Siapa saja bisa jadi pahlawan bahkan jika Kau 'menyimpang' sekalipun.

RE=SET—

The young nowadays give up everything for such 'easy' reasons

Intro: Evidence (Bukti) part 1

Distrik 5, Amegakure

Pagi itu hujan deras berbadai terjadi di seluruh Amegakure sehingga masih membawa mendung dan hawa dingin di siang hari setelahnya. Agaknya kondisi sekitar yang suram dan lembab turut memengaruhi suasana hati para penduduk, terlihat dari tidak banyak gerakan yang intensif di selusur jalan besar maupun di kawasan pertokoan distrik lima ini. Dari kawasan itu pula tampak dua sosok bermantel berdiri berhadapan di salah satu gang antara toko barang antik dan apartemen kosong. Salah satunya menyandar dinding sementara yang lain mengangkat sesuatu seperti pisau panjang dengan gerakan mengancam.

"Jadi, Uchiha? Apa maksud ucapan tadi?"

Pemuda berambut hitam di depan si pengancam hanya sedikit menaikkan sudut kiri bibirnya dengan angkuh sebelum menjawab dengan jelas dan khidmat,

"Itu berarti kita semua sama, Hoshigaki. Manusia tak pernah mau tahu kapan berhenti."

Hoshigaki menurunkan kembali belati bermotif sisik di genggamannya, urung memberikan goresan kecil di leher pemuda Uchiha berambut hitam ini. Dia mengerling ukiran 'samehada' di gagang belati tersebut, lalu memasukkan ujung yang tajam di ikat pinggang kulitnya.

"Sudahkah kukatakan kalau aku benci partner sepertimu?"

"Sama. Aku juga tidak suka dengan jenis yang selalu memilih bertindak spontan," pemuda Uchiha membalas rekannya dengan nada bosan.

"Kau tahu kenapa kubenci? Itu karena Kau sok keren! Orang-orang sepertimu tak pernah bisa dipercaya!" rekannya menjawab dengan sama tak-antusiasnya.

"Kalau begitu… mulai sekarang terbiasalah untuk dikhianati. Jangan bilang Kau tak pernah kuperingatkan, Hoshigaki…," Uchiha melirik tajam Hoshigaki sebelum menambahkan, "Jadi, kapan kita menyelesaikan misi? Berdiri mendebatkan pemilihan partner di sini hanya membuang waktu."

Dua sosok ini, Hoshigaki dan Uchiha, bergerak meninggalkan gang sempit dari arah toko barang antik untuk melangkah menuju tangga melingkar di gedung apartemen. Setengah jam kemudian terdengar jeritan tertahan dari lantai tiga gedung, dan sepuluh menit setelahnya raungan sirine bisa terdengar di seluruh distrik lima.

-ii-

Sumigakure, setahun kemudian

Taman kota Yoroi

Sai.

Dia tidak ingat, sejak kapan mereka semua memanggilnya dengan nama itu. Tak ada masa lalu yang membuatnya bisa mengingat ditambah dia juga tidak mau tahu; jika sudah benar-benar nyaman dengan kehidupan sekarang, mengapa harus khawatir?

Sejak subuh dia telah menyelesaikan hampir seluruh tugas yang dibebankan padanya; kurang tiga jam lagi sebelum batas waktu, dan Sai belum pernah sesenang ini. Tinggal satu hal lagi yang harus dilakukannya, sehingga tidaklah berlebihan jika waktu tiga jam lebih dari cukup. Saat ini Sai tengah duduk nyaman di salah satu bangku taman kota, limabelas meter dari kolam air mancur yang terkenal itu, sambil membenamkan kepalanya dalam koran pagi. Obyek misinya akan berada di sekitar situ enam menit lagi (menurut jam taman besar di depannya), dan dalam tiga menit saja berurusan dengan obyeknya dia sudah memiliki waktu bebas selama seminggu.

"Sai, iya 'kan?"

Sai mendongak dari aktivitas membaca lalu memandang ingin tahu pada sosok pria dengan dua bekas luka melintang di sisi wajahnya, berjanggut dan berambut hitam dikucir tinggi.

"Maaf salah orang," Sai mengalihkan perhatian lagi pada koran-nya. Laki-laki itu langsung mengeluarkan sesuatu dari balik mantel panjang untuk diperlihatkan pada pemuda minim ekspresi ini.

