Disclaimer: Merlin BBC TV Series belongs to Johnny Capps and Julian Murphy

.

.

Warnings: Sedikit kata-kata kasar, penyalahgunaan obat-obatan dan hal dewasa lain yang tidak boleh ditiru anak-anak maupun remaja.

.

CHAPTER 1

.

"Cut!"

Teriakan Ron, sang sutradara menghentikan adegan mesra yang tengah terjadi di atas meja makan. Mesra? Kata itu mungkin terlalu halus untuk mendeskripsikan adegan percintaan intens yang membuat para kru panas dingin—tidak termasuk Ron tentunya.

Dengan kekesalan yang telah mencapai ubun-ubun, sutradara nyentrik itu melempar lembaran-lembaran script hingga berhamburan di lantai. "Ada apa denganmu akhir-akhir ini, Pendragon? Menyelesaikan satu adegan mudah saja membutuhkan 15 kali take!"

Ron sangat menyayangkan penurunan akting pemuda yang baru saja menginjak usia kepala tiga. Awalnya sutradara film-film terkenal itu enggan menandatangani kontrak. Namun mengingat nama Arthur Pendragon tengah naik daun serta banyak pihak menyodorkan kelebihan sang aktor muda, akhirnya ia setuju menorehkan ujung penanya di atas 4 lembar kertas.

"Ekspresimu seperti robot, sangat tidak sesuai dengan gerakan tubuhmu! Tidak bisa kah kau menunjukkan ketertarikanmu pada Carmen?"

Iris biru gelap Arthur menyusuri tubuh lawan mainnya, wanita molek berkebangsaan Italia yang nampak sangat menikmati 'akting' Arthur sebelum sang sutradara berteriak 'cut'. Sosok Carmen adalah fantasi semua lelaki di luar sana. Bibir tebal merekah, kulit mulus membalut tubuh sintalnya, belum termasuk bukit kembarnya yang melumpuhkan otak—serta membuat para pria hanya bisa berpikir menggunakan pedang kebanggaannya. Namun sosok sempurna yang tengah tergolek pasrah di meja itu, tak mampu membuat Arthur menggali gairahnya lebih dalam.

Khayalannya terus melayang pada peristiwa malam itu. Ranumnya kecupan yang mendarat secara tiba-tiba, mengunci bibir Arthur dalam kebingungan sesaat. Di tengah kekalutannya, ia justru mencondongkan kepalanya ke belakang. Meninggalkan mimik kecewa dan seribu pertanyaan di benak si empunya iris biru secerah langit.

"Cukup! Kita lanjutkan besok saja. Dan kau Pendragon—jika kau tidak membenahi aktingmu besok, silahkan cari sutradara lain!"

Yang di bentak hanya memutar bola matanya seraya menuruni meja. Belum sempat Arthur mengenakan bathrobe untuk menutupi tubuhnya yang hanya terbalut selembar kain di bagian bawah, jemari lentik Carmen sudah bergerak menelusuri dada bidangnya. "Kau ini kenapa sih, sayang? Sepertinya ada sesuatu yang mengganggumu," tanya Carmen. Kuku panjangnya memainkan bulu halus penghias dada Arthur. "Mungkin... kalau kita ke ruang gantimu sekarang, aku bisa membantu melepaskan penat di pikiranmu," bisik Carmen dengan suara seduktif.

Sebuah senyuman halus tergurat di bibir pemilik helaian senada logam mulia. "Tawaran yang sangat menggiurkan, sinnoricia... tapi maaf, aku tidak bisa menerimanya," ucap Arthur sambil memindahkan tangan mungil itu dan beranjak pergi.

Sesampainya di ruang ganti, Arthur buru-buru menyambar telepon genggam yang melantunkan salah satu lagu trance favoritnya dari balik kantong jaket. Helaan napas berhembus kala nama 'Gwaine' tertera di layar lebar gadget-nya, bukan nama manusia sialan yang sudah membuat perasaannya jungkir balik.

"Hei Arthie—what's up, mate?"

Arthie, panggilan 'special' Gwaine untuknya. Betapa ia membenci laki-laki berambut coklat sebahu itu karena telah merubah nama pemberian orangtuanya dengan nama yang terdengar seperti anak kecil.

