin seperti itu, dan ia ingin tahu apa yang membuat Jongin sampai frustrasi begitu.
"Kalau kau memang ingin menikahiku untuk menghindari perjodohan yang direncanakan oleh ayahmu, maka kau harus menceritakan semuanya padaku. Tak mungkin aku menikah denganmu tanpa tahu apapun tentangmu."
"AKU TIDAK INGIN BERCERITA, DAN KAU TAK PERLU MAU MENIKAH DENGANKU!"
Hening. Ruang kerja Jongin diselimuti keheningan pasca Jongin berteriak. Kyungsoo terlalu kaget mendengar teriakan itu, dan yang bisa ia lakukan hanyalah menundukkan kepalanya. Seharusnya sejak tadi ia pergi dari tempat itu.
Di sisi lain, Jongin merasa bersalah karena telah membentak Kyungsoo. Mungkin dulu mereka memang bermusuhan, tapi itu dulu saat usia mereka masih sangat belia. Kini mereka sudah sama-sama dewasa, dan tak seharusnya mereka bersikap kekanakan begitu.
"Hidupku berubah menjadi berat sejak SMA," Jongin akhirnya mau bercerita. Kini pemuda itu sudah kembali duduk menghadap Kyungsoo. "Aku bertemu dengan seseorang saat SMA, dan aku jatuh hati padanya. Ia adalah seseorang yang banyak menginspirasiku. Kami mulai menjalin hubungan beberapa bulan setelah kami berkenalan, tapi hubungan kami menemui banyak kendala."
Dengan ragu Kyungsoo mengangkat kepalanya. Ia sedikit kaget karena tiba-tiba Jongin bercerita, tapi ia memutuskan untuk menanggapi, "Kenapa hubungan kalian menemui banyak kendala?"
"Orang tuaku tidak merestui hubungan kami," Jongin menjawab. Ia menatap Kyungsoo, dan gadis itu balas menatapnya dengan pandangan bertanya. Ia tahu bahwa gadis itu semakin penasaran sekarang.
Jongin menimbang-nimbang, apakah ia harus menceritakan segalanya pada Kyungsoo. Pasalnya, rahasia yang ia simpan itu hanya diketahui oleh sedikit orang, yaitu oleh keluarganya sendiri. Orang luar tidak tahu tentang hal itu.
"Berjanjilah untuk terus menyimpan rahasiaku ini. Jangan katakan pada siapapun. Mengerti?" akhirnya Jongin bertanya. Setelah ia melihat Kyungsoo mengangguk, ia melanjutkan ceritanya, "Orang tuaku tidak merestui hubungan kami karena...hubungan kami tidak lazim."
Alis tebal Kyungsoo berkerut, dan gadis itu refleks bertanya, "Hubungan yang tidak lazim? Maksudmu, kau mengencani gadis di bawah umur? Begitu?"
"Tidak, tidak seperti it—
"Lalu apa? Apa kau mengencani nenek-nenek?"
"Tidak, bukan seperti itu jug—
"Lalu ap—
"AKU MENGENCANI SEORANG PRIA! PUAS KAU?"
Keheningan kembali melanda ruang kerja Jongin pasca Jongin membuat sebuah pengakuan yang sangat mengejutkan.
Mata bulat Kyungsoo saat ini melebar hingga ukuran penuh. Gadis itu sungguh terkejut mendengar pengakuan Jongin. Seingatnya, dulu Jongin normal-normal saja. Bahkan saat SMP Jongin pernah mengencani seorang gadis. Tapi ini apa? Kenapa Jongin membuat pengakuan seperti itu?
"Ja-jadi kau gay?"
"Aku biseksual, kau tentu masih ingat 'kan dulu aku pernah mengencani seorang gadis? Tapi harus kuakui kalau aku memang cenderung menyukai pria. Ya, kau bisa mengatakan aku tidak normal."
Kyungsoo tak tahu harus berkata apa lagi. Di depannya, Jongin terlihat sangat frustrasi. Lelaki tampan itu bahkan mengacak rambutnya untuk meluapkan perasaannya itu.
"Orang tuamu tahu tentang hal itu?"
"Ya, mereka tahu."
"Dan mereka tidak merestui hubungan kalian?"
"Selama dua tahun mereka tidak memberi restu. Tapi saat tahun terakhirku di sekolah, aku memaksa mereka untuk merestui hubungan kami. Saat itu ayahku memaksaku untuk melanjutkan studi di Jurusan Kedokteran. Aku menyetujui hal itu dengan syarat orang tuaku harus menerima hubunganku dengan kekasihku."
"Kau benar-benar licik."
"Ya, aku tahu."
