INVALID

Chapter I : Kesan Pertama itu Penting

.

.

.

NOMIN

JENO X JAEMIN

(NCT)

RATE M. ROMANCE. COMEDY.

Rate M

BL/SHOUNEN-AI/YAOI/GAY/HOMO

.

.

.

Dilarang repost tanpa izin!

Dilarang copas!

Cerita ini milik saya!

.

.

.

Dia tidak mau menyalahkan dirinya sendiri. Sejak dulu ini sudah menjadi kebiasaannya. Tidur siang hanya dengan memakai celana boxer. Lalu selepasnya ketika sudah bangun akan berjalan ke balkon rumah, mengambil jemurannya yang telah kering.

Ia tahu hari ini ada yang sedikit beda dengan kebiasaannya itu. Kegiatannya tidak mentok pada mengambil jemuran saja, melainkan sampai berjoget-joget sarap di balkon sambil mendendangkan lagu-lagu artis barat yang sedang hits. Ia mengesampingkan jemurannya dan melakukan beberapa stretching di balkonnya dengan tubuh hampir telanjang.

Dia melentingkan tulang punggungnya, seperti seekor kucing yang baru bangun tidur.

"Wuoh, anginnya, anginnya... kencang sekali." Selanya di tengah dendangan lagu ketika angin siang bertiup kencang. Dia mencoba untuk tidak mengacuhkan tiupan angin itu, tapi hasilnya nihil. Angin itu bandel, semakin dicoba diabaikan tiupannya malah semakin kencang.

Sialan. Mengganggu kegiatan orang saja.

Dengan hati mendumal, dia menghentikan jogetannya dan segera bergerak mengangkati jemuran. Dia meraih kaosnya, celana-celana jeans miliknya, bra milik mamanya, daster milik mamanya, rok panjang milik mamanya, dan celana denim miliknya semuanya ia ambil satu-satu.

"Havana ohh na...naaa." Dia bernyanyi sambil meraih celana dalamnya. Berputar-putar menikmati lagunya sambil memainkan celana dalamnya ke udara. Mengangkatnya ke atas dan memutar-mutarkannya dengan heboh.

Orang gila.

Dia masih akan terus bertindak gila seperti itu jika saja kakinya tidak tersandung oleh kakinya sendiri saat sedang melangkah. Tubuhnya oleng, genggamannya pada celana dalam yang ada di tangan kiri juga mulai merenggang, lalu pada saat angin sedang bertiup kencang, bak sebuah gerak lambat yang mendebarkan, celana dalam itu terlepas dari genggamannya. Terlepas dengan begitu saja, terlempar dari tangannya dan melayang di udara mengikuti arus angin.

Dia menatap adegan itu dengan mulut menganga, tangannya terulur mencoba meraih celana dalam berwarna kuning itu kembali. Tapi kuasa angin berkehendak lain. Celana dalam berwarna kuning bergambar tokoh kartun larva itu terus mengudara dengan bebasnya tanpa pawang ke arah balkon samping rumahnya.

Dia melotot dengan khawatir, tidak mengharapkan celana dalam itu akan terbang sampai ke sana. Dengan ringisan hati, dia berteriak lantang.

"TIDAAAAKK!"

Bersamaan dengan itu. Seorang pria yang tidak ia kenali muncul dari balkon rumah itu. Orang itu menoleh ke arahnya ketika ia berteriak. Dia membolakan matanya ketika mata mereka bertemu selama beberapa detik. Dan bola matanya semakin melebar lagi ketika kejadian tidak diharapkan terjadi.

Celana dalam miliknya, celana itu, mendarat di sana, di wajah milik tetangganya itu. Di wajahnya?!

Sekali lagi, di wajahnya!

Demi apa dia malu! Celana dalamnya mendarat di wajah orang!