"Baru selesai syuting," jawab Arthur seraya mengapit handphone di antara telinga dan bahu agar dapat menarik celana jeans-nya. "Sutradara gila itu terus-terusan mengatakan aktingku buruk dan memaksaku mengulang-ulang adegan 56."

"Adegan 56? Wow, seharusnya kau senang bisa bermesraan dengan miss Carmen! Atau... jangan-jangan kau memang sengaja berpura-pura berakting buruk supaya bisa terus mengulang adegan itu?" sindir Gwaine dengan suara khasnya.

"Oh shut up, you knob head!"

Gwaine terbahak. Telinga Arthur menangkap dentuman-dentuman lagu berirama cepat di latar belakang. Ia bisa menebak saat ini laki-laki bertubuh sedikit lebih pendek darinya itu pasti sedang berada dalam diskotik langganannya. Semenjak kuliah, Gwaine memang doyan sekali merambah klub dan diskotik di London. Melepas penat, melupakan masalah—katanya. Tapi yang selalu terjadi justru menambah penat serta masalah bagi Arthur sebagai sahabatnya.

Terakhir kali pemabuk itu mengunjungi diskotik di selatan kota London, ia terlibat perkelahian sengit. Dokter terpaksa memberi 9 jahitan di lengan Arthur yang terluka akibat mencoba melindungi Gwaine dari sabetan botol tajam. Arthur pun terpaksa menunda syuting selama 3 hari demi menyembuhkan bibirnya yang pecah.

"Aku ada di Fabric Club. Datanglah ke sini, aku punya barang baru. Khusus kupesan untukmu."

"Barang apa maksudmu? Ah tunggu, biar kupasang speaker-nya." Jari tengah Arthur menyentuh layar telepon genggam hitamnya dan seketika hingar bingar musik memenuhi ruang ganti Arthur. "Go ahead, mate." lanjut Arthur seraya mengenakan kaos V-neck coklat berlengan panjang.

"The big-O. Kau pasti suka. Perci, Elyan dan Lance sudah mencobanya. Hari ini juga bertebaran gadis-gadis manis di bawah umur yang masuk memakai identitas palsu. Ayolah Arthie, kau harus kemari."

"Gadis di bawah umur? God! You're sick, man!"

Gwaine kembali tergelak. "Telepon Merlin, ajak dia ke sini. Kita adakan pesta bujang."

Arthur tiba-tiba terdiam mendengar nama itu disebut. Ajak Merlin ke diskotik? Kau pasti bercanda kan? ucap Arthur dalam hati.

Merlin bukanlah sosok yang menyukai keramaian. Pemuda itu lebih memilih menghabiskan waktunya membaca buku-buku tebal daripada harus bergaul di tempat-tempat yang ia klaim sebagai tempat para pendosa itu. Memang, beberapa kali Arthur berhasil menyeretnya masuk. Namun pemilik rambut hitam kecoklatan itu hanya diam di tempat duduknya, menebarkan pandangan seolah menghakimi setiap orang yang sedang bersenang-senang.

Suatu kali Gwaine iseng memasukkan sedikit whisky ke dalam minuman favorit Merlin, jus jeruk. Tanpa mencicipi rasa minumannya, ia menenggak seluruh isi gelas dalam hitungan detik. Hasilnya? Merlin mabuk dan menenggelamkan bibirnya di bibir Arthur tepat di tengah-tengah lantai dansa. Akibatnya? Selama beberapa hari Merlin tak membalas telepon ataupun SMS Arthur. Ia sangat menyesalkan perbuatan Gwaine yang menyebabkan hubungannya dengan Merlin terasa merenggang.

"Y-ya, nanti akan kuhubungi." Arthur menutup sambungan telepon sebelum Gwaine bisa melanjutkan kalimatnya.

Arthur membuang tubuhnya keras-keras di sofa kulit pemberian produser sebagai hadiah ulang tahun. Ibu jarinya bergerak di layar telepon genggam mencari sebuah nama dalam daftar kontak, kemudian menekan lambang telepon hijau di bawah nama itu. Nada sambung terdengar berkali-kali sebelum akhirnya voice mail yang menjawab panggilan Arthur.