"Lalu sekarang dimana kekasihmu? Kenapa kau tidak menikah dengan kekasihmu saja? Ya... Walaupun kalian harus menikah di Amerika atau di negara lain yang menerima LGBT."
Jongin tak langsung menjawab. Jawaban yang akan ia berikan terlalu menyakitkan untuknya. Sulit sekali menceritakan semuanya kembali.
"Kekasihku... Kekasihku meninggal enam minggu yang lalu."
Mata Kyungsoo kembali terbelalak. Kenapa kisah yang dialami Jongin benar-benar seperti drama? Kenapa hidup lelaki itu benar-benar tragis?
"Empatbelas tahun kami menjalin hubungan yang penuh dengan lika-liku, namun ternyata kami tidak ditakdirkan bersama. Ia mengalami kecelakaan mobil enam minggu lalu. Ia meninggal di lokasi kejadian."
Empatbelas tahun? Itu waktu yang sangat panjang dalam sebuah hubungan. Kim Jongin yang bad boy itu ternyata adalah orang yang setia. Tak banyak orang yang mampu bertahan selama itu dalam sebuah hubungan.
Kisah Jongin memang tragis. Enam minggu lalu Jongin benar-benar terpuruk karena kematian kekasihnya, sumber inspirasinya. Barulah satu bulan lalu Jongdae berusaha mengalihkan atensi Jongin dengan memberinya jabatan sebagai wakil direktur. Ia berharap kesibukan Jongin akan membantu pria itu supaya cepat move on, tapi rupanya hal itu tak tercapai. Jongdae masih sering mendapati adiknya itu melamun, seperti meratapi nasibnya.
"Orang tuaku tentu saja senang karena akhirnya aku berpisah dengan kekasihku itu. Mereka berharap aku segera normal kembali, makanya mereka memaksaku untuk segera menikah dengan seorang gadis. Itulah kisahku."
Kyungsoo menatap Jongin dengan sendu. Baru kali ini gadis itu melihat sisi rapuh Jongin. Kyungsoo memang tak terlalu mengenal Jongin. Gadis itu hanya tahu sisi buruk dari seorang Kim Jongin, dan ia tak tahu bahwa Jongin mengalami banyak masa sulit setelah mereka tidak satu sekolah lagi saat SMA.
"Apa hanya aku yang bisa membantumu? Maksudku, kau pasti punya banyak teman wanita yang bisa kau nikahi, 'kan?"
"Teman wanitaku semua sudah memiliki pasangan. Aku tidak mungkin mengganggu hidup mereka."
Kyungsoo sekarang bingung. Ia tidak mau bermain-main untuk masalah pernikahan. Pernikahan adalah hal yang sakral, dan ia tak boleh mempermainkan hal yang sakral itu.
"Soal pernikahan yang kau tawarkan tadi, apa itu seperti sebuah pernikahan kontrak?"
"Kau bisa menganggapnya begitu. Kita bisa menikah selama beberapa bulan, kemudian bercerai. Yang penting aku meyakinkan orang tuaku bahwa aku sudah kembali normal."
"Aku akan memikirkan semuanya. Beri aku waktu."
"Baiklah. Aku memberimu waktu sampai besok."
"Ya, aku akan datang kemari lagi besok. Sekarang, aku ingin bertanya satu hal lagi. Siapa nama mendiang kekasihmu yang sangat kaucintai itu?"
"Namanya Taemin. Lee Taemin."
Kyungsoo tinggal di sebuah rumah sederhana bersama keluarga kecilnya yang terdiri dari ayah, ibu, dan seorang kakak perempuan.
Ayah dan kakak perempuannya sebenarnya tidak memiliki hubungan darah dengannya. Mereka adalah ayah dan kakak tiri bagi Kyungsoo.
Kyungsoo adalah anak yatim sejak limabelas tahun lalu, dan sepuluh tahun lalu ibunya menikah lagi dengan seorang pria yang memiliki satu anak perempuan. Sejak saat itu, keluarga Kyungsoo terasa lengkap lagi.
Kakak perempuan Kyungsoo bernama Minseok, usianya tiga tahun di atas Kyungsoo—usia Kyungsoo sama seperti Jongin, tigapuluh tahun. Kakak tiri Kyungsoo menyandang marga Kim, sama seperti marga ayahnya. Mereka semua memang sepakat bahwa Kyungsoo tetap menggunakan marga Do meskipun memiliki ayah tiri bermarga Kim.
Minseok bekerja sebagai seorang perawat. Kadang ia masuk pagi dan pulang di sore hari, tapi kadang ia masuk malam dan pulang di pagi hari. Namun hari ini rupanya Minseok pulang di sore hari karena ia bekerja sejak tadi pagi.
