Hari ini tepat setengah tahun Naruto menjadi hokage. Dan hari-harinya selalu sibuk. Hampir 24 jam dalam satu hari Ia habiskan waktu di kantornya. Seperti hari ini, dia keluar tergesa-gesa dari kamar menuju dapur.
"Hinata," Sang istri menoleh, menghentikan aktivitasnya dari mencuci piring lalu berjalan menuju suaminya sambil tersenyum. Seperti sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi.
Naruto memberikan jubah hokagenya kepada Hinata, membiarkan sang istri memakaikan jubah yang bertuliskan Nanadaime Hokage tersebut ke badannya. Sebenarnya kegiatan ini bisa dilakukan oleh Naruto sendiri, namun untuk yang satu ini Ia selalu menyerahkannya pada Hinata.
"Gomen Hinata, sepertinya aku tak bisa sarapan dirumah." Ucap Naruto pelan.
"Baiklah, aku akan mengantarkan bekal makan siangmu nanti." Jawab Hinata sambil tersenyum maklum.
Setengah tahun cukup membuat Hinata harus banyak-banyak belajar akan kesibukan sang Hokage. Banyak-banyak belajar sabar dan selalu menahan kerinduan akan kegiatan keluarganya di pagi hari, seperti sarapan bersama misalnya.
"Tapi jangan biarkan perutmu kosong Naruto-kun. Aku sudah membuat roti panggang. Kau bisa memakannya selagi menuju kantor." Hinata memberikan satu piring kecil yang isinya roti panggang dengan telur mata sapi diatasnya.
Naruto meraihnya lalu menggigit kecil roti panggang buatan sang istri. Lalu mereka berdua menuju pintu depan.
Ketika melewati ruang keluarga, Naruto menangkap bayangan si anak sulung tengah fokus menonton TV.
"Boruto ? Kau tak ke akademi ?" Yang disapa sang ayah seketika menoleh. Namun tak lama Ia kembali memfokuskan pandangannya ke arah TV.
Apa-apaan itu ? Bukannya mengucap selamat pagi malah bertanya tentang akademi. Benar-benar payah. Batin Boruto kesal.
"Konohamaru-sensei bilang hari ini akademi libur." Jawab sang anak singkat. Naruto hanya tersenyum tipis.
"Ayah berangkat ke kantor dulu. Boruto, kau jangan keluar seenaknya walaupun sedang libur."
"Aku tak janji."
Pasangan suami istri tersebut melanjutkan langkahnya menuju pintu keluar.
"Naruto-kun," Panggil Hinata. Naruto segera membalikkan badannya ketika baru saja akan membuka kenop pintu.
"Hati-hati dijalan." Lanjutnya sambil tersenyum. Naruto pun juga ikut tersenyum.
Ahh hanya dengan melihat senyum istrinya yang cantik ini, semangat Naruto selalu penuh. Hinata benar-benar penyemangatnya.
Naruto melangkah menuju Hinata lalu mendekatkan wajahnya ke wajah istri. Hinata hanya mampu menahan nafas ketika wajah mereka berjarak tak lebih dari 5 cm. Hinata memejamkan matanya sementara Naruto hanya terkekeh geli.
Mendengar kekehan dari pria didepannya Hinata segera membuka mata namun yang Ia dapatkan adalah pemandangan leher Naruto yang jenjang.
Cup
Sedetik kemudian keningnya menghangat. Naruto baru saja menyampirkan poninya dan mendaratkan kecupan singkat di keningnya.
"Na- Naruto-kun," Wajah Hinata memerah hanya dengan perlakuan kecil tersebut. Suaminya benar-benar tahu bagaimana membuat sang istri berdebar, meskipun telah hampir 10 tahun menikah.
"Ittekimasu." Ucap Naruto yang tak disadari Hinata sudah berada di depan pintu lagi.
"It-itterashai."