Aktor muda itu mengacak-acak surai pirang indahnya dengan frustrasi. Ia sangat tidak menyukai sikap dingin mahluk yang dikenalnya lima tahun lalu saat keduanya dipertemukan dalam satu produksi seri tivi. Harus ia akui, ia merindukan komunikasi intensnya dengan Merlin. Sejak produksi itu berakhir, kedua pemuda itu tetap berhubungan erat. Saling menceritakan kegiatan masing-masing, bergosip ala laki-laki, bahkan saling bertukar pendapat mengenai hal-hal pribadi yang biasanya mereka lakukan—di kamar—dengan pasangannya masing-masing.

Merlin adalah tipe sahabat yang bisa diandalkan, sosok yang kuat—terlepas dari fisiknya yang kurus namun cukup atletis. Ketika hubungan Arthur dan Guinevere—Gwen bagi teman-teman dekatnya—berakhir, lelaki bermata biru gelap itu remuk. Hatinya bertambah hancur tatkala Gwen memperkenalkan seorang pria berkebangsaan Amerika sebagai kekasih barunya.

Arthur yang merasa dunianya runtuh, mulai menemukan ketenangan dalam hipnotis obat-obat terlarang—thanks to Gwaine. Berawal dari sebuah pil berwarna ungu yang di tenggaknya bersama segelas tequilla, hingga tenggelam di keindahan mimpi penuh kedamaian dari serbuk putih yang dihisapnya.

Tak segan pula ia melampiaskan hasrat pada tubuh lawan-lawan mainnya, hanya untuk mencampakkan mereka di hari berikutnya—membiarkan gadis-gadis itu tersedak dalam airmata mereka masing-masing.

Ia terpuruk. Tidak bisa membedakan alam mimpi dan realita yang harus dijalani.

Dalam titik terendah di hidupnya itu, dimana ia merasa semua orang telah meninggalkannya meringkuk di sumur tanpa dasar—sebuah tangan menjulur, meraih tangan Arthur dalam kegelapan—dan tanpa lelah menariknya hingga ia dapat melihat lagi terangnya arti kehidupan. Tangan itu... tangan Merlin.

Bip-bip

Bunyi SMS yang masuk mengembalikan Arthur ke alam sadarnya. Senyum lebar mengembang di wajahnya mengetahui SMS itu berasal dari Merlin.

Merlin: Maaf, beberapa hari ini aku sibuk. Terlalu lelah mengangkat telepon, terlalu pusing membalas SMS. Apa kabar, dollop head? Miss me?

Arthur mengetik 'Yes, I miss you so freaking much!' dengan huruf E yang melimpah. Namun menyadari kalimat bodoh tersebut hanya akan membuat dirinya tampak konyol, ia segera menghapus pesan itu.

Arthur: Jangan besar kepala! Aku menelepon hanya ingin tahu kabarmu. Aku kira kau sudah mati.

Merlin: Kau mengganggu pekerjaanku hanya untuk berkata itu?

Arthur tidak langsung membalas. Ia mengigit-gigit kukunya dengan gelisah. Hatinya memohon agar ia memberitahu Merlin akan perasaan yang ia rasakan sejak ciuman itu terjadi. Tetapi ibu jarinya hanya bisa diam.

Merlin: Aku tahu kau sedang mengigit kuku, Pendragon! Hentikan atau kau bisa sakit jika kuman di kukumu itu masuk ke pencernaanmu.

Sontak Arthur menghentikan gigitannya sambil terkikik. Terkadang ia curiga Merlin itu sebenarnya seorang cenayang.

Arthur: Berhentilah bertingkah seperti ibuku! Dengar, Gwaine mengajakku datang ke Fabric Club. Dia memintaku untuk membawamu ikut serta. Kalau kau mau, aku bisa mampir di rumahmu.

Merlin: Nanti aku kabari ya.

Kalimat singkat itu membuat Arthur gundah. Pasalnya, kata 'nanti aku kabari ya' merupakan cara khas Merlin memberi penolakan secara halus. Arthur ingin sekali berbicara langsung dengan sahabatnya itu tentang kejadian di atas lantai dansa. Ia ingin mengutarakan apa yang mengganjal hatinya.

Arthur: Merlin, kita perlu bicara.

Merlin: Mengenai apa?

Arthur: Kurasa kau tahu.

Hening, tidak ada balasan. Detik demi detik, menit demi menit Arthur melekatkan iris senada warna lautan Pasifik pada layar yang tak kunjung berkedip. Setengah jam berlalu—terasa sangat lambat bagi Arthur.

