BAB 1

(Perekrutan)

Kenalkan, namaku Joonmyeon. Bekerja sebagai buruh tani di lain kota, berangkat pagi dan pulang sore. Tapi sekarang ini matahari sudah tinggi, aku baru saja terbangun juga sadar bahwa ranjang ini bukanlah ranjangku. Ruangan putih dengan bau obat-obatan, selang infus tertancap pada punggung tanganku dan ada perban membalut kepala, lengan, serta kakiku. Ini kamar rumah sakit atau mungkin puskesmas, tapi aku tidak ingat apa yang telah terjadi.

CKLEK

"Oh! Ahjussi sudah siuman. Kupanggilkan perawat dulu, ne." Namja berseragam putih abu-abu itu bergegas ke samping ranjang yang kutempati dan menekan bel. Dia menarik sebuah kursi mendekat, duduk, dan tersenyum yang kemudian di susul seorang uisa juga perawat memeriksa kondisiku.

"Bagaimana kondisinya?" Bukan namja di sampingku, melainkan yeoja yang tengah bersandar di pintu masuk itulah yang bertanya.

"Sesuai pemeriksaan sebelumnya. Tak ada luka yang serius."

"Hmm... Begitu, ne. Kapan dia boleh pulang?"

"Paling cepat besok pagi. Kami masih harus melakukan observasi tentang kesehatan pasien." Hening. Yeoja itu tak lagi bertanya atau mengucapkan apa pun dan sang perawat juga telah selesai merapikan peralatannya. "Kalau begitu kami permisi, masih ada pasien lain yang menunggu."

"Silakan."

TAP

TAP

TAP

Uisa dan perawat itu telah menghilang di balik pintu. Yeoja yang tadi berbincang dengan sang uisa mendudukkan diri di sofa. 'Sial! Ini kamar VIP. Pantas saja tak ada pasien lain di kamar ini dan juga aku baru sadar ada TV yang menempel di dinding,' batinku miris membayangkan biaya yang harus kubayar.

"Ahjussi? Apa ada yang sakit?" Sepertinya namja itu khawatir karena tadi tanpa sadar aku memegang kepalaku. Dia anak yang baik, mengkhawatirkanku yang bahkan tidak ia kenal.

"Gwaenchana. Aku hanya memikirkan biaya yang harus kubayar," ujarku dengan senyum kecil.

Namja itu tampak ingin mengucapkan sesuatu, namun telah didahului ucapan yeoja yang tadi. "Apa kamu punya sanak saudara yang bisa dihubungi?"

Kugelengkan kepalaku pelan. "Aniyo. Aku anak tunggal dan orang tuaku telah lama tiada."

"Istri? Mertua?"

"Aku masih lajang."

"Apa pekerjaanmu?"

"Buruh tani." Entah mengapa aku merasa terintimidasi oleh pertanyaan yeoja itu yang bahkan tidak kukenal.

"Ck!" Yeoja itu berdecak pelan, mengambil botol parfum dari dalam tas dan meminumnya.

"Kamu minum parfum?!"

BRUUUSSHHH

Kata-kata itu spontan kuucap, namun tak kusangka yeoja itu akan menyemburkannya karena terkejut sedangkan namja di sampingku justru tertawa terbahak-bahak. "Kan sudah kubilang agar Mama berhenti melakukan hal-hal seperti itu."

"Sudah, ah! Mama mau keluar sebentar. Awasi orang itu agar tidak kabur, bagaimanapun dia harus membayar biaya perawatan ini."

Yeoja itu pergi meninggalkan kami berdua di ruangan ini. Entah mengapa ekspresi yang sempat kulihat meski hanya sekilas adalah tersinggung. 'Apa tadi aku salah bicara?' batinku mengingat-ingat.

"Maafkan eomma-ku ne, Ahjussi. Beliau memang begitu. Tapi sebenarnya ia baik. Dan juga biaya rumah sakit sudah dibayar olehnya, hanya saja Ahjussi tetap harus mengembalikannya suatu saat nanti."

Kucoba untuk mencerna ucapan namja ini. Yeoja tadi adalah eomma-nya dan biaya perawatan sudah dibayarkan, namun itu dianggap hutang yang harus kulunasi. "Gomawo. Akan kulunasi semuanya, namun tidak langsung dan tidak dalam waktu dekat. Akan kucicil tiap bulan saat menerima gaji."

