A DAY WITH UNCLE

Harry Potter dan semua yang terkait di dalamnya adalah milik J.K Rowling. Tapi fanfic ini asli bikinan saya. No copy paste, no plagiasrism.

Warning : gaje, typhossss, no slash, no romance, friendship and family aja, banyak yang tidak sesuai EYD, modif canon, karena kekurangdalaman ilmu per Harry Potter an saya, mungkin banyak hal yang kurang sesuai, mungkin ada salah tulis nama atau tempat, silakan kasih tahu saya kalau ada yang salah.


Seperti biasa, Grimmauld Place No 12 malam minggu itu begitu sepi. Tidak banyak pendar lampu yang terlihat menerangi kamar . Juga tidak terdengar hingar bingar apapun, lantaran satu-satunya yang menghuni tengah disibukkan dengan berbagai dokumen ekstra yang harus dilemburnya hingga mungkin tidak menyisakan banyak waktu untuk bersantai. Pemuda dengan kacamata khas berbentuk lingkaran itu tanpa kenal waktu terus saja berkutat dengan tumpukan perkamen yang nampaknya sangat sulit untuk terlihat berkurang jumlahnya dalam waktu cepat. Sesekali ia memijit pelipisnya saat menemukan sesuatu yang benar-benar sulit untuk diselesaikan.

'Aku harus minta bayaran ekstra untuk semua ini,' bathin pemuda itu. Ia menggeleng dengan wajah frustasi kemudian beranjak meninggalkan ruang kerjanya.

Pemuda berambut sekelam malam itu berjalan tenang menuju dapur untuk menyeduh secangkir kopi pahit yang belakangan ini mulai mencandui hari-harinya. Merasakan kafein selalu bisa membuatnya sedikit berpikiran lebih sehat.

Usai kopinya siap santap, ia membawanya untuk bersantai di ruang tengah. Tidak banyak yang akan ia lakukan sendirian di sana, tapi setidaknya ia lebih relaks jika tidak melihat tumpukan pekerjaan yang masih menggunung.

'Menjadi auror ternyata tidak semenyenangkan bayanganku,' kembali pemuda itu membathin sembari menyeruput kopi hitam kental hasil racikannya sendiri. Kepalanya masih berkedut, tapi berkat uap kafein yang tercium oleh hidungnya, perasaan penatnya mulai ternetralisir.

Ia bahkan sedikit kesal karena gara-gara lemburan di luar jam kerja seperti ini, minggu lalu ia terpaksa merelakan waktunya bertemu sang kekasih yang notabene pemain Quiditch cukup ternama, sehingga hanya punya kesempatan beberapa kali dalam sebulan untuk bisa bebas dari segala aktivitas pekerjaannya. Dan pemuda itu begitu menyesali kehilangan quality time berharganya tersebut.

Kembali menyeruput kopinya, pemuda itu memilih untuk sejenak memejamkan matanya. Bukan untuk tidur, hanya sedikit relaksasi dan mengembalikan konsentrasi agar dapat kembali mengerjakan semua aktivitasnya dengan benar. Namun baru saja ia akan melaksanakan niatnya, dari arah pintu depan terdengar ketokan berirama. Harry mengernyit, membathin bahwa ini adalah suatu anomaly karena ia tidak pernah mendapati tamu muggle maupun penyihir yang mau repot-repot mengetuk pintu rumahnya. Maka dengan heran pemuda itu menunda menikmati kopi panasnya dan beranjak membukakan pintu untuk siapapun orang yang mau bertandang ke rumahnya.

"Hai Potter!" sapa sang tamu menyeringai sesaat setelah pintu terbuka, memamerkan susunan rapi gigi putihnya yang terlihat sehat dan terawat. Sang tamu, seorang pemuda seumuran dengannya, berkulit pucat, berambut pirang platina dan terlihat mempunyai wibawa alami khas aristokrat, meskipun saat ini ia mengenakan pakaian sangat casual, kaos putih, hodie abu-abu sewarna iris matanya, dan bawahan jeans gelap dengan dilengkapi topi dan tas ransel berwarna hitam. Sesaat sang tuan rumah cukup kaget melihatnya, namun hanya sekejap perasaan itu berhasil dinetralisir saat pemuda yang dulu dikenal sebagai rivalnya, Draco Malfoy mengulurkan tangannya untuk mengajak berjabat tangan.