"M-maafkan aku. Astaga, maafkan aku." Dengan tubuh setengah bugilnya dia terus membungkukkan tubuh dengan kikuk. Meminta maaf dengan wajah memerah semerah tomat. Dia malu. Malu kawan.

"Maafkan aku, maafk-ARRRGGG! MAMA!"

Dasar anak mama.

Selepasnya ia berteriak lagi. Berteriak memanggil ibunya karena saking malu, dan berlari dengan terbirit-birit menuju ke dalam rumah.

Celana dalam kuning bergambar larva miliknya mendarat dengan sangat tidak tahu diri di atas wajah milik orang lain.

Tolong tenggelamkan dia! Dia malu!

Rasanya mau hidup jadi segan tapi mau matipun ia enggan! Dia malu, malu, dan sangat malu. Ditambah dengan kondisi tubuhnya yang seperti itu, membuat dia jadi semakin malu. Bugil! Kondisi tubuhnya benar-benar sangat tidak pantas untuk dipertontonkan. Tubuh kurus dengan garis selangka yang tajam, serta beberapa rusuk yang menonjol, benar-benar bukanlah suatu hal yang dapat dibanggakan jika diperlihatkan ke orang lain.

"ARRRRGHHHHH!"

Dia bahkan masih berteriak dengan gila saat sudah masuk ke dalam rumah.

Memalukan sekali!

.

.

.

...NoMin...

No copas.

No repost.

No plagiat.

...Happy Reading...

.

.

.

"Ya, mama mana kepikiran. Mama pikir kau tidak akan peduli soal itu."

Jaemin mengerang. Dia menatap ibunya dengan mata yang memicing tajam.

"Setidaknya beri tahu aku kalau rumah sebelah sudah ada penghuninya. Aku kan jadi malu, ma!" Jaemin menyesali perbuatannya pada siang tadi. Andai saja sejak awal dia sudah tahu jika rumah sebelah sudah ada penghuninya, maka kebiasaan bersèmi telanjang serta berjoget di balkon akan segera ia hentikan. Takut-takut dilihat orang dan akan dikira sarap oleh mereka.

Ibunya Jaemin mengedikkan bahunya dengan wajah lugu tanpa penyesalan.

"Tapi kan, seharusnya kau itu juga harus sadar kalau kebiasanmu itu tidak baik. Mana ada joget-joget begitu di balkon. Mentang-mentang kanan-kiri rumah kita tidak ada penghuninya, bukan berarti kau harus sarap begitu kan?"

Jaemin mendengus. Sedikit membenarkan juga apa yang dikatakan oleh ibunya. Tapi tetap saja dia tidak mau disalahkan.

"Kalau tahu anaknya suka joget-joget di balkon seharusnya mama segera beritahu jika rumah sebelah sudah ada penghuninya. Biar aku tidak kelepasan lagi melakukan itu. Sudah ah! Pokoknya besok aku tidak mau angkat jemuran lagi. Selepas tidur siang aku akan langsung main saja." Jaemin mendengus sebelum meninggalkan ibunya dengan begitu saja di dapur.

Ibunya sendiri tidak peduli, dia hanya mengedikkan bahu dan melanjutkan kegiatannya memasak makan malam.

Jaemin mampir sebentar ke kamarnya, mengambil jaket lalu berjalan keluar rumah. Tapi ketika sudah sampai di halaman rumah, dia segera berbalik dan berlari lagi ke dalam rumah. Dia menyandarkan punggungnya pada pintu rumah lalu menetralkan napasnya yang berhembus dengan tidak teratur.

"Hampir. Hampir saja aku berpapasan dengannya." Ucapnya ketika di halaman tadi secara tak sengaja melihat si tetangga sebelah sedang menutup pagar rumahnya untuk pergi keluar entah ke mana. Hampir saja jika ia tidak melihat itu bisa jadi mereka akan berpapasan. Astaga, dia belum siap.