Sifat gugupnya benar-benar tak bisa hilang sepenuhnya, apalagi jika itu dikarenakan suaminya sendiri. Meskipun Ia telah menjadi istri dari sang hokage dan menjadi satu-satunya wanita dikehidupan sang suami, Uzumaki Naruto.
That Feels
Chapter 1
Naruto Masashi Kishimoto
Typo(s) everywhere, Uzumaki's family, threeshot (mudah-mudahan),
Family/Hurt/Romance
Rated T
Naruto x Hinata
Boruto x Himawari
.
.
Pagi itu suasana kantor hokage cukup ramai, namun bukan ramai karena dipenuhi oleh masyarakat desa. Disetiap sudut ruangan dipenuhi oleh segunung dokumen-dokumen penting yang harus diperiksa satu persatu oleh sang hokage.
"Shikamaru, kapan dokumen ini berhenti masuk ke ruang kerjaku ?" Tanya Naruto geram.
Ia tak habis pikir, kenapa banyak sekali dokumen yang harus Ia cek satu persatu. Dan terlebih lagi dari sejak Ia tiba diruangan, Shikamaru tak henti-hentinya memberikan setumpuk kertas ke atas mejanya padahal yang lain pun belum selesai di cek oleh Naruto.
"Jika kau pensiun sebagai Hokage, kurasa kau tak perlu repot-repot memeriksa dokumen-dokumen itu." Jawab Shikamaru santai.
Naruto hanya menghela nafas lelah. Ia meletakkan bolpoinnya lalu menopang dagunya dengan tangan kiri. Pandangannya teralih ke bingkai foto disudut meja.
Ia tersenyum sendu menatap orang-orang tersayang yang ada di foto tersebut. Anak-anaknya, Boruto dan Himawari serta istrinya, Hinata. Betapa sang hokage merindukan waktu-waktu terbaik bersama keluarga kecilnya.
"Hei, Naruto semangatlah sedikit. Kau ini Hokage, tunjukkanlah sikap seorang pemimpin seharusnya." Ucap Shikamaru yang tiba-tiba sudah berada dihadapannya sambil melipat tangan dan melempar tatapan dokumen lain sudah menunggu untuk diperiksa.
"Aku hanya melihat foto keluargaku, apa itu salah ?" Ujar Naruto cemberut. Ia kembali meraih bolpoin lalu kembali ke dokumen-dokumen yang tergeletak diatas meja besarnya.
Untuk beberapa saat ruangan besar itu hanya berhiaskan keheningan. Hanya terdengar langkah kaki Shikamaru yang berbolak-balik memindahkan satu tumpuk dokumen ke tempat lain. Dan suara goresan bolpoin dari jemari Naruto yang menandatangani berkas-berkas.
"Ne, Shikamaru. Apa keluargamu tidak kesepian saat kau menghabiskan hampir seluruh waktumu disini ?" Tanya Naruto memecah keheningan. Shikamaru menghentikan aktivitasnya.
"Apa kau sedang ada masalah dengan keluargamu ?" Tanya Shikamaru balik. Naruto tersentak, lalu menyendu kembali, menatap tulisan-tulisan dihadapannya.
"Bukan suatu hal yang harus dipermasalahkan, sebenarnya. Hanya merindukan waktuku bersama mereka. Itu saja." Ujar Naruto pelan.
Walaupun Shikamaru mendengar jelas apa yang diucapkan Naruto, tapi Ia yakin semuanya lebih dari itu. Lebih dari sesuatu yang tak harus dipermasalahkan.
Sebagai seorang teman yang cukup dekat, Shikamaru bukanlah seseorang yang pandai untuk menghibur orang-orang terdekatnya, bukan juga seseorang yang mampu menghapuskan kesedihan orang lain.
Ia sudah mengenal Naruto jauh sebelum Ia menjadi kaki tangan sang Hokage, dan hubungan mereka jauh lebih dari sekedar hubungan seorang anak buah dengan sang pemimpin.