"Malfoy, lama tidak berjumpa," sang tuan rumah menerima jabat tangan dari tamunya dan kemudian tersenyum formal untuk berbasa basi. Ia kemudian mempersilakan tamunya masuk dan duduk di ruangan yang sama dengan tempat ia meninggalkan kopi panasnya.

Menanyakan kabar, berbicara seputar isu hangat yang tengah terjadi, itulah yang selanjutnya berlaku pada dua pria usia pertengahan duapuluh tahunan yang lama tidak bertemu, namun juga tidak punya hubungan yang terlalu akrab. Semua serba formal dan kikuk, yang sebenarnya membuat keduanya tidak merasa nyaman dengan segala kondisi itu.

"Maaf, kita terlalu asyik mengobrol, aku sampai lupa tidak menawarimu minuman. Mau kopi, teh, susu, atau butterbeer?" tawar tuan rumah masih dengan senyum formal yang terkesan sedikit dipaksakan.

"Terserah kau saja Potter. Aku minum apapun yang kau sajikan," jawab sang tamu dengan ekspresi yang hampir sama. Dan tuan rumah kemudian berlalu, sedikit bertanya di dalam hati untuk tujuan apapun dari tamunya yang secara mengejutkan mendadak muncul di kediamannya. Sang tamu yang dulu punya riwayat hubungan tidak lazim dengannya, pesaing, rival, bahkan sudah sampai level musuh bebuyutan. Tapi berkat perang yang sudah menghapus semuanya, kini mereka berteman meskipun, yeah … semua hanya ala kadarnya, tapi tetap ini adalah kemajuan besar pada hubungan mereka.

Pria bernama Harry James Potter, sang pemilik rumah kemudian memutuskan untuk menyajikan minuman yang sama dengan miliknya. Secangkir kopi yang ia seduh tanpa gula. Entah tamunya suka atau tidak, ia kurang begitu peduli.

Harry kemudian membawa hasil buatannya ke tempat tamunya menunggu, dan meletakkan cangkir itu di meja dengan perlahan.

"Silakan, Malfoy. Maaf aku belum menambahkan gula, kalau kau mau aku akan segera mengambilkannya," buka Harry lalu kembali duduk di posisinya.

"Aku suka kopi pahit, Potter. Thanks untuk ini," ucap pria yang Harry panggil dengan panggilan Malfoy itu kemudian menyesap kopinya perlahan.

"Hmmm," tambah pria berambut pirang platina itu kalem.

"Jadi," Harry ragu untuk melanjutkan ucapannya, takut jika tamunya merasa tidak nyaman.

"Maaf aku seharusnya mengatakan tujuan kedatanganku sejak menginjakkan kaki di rumah ini,"

"Aku tidak bermaksud begitu, Malfoy,"

Si pirang platina tersenyum sesaat, kemudian menyerahkan secarik kertas dari tangannya. Harry menerima dengan wajah tidak mengerti, sejenak membaca tulisan di sana dengan seksama.

"Kalian bertengkar?" tanya Harry sambil menatap lawan bicaranya tak mengerti. Yang ditanya hanya mengangguk lemah.

"Tentang sebuah hal tidak penting, tapi sangat mengganggu privasi dan harga diriku. Makanya aku minta tolong kepadamu, ijinkan aku menginap di rumahmu, mungkin sampai kemarahan Mom reda," lanjut sang tamu dengan wajah muram.

Harry terdiam sejenak. Ia tidak memberikan respon suara maupun sikap. Hanya raut mukanya terlihat tengah menimbang-nimbang segala resiko dan kemungkinan yang akan ia hadapi jika bersedia menampung sang pemuda Malfoy. Namun saat melihat raut gelisah yang begitu kentara di wajah berkulit pucat itu, akhirnya Harry luluh.