Arthur: Sepertinya kau benar-benar sibuk. Kontak aku kalau kau memutuskan untuk datang. Jangan lupa minum vitamin C-mu, aku tidak mau kau sakit.

Arthur melempar handphone malang itu ke dalam ransel dan beranjak ke luar lokasi syuting dengan langkah gontai. Mendengar jerit histeris para fans, Arthur mengurungkan niatnya keluar dari pintu utama.

Sebagai seorang aktor yang digilai banyak wanita, seharusnya ia merasa bangga. Tetapi entah, Arthur selalu merasa risih. Ia terjun ke dunia perfilman karena ingin dunia melihat talenta yang ia miliki, bukan fisiknya. Klise, tapi itulah kebenarannya.

Tak berapa lama kemudian, Arthur sudah meluncur dalam kenyamanan jeep mewah buatan Amerika. Jeep berwarna senada manik pemiliknya yang telah di modifikasi sedemikian rupa itu, selalu bisa menarik perhatian. Tidak seperti aktor kebanyakan—yang hanya tahu cara mengendarai kendaraan tanpa peduli merawatnya—Arthur justru tidak mengijinkan orang lain mengutak-atik mobil favoritnya itu.

Malam minggu seperti ini, kota London selalu ramai oleh mereka yang ingin melepas lelah setelah selama lima hari penuh melakukan aktivitas rutinnya. Lampu gemerlap menerangi jalan-jalan utama yang mulai dipadati kendaraan-kendaraan pribadi. Pasangan-pasangan tengah dimabuk asmara nampak asik bermesraan di cafe sambil sesekali menyesap kopi atau wine.

.

.

Tak terasa, Arthur telah sampai di depan diskotik terkenal seantero London sekitarnya, Fabric Club. Setelah melempar kunci jeep mewahnya pada petugas vallet, ia melangkah masuk ke dalam lautan manusia yang sedang bergoyang mengikuti tempo musik techno. Arthur memicing ketika lampu-lampu laser berwarna-warni menyambut mata jernihnya dengan gerakan sesuai irama musik yang di putar oleh sang DJ.

Bau beraneka macam minuman beralkohol dalam club megah berlantai dua itu langsung menyapa hidung mancungnya. Asap-asap rokok membumbung memenuhi ruangan, membuat paru-paru aktor muda itu bekerja ekstra keras. Kemana Arthur memandang, di situ pasti ada manusia dengan sebatang rokok terselip di jemarinya.

Kalau harus jujur, Arthur kurang menyukai bau tembakau. Jika ada orang merokok di dekatnya, ia memilih beringsut menjauhi. Ia pun tak segan memberikan teguran keras kepada mereka yang dengan santai menghembuskan kepulan asap—di tempat-tempat yang sudah jelas terpampang lambang 'dilarang merokok'. Tentu saja situasinya akan berbeda jika ia sedang berada di tempat-tempat seperti diskotik ini, dimana hidungnya terpaksa bersusah payah menyesuaikan diri dalam udara yang kotor.

Sebuah senggolan keras di punggung Arthur membuatnya nyaris menjatuhkan handphone yang di pegangnya. Dengan geram ia merotasikan kepala, demi melihat seorang laki-laki melangkah terhuyung-terhuyung sambil membawa sebotol bir. "Ah, maaf ya, temanku itu mabuk," ucap pemuda di belakangnya.

Cih, masih jam 9 sudah mabuk. Dasar pecundang!

"Oi... Arthie! Akhirnya kau datang!" sapa Gwaine—yang entah datang dari arah mana—seraya memberikan tepukan di pundak Arthur. "Mana Merlin?" tanyanya lagi. Penampilan Gwaine berbeda kontras dengan perilaku buruknya. Seperti malam ini, ia mengenakan jas hitam bodyfit di atas kemeja biru dilengkapi celana kain senada jas. Rambut yang biasanya tergerai berantakan, ia ikat hingga menampilkan kesempurnaan wajahnya.

Arthur memandang telepon genggamnya sekali lagi. Masih tak ada balasan. "Err... kurasa dia akan menyusul nanti," jawab Arthur ragu-ragu. Ia tak yakin Merlin akan datang, tapi tidak ada salahnya kan tetap berharap.

"Baiklah. Kalau begitu sebaiknya kita pemanasan dulu." Gwaine melingkarkan lengan di leher Arthur dan menggiringnya mendekati bar.