"Bagaimana interview-nya tadi? Kapan kau akan mulai bekerja?" Minseok langsung menghujani Kyungsoo dengan pertanyaan padahal gadis berpipi tembam itu baru saja pulang.
Kyungsoo yang sedang tiduran di ranjang pun hanya bisa menghela nafas. Dua saudara tiri itu menempati kamar dan ranjang yang sama sejak sepuluh tahun silam. Meskipun mereka hanya saudara tiri, namun hubungan mereka sangatlah dekat. Kyungsoo bersyukur karena memiliki seorang kakak perempuan seperti Minseok.
"Dunia ternyata sangat sempit. Kim Jongin. Ia adalah musuh bebuyutanku saat SMP, Eonni."
"Apa? Musuh bebuyutan? Aku tidak tahu kalau kau ternyata punya musuh."
Kyungsoo memaklumi ketidaktahuan Minseok. Saat masih SMP, Kyungsoo memang belum mengenal Minseok, dan ia pun memang tak pernah menceritakan tentang permusuhannya dengan Jongin pada kakaknya itu.
"Ceritanya panjang, Eonni."
Minseok menghela nafas, kemudian duduk di tepi ranjang. "Jadi, interview-nya tidak berjalan baik, ya?" Melihat adiknya mengangguk, Minseok bicara lagi, "Aku memang belum pernah bertemu dengan Jongin, tapi Jongdae selalu bercerita tentang Jongin padaku. Jongin itu sebenarnya sangat lemah. Aku kasihan padanya."
Mendengar penuturan kakaknya, Kyungsoo refleks bangkit dari posisi tidurnya, dan duduk menghadap kakaknya. "Jongdae-ssi menceritakan semuanya pada Eonni?" Kali ini Minseok yang mengangguk, dan Kyungsoo buka suara lagi, "Apakah... Apakah Jongdae-ssi menceritakan tentang..."
"Tentang orientasi seksual Jongin?" dengan cepat Minseok memotong kalimat Kyungsoo yang terdengar ragu. "Ya, ia menceritakan tentang itu juga. Aku dan Jongdae sangat dekat sejak ia menjadi juniorku saat SMA, kau tahu?"
Kyungsoo memutuskan untuk mengabaikan pertanyaan terakhir kakaknya, dan ia justru balas bertanya, "Apa Eonni juga tahu kalau ayahnya memaksanya untuk segera menikahi seorang gadis?"
"Ya, tadi pagi Jongdae menceritakan tentang hal itu padaku. Kenapa memangnya?"
Kali ini Kyungsoo tampak gugup. Gadis berambut panjang itu menggigiti bibir bawahnya, satu tanda bahwa ia gugup. Gadis itu sedang mempertimbangkan apakah ia harus menceritakan semuanya pada kakaknya.
Tapi sebenarnya tidak ada salahnya Minseok tahu tentang segalanya. Toh Minseok juga sudah tahu rahasia terbesar Jongin, 'kan? Alasan itulah yang mendorong Kyungsoo untuk bercerita. Ia menceritakan dengan rinci perihal pertemuannya dengan Jongin. Cerita utamanya adalah tentang penawaran Jongin untuk melakukan pernikahan kontrak dengannya.
Setelah selesai bercerita, Kyungsoo mengamati reaksi Minseok. Ia pikir Minseok akan terkejut, tapi ternyata ia salah. Minseok diam dengan ekspresi yang tak terbaca.
"Katakan sesuatu, Eonni! Kau membuatku takut!"
Minseok pun akhirnya mengerjap satu kali, kemudian tersenyum santai. "Aku dan Jongdae sudah menduga Jongin akan mengambil tindakan itu, jadi aku tidak terkejut."
"Tapi, Eonni. Bukankah Jongin sangat brengsek? Ia mempermainkan pernikahan, dan yang ia tawarkan padaku hanyalah sebuah pekerjaan menjadi seorang asisten pribadi. Itu tidak setimpal, 'kan?"
Ya, Kyungsoo sudah mempertimbangkan semuanya setelah ia bertemu Jongin siang tadi. Bodoh sekali kalau ia sampai menerima tawaran Jongin dengan mudah padahal bayaran untuknya hanyalah sebuah pekerjaan yang terbilang rendahan.
"Kau tidak boleh bicara seperti itu." Minseok memukul pelan kepala adiknya. "Tidak ada salahnya kalau kau menerima tawaran Jongin. Aku yakin kau akan mendapat balasan yang setimpal kalau kau bersedia membantu Jongin."
