Phosphorescent
By Arianne794
.
Horror, Mystery, Minor-Romance
.
.
.
You better read this alone in the middle of the night, without a single light. And, who knows who will stay beside, maybe read along with you. Boo!
.
.
First, Cold Breath
.
.
Hari itu sangat gelap, padahal sepertinya Mama sudah membuka tirai tanda pagi sudah menjelang. Aku masih enggan membuka mata, mataku bertambah berat karena hawa masih dingin. Menusuk beku sampai membuat gulungan selimut tebalku terasa sia-sia.
Aku merasakan tengkukku menggigil, merambat ke depan sampai gigiku bergemeletuk. Tengkukku tertiup pelan oleh hembusan sedingin es, sampai-sampai aku merasa seperti ada kulkas terbuka di belakangku. Kenapa ini?
"Dingin?"
Aku terkesiap. Aku menoleh kebelakang dan sebuah wajah pucat pasih terpampang, dia tersenyum.
Tapi dia tak punya apapun lagi selain sepasang bibir itu di wajahnya.
Senyumnya melebar, menampakkan gigi runcing berderet tanpa celah.
"AAAAAAA!"
Aku terbangun dengan nafas terengah, dadaku turun naik tak teratur. Aku mengedarkan pandangan. Aku mengenalnya dengan baik, ini kamarku. Tirai sudah terbuka dan ada sedikit cahaya masuk, berhasil sedikit menerobos dari celah awan kelabu.
Kumpulan rintik kecil menampar kaca jendela menjadi apa aku lihat saat Mama berteriak dari bawah. Suaranya terdengar sedikit menggelegar.
"Ya, Maa... Luhan bangun."
.
.
.
Aku berjalan pelan, menyusuri trotoar dengan payung biru tua yang terbuka. Pagi ini hujan kembali datang dan Mama kembali berceramah soal payung dan jangan sampai sakit. Aku hanya mengangguk pelan saat sarapan, tak sepenuhnya mendengarkan. Aku terlalu sibuk berpikir.
Kenapa aku kembali mengalami mimpi itu?
Terhitung mimpi keempat yang aku alami, dan tak ada yang berbeda. Tirai terbuka tanpa cahaya, hawa dingin berhembus menusuk dari belakang, dan seseorang bergigi runcing itu.
Seharusnya itu tidak terjadi, seharusnya semua berjalan normal seperti tiga tahun terakhir ini. Tanpa ada seseorang seperti dia, atau seseorang-seseorang lain yang tidak aku inginkan.
Aku memejamkan mata, menarik nafas pelan. Berusaha menenangkan diri.
Tak apa, tak apa. Hanya mimpi seperti itu, bukankah kau pernah mengalami yang lebih parah?
Aku mencoba mensugesti diriku sendiri.
"Hei, Luhan! Keberatan berbagi payung denganku?"
Pemilik suara itu menubrukku dari belakang. Payungku sedikit oleng, dan alhasil beberapa sisi tubuhku terkena percik hujan. Astaga, dia tak pernah berubah.
"Bisakah menyapaku dengan sedikit lebih tenang?"
Dia memberikan cengiran yang mengingatkanku pada seseorang, dan kurasa aku tengah tersenyum saat ini.
"Apa itu artinya aku boleh menumpang payungmu, Manis?"
Aku memberikan dengusan kecil dan langsung melangkah. Pertanyaan retoris yang membuatku merasa geli. Dia mengikutiku, merangkulkan sebelah lengannya ke bahuku yang sempit. Dia terasa berat, namun hangat dan menyenangkan.
"Kurasa kau akan tetap memaksa sekalipun aku bilang tidak, Sehun?"
Dia tertawa, tawa yang terdengar sangat familiar. Hangat, renyah dan begitu nyaman didengar.
"Hurray, aku berhasil membuat Luhan tersenyum pagi ini." Dia menampilkan cengirannya lagi.
Tch. Dasar gila. Tapi meskipun begitu, aku tahu aku tak akan menghapus senyuman selama beberapa waktu kedepan.
Kami berjalan seiring, dia tak banyak bicara, seperti hari yang sudah sangat lama berlalu. Aku mengangkat sedikit pandangan, mencuri kecil vista wajahnya yang mempesona.
Tuhan!
Aku mengalihkan pandangan.
Detak jantungku meningkat. Keringat dingin yang harusnya tidak muncul saat hari hujan mulai keluar. Aku menemukan gigiku mulai bergemeletuk.
"Luhan, kau baik?"
Aku tak bisa menjawabnya sekalipun aku ingin. Bibirku seakan membeku. Seseorang itu terlihat. Dia di samping Sehun, begitu dekat. Dia tersenyum lebar memperlihatkan gigi runcingnya. Tidak seharusnya dia mengikutiku sampai sejauh ini. Seharusnya dia di rumah, terkurung di dalam sana.
"Sehun, bisakah kita berjalan lebih cepat?"
Suaraku terdengar mencicit, dan aku merasa tengah ditertawakan oleh seseorang itu. Sehun berhenti melangkah, membuatku menatapnya dengan tatapan memohon. Namun sepersekian detik, Sehun mengambil alih payungku, merangkulku lebih erat dan membimbing langkah cepat kami.