Dia membuka pintu rumahnya sedikit, mengintip dari sana untuk melihat apakah situasi di luar sudah aman. Matanya mengedar, memindai halaman rumah tetangganya dengan awas. Dia menghela napas. Rumah sebelah sudah sepi dan sepertinya si tetangga telah pergi.

Aman. Aman.

Begitu gumamnya sambil melangkah dengan penuh percaya diri keluar rumah. Sudah tidak ada keraguan serta ketakutan lagi, dia sudah merasa aman dan nyaman sekarang. Tanpa banyak ganjalan lagi, dia berjalan dengan santai menuju ke minimarket yang ada di depan komplek sana.

Ketika sudah sampai di minimarket, ia segera berjalan menghampiri bilik mie instan. Mengambil dua cup ramen instan lalu menyeduhnya di depan konter kasir. Ia tersenyum singkat mencoba ramah ketika sang kasir menyapanya.

"Ini saja?" Tanya kasir.

"Euhm, dua bungkus potato chips." Jawab Jaemin sambil menambahkan dua bungkus keripik kentang pada barang beliannya.

"Terima kasih." Ucapnya setelah selesai membayar kedua barang itu. Dia membawa dua ramen instan beserta jajanannya keluar toko, berniat untuk menyantap ramen itu di meja-kursi yang telah disediakan di depan toko.

Matanya mengedar mencari kursi yang kosong, dan matanya terjatuh pada satu tempat yang diduduki oleh seorang anak kecil. Anak kecil kisaran dua atau tiga tahun yang sedang meletakkan kepalanya dengan lesu di atas meja. Dia tersenyum melihatnya. Sepertinya bergabung dengan bocah itu bukanlah keputusan yang salah.

"Hei, bocah. Ke mana orangtuamu?" Jaemin meletakkan keripiknya di atas meja dengan dua ramen instannya. Dia membuka penutup cup ramennya, menghirup aromanya dengan dalam sambil menjilat bibir bawah.

"Wow, aromanya... harum sekali." Gumam Jaemin sambil menuangkan ramennya, menggabungkannya menjadi satu ke dalam satu wadah saja.

Bocah yang ada di depan Jaemin mengangkat kepalanya. Menatap Jaemin dengan mata sayu.

"Kau mengantuk?" Tanya Jaemin, dia mulai menyumpit ramennya, meniupnya pelan-pelan sambil sesekali tangannya yang lain mencomot keripik kentang yang ia jadikan sebagai lauk.

Bocah itu menggeleng lalu menatap Jaemin yang sedang mengunyah keripiknya dengan tatapan melas. Berharap supaya dibagi sedikit padanya.

"Hee, kau mau? Ambil saja." Jaemin menyodorkan bungkus keripik kentangnya yang masih tersisa satu pada bocah itu.

Mendapatkan apa yang diinginkannya, bocah itu segera membuka bungkus keripik pemberian dari Jaemin dengan senang lalu segera mengunyahnya dengan lahap. Jaemin yang menatapnya jadi tersenyum. Bocah itu sedang lapar mungkin.

"Kau belum makan?" Jaemin berucap sambil memasukkan satu sumpitan besar mie ke dalam mulutnya. Meski masih panas, tapi dia sudah kebal. Sudah terbiasa makan beginian.

Bocah itu mengangguk lucu sambil menjilati jari tangannya, menghisap bumbu keripik yang masih tertinggal di sana dengan perasaan senang.

Mendapat respon semanis itu, Jaemin jadi merasa senang. "Kau lucu sekali ya. Kau ke sini dengan siapa?" Tanya Jaemin lagi sambil menyeruput kuah ramennya. "Aahh, enaknya." Dia menjilat bibir bawahnya dengan puas ketika kuah ramen itu terasa sangat menyegarkan di tenggorokan.

"Appa." Jawab sang bocah. "Hyung, lamennya enak ya? Boleh minta cidak?" Tatapan penuh harap kembali diperlihatkan oleh bocah itu saat melihat Jaemin tampak begitu lahap menyantap ramen tersebut.