"Kau tidak boleh kalah pada mimpimu, Hokage-sama." Ucap Shikamaru yang sudah ada dibelakang kursi Naruto, tepatnya tengah berdiri didepan jendela yang menghadap keluar ruangan, membelakangi Naruto.
"Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang kau teriaki aku akan jadi hokage dimasa depan." Lanjutnya.
"Setelah perjuangan dan pengorbanan yang sudah kau lalui dan setelah kau sampai dititik ini, apa yang kau rasakan ?"
Naruto tak menjawab, tak juga bergeming tatapannya dari tulisan-tulisan di kertas di hadapannya. Ia hanya mendengarkan Shikamaru dengan seksama.
"Bagi orang-orang tertentu, bukan hal yang mudah untuk menempatkan sesuatu yang mana jadi prioritas dan mana yang tidak penting sama sekali."
"Tapi bagiku keduanya sama –sama penting, keluargaku dan pekerjaanku." Potong Naruto cepat.
Ya, Naruto benar. Keduanya sama penting. Keluarga kecilnya dan juga tugasnya sebagai pemimpin desa. Perannya sangat banyak, sebagai hokage, sebagai ayah, dan juga sebagai seorang suami. Membuat Naruto kadang tak bisa menempatkan dirinya dengan baik.
Ketika di kantor, Ia selalu dilanda kerinduan akan istri dan anak-anaknya. Namun ketika dirumah, Ia malah terpikirkan banyaknya dokumen yang belum diperiksa. Ia merasa seperti seorang yang egois dan serakah.
"Karena itulah kau seorang pemimpin." Lanjut Shikamaru tanpa merubah posisinya.
"Percayalah, sebuah pengorbanan lahir karena kasih sayang yang diberikan kepada orang-orang yang berarti di hidupmu."
.
.
Seorang gadis kecil dan ibunya tengah berjalan menyusuri jalanan desa sambil bergandengan tangan. Keduanya tersenyum tatkala disapa oleh warga-warga desa.
"Ah Hinata-sama." Seorang nenek tua menunduk hormat ketika istri hokage mereka lewat didepan tokonya. Hinata yang disapa membalas dengan menunduk dan tentu senyum yang menghiasi wajah ayunya.
"Wahh Himawari-chan kau benar-benar cantik seperti ibumu." Lanjut nenek itu sambil tersenyum. Si gadis kecil bernama Himawari hanya mampu membalas dengan senyuman kecil sambil mengeratkan jemari mungilnya di tangan sang Ibu.
"Hinata-sama apa anda akan pergi ke suatu tempat?" Tanya si nenek sopan.
"Uhm, hanya ingin kekantor hokage," Jawab Hinata sambil menunjukkan kotak bekal makan siang pada si nenek.
Tiba-tiba pegangan tangan mungil Himawari terlepas dari Hinata. Langkahnya terhenti di depan sebuah poster yang ada didinding luar dari toko si nenek.
"Obaasan, apa ini ?" Tanya Himawari kecil sambil menunjuk sebuah poster didepannya.
"Ahh, itu festival hanabi (kembang api) yang diadakan salah satu toko kue yang baru saja buka hari ini. Festivalnya diadakan sabtu depan." Jelas si nenek.
Himawari mengangguk-ngangguk kecil. Yang Hinata tangkap, Himawari tampak antusias, tampak dari matanya yang tak lepas dari poster. Lalu safir biru laut si anak yang senada dengan sang ayah menatap harap pada sang Ibu.
Satu kesimpulan yang Hinata ambil. Himawari sangat ingin pergi ke festival itu.
.
.
"Tou-chan !" Teriak Himawari sesaat setelah pintu kantor Hokage terbuka. Langsung saja si anak menghamburkan pelukannya kepada sang ayah.
"Kau datang Himawari ?" Naruto sangat senang, tak menyangka putrinya yang berusia 7 tahun itu akan datang ke kantornya.
"Naruto-kun," Suara lembut dari seseorang di ambang pintu mampu mengalihkan pandangannya.