"Pejamkan matamu. Aku yang akan menjagamu."
Aku nyaris menangis ketakutan.
.
.
.
Kejadian hari itu membuatku nyaris tak berani memejamkan mata. Sepanjang malam aku terus berusaha terjaga dengan bercangkir-cangkir cairan berkafein, membuat kantung mataku nyaris sama hitam dengan warna cairan itu. Aku tidak melepaskan sumpalan headphone di telingaku yang terus memutar lagu dengan volume cukup mengerikan.
Hal ini kembali. Hal ini kembali lagi.
Mama menemaniku dengan rasa khawatir, tapi aku tetap tak bisa tenang. Dia di sini, bersembunyi entah di mana menatapku dengan senyum lebarnya yang mengerikan itu. Atau dia mungkin tidak bersembunyi, hanya duduk diam dalam jarak dekat, hanya saja, dia tidak mengijinkanku untuk melihatnya.
Pindah ke kamar lain pun percuma, cara itu tidak berhasil. Dia malah akan lebih bersemangat menggodaku.
Ini malam keempat, dan aku masih terjaga. Dini hari menjelang dan Mama sudah jatuh tertidur dengan posisinya yang tidak nyaman di lengan sofa. Mataku mengedarkan pandangan ke segala arah saat bayangan hitam berseliweran.
Bayangan hitam itu berpindah-pindah, cepat dan tak tertangkap. Mataku sudah basah dan aku nyaris tak bisa merasakan apapun di kedua telapak tanganku; mereka kebas, dingin dan berkeringat. Aku memejamkan mata erat saat hembusan nafas dingin menerpa tengkukku.
Padahal tengkukku tak terbuka! Aku telah mengurai rambutku dan gulungan selimut melindunginya, tapi hawa itu tetap menusukku sampai ke tulang. Gigiku kembali bergemeletuk. Tanganku mencengkeram selimut dengan kencang, sampai aku bisa merasakan tekanan kuku pada telapak tanganku sendiri.
"Boo!"
Suara itu terdengar menembus musik yang aku putar!
Aku melempar headphoneku ke sembarang arah. Meringkuk dan menggulung tubuhku di balik selimut. Aku gemetar kedinginan. Aku tak bisa terus seperti ini!
Aku ingin berteriak membangunkan Mama, tapi tak bisa. Batang tenggorokkanku tercekat. Gulungan selimutku terasa begitu membebat. Aku terperangkap. Tanganku tak bisa bergerak, semakin aku berusaha belitan itu terasa semakin menguat.
Tidak… Tidak… Kumohon jangan lakukan ini lagi padaku!
Aku merasakan kasur yang aku tempati menghilang perlahan, membuat sebuah lubang yang terasa familiar. Tidak… Tidak…
Belitan itu mengendur, sekaligus membuatku merasa meluncur bebas. Aku seakan terjatuh ke dalam lubang yang tak berdasar.
Tubuhku ngilu, mataku tak melihat apapun selain langit-langit kamar yang mulai mengecil dan memudar, digantikan warna gelap yang membuatku gemetar. Aku berteriak, namun yang kudengar hanya cekikkan nafas mengerikan. Suara-suara bising angin berkelebat keras memenuhi telingaku.
Tulang-tulangku terasa linu, dan dari kejauhan aku melihat sebuah titik buram di antara cahaya yang mengecil. Titik itu mendekat sangat cepat, seakan aku dibuat tertahan sebentar.
Titik itu makin jelas. Aku berontak saat sadar apa titik itu.
Wajah pasih tanpa mata dan hidung memenuhi pandangan, deretan gigi runcing terpampang di tengah senyum lebar.
Dia mendekat, sangat dekat. Hidung runcing tak wajar menyentuh hidungku. Dan aku tak bisa memejamkan mata.
"Dingin, Luhan?"
"Luhan!"
Mataku terbuka lebar. Dadaku tersentak keatas, menarik nafas dalam yang terasa menyakitkan.
"Luhan!"
Pandangan kaburku mulai terfokus, dan aku melihat wajah khawatir Sehun berada cukup dekat. Aku tak tahu, tapi aku ingin sekali menangis.
"S-sehun…"
Sehun memelukku, mengusap kepalaku dengan sayang. Membuatku sedikit merasa lebih baik. Aku tahu dia masih di sini, memandangku dengan senyum lebarnya.
Aku menangis. Di antara suara tangisanku sendiri dan bisikan menenangkan dari Sehun juga isak kecil Mama, aku mendengar suara halus yang sangat ku kenal.
"Dingin, Luhan?"
"Jangan mengangguku! Aku sudah tahu kau masih di sini! Jangan menggangguku lagi! Cukupkan itu semua! Jangan mengikutiku! Hentikan semuanya!"
Aku berteriak nyaris histeris.
.
.
.
Setelahnya, dia tak lagi menganggu mimpi dan tidurku. Meskipun aku tahu dia masih akan tetap di sana. Aku masih melihat bayangannya.
.
.
.
Based on true story.
"The blowing cold breath experience on the neck" is mine.
"Meeting someone with wide pointed teeth smile" belongs to someone.
.
.
.
Update every Thursday night, see ya. ;)
.
Anne, 2018-01-04