Jaemin yang gemas dengan mata itu langsung menganggukinya. Dia mengambil satu sumpitan kecil, meniupnya pelan lalu disuapkan kepada bocah itu. "Enak sekali. Kau pasti akan suka." Ucapnya sambil membersihkan baju sang bocah yang terkena tetesan kuah ramennya.

Jaemin menyomot keripik kentangnya lagi. "Omong-omong ke mana appa-mu?" Lalu bersiap untuk menyumpit ramennya kembali. Dia mengedarkan matanya, mencari letak keberadaan ayah dari sang bocah yang tidak ada di sisi sang anak. Sembrono sekali main meninggalakan anak seperti ini.

"Itu appa-nya jicungie." Bocah itu menunjuk seorang pria yang baru keluar dari dalam toko dengan beberapa kantong belanjaan di tangan. Jaemin mengikuti arah telunjuk sang bocah untuk melihat bagaimana rupa orangtuanya.

Dan setelahnya.

Jaemin menyesali keputusannya untuk duduk di kursi ini. Menyesal sudah menemani bocah itu mengobrol sejak tadi. Jaemin menyesalinya. Menyesal sesesal-sesalnya.

"Jisung, maaf appa terlalu lama. Tadi harus antre di kasir."

Suaranya membuat Jaemin ingin segera ditenggelamkan. Tenggelamkan saja dia sekarang!

Dengan membungkus keripik kentangnya kembali, ketika ayah dari bocah ini sudah berada di dekat meraka, Jaemin memutuskan untuk pelan-pelan berbenah, dia ingin kabur dari sini. Dia tidak mau belama-lama di sini. Dia terlalu malu jika terus berada di sini.

"Dia siapa?"

Ayah bocah itu menunjuk Jaemin. Bertanya sambil menatap putranya dengan heran.

"Hyung baik, appa. Tadi jicungie dicuapi lamen."

Hal ini membuat Jaemin semakin menggigit bibir bawahnya dengan kencang. Dia menunduk dalam. Mengangkut barang beliannya lalu berdiri dari kursinya dengan patah-patah.

"Permisi.." Jaemin bergumam lirih, segera balik kanan setelah berhasil berdiri. Dia membelakangi kedua orang itu, sebisa mungkin untuk tidak memperlihatkan wajahnya kepada mereka berdua. Terlebih pada ayah dari bocah itu. Tahu kenapa?

Karena ayah dari bocah itu adalah pria yang tadi siang mencium celana dalamnya secara tidak sengaja!

Iya! Pria itu adalah tetangga sebelah rumah, tetangga barunya! Yang mencium celana dalamnya!

"Hei?"

Jaemin tersentak. Pria itu bersuara kepadanya saat dia akan melangkah. Jaemin, tidak sanggup menoleh. Dia hanya diam saja di tempat sebelum menunduk dalam sambil menengok sedikit ke arahnya.

"Kau sudah akan pergi, kenapa terburu-buru? Tapi kalau boleh kusarankan, mencerna sambil berjalan itu tidak baik." Saran pria itu saat melihat Jaemin beranjak sambil membawa cup ramennya. Sedikit jaga-jaga jika orang itu nekat memakan ramennya di tengah perjalanan.

Jaemin menganggukan kepalanya dengan miris. Iya, iya dia paham. Mencerna sambil berjalan itu tidak baik. Tapi lebih tidak baik lagi jika ia tetap lanjut makan ramen di situ, bersama dengan kalian! Rasanya itu hanya akan membuat perutnya berputar-putar karena terpaan rasa malu yang terus berpusar di dalam situ.

Lebih baik dia minggat saja dari situ. Angkat kaki lalu kabur, sehingga wajahnya bisa sedikit terselamatkan dari rasa malu ini.