Itu istrinya. Sangat cantik dengan rambut sebahunya yang makin membuatnya terlihat berkali-kali lebih cantik di safir Naruto. Tangan kanannya memegang sebuah kotak bekal makan siang, sesuai janji Hinata tadi pagi.
"Ini bekal makan siangmu, Naruto-kun." Ujar Hinata sembari meletakkan kotak bekal dimeja Naruto.
"Arigatou." Naruto berucap sambil tersenyum.
"Apa kau membantu Kaa-san memasak makan siang untuk Tou-chan, Himawari ?" Tanya Naruto pada anak perempuannya yang sudah berdiri di samping kursi kantornya. Himawari mengangguk cepat.
"Aku selalu membantu Kaa-san walaupun hanya menaburkan garam di masakannnya."
Naruto dan Hinata hanya tertawa kecil mendengar jawaban dari Himawari. Sangat polos.
"Tou-chan harap makan siang ini tidak keasinan, haha."
Himawari mengerucutkan bibirnya tanda kesal telah diejek oleh ayahnya sendiri.
.
.
Mereka bertiga kini tengah duduk santai di sudut ruangan yang terdapat satu kursi ukuran sedang, satu kursi panjang dan sebuah meja bulat. Kedua pasang Ibu dan anak itu menemani sang hokage menghabiskan bekal makan siangnya. Lalu tiba-tiba Naruto tersadar akan sesuatu yang sepertinya kurang.
"Kalian tidak mengajak Boruto ?" Tanya Naruto tiba-tiba, menatap Hinata dan Himawari bergantian.
"Boruto-nii sangat serius menonton TV jadi kami tidak berani menganggunya." Jawab Himawari cepat.
"Ne, Tou-chan." Himawari melanjutkan, namun matanya tak menatap kearah sang ayah.
"Sabtu depan ada festival kembang api yang diadakan oleh toko kue yang baru buka hari ini." Lanjutnya tanpa melepas pandangan dari meja didepannya.
"Apa kita akan pergi kesana ?" Barulah Himawari berani menatap ayahnya yang sedari tadi hanya diam. Lalu matanya beralih ke sang Ibu dengan takut-takut. Takut Hinata memperingatkan bahwa Ayahnya adalah orang yang sibuk.
Baik Naruto dan Hinata tak ada yang menjawab. Keduanya melempar tatapan yang hanya mereka berdua mengerti. Lalu Naruto menatap gadis kecilnya.
Disana tak ada tatapan memaksa, tatapan si anak sangat sendu, Ia sangat berharap namun juga sudah siap jika dirinya mengatakan Ayah ada pekerjaan.
Naruto benar-benar tak kuat jika dihadapkan dengan situasi ini. Keadaan seperti inilah yang kadang membuatnya muak. Bukan, bukan karena anaknya ingin meminta waktu dari sang ayah, Naruto kesal karena kadang tak selalu bisa memenuhi keinginan anak-anaknya.
Sekali lagi Naruto menatap Himawari lalu mulai berdoa semoga sabtu depan tak ada pekerjaan mendadak. Dan detik itu juga Naruto tak mampu berkata apapun selain-
"Ya, kita akan pergi kesana. Bersama Boruto dan Kaa-chan mu pastinya." Naruto menjawab dengan senyum hangat sambil mengacak-ngacak surai pendek berwarna indigo sang anak yang sama persis dengan Ibunya.
Himawari melonjak kesenangan, sungguh Ia tak sabar menanti sabtu depan.
"Janji ?" Tanya Himawari dengan senyum yang begitu manis. Sang Ayah mengangguk mantap.
Tatapan Naruto beralih ke Hinata. Dan istrinya membalas dengan senyum tipis yang membuat Naruto juga tertular untuk ikut melengkungkan lebih dalam senyumannya.
Setelah ini Naruto harus mengatur jadwal bersama Shikamaru agar sabtu depan tak ada satupun kegiatan yang harus dilakukan di kantornya. Ya, Ia berharap banyak untuk sabtu depan.