Bar berukuran cukup besar itu terlihat eksklusif oleh cahaya biru memancar dari bawah meja transparan. Minuman-minuman berkadar alkohol lebih dari 50 persen, berderet di atas rak kaca, menggoda mereka yang berkantong tebal untuk menghabiskan uang demi kesenangan sesaat. Lima orang bartender di balik bar nampak asik menampilkan keterampilannya meramu berbagai macam minuman, sambil sesekali bergoyang mengikuti lagu.

"Yo, Wayne!" Pemuda berjanggut tipis itu menjentik-jentikkan jari menarik perhatian salah satu bartender. "Dua Double Supermax dan dua Tequilla," pintanya. Sang bartender bertopi merah mengedipkan mata. Kedua tangannya sigap menuangkan lebih dari 10 macam alkohol ke dalam sebuah gelas tinggi, kemudian mencampur sedikit sirup Grenadine yang manis. Minuman di dominasi warna merah itu menjadi tampak menggiurkan.

Arthur terkekeh sambil menggelengkan kepala kala bartender itu menyodorkan pesanan Gwaine. "Kau memang gila. Kau sebut ini pemanasan?"

"Aww, ayolah jangan merendah. Dulu kau mampu menghabiskan satu botol vodka murni sebagai pemanasan," sindir Gwaine sambil mengangkat gelas berisi 12 campuran alkohol itu.

Dulu... ya, dulu Arthur sanggup menenggak empat botol minuman keras—ukuran besar—dalam satu malam. Pemilik rambut pirang itu bisa menghabiskan isi botol layaknya meminum air putih. Hebatnya lagi, walaupun sudah minum sebanyak itu, ia tidak pernah mengalami kesulitan mengendarai mobil.

"Kurasa tequilla ini saja cukup. Lagipula Merlin tidak suka kalau aku terlalu banyak minum," sahut Arthur seraya meraih gelas kecil berisi cairan kuning di hadapannya.

"Well, my friend..." Gwaine menghentikan tangan Arthur. "Merlin sekarang tidak ada di sini kan?" Pemuda itu melabuhkan iris coklatnya pada Arthur.

"Lagipula, kenapa kau peduli sekali pada pendapat si kutu buku itu? Kau bertingkah seperti kau punya perasaan suka pada—" pipi Arthur yang tiba-tiba memerah, menghentikan kalimatnya. Ia tertegun sejenak, menelusuri wajah aktor tampan itu. Terkejut dengan ekspresi tersipu Arthur, seringai lebar langsung menghiasi rupa menawannya.

"A-aku... tidak percaya ini! Kau serius? Kau menyukai Merlin?" Teriakan Gwaine menarik perhatian para clubbers yang seketika menghujani mereka dengan pandangan-pandangan aneh.

Arthur yang malu, menarik kerah kemeja Gwaine hingga hidung mancung mereka bersentuhan. "Jika kau berteriak seperti itu lagi, akan kusumpal bibirmu dengan botol!"

Tawa tertahan meluncur dari mulut Gwaine. "Sorry, mate... aku terlalu bersemangat. Tapi, ini berita besar! Teman-teman kita pasti akan terkejut."

"Jangan berani-berani bilang pada siapapun, atau kutebas lidahmu," ancam Arthur lagi.

"Waw... tadi bibir, sekarang lidah. Kurasa kau terobsesi pada mulutku ya? How about I give you a little taste of my mouth then." Sekonyong-konyong Gwaine merengkuh pipi laki-laki di depannya dan secepat itu menyatukan mulut mereka.

Arthur terbelalak, tak menyangka akan mendapat 'serangan' mendadak itu. Refleks tangannya mendorong pundak Gwaine dengan keras. Namun pemuda bersurai coklat itu bersikukuh mempertahankan bibirnya di atas bibir Arthur. Keduanya pun bergelut seru di depan bar yang ramai pengunjung.

"Hmmmp! Mmmhhmm... mmm...! hmmmpphh!" seru Arthur dalam mulutnya yang terkunci oleh bibir Gwaine.

Jika di terjemahkan, mungkin artinya adalah 'Gwaine bedebah! Kurang ajar... singkirkan mulut kotormu! Lepaskan aku!'