"Apa? Jadi Eonni setuju kalau aku berpura-pura menikah dengan pria sialan itu? Kenapa dengan mudahnya Eonni setuju? Eonni pasti tidak menyayangiku 'kan sampai-sampai aku dijadikan korban begini?"
"Oh, kau berlebihan, Kyungsoo. Membantu Jongin tidak sepenuhnya berdampak negatif untukmu. Kau mendapat sebuah pekerjaan sekaligus mendapatkan suami yang tampan. Kau tidak mau, huh? Jongin is the hottest guy ever. You can't deny that fact, Do Kyungsoo."
"Aku tidak peduli dengan wajah pria menyebalkan itu. Mantan-mantanku dulu juga tampan, Eonni. Kau tidak bisa menyangkalnya."
Dan Minseok pun menghela nafas lelah. Berdiskusi dengan adiknya memang selalu membuatnya sakit kepala.
"Begini saja." Minseok akhirnya menemukan solusi. "Aku akan membicarakan hal ini pada Jongdae, dan ia pasti juga akan membujukmu sampai kau mau membantu adik tersayangnya. Dan sebagai gantinya, Jongdae akan memberimu gaji yang besar untuk jasamu itu. Kau mau berapa? Duapuluh juta won per bulan? Atau limapuluh juta won?"
"Eonni..." Kyungsoo justru merengek setelah mendengar ide kakaknya. "Semua bukan hanya tentang uang, tapi tentang kebahagiaanku juga. Seharusnya pernikahan itu hanya sekali seumur hidup dan harus bahagia, tapi aku justru terlibat dalam pernikahan kontrak yang sarat akan unsur keterpaksaan. Aku tidak akan bahagia, Eonni."
Minseok kini termenung. Benar juga. Kebahagiaan Kyungsoo seharusnya menjadi prioritas, dan ia tidak bisa hanya memikirkan tentang materi saja. Kyungsoo harus bahagia, dan Minseok wajib memikirkan cara supaya adik tirinya itu bahagia.
"Aku menemukan sebuah ide, Kyungsoo. Kau akan bahagia dalam pernikahanmu dengan Jongin. Aku bisa menjamin itu."
"Apa idemu, Eonni?"
"Aku akan memberitahumu nanti, tapi kau harus berjanji lebih dulu. Kalau ideku ini bagus, kau harus mempertimbangkan untuk menikah dengan Jongin. Lagipula, aku yakin kalau kau sekarang sebenarnya sudah tidak membencinya. Dan kau juga sangat membutuhkan pekerjaan, 'kan? Jadi, kenapa tidak mencoba?"
Sejenak Kyungsoo berpikir keras. Ia memang membutuhkan pekerjaan, tapi haruskah ia menghalalkan segala cara untuk memperoleh pekerjaan?
Dan, apakah perkataan kakaknya tadi benar? Benarkah sebenarnya ia sudah tidak membenci Jongin lagi? Kalau dipikir-pikir, hal itu mungkin benar adanya. Kalau ia masih membenci Jongin, pasti ia masih terus ingat pada rasa bencinya, yang berarti ia masih terus ingat pada Jongin. Tapi apa faktanya? Kyungsoo nyaris lupa seratus persen pada Jongin, dan ia baru mengingat pria itu setelah tadi bertemu. Artinya, rasa benci Kyungsoo sebenarnya sudah hilang entah kemana. Benar, 'kan?
Karena alasan itulah, Kyungsoo akhirnya menjawab, "Baiklah, Eonni. Aku akan mempertimbangkan idemu." Kyungsoo bisa melihat Minseok tersenyum lebar, dan ia cepat-cepat menyambung ucapannya, "Tapi sebelumnya, aku memiliki sebuah pertanyaan yang harus kau jawab. Sebenarnya, apa hubunganmu dengan Jongdae-ssi?"
Dan pertanyaan jahil Kyungsoo itu membuat senyum lebar Minseok lenyap bagai tersapu angin.
To be continued...
Glad's Note:
Selamat malam~ Aku menepati janjiku dengan membawakan satu FF GS terbaru :D
FF ini aku bikin chaptered, tapi cuma short chaptered aja. Bakal ada empat chapter, tapi setiap chapternya panjang-panjang kok. Jadi tenang aja^^
Aku nggak bisa update tiap hari kayak biasanya. Mungkin aku bakal update beberapa hari sekali, atau bahkan satu minggu sekali. Mohon dimaklumi ya karena sekarang nggak bisa sering2 online. Semoga kalian bisa ngerti. Lagipula, FF ini cuma terdiri dari empat chapter, jadi nggak butuh waktu lama buat sampai di chapter terakhir. Hehe.
Ok, sampai jumpa di chapter selanjutnya!
With love,
Gladiolus92