"Nde. Ahjussi tidak perlu terlalu memikirkannya. Lebih baik Ahjussi fokus untuk kesembuhan saja."

Namja itu kembali tersenyum. Entah mengapa ada sesuatu yang tidak biasa darinya. "Kalau boleh tahu, kenapa kamu dan eomma-mu sangat baik terhadapku? Bisa saja kan tiba-tiba aku kabur dan tidak membayar apa pun?" Ucapanku tidak lucu, namun namja itu justru tertawa kecil yang berubah menjadi seringaian.

"Kalaupun Ahjussi kabur, kami tetap akan menemukanmu. Baik dalam keadaan hidup maupun mati."

DEG

Dapat kurasakan perubahan atmosfer dalam ruangan ini, ditambah lagi namja yang tidak kukenal itu sibuk dengan ponselnya. Hendak bertanya maupun sekedar memulai pembicaraan pun enggan kurasa karena kalimat terakhir yang terucap. 'Jika yang mengatakan para berandal, maka aku tak heran dan segan. Namun penampilan namja ini adalah standar anak sekolah. Tutur bahasanya juga baik, tidak kasar. Mungkin kata-kata seperti itu sudah bawaan dari eomma-nya,' pikirku.

Opiniku terbukti tatkala namja itu tersenyum ramah ke arahku sembari mengenakan tas. "Aku harus pulang untuk belajar karena sudah mendekati ujian kelulusan. Beberapa jam sekali akan ada perawat yang memeriksa Ahjussi. Oya, kemungkinan nanti beberapa anggota polisi juga datang kemari. Ahjussi tidak perlu takut, mereka hanya akan meminta keterangan dari Ahjussi sebagai korban. Ya sudah, aku pulang dulu ne!"

"Sudah kuduga. Anak sepertinya tidak mungkin mengucapkan kata-kata itu," gumamku setelah pintu ruangan tertutup.

Seperti yang dikatakan namja itu bahwa perawat datang tiap beberapa jam sekali dan juga polisi yang meminta keterangan. Aku baru ingat alasan dasar yang membuatku bisa berada di sini. Sore hari dalam perjalanan pulang, sebuah motor dengan dua orang memaksaku untuk menepi di dekat jurang. Mereka menodongku dengan sebilah pisau lalu merampas dompet, jam tangan, dan ponselku. Bahkan sebelum mereka pergi, salah satu dari mereka dengan sengaja mendorongku hingga jatuh ke jurang. Dan semuanya pun menjadi gelap.

Hampir kulupakan keberadaan sosok yang menemaniku selama satu jam terakhir ini karena kami tidak saling menyapa maupun mengobrol, hingga ia menyodorkan selembar kertas kepadaku. "Ini! Baca dulu! Jika setuju, silakan tanda tangan di bawah," ujarnya sembari menyerahkan pulpen.

SURAT PERJANJIAN KERJA

Pekerjaan:

Asisten Ny. Yixing dan Anson

Masa kerja:

hingga berusia 60 tahun

Upah kerja:

30 ribu Won Korea/bulan (400 ribu IDR) (GajiBersih)

Tambahan:

• Tinggal di kediaman yang sama

• Mematuhi semua perintah Ny. Yixing danAnson

• Apabila melanggar surat perjanjian tanpa seizinNy. Yixing dan Anson, akan dijatuhkan sanksiberupa denda 387 juta Won Korea (5 milyarIDR) atau penghapusan memori danpembuangan

Dengan menandatangani surat ini, saya bersedia mematuhi perjanjian dan menerima sanksi tersebut apabila ketahuan melanggar.

Joonmyeon...

"Ini." Kuserahkan kembali kertas itu yang telah kutandatangani.

"Aku tidak tahu apakah kamu itu lugu? Polos? Atau babbo? Biasanya orang-orang akan bertanya lebih dulu sebelum menandatangani surat perjanjian. Jadi... Karena kamu sudah menandatangani surat ini, kuanggap kita sudah sepakat." Dimasukkannya kertas itu ke dalam tas. "Kenalkan, namaku Yixing. Namja yang tadi siang menemanimu adalah Anson, putraku."

"Nde. Saya Joonmyeon."

