Hello everyone.
Due to some reasons, I found myself unable to continue snow white and the seven huntsman for a while.
But since my hands are so itching to write, I decided to make this one, well just a suddenly pops up idea that came out of nowhere.
Think I'll let you know the details for later chapters.
I hope you enjoys it the way I am when I wrote this.
Happy Reading~
Disclaimer: Mobile Suit Gundam SEED and all of its characters belongs to Yoshiyuki Tomino, Sunrise, and Bandai respectively
Rate: T, well, this chapter sounds light, but I think just in case for later chapters
Genre(s): Romance, Drama, Friendship, Family, Hurt/Comfort, etc
Warning(s): AU, Divergence Fanfiction, OOC-ness, Typo(s), ER, FT, etc
Pairing(s): None for this chapter, may change in later chapters
Carte de dragoste
Prolog
October Lynx
2014
Tap. Tap.
Aku bisa mendengar sendiri suara langkahku diatas koridor rumah sakit.
Setengah berlari, aku menyusuri lorong panjang yang berhiaskan cat putih dengan bau obat-obatan yang menusuk hidungku menyeruak dari setiap sudutnya.
201, 203, 205….
Tanpa menghentikan lariku yang cukup kencang karena sekarang aku memakai running shoes, aku mengeja nomor-nomor kamar yang tertera disamping pintu-pintu yang kulalui, sambil mengingat-ingat kamar tujuanku dilantai 2 ini.
"Hei! Jangan berlari dilorong rumah sakit!" salah seorang perawat yang kulewati tampak meneriakiku dengan suara setengah marah, dan sepertinya dia akan lebih marah karena tidak kuhiraukan sama sekali peringatannya.
Persetan dengan teriakannya!
Aku hanya ingin segera tiba di kamar itu. Kamar tempat dia dirawat.
Sejak kabar bahwa dia masuk rumah sakit ini sampai ketelingaku tadi pagi, aku tidak bisa berhenti untuk khawatir biar hanya sedetik.
Selalu kuingat tentang dia, tentang kebaikannya, tentang janji yang diucapkannya kepadaku, dan tentang ucapannya sebelum pergi.
Aku ingat suaranya, aku ingat ekspresi diwajahnya, dan aku ingat demi kata yang terucap dari bibirnya. Tak sedikitpun yang terlewatkan dari ingatanku jika itu menyangkut bagaimana dia sebelum pergi.
"Jangan khawatir begitu" aku ingat ucapannya, dan sentuhan pelan dikepalaku oleh tangannya yang besar dan hangat
"Aku tidak akan pergi lama, hanya sebentar. Dan aku bisa menjaga diri, karena itu… kau tidak perlu memasang wajah sedih begitu" katanya ketika itu, sebelum ia mengantarku ke sekolah dan kemudian….
Kemudian… pergi.
Aku berhenti didepan sebuah pintu putih yang deretan angka bertuliskan 209 terpampang dimukanya.
Kutaruh sebelah tangan didepan dadaku, berusaha meredam gemuruhnya yang nyaris tak terkendali.
Seluruh excitement, keterkejutan, penasaran, dan kekhawatiranku menguap bersamaan dengan tibanya aku disini.
Dia, berada dibalik pintu ini.
Pelan kusentuh daun pintu yang berada dihadapanku.
Tanganku yang lain masih didepan dadaku.
Degup jantung yang sempat tenang tadi kembali terasa.
Aku menghela napas pelan, berusaha meyakinkan diriku yang mulai merasa takut.
Aku takut untuk melihat sosoknya dibalik pintu ini.
Tetapi akhirnya aku membukanya juga. Pintu putih dengan tulisan nomor 209 itu.
Dan aku masuk kedalamnya.
Ruangan ini tidak begitu kecil, namun tidak juga terlalu besar.
Ketika hanya melihat satu ranjang lagi disamping ranjangnya yang berada didekat jendela, aku tahu bahwa ini adalah kamar kelas satu.
Segera kuhampiri sosok yang telah membuatku sangat khawatir ketika berita tentang dirinya sampai kepadaku pada jam istirahat tadi.