.
.
"Ne ne Nii-chan, kau tau ? Sabtu depan ada festival kembang api !" Himawari sangat antusias memberitahu pada Kakaknya perihal yang dibicarakan siang tadi bersama Ibu dan Ayahnya.
"Lalu ?" Boruto menanggapi dengan malas sambil mengunyah makanan didalam mulutnya.
"Himawari, selesaikan dulu kunyahanmu baru berbicara. Nanti kau tersedak." Hinata memperingatkan sambil memberikan segelas air putih pada si anak.
"Tentu kita semua akan pergi kesana !" Lanjut Himawari tanpa menghilangkan keantusiasannya.
"Semua ? Maksudmu Tou-chan juga ikut ?" Tanya Boruto penasaran. Himawari langsung mengangguk cepat.
"Heh, kau yakin Tou-chan akan pergi bersama kita? Lihat, makan malam saja Ia tak pulang apalagi akan ke festival kembang api." Boruto berucap dengan sinis.
Himawari seketika terdiam. Menghentikan segala aktivitas makannya. Batinnya sedikit membenarkan ucapan sang kakak. Hinata yang melihat perubahan situasi dimeja makan langsung berdehem.
"Boruto-kun, kau tak boleh berkata seperti itu. Ayahmu mengatakan kita akan pergi kesana. Percayalah padanya." Hinata berujar dengan lembut meyakinkan, mencoba menghangatkan kembali suasana di meja makan.
"Kaa-chan benar Nii-chan. Ayah sudah berjanji padaku dan Kaa-chan. Jadi kita semua harus pergi kesana. Iya kan Kaa-chan ?" Himawari menoleh kearah Hinata sambil tersenyum tipis dan Hinata mengangguk kecil.
"Boruto-kun, kau akan pergi kan ?" Tanya Hinata lembut. Boruto tak menanggapi, melainkan langsung berdiri dari duduknya.
"Aku selesai. Gochisou samadeshita." Dan Boruto telah menghilang dari meja makan.
"Ada apa dengan Boruto-nii ?" Lirih Himawari sambil menatap punggung Boruto yang sudah menjauh. Hinata hanya menghela nafas pelan. Ini bukan hal yang mudah. Batin Hinata.
.
.
To Be Continued
.
.
A/n :
Haloha. Saya kembali dengan membawa threeshot (?) terbaru –padahal yang Elegi masih ngutang- hahaha. Gomen-gomen~
Bagaimana ? Apa typonya masih berserakan ? Anggap saja iya haha. Apa kalian tertarik untuk menanti chp 2 setelah membaca chp 1 ini ?
Oya sudah liat trailer Boruto the movie yang 3 menit itu? Oke fix saya nangis lalu dengan ide yang tiba-tiba nongol diantara bulir yang jatuh- #yakelahlebaikumat –fanfic ini akhirnya saya ketik sampai chapter 2 (tadinya mau bikin twoshot tapi karena chp 1 udah hampir 4k+ words jadinya saya bagi 2).
Tentang Elegi chapter 3 #outouftopic- sebenarnya sudah 99% diketik, namun belum layak untuk dipublish, menurut saya. Masih banyak yang harus diperbaiki dan saya merasa ceritanya masih seperti ada yang kurang, idenya belum greget. Jadi doakan saja semoga cepat saya kelarin hahah.
Terimakasih juga buat yang sudah nge-review Elegi chp 2 nya :)
Untuk fanfic kali ini secepatnya akan saya update chp 2, (berhubung karena sudah diketik) tentunya setelah mendapat feedback yang membangun dari para reader.
Oya karena masih dalam suasana bulan syawal, saya mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1436 H untuk semua. Minal aidin wal faidznin mohon maaf lahir batin. Semoga tahun-tahun berikutnya kita berjumpa lagi di bulan yang penuh berkah.
Akhir kata,
Sankyu,Jaa ne.
See you at 2nd !
Kousaka Reina
July, 30th 2015