"Aku tahu. Mian karena aku sudah menyelidiki semua info tentangmu sebelumnya. Tapi aku juga kan tidak mungkin membuat perjanjian tanpa tahu apa pun tentangmu." Nada bicara yeoja itu terkesan lebih hangat dibandingkan saat pertama kali berjumpa, meruntuhkan opiniku sebelumnya.

"Gwaenchana, arrasseo. Lagi pula saya anggap hal ini sebagai cara untuk membalas jasa Anda."

Yeoja itu tersenyum, senyum yang sangat manis hingga membuat perasaanku berdesir. "Tidak perlu seformal itu. Meski sekarang kamu bekerja untukku dan Anson, tapi usiamu lebih tua beberapa bulan dariku." Kuanggukkan kepalaku tanda mengerti. "Sebenarnya aku tidak berniat untuk memperkerjakanmu. Ini adalah permintaan Anson. Belakangan ini dia bersikap tidak seperti biasa. Jadi, aku punya tugas tambahan untukmu. Pantau semua aktivitas Anson dan laporkan padaku jika kamu merasakan kejanggalan."

"Bukankah aku harus mematuhi keinginanmu dan juga anakmu? Bagaimana jika terjadi perintah yang bertolak belakang dari kalian?"

"Pertanyaan yang bagus. Jika hal seperti itu terjadi, maka kamu harus mendahulukan perintahku. Dia adalah putraku, posisiku ada di atasnya. Itu berarti aku memegang kekuasaan lebih terhadapmu." Dia bukan yeoja tercantik, bukan pula yang terburuk. Kharisma yang ia miliki juga tidak terlalu kuat. Namun dia mampu membuat orang-orang di sekitarnya diam dan mendengarkan.

'Mungkinkah itu kharismanya?' batinku. "Entah mengapa bahasa yang kamu gunakan itu agak berlebihan."

"Molla," ujarnya acuh. "Hari sudah gelap, aku harus pulang. Besok pagi aku akan datang lagi sekaligus mengurus beberapa hal di hari pertamamu bekerja. Annyeong!"

Yeoja itu telah pergi. Yixing, atasan baruku. Mulai besok dan seterusnya aku akan mengabdikan diri pada Yixing dan Anson, putranya. 'Sepertinya kata-kata mengabdi itu agak berlebihan,' batinku.

Pagi telah tiba. Usai sarapan, uisa datang memeriksa kembali dan menyatakan bahwa aku sudah boleh pulang. Yixing yang baru saja selesai mengurus administrasi pun menghampiriku bersama seorang namja paruh baya beruban yang kuketahui bernama pak William, sopir pribadi Yixing.

"Pak William, tolong antar dia ke mobil. Aku harus menghubungi seseorang terlebih dulu." Dengan kalimat itu Yixing pergi meninggalkan kami berdua.

"Mari saya bantu," ujar pak William hendak membantuku berjalan namun kutolak dengan halus.

"Gwaenchana. Saya masih bisa berjalan dengan baik."

Namja paruh baya itu tersenyum, menuntunku keluar dari rumah sakit menuju tempat parkir kendaraan roda empat. Dapat kulihat sebuah mobil putih yang tidak kuketahui jenisnya berbunyi saat pak William menekan kunci mobil. "Silakan masuk. Tunggu di dalam saja. Sebentar lagi Yixing akan tiba di sini."

"Bapak memanggil Yixing hanya dengan nama saja? Tanpa embel-embel?" tanyaku ketika kami sudah masuk mobil.

"Nde. Dia tidak suka dipanggil dengan embel-embel oleh orang-orang yang tinggal serumah dengannya."

"Bapak tinggal serumah?" tanyaku heran. Pak William hanya mengangguk dengan seulas senyum kecil. "Memangnya yang tinggal di sana siapa saja?"

Namja paruh baya itu tampak mengingat-ingat dengan dahi berkerut. "Ada Yixing, Anson, Pak Kijoon si penjaga, Bu Kimi dan Bu Lavender si petani, Jonda dan Parcha si peternak, Zhany si tukang masak, Joni si tukang jagal, Ose si tukang bersih-bersih, Byu dan Dandelion si pengantar, Saya, serta kamu."

Tercengang, itu yang kurasakan. "Itu tadi lebih dari sepuluh orang, kan? Rumahnya sebesar apa?"