Ia tertidur.
Napasnya terdengar pelan dan—untungnya—masih beritme, aku tak sanggup membayangkan suara dengkuran halus itu tidak terdengar lagi saat aku sampai disisinya. Mungkin aku akan menangis meraung-raung dan menyesal sangat dalam tidak mengikuti kata hatiku yang mengatakan bahwa seharusnya aku pulang lebih awal hari ini.
Kuraba perlahan pegangan dari besi yang terdapat pada sisi ranjang itu sembari menyusurinya.
Bersamaan dengan itu, kuamati sosoknya yang sedang terbaring diatas ranjang putih itu.
Rambutnya masih rapi, seperti saat berangkat kemarin. Ia mengenakan pakaian rumah sakit dan ditangannya terdapat selang infus yang terhubung dengan tiang dan cairan infus yang berada didekatku.
Lalu pandangkanku kuarahkan untuk lebih mengamati perubahan yang terjadi pada sosoknya.
Dahinya yang biasanya hanya tertutup rambut, kini terbalut perban putih dengan sedikit semburat merah mewarnai salah satu sisinya.
Aku meringis perlahan, membayangkan luka menganga dibaliknya yang kuharap sudah ditutup secara profesional oleh dokter yang menanganinya.
Lalu sekarang wajahnya.
Ada beberapa tempelan perban dan plester disitu.
Aku menghela napas panjang. Sedikit lega karena tak ada luka yang tampak berarti lagi kecuali luka dikepalanya.
Lalu mataku beralih ke pakaian rumah sakit yang menutupi tubuhnya.
Ingin rasanya kusibak kain itu dan kulihat luka apa saja yang terdapat ditubuhnya.
Namun kuurungkan itu.
Aku menghormati kakakku. Terlalu menghormatinya mungkin.
Dan itu membuatku tidak bisa berbuat seperti itu. Seperti melecehkan dirinya.
Jadi kuputuskan untuk menarik sebuah kursi yang berada didekat tembok di ujung ranjang yang diarahkan oleh kakinya.
Kutarik kursi itu sampai sejajar dengan lengan kakakku, dan kemudian kududuki.
Hening beberapa lama.
Aku berpikir.
Memikirkan kakakku yang berbaring tepat didepan kedua mataku.
Berpikir tentang dia.
Sosoknya yang selalu terlihat kuat dan tegar dimataku.
Sosoknya yang selalu menyambutku setiap aku pulang sekolah meski hanya pada hari-hari tertentu.
Dan sosoknya, yang selalu kuandalkan sejak detik kedatangannya ke rumahku.
Dia kakakku.
Setidaknya aku menganggap begitu.
Meski nadi kami tidak dialiri oleh darah yang sama.
Lalu aku teringat sesuatu.
Sesuatu yang diberikannya kepadaku sebelum ia pergi pada hari itu.
Hari yang ia pergi dan berakhir disini.
Aku ingat aku selalu membawanya bersamaku.
Benda itu.
Sebuah buku.
Kutarik tas sekolahku sampai berada dipangkuanku.
Kubuka resletingnya dan kurogoh isinya. Beberapa kali.
Hingga aku menemukan apa yang kucari dan kubawa buku itu kepangkuanku seraya menaruh tas sekolahku di lantai.
Aku terdiam.
Kuamati sebuah buku bersampul keras dengan warna merah dihadapanku.
Judulnya Carte de Dragoste. Tertulis dengan tinta berwarna hijau tua yang juga menghiasi pinggiran sampul buku dengan rangkaian bunga, tangkai, ranting, dan dedaunan tanpa warna.
Sekali lagi aku menghela napas.
Lalu perlahan kubuka buku yang baru saja kutamatkan disekolah tadi dengan satu tangan.
A/N: How was it? did you like it? did you not? well, let me know through your feedback aka review, ok?
And by the way, can you guess who is the main character and the co-main character, I'll give you a hint: they will not appear in the later chapters which will consisted of the story in the book. hehehe...
Anyway, thank you for reading my side project and... happy Monday~
Love,
.
Toby Lynx