Merasa puas menggoda temannya, Gwaine melepaskan tangan hingga Arthur tersentak ke belakang dan nyaris terjatuh dari kursi tinggi. "Puaaahh!" dengan serakah Arthur menghirup udara demi mengisi paru-parunya yang sudah kempis. "Huueekk... kkhh... uhuk-uhuk! Puiihh...uhuk-uhuk!" Arthur menggosok bibirnya berulangkali.

Panik, ia meraih gelas koktail Supermax serta menuangkan isinya ke mulut hingga habis tak bersisa dalam 7 detik. Tidak di pikirkannya lagi bagaimana nanti Merlin akan bereaksi kalau tahu ia meminum alkohol seperti itu. Yang ia pikirkan sekarang adalah cara menghilangkan liur Gwaine yang menempel di bibirnya.

Kadang Arthur tak habis pikir kenapa ia bisa berteman dengan laki-laki gila macam Gwaine. Kelakuannya sama sekali tidak mencerminkan dirinya sebagai penerus kepemilikkan salah satu perusahaan minyak paling terkenal—di dunia.

"You crazy son of a b—! mother f—! f— idiot!" umpatan-umpatan Arthur timbul tenggelam, hanyut dalam hingar-bingar bas yang berdentum memekakkan telinga.

Melihat tingkah lucu Arthur, Gwaine tertawa lepas sambil memegangi perut. "Kau terlalu melebih-lebihkan, Arthie. Aku yakin ciumanku tadi tidak separah itu. Gadis-gadis yang kucium selalu ketagihan dan meminta lagi."

"Cih, menjijikkan! Aku merasa prihatin pada gadis-gadis itu," sindir Arthur seraya menaburkan garam di punggung tangannya, meneguk tequilla dan menyesap potongan lemon yang tersedia.

"Wow, kata-katamu pedas sekali! Well, setidaknya itu bisa membuatmu menghabiskan minuman kan?" balas Gwaine sambil mengerling.

Gwaine sialan! Kalau Merlin tahu, dia bisa menceramahiku sampai pagi!

Berbicara tentang Merlin...

Arthur menarik telepon genggam yang tersemat di saku celananya. Penuh harapan, ia menon-aktifkan tombol Lock untuk melihat pesan masuk. Tetapi nama Merlin tidak tertera di sana. Menghela napas kecewa, Arthur meletakkan telepon genggamnya di atas meja. Dua jam lebih telah berlalu sejak SMS Merlin telah ia terima, Arthur pun mulai putus asa.

Dimana kau, Merlin? Kenapa belum juga membalas pesanku? Aku... merindukanmu...

Seolah bisa membaca raut Arthur yang kusut, Gwaine menepuk pundaknya. "Hei, sudahlah. Aku benci wajah murungmu, kau di sini untuk bersenang-senang kan. Ayo, kita ke ruang VVIP. Aku punya sesuatu yang bisa membuat suasana hatimu jadi lebih baik."

Arthur tahu apa yang dimaksud Gwaine dengan 'sesuatu' itu. Apalagi kalau bukan pil dan serbuk kegemarannya. Barang-barang pembawa kenikmatan, tapi di satu sisi memiliki fungsi—sebagai jalan tol menuju panasnya neraka. Herannya, banyak orang rela menguras isi tabungan demi mendapatkan barang itu walaupun dalam jumlah kecil. Dengan malas Arthur mengiringi pemilik rambut sebahu itu menuju suatu ruangan khusus di lantai atas.

Saat ini yang bisa meneduhkan hatinya hanyalah kehadiran Merlin. Senyum manis berasal dari bibirnya, suara celotehan yang menceritakan keseluruhan harinya, iris jernih senada permata aquamarine. Belum lagi sentuhan hangat tangan rampingnya.

Selama ini Arthur tak pernah menganggap semua itu spesial. Dulu ia selalu berpendapat bahwa senyum Merlin sangat bodoh, celotehannya sangat membosankan dan tangannya yang kadang kala berkeringat—sering membuat Arthur kesal. Kini pandangan itu berubah, sekali lagi—sejak malam itu.

.

.

oOoOo

A/N: Yaaa saya tau seharusnya saya selesaikan dulu story A Second Chance *membungkuk minta maaf*

Sebenarnya ini tadinya mau di buat OS, tapi berhubung words-nya mungkin terlalu banyak untuk sebagian readers (termasuk saya sih, hihihi) therefore dijadikan dua chapter sajah (atau tiga ya? *di toyor*)