Atau parahnya malah semakin diterpa rasa malu?

"DUUK!"

"Aaaaaa..." Dia tersandung, tersandung oleh (lagi-lagi) kakinya sendiri ketika baru akan melangkah. Beruntung dia tidak sampai tersungkur, hanya keripik kentangnya saja yang melayang. Itupun beruntungnya lagi bungkus keripik kentangnya masih berada di dalam kantong kreseknya.

Dengan menggigit bibir bawahnya, dia buru-buru mengambil keripik kentangnya di tanah lalu segera tancap gas untuk kabur.

Dia berlari kencang. Dengan ramen di tangan kiri dan keripik di tangan kanan. Dia lari dengan kalang-kabut meratapi nasib sialnya pada malam ini.

"Aaaaa! Mamaaaaa! Yang tadi itu sangat memalukan!" Teriaknya dengan heboh ketika sudah berlari cukup jauh dari mereka.

.

.

.

"Mau menyesal tapi kau anakku. Aduh, Na Jaemin! Bergunalah sedikit! Cari kerja dan jangan jadi pengangguran terus!" Pagi-pagi sekali, sekitar jam lima pagi, ibunya Jaemin sudah berkicau dengan sangat berisiknya di dalam kamar milik Jaemin, yang saat ini si pemilik kamar sendiri malah masih tertidur di ranjangnya dengan posisi yang sangat tidak bisa didefinisikan.

Kaki mengangkang lebar. Tidak memakai atasan, hanya celana kolor berwarna hijau yang melekat di selangkangan. Mulutnya terbuka, sampai sesekali juga mendengkur, dan rambutnya juga porak-poranda bagai usai diterpa badai.

Ya Tuhan. Rasanya ibu Jaemin ingin nyebut sebanyak-banyaknya sekarang.

"YAK! NA JAEMIN! BANGUN KAUU!"

Dan setelahnya, satu gelas air terguyur dengan sangat derasnya di atas wajah milik Jaemin. Jaemin langsung tersentak, bak habis kena sentrum. Tubuhnya bangun dengan gelagapan dan megap-megap seperti ikan koi yang terlempar dari kolamnya.

"BANGUN DAN LAKUKAN KEGIATAN YANG BERMANFAAT SANA!" Teriak ibu Jaemin kembali sebelum meninggalkan kamar anaknya dengan hati yang meradang dipenuhi oleh emosi.

Jaemin membuka matanya. Wajahnya linglung, nyawanya belum terkumpul sepenuhnya. Dia menatap sekeliling dengan wajah bodoh seolah tempat ini bukanlah habitatnya, melainkan tempat asing.

"Aaah... tadi itu suara mama. Aahh, dia menyuruhku bangun. Ok, bangun. Selamat pagi."

"BRUK!"

Dan tubuhnya kembali mendarat di atas ranjang. Dia lanjut tidur dan bermalas-malasan.

.

.

"Jadi, tetangga sebelah itu duda?" Sekarang Jaemin sudah sepenuhnya sadar. Dia memakai kaos santai, celana olahraga selutut dan sepasang sepatu lari berwarna hitam terpasang di kakinya.

"Hm." Ibu Jaemin menanggapi dengan jutek sambil menyirami tanaman bunganya. Dia masih jengkel dengan anaknya yang setiap pagi selalu susah dibangunkan.

"Judes sekali." Sindir Jaemin sambil melakukan pemanasan.

Niatnya, pagi ini, daripada terus kena omel dari sang ibu, dia berencana untuk lari-lari pagi keliling komplek. Hitung-hitung menambah kebugaran tubuhnya yang belakangan memang sedang memburuk akibat perilaku bermalas-malasannya.

"Makanya cari kerja atau apa dan berhenti malas-malasan supaya mama tidak marah-marah terus, dan lama-lama kena serangan jantung dan hipertensi! Dasar anak nakal!" Ibunya Jaemin kembali ngomel, kali ini dia melayangkan kakinya untuk menendang pantat milik Jaemin dengan keras.