"Tapi Yakushi Kabuto yang mau bertemu denganmu—Kau lihat? Laki-laki di mobil sana itu…," Sai mendongak untuk kedua kalinya, langsung menyadari lencana polisi yang dikeluarkan oleh si penyapa, "… ya, aku menangkapnya sebelum datang ke sini. Ada beberapa hal yang—IZUMO, DIA KE ARAHMU!"

Apa yang terjadi selanjutnya adalah Sai yang melempar lembaran koran ke wajah polisi di depannya sebagai pengalih perhatian untuk lari, jatuh tersungkur karena dijegal seseorang yang memakai seragam petugas kebersihan. Baru beberapa detik berikutnya Sai menyadari dia telah diawasi sejak datang dan duduk di bangku taman.

-ii-

"Coba hentikan darah yang mengalir itu, nih… ada tisu!"

Sai yang setengah jam lalu bergulat dengan polisi berseragam petugas kebersihan, lalu didorong paksa menuju mobil patroli dan disuruh masuk ke gedung polisi setelah kedua tangannya diborgol agar tak ada lagi polisi lain yang sisi kepalanya lebam, sekarang duduk dengan kepala bersandar pada kursi kayu keras di ruang interogasi. Dia mengabaikan anjuran penginterogasinya, menggunakan punggung tangannya yang terborgol untuk mengelap darah yang mengalir di dagu daripada menggunakan tisu dari polisi sok-baik. Laki-laki yang memberikan anjuran hanya mengangkat bahu dan melempar kotak tisu ke seberang ruang.

Pintu ruang interogasi terbuka dan laki-laki lain masuk dengan membawa beberapa lembar kertas; laki-laki berkucir yang tadi menyapa Sai di taman.

"Nah, Sai, aku Shikaku—dan rekanku yang baru saja kautolak kebaikannya ini Chouza," Sai tidak melakukan gerakan apapun kecuali menatap lantai di bawahnya dengan ekspresi hampa, "—kuharap Kau mau bekerjasama, Sai. Jawab beberapa pertanyaan kami dengan jujur…," Shikaku menarik kursi kayu terdekat agar sejajar dengan posisi duduk Sai sementara Chouza berdiri di belakang kursi tahanan mereka.

"Aku yakin orang-orangku tidak merusak kemampuan bicaramu, Sai."

Tak ada respon yang berarti kecuali derit kayu dengan lantai yang timbul karena Chouza mendorong kursi di depannya tanpa sengaja.

"Baiklah…," Shikaku menggaruk keningnya dan meraih selembar kertas yang tadi terlupakan tergeletak di atas meja, "… setidaknya aku punya namamu di sini, Sai, nama asli. Kami juga tahu tempat tinggal, keluarga, dan beberapa informasi lain yang mungkin berguna dan tak-berguna untuk... yah, Kau tahu sendiri…. Aku mengatakan ini bukan tanpa alasan, itu berarti kami tidak pernah menganggap enteng apapun."

Untuk pertama kalinya sejak duduk di ruangan itu, Sai mendongak.

"… dan itu juga termasuk; tidak menganggap enteng mengenaimu," Shikaku menyelesaikan kalimatnya.

"Nak, yakin tidak mau tisu? Darahmu menetes-netes tuh," Chouza berkata dari punggung Sai sambil mencengkeram kedua bahu kursi. Kali ini Sai tidak mengangkat tangannya untuk mengelap dagu, dia hanya diam dan memandang tajam Shikaku, yang memasang tampang tertarik.

"Jadi seluruh perhatianmu sudah padaku? Kita mulai saja dengan pertanyaan pertama, kenal Yakushi Kabuto?"

"Apa Kau mengenalnya?" Chouza membeo, Sai masih bergeming.

"Kita anggap sebagai 'ya', karena jelas dia mengenalmu dan catatan pendidikan kalian juga menunjukkan hal itu. Lalu yang kedua, apa yang Kauketahui soal Makoto Mitani—dan jawaban 'tidak' tidak berlaku karena ada saksi yang mengatakan Kau mengunjungi apartemennya hanya sepuluh menit sebelum dia ditemukan tewas."