"Kau bisa pakai kamar yang ada di samping kamarku, lagipula kau juga seorang Black yang punya hak sama untuk tinggal di rumah ini. Tapi maaf karena aku tidak bisa menyediakan makanan atau minuman layak seperti standarmu. Kau tahukan jika gajiku tidak seberapa besar dan…"

"Thank you, Potter! Ini sudah cukup," potong Malfoy kelewat senang. Senyum lebar mengembang di bibir tipisnya. Senyum dan bukan seringaian seperti yang sering Harry lihat di hampir semua kesempatan ia bertatap muka dengan sang pewaris Malfoy.

"Tapi, sebenarnya aku masih penasaran, Malfoy," Harry berucap ragu menyuarakan kebingungan dalam pemikiran otaknya yang rancau saat ini.

"Katakan saja apapun yang ingin kau tanyakan," kembali Malfoy menyeruput kopinya namun tidak melepaskan sedikitpun atensinya pada sang pemilik rumah.

"Itu, aku hanya sedikit bingung. Bagaimana ya mengatakannya. Em, kau kan punya banyak teman, Zabinni, Nott, Parkinson, bahkan kekasihmu dari keluarga Greengrass, tapi … kenapa kau memilih untuk datang ke rumahku?" tanya Harry sedikit ragu, takut menyinggung perasaan tamunya.

Malfoy tersenyum sejenak, menghela nafas dalam dan menyamankan diri dengan posisi duduknya.

"Entahlah, Potter. Aku juga tidak mengerti. Sejak kau membantu keluargaku di sidang Wizengamoth itu, aku merasa bahwa kau adalah orang yang paling tulus dari semua yang kukenal. Aku merasa, hanya kau yang benar-benar bias menerimaku tanpa memandang masa laluku. Kau tahu, posisiku sebagai mantan death eater ini tetap menyulitkan. Bahkan keluarga Astoria belum bisa benar-benar menerimaku. Makanya kami sepakat untuk menunda pernikahan kami hingga semua orang di keluarganya tidak memandangku dengan tatapan tidak mengenakkan."

Harry mengerutkan dahinya. Ada letupan rasa bangga dengan ucapan Malfoy barusan, tapi tetap saja ia merasa aneh mendapat anggapan seperti itu dari mantan rivalnya.

"Ngomong-ngomong, kau sudah makan malam?" tanya Harry mengalihkan topik pembicaraan. Dan mendapat jawaban gelengan halus dari Draco.

"Aku buru-buru pergi dari rumah dan mencari kendaraan agar bisa sampai ke rumahmu ini sebelum hari terlalu malam,"

"Kalau begitu sebaiknya kuantar kau ke kamarmu. Setelah itu kau bisa membersihkan diri dan aku akan menyiapkan makan malam. Kebetulan aku juga belum makan. Sedari tadi pekerjaanku belum juga selesai," keluh Harry sambil menyahut cangkir kopinya dan meneguk cairan pekat itu cepat-cepat.

"Nampaknya menjadi auror tidak sekeren yang kau bayangkan, Potter," kembali Draco menyeringai.

"Well, aku sebenarnya memang sedikit menyesal. Kalau tahu begini lebih baik aku melamar kerja di Hogwarts dan menjadi guru di sana," canda Harry.

"Aku tidak bisa membayangkan kau menjadi guru, Potter. Yeah, meskipun itu bukan ide yang buruk, tapi bagaimanapun kau punya sisi galak yang cukup mengerikan," dan keduanya tertawa, suasana kaku mulai mencair saat dua mantan rival itu nampaknya punya sedikit sisi yang dapat tersambung.

Xxx

Makan malam sederhana dengan sandwich isi tumisan sarden tuna dan sosis serta beberapa kaleng buah kemasan yang Harry beli di supermarket muggle beberapa hari yang lalu menjadi menu mereka. Draco cukup tahu diri dengan tidak banyak mengomentari apapun yang disediakan sang tuan rumah. Toh ia hanya menumpang dan tinggal menikmati semuanya dengan gratis.

"Kau selalu begini setiap hari, maksudku sendirian menyiapkan makanan dan menikmatinya juga sendirian?" tanya Draco penasaran.