"Sebenarnya bukan serumah. Maksud Bapak itu kami tinggal di dalam pagar yang sama, tapi beda bangunan."

"Saya tidak paham," jujurku.

"Gwaenchana. Nanti kamu akan lihat sendiri. Lihat! Yixing sudah datang," tunjuk pak William ke arah luar.

Memang benar. Yeoja itu sedang berjalan ke arah kami. Pak William segera membuka pintu mobil depan samping pengemudi, membiarkan Yixing masuk dan duduk. "Pak William, kita langsung menuju ke rumah Joonmyeon ne."

"Arrasseo."

Tadinya aku berpikir bahwa kami akan langsung ke kediaman yeoja itu. "Kenapa ke rumahku?"

Yixing menoleh ke belakang, menatapku bingung. "Tentu saja untuk mengambil barang-barangmu, kan? Memangnya kamu akan terus memakai pakaian yang sama?"

"O-oh... Kupikir ada apa," tuturku kikuk.

"Setibanya nanti kamu bawa semua barang-barang yang penting dan berguna seperti pakaian dan dokumen-dokumen penting, ya." Kuanggukkan kepalaku, menurut. "Untuk perabot yang masih bagus dan layak pakai nanti akan di urus oleh orang-orang suruhanku. Setelah itu rumahmu akan diratakan."

"M-mwo? Diratakan? Maksudmu dihancurkan?" ulangku. Yeoja itu hanya mengangguk dengan santai. "Kenapa dihancurkan? Sejak kecil aku sudah tinggal di sana."

Yixing menghela napas sejenak. "Tanah dimana rumahmu berdiri adalah milik negara, bukan milikmu pribadi. Jadi, suatu saat rumahmu tetap akan dibongkar oleh pemerintah. Aku hanya membantu meringankan tugas saja, kok."

"Maksudmu milik negara?"

"Ya tanah negara. Kamu sendiri tidak punya sertifikat tanah maupun surat-surat yang menyatakan bahwa itu adalah milikmu atau keluargamu, kan?"

Aku terdiam mengingat-ingat. Memang benar yang dikatakannya. "Tapi rumah itu sudah lama kami tempati secara turun menurun."

"Tetap saja bukan milikmu, kan? Kamu tidak berhak atas tempat itu tanpa izin. Tapi negara bebas melakukan apa pun di sana karena tempat itu milik negara." Tak bisa kubantah, ucapannya memang benar. "Sudahlah, lagi pula kamu akan segera menetap di tempat yang lebih baik dan layak."

Tak ada lagi percakapan, bahkan Yixing dan pak William sama sekali tidak bertanya arah jalan menuju rumahku. Perjalanan selama satu jam itu berisi keheningan hingga benar-benar berhenti di depan rumahku. Rumah kecil usang yang penuh tentang memori keluargaku. Tanpa banyak berpikir, kukemasi barang-barangku dengan segera dan memasukkannya ke dalam bagasi mobil.

"Sudah?" tanya Yixing saat kututup bagasi mobil.

"Sudah." Yeoja itu pun memberi isyarat pada dua pria yang tak kukenal untuk masuk ke dalam rumahku. Aku bahkan tidak menyadari kehadiran mereka. "Mereka siapa? Kenapa masuk?"

"Mereka orang suruhan yang kuminta untuk mengambil barang-barang yang masih bagus," balasnya sembari mengangkat panggilan telepon.

"Barang-barang itu nanti akan diberikan pada siapa pun yang membutuhkan. Jadi, anggaplah kalau kamu sedang beramal dengan berbagi," sambung pak William.

Sejujurnya aku agak sebal dengan sikap Yixing. Namun entah mengapa di sisi lain dapat kurasakan hal positif dari tindakannya. "Apa Yixing selalu begitu?" bisikku agar tidak didengar sang obyek.

Pak William tertawa kecil. Meski rambutnya sudah beruban, tapi beliau memiliki perawakan yang sehat. "Semakin lama kamu mengenalnya, semakin banyak hal-hal tak terduga yang akan kamu temui."

"Memangnya sudah berapa lama bapak mengenalnya?"

"Saat itu Anson masih kecil, kira-kira sudah 17 tahun. Dulu Yixing itu masih bukan siapa-siapa. Tapi karena kecerdasan dan keinginannya agar Anson mendapat kehidupan layak, akhirnya dia bisa sukses seperti sekarang," jelas pak William tampak bahagia.