"Bukankah aku seharusnya mendapat pembela?" akhirnya mereka mendengar suara dari pemuda pucat itu, suara yang monoton dan tak-acuh.

"Maksudmu, 'pengacara' 'nak?" Chouza menyahut dengan nada geli, "Oh, ya nanti Kau dapatkan tapi setelah kami selesai menanyaimu."

"Brengsek."

"Ya terserah. Tapi aku tidak benci jadi polisi," Shikaku berkata keras setelah meletakkan kertasnya, "Bisa ceritakan apa yang kalian, Kau dan Mitani, lakukan dini hari tadi dan apa yang akan kalian, Kau dan Yakushi Kabuto, transaksikan pagi ini?"

Sai mengelap dagunya lagi dengan punggung tangan, kelihatannya memutuskan kata terakhir yang dia ucapkan hari ini adalah 'Brengsek'.

"Tindakan diam malah membuatmu berada di posisi tak menguntungkan, Sai. Bersyukurlah bukan Morino Ibiki yang jadi penanggungjawab kasus ini. Berbeda dengannya, aku—" Shikaku meletakkan dagunya di kedua tangan yang terkatup di atas meja, memandang lurus pada pemuda di depannya,"—cukup lunak."

"Salah. Kau sama bajingannya dengan dia," sambut Sai segera.

Shikaku bertukar-pandang dengan Chouza yang membalas dengan mengangkat bahu.

"Oke, Sai, karena metode 'lunak' tidak cocok untukmu…sebelum itu kuingatkan satu hal lagi; apa Kau yakin mau melibatkan kenalanmu? Iya? Cukup. Chouza, pegangi dia."

-ii-

Taman kota Yoroi, Sumigakure

Dua hari kemudian

Taman Yoroi di akhir pekan selalu dipenuhi pasangan-pasangan yang bermaksud melewatkan waktu seharian untuk bertukar konsekuensi. Konsekuensi yang dimaksud juga tak lebih dari pertanggungjawaban kalimat 'aku suka padamu' maupun 'buatlah aku bahagia' atau bisa juga disebut 'kencan'; jelasnya hari ini seperti biasa banyak pasangan lama maupun baru, tersebar di seluruh taman—ditambah beberapa penjual jasa yang mengharapkan sedikit keuntungan dengan menjual kue-kue basah maupun cemilan sore. Harapan dari sebuah kencan adalah pengakraban diri, setidaknya itulah yang dicari Hondou Ino.

"Sudah cukup! Tou-chan menganggapku aneh, 'kan?" Ino, gadis berambut pirang panjang itu berdiri tiba-tiba dari naungan salah satu pohon Willow hasil biakan petugas taman setempat. Pemuda berambut gelap yang duduk di depannya memasang tampang lucu dan agak mencemooh, namun berkata dengan sabar,

"Ino, bukan begitu. Aku senang kok Kamu mau jujur…."

"Tapi bukan begini reaksi yang kuminta, Tou-chan! Ah~ kenapa juga sih aku membicarakan ini denganmu?"

Tou-chan berdiri sambil menepuk pantat celananya lalu berkata dengan lembut, "Sudah jam jajan nih! Es krim, yang biasanya?"

"Lagi diet."

"Yeh, alasan konyol seperti biasa. Kerempeng itu jelek, tahu! Ayo ngemil!"

"Bukan konyol tahu! Siapa juga yang bilang kalau lengan gede itu nggak enak dilihat?" Ino berkata sambil menggembungkan pipi namun mengikuti juga ajakan menuju konter es krim. Mereka berdiri sejajar dalam antrian bersama pasangan lain dan memasang kuda-kuda waspada agar tidak diserobot pengacau, walau begitu Ino tampaknya masih ingin mendebatkan perbincangan mereka tadi.

"Tahu 'kan kalau aku cuma bisa ngobrol masalah ini sama Tou-chan?"

"Kok?"

"Kalau Tou-chan—sampai menghindariku setelah kuberitahu, yah setahun pacaran nggak buruk juga. Beda kalau ngomong sama Papa, entah Papa bereaksi gimana…."

"Hei… hei…."

"… dan akhirnya malah nggak dianggap serius!"

"Jadi itu, serius?"

Ino menarik tangan Tou-chan agar maju di antrian, "Mau bukti?"

-ii-