Harry menggeleng pelan, memilih untuk menelan sisa roti di dalam mulutnya sebelum menjawab pertanyaan Draco.

"Kadang Hermione dan Ron makan malam di sini dan mengajak Rose, putri mereka. Ginny kalau sedang pulang juga pasti kemari. Ah, Teddy dan Andromeda kadang menginap sampai berhari-hari. Hanya saja akhir-akhir ini nampaknya semua sedang sibuk," papar Harry panjang dan Draco mengengguk sebagai jawaban.

"Kau sering bersama anak kecil? Apa tidak mengganggu?" Draco memandang Harry sambil mengerutkan keningnya.

"Tunggu sampai kau bertemu mereka,"

"Aku tidak suka anak kecil yang merepotkan. Kau tahu saat aku pertama kali praktek sebagai healer di st Mungo, aku sempat ditegur oleh seniorku karena tidak sabar menghadapi pasien anak-anak dan membuat gadis kecil itu menangis. Huh, padahal aku hanya sedikit melotot saja. Dasar bocah cengeng menyebalkan," celoteh Draco.

"Kau benar-benar tidak suka anak-anak kalau sampai seperti itu,"

"Tapi sebenarnya, aku juga ingin segera punya anak setelah menikah. Mungkin itu akan membuat Mom berhenti mengomel dan berbicara yang membuatku merasa tersinggung,"

"Kalian bertengkar karena masalah anak?" Harry terlihat begitu tertarik dengan topic yang Draco bicarakan.

"Ia menyuruhku lekas menikah agar darah murni keluarga kami tetap bersambung, jika keluarga Astoria tidak bisa menerimaku, Mom akan menjodohkanku dengan seorang anak temannya. Aku tentusaja menolak. Aku hanya akan menikah dengan Astoria saja,"

"Aku tidak berani komentar apapun, Malfoy. Itu benar-benar urusan pribadimu dengan orang tuamu. Ohiya, aku sudah selesai. Maaf, karena pekerjaanku masih banyak aku harus segera lembur lagi. Kau tinggal saja piringmu di meja. Aku akan merapikannya besok. Kalau ada apa-apa kau ketuk pintu kamarku saja, aku akan segera keluar," ucap Harry panjang. Draco hanya mengerutkan dahi sambil mengangguk halus.

Xxx

Pagi yang masih sangat tenang. Matahari bahkan baru mengintip sedikit dari balik peraduan. Namun rumah di Grimmauld Place 12 itu terdengar sedikit riuh, lantaran kedatangan seorang sahabat Harry yang membawa serta putri kecilnya. Ya, Ron dan Rose Weasley tiba-tiba saja sudah muncul dari perapian di pagi buta itu. Pria yang sudah genap 20 bulan menjadi ayah itu menggedor kamar sahabat karibnya itu dengan brutal. Otomatis Harry dengan tidak rela membuka pintu kamarnya dengan kesadaran yang belum seratus persen terkumpul, begitu juga dengan Draco, yang terpaksa ikut terbangun lantaran bunyi berisik yang memekakkan telinga itu.

Terbengong, itulah reaksi pertama yang diperlihatkan oleh Draco maupun Ron saat saling bertemu muka. Keduanya tidak menyangka akan bertemu sepagi itu. Tapi Ron tidak ada waktu untuk mengurusi mengapa ada seorang Draco Malfoy di kediaman sahabatnya, karena ada hal yang lebih penting dan gawat, yang harus secepatnya ia sampaikan kepada Harry.

Maka, begitu Harry kembali dari mengambil kacamata bulatnya, Ron buru-buru menyerocos panjang perihal musibah yang menimpa keluarga besarnya.

"Semuanya diare, Harry! Aku harus mengurus semua orang, termasuk Mione," ucap Ron panic.

"Kenapa tidak kau titipkan Rosie kepada orang tua Mione? Bukannya aku tidak mau, tapi kau lihat juga kan pekerjaan yang kemarin dibebankan kepadaku dan deadline hari Selasa besok?" tanya Harry ikut panic.