"Aduh! Aduh! Sakit, MA!" Sentak Jaemin dengan tidak terima. Dia mengelus pantatnya pelan sambil meringis jengkel pada sang ibu.

"Mama tau sendiri, kemarin aku tidak lulus ujian CPNS." Jaemin berdecih mengingat kenangan buruknya mengenai kegagalan ujiannya.

"Halah, kalau begitu cari kerja yang lain sana. Jangan mentok di situ!" Ibunya Jaemin geram.

"Tidak mau! Aku tidak mau kerja lain selain jadi PNS!" Elak Jaemin dengan kepala batu.

"Hish! Kalau begitu ikut bimbel sana biar bisa lulus di ujian berikutnya!"

"Aadaaawwhh!" Jaemin kembali berteriak kencang ketika pantatnya lagi-lagi ditendang oleh sang ibu dengan lebih sadis.

Dengan meringis Jaemin menatap ibunya.

"Dasar mamah tiri!" Teriaknya marah lalu balik kanan, lebih baik dia segera jogging daripada terus kena tendang oleh sang nyonya rumah yang galaknya bukan main itu.

"Jangan pulang kau berani berkata begitu lagi! Mama tiri katamu?! Kukembalikan ke dalam perut lagi tahu rasa kau, dasar anak nakal!" Ibu Jaemin berteriak marah saat Jaemin sudah keluar dari pagar rumah.

Mendengarnya Jaemin hanya berjulur lidah. "MASA BODOH!" Balasnya dengan suara teriakkan yang sangat kencang.

Di depan pagar rumah, ketika Jaemin sudah akan berlari, matanya tak sengaja menangkap pemandangan seorang bocah sedang menangis di depan pagar rumahnya. Bocah itu berjongkok, menyembunyikan wajah di lipatan tangan sambil sesekali terisak dengan lirih.

Jaemin yang melihatnya merasa heran. Dia celingukkan mencari orangtua bocah itu, namun tidak ada. Pelan-pelan dia mendekat, berdiri di depannya sambil sesekali menunduk untuk melihat wajahnya.

"Hei, bocah. Kenapa menangis di situ?" Jaemin berucap.

Bocah itu mengangkat kepalanya, hidungnya memerah dan wajahnya basah oleh air mata. Jaemin yang melihatnya menyipitkan mata. Bocah ini adalah Jisung kalau ia tidak salah ingat. Anak dari tetangga barunya itu. Melihatnya berlinang air mata seperti ini langsung membuat Jaemin jadi tidak tega.

Bocah bernama Jisung itu berdiri. Menghapus air matanya pelan lalu menggeser tubuhnya ke sisi kanan, dan kembali berjongkok lagi. Heh? Sehabis berjongkok bocah itu kembali menyembunyikan wajah dan melanjutkan tangisannya lagi.

Heh? Bocah aneh.

"Hei. Kenapa menangis di situ?" Tanyanya lagi dengan heran sambil berjalan mendekatinya.

Tapi bocah itu langsung mengangkat kepalanya lagi saat ditanyai begitu oleh Jaemin. Bocah itu mencebikkan bibirnya dengan kesal lalu menggeser tubuhnya lagi ke kanan dan lanjut menangis lagi.

Eeh?

"Kenapa cih?! Jicungie tidak boleh menangith di citu?!" Jisung kesal karena sejak tadi Jaemin terus mengomentari lokasi tempatnya menangis. Dia beranggapan sepertinya Jaemin tidak suka kalau dia menangis di tempat-tempat tadi.

Jaemin terbahak. "Bukan begitu." Lalu melambaikan tangannya pelan, menampik prasangka dari sang bocah.

"Jisung kenapa?" Jaemin yang sudah tahu nama anak itu menanyainya dengan pelan.

"