"Jeongmal? Kupikir karena memang dia berasal dari keluarga berada makanya bisa seperti sekarang."

Pak William menggelengkan kepalanya pelan. "Bapak tidak tahu pasti latar belakangnya. Dulu Bapak bekerja sebagai pengemudi taksi. Saat itu Bapak melihat Yixing sedang menggendong Anson yang terlelap. Karena sudah malam dan hujan lebat, Bapak menawarinya tumpangan. Tapi dia bilang tidak punya rumah dan uang lebih untuk membayar ongkos taksi. Bapak merasa simpati dan mengajaknya untuk tinggal bersama. Yixing pun menurut karena tidak mau membuat Anson sakit," jelas pak William.

"Bukankah dulu Yixing tidak mengenal Bapak? Mianhae, tapi bagaimana jika ternyata Bapak adalah orang jahat? Bukankah berisiko jika menurut begitu saja? Lalu, apa tidak akan merepotkan keluarga Bapak?"

"Memang hal itu mungkin saja. Apalagi saat itu Bapak juga hidup sendiri. Tapi karena tidak punya sanak saudara, makanya Bapak mengajaknya tinggal bersama. Saat itu kan juga sedang hujan. Jika terlalu lama di luar, ada kemungkinan Anson yang masih kecil akan jatuh sakit. Tidakkah hal itu juga akan lebih berisiko?" Kuanggukkan kepalaku tanda mengerti dan setuju.

"Bagaimana jika sebaliknya? Bagaimana jika ternyata Yixing adalah penjahat yang menjebak orang-orang seperti Bapak?"

"Sebenarnya setelah tujuh tahun, Bapak juga sempat berpikir seperti itu saat tahu Yixing memegang banyak uang. Karena dari pagi sampai malam Bapak kerja di luar, Bapak tidak tahu apa saja yang dilakukannya selain merawat Anson. Dia bilang bahwa uang yang sudah dia kumpulkan itu hasil dari kerja serabutan."

"Jika dia bekerja, siapa yang merawat anaknya?" tanyaku tak sabar.

"Dia bawa kerja. Dia bilang awalnya memang sulit, tapi makin lama juga terbiasa. Kamu tahu tidak berapa jumlah tabungannya selama tujuh tahun itu?" Kugelengkan kepalaku tanpa pikir panjang. "Lebih dari 65 juta Won Korea (850 juta IDR) dan itu bersih, tidak digunakan untuk keperluan sehari-hari!"

'Pekerjaan apa saja yang sudah dia lakukan hingga bisa menyisihkan uang sebanyak itu selama tujuh tahun?" batinku shock. "Lalu, uang sebanyak itu digunakan untuk apa?"

"Membeli sebuah rumah dan tanah yang ada di sekitarnya, serta membuka usaha dan lapangan pekerjaan," sahut Yixing yang baru saja kembali entah dari mana. "Pak William, sebaiknya kita langsung pulang saja."

"Bagaimana dengan tim penghancur?" tanya pak William yang mulai menyalakan mesin mobil.

"Mereka sedang dalam perjalanan. Sedang ada perbaikan jalan, jadi mungkin akan terlambat. Tapi gwaenchana."

"Apa maksudmu mereka itu orang-orang yang akan menghancurkan rumahku?" tanyaku saat kami sudah masuk ke dalam mobil.

"Nde. Jadi, ucapkan selamat tinggal pada kehidupan lamamu. Dan selamat memulai lembaran memori yang baru."

Bersambung

Annyeong, chingu!

Gomawo dah sempetin baca FF dari amatiran sepertiku, ne.

Sebelumnya udah ku up secara short chapter, tapi menurutku nanti jadi kebanyakan chapter.

Makanya kali ini aku up tiap bab.

Hehe...

Bab ini gimana?

Menarik nggak?

Ini masih bagian perkenalan aja.

Bab depan udah mulai muncul permasalahannya.

Tapi kayaknya mantan suami Yixing masih belum muncul.

Hehe...

Gomawo buat yang suka!

Gomawo juga kalo ada yang nggak suka!

Pokoknya gomawo untuk chingu semua, semoga selalu sehat!

Tunggu bab 2, ne!

Annyeong!