"Orang tua Mione dua hari yang lalu baru saja berangkat ke Jepang untuk mengunjungi sahabat mereka di sana. Aku sudah berusaha menghubungi, tapi pasti perlu waktu sampai mereka bisa segera mendapatkan tiket pesawat, kau ingat kan, mereka muggle. Dan meskipun mereka tahu bahwa putrinya penyihir, tapi aku tidak mungkin serta merta mengangkut mereka berdua dengan sapu terbang . Lagi pula Rosie terlihat senang saat bersamamu. Kumohon Harry, please …" pinta Ron dengan wajah memelas. Sementara anaknya tengah berjalan perlahan menghampiri Harry.

Harry menghela nafas panjang. Bagaimanapun juga ia tidak tega melihat sahabatnya sampai memohon begitu.

'Ini lebih penting, pekerjaan konyol itu bisa kutunda,' bathinnya mantap.

Tak jauh dari sana, Draco tengah mengamati semuanya tanpa kata. Ia sengaja tak berbicara apapun, hanya menjadi pengamat saja. Jauh di lubuk hatinya, sebenarnya ia ingin sekali membantu Harry, namun apa daya, dia yang anti dengan anak kecil tidak akan bisa berkutik kalau harus menghadapi perkara ini, terlebih anak dari Weasley yang hingga hari inipun masih tidak bisa memaafkan dirinya. Maklum, salah satu anggota keluarga mereka meninggal akibat perang yang ia akui atau tidak juga banyak melibatkan andilnya.

Draco menghela nafas panjang kemudian memilih untuk kembali ke kamarnya, namun sayang pergerakannya terhenti lantaran panggilan kecil yang menggelitik telinganya.

"Uncle pirang … mau main sama Rosie?" panggil gadis kecil dalam pangkuan Harry yang mau tidak mau memang mengarah kepada dirinya. Bukankah dia satu-satunya yang berambut pirang di sini?

"Rosie … kau tidak boleh sembarangan memanggil," Ron sedikit memberi aksen keras agar putrinya tidak meneruskan memanggil Draco. Tapi nyatanya si kecil malah melorot sambil berjalan tertatih menghampiri Draco yang kini telah berbalik dan terdiam mematung, tidak tahu harus melakukan apa.

Ron yang tidak terlalu siap terpaksa membiarkan gadis kecilnya menghampiri sang rival.

"Uncle temannya uncle Harry?" tanya Rosie lagi, dan Draco hanya mengangguk sambil tersenyum canggung.

"Gendong, uncle …" pinta Rosie.

"Rosie, kau tidak boleh merepotkan Uncle Malfoy!" ucap Harry sambil beranjak dan meraih Rosie ke dalam gendongannya.

"Aku mau dengan uncle pirang … Uncle Harry turunkan aku!" gadis kecil itu memberontak dalam gendongan sang pemuda kacamata, membuat mau tak mau, Ron sebagai ayah harus turun tangan.

"Rosie tidak boleh nakal. Nanti selama Daddy tinggal tidak boleh merepotkan uncle Harry, tidak boleh mengganggu uncle pirang, Rosie tidak mau sakit Mommy tidak kunjung sembuh 'kan?" Ron melirik sekilas ke arah Draco yang masih tak bergeming di posisinya.

Tapi alih-alih menurut, Rosie justru menangis keras. Ron kebingungan dengan tingkah putrinya itu. Dia tidak tahu apa yang dimaui Rosie.

'Andaikan kau di sini, Mione,' bathin Ron nelangsa.

Selama beberapa menit tangis Rosie membahana mengisi keheningan rumah besar kediaman Black tempat Harry tinggal. Sampai-sampai semua lukisan di rumah itu menutup telinga karena tidak tahan dengan raungan tangis si gadis kecil.

Entah karena tidak tahan dengan suara memekakkan itu, atau sekaligus tidak tega dengan si gadis kecil, Draco perlahan mendekati Ron.

"Ijinkan aku menggendong putrimu, Weasley!" ucapnya lirih. Ron membelalak dan menggelengkan kepalanya cepat.

"Aku tidak ingin merepotkanmu, lagipula aku tidak bisa mempercayakan putriku begitu saja kepada orang sepertimu," Ron tetap bersikeras menenangkan putrinya tanpa mau menerima bantuan Draco.

Sementara Draco hanya bisa menghela nafas dalam, kemudian ia menoleh kea rah Harry yang sedari tadi hanya diam melihat keadaan yang terjadi. Namun dengan penolakan Ron, Harry akhirnya ikut mendekat ke arah Ron, berniat sedikit bernegosiasi.

"Kau bisa percaya kepada Malfoy, Ron! Aku yakin dia tidak akan berbuat hal yang buruk kepada putrimu," bujuk Harry kepada sahabatnya, namun lagi-lagi gelengan keras kepala yang digunakan Ron untuk menjawab.

"Keluarga Weasley tidak akan pernah mempercayai keluarga Malfoy, Harry," ucapan penolakan gamblang yang membuat sudut bathin Draco mencelos sakit.

"Aku yang akan menjaminnya kali ini. Aku, Harry James Potter! Kau bisa percaya Malfoy saat ini. Dia tidak akan melakukan hal buruk kepada Rosie. Aku sebagai jaminannya! Kau bisa percaya sahabatmu ini bukan?"sekali lagi Harry mencoba meyakinkah Ron untuk membiarkan putrinya yang masih menangis keras itu.

Ron memandang Harry, Rosie, dan Draco bergantian. Memejamkan matanya dan membuat konklusi final untuk menenangkan malaikat kecilnya. Akhirnya setelah beberapa saat, Ron mengulurkan Rosie ke dalam gendongan Draco. Draco yang memang hamper tidak pernah bersinggunggan dengan anak kecil, apalagi balita seumur Rosie, menerimanya dengan sedikit canggung. Pemuda itu kemudian menggendong sambil menepuk punggung si kecil dengan perlahan.

Selama beberapa menit Rosie masih sesenggukan, namun setelahnya gadis kecil itu mulai tenang. Tangisnya perlahan mulai hilang dan ia kini asyik memainkan rambut pirang Draco yang memang sudah sedikit panjang dan menutup daun telinga.

Ron memandang kejadian itu dengan takjub. Hey, anaknya bias tenang digendong mantan pelahap maut. Ini adalah rekor bagi seorang Ron Weasley.

"Kau jaga anakku baik-baik. Jangan pernah berbuat macam-macam. Kalau sampai terjadi sesuatu PADA Rosie karena ulahmu, bisa kupastikan kau akan menyusul ayahmu di Azkaban, atau mungkin lebih dari itu. Kau mengerti, Malfoy!" ucap Ron pada akhirnya. Draco hanya mengangguk pelan sambil tetap menggendong Rosie di dadanya.

"Aku jaminannya Ron. Kau tidak perlu khawatir. Sekarang sebaiknya kau cepat pulang," usul Harry. Ron mengangguk. Ia menghampiri putrinya, mengecupnya lembut.

"Daddy mau ke mana?" tanya Rosie sambil memandang Ron dengan ekspresi bingung yang sangat menggemaskan.

"Daddy harus pulang agar semua cepat sembuh. Rosie main di sini dulu dengan uncle Harry dan uncle pirang, Ok!" dan Rosie mengangguk perlahan.

"Anak manis! Daddy pergi dulu. Harry dan … yeah Malfoy, aku titip Rosie," kedua pemuda lain yang ada di sana mengangguk mengiyakan.


TBC. Maunya END, tapi kok agak aneh kalau di END sekarang

Yeah... saya datang lagi dengan fanfic bersambung, meskipun masih hutang dua fanfic #pundung

Tapi ini rencananya twoshot saja, dan 70 persen cerita sudah saya ketik.

Maaf kalao saya nyampah lagi di fandom Harry Potter. Abisnya gatal banget pengen posting Drarry yang friendship gini ... Hehehe.

Oiya, sekali lagi ini bukan slash ya. Meskipun mereka barengan gitu, tapi itu murni temenan.

Kalau berkenan tolong review ya ... mau PM juga boleh.

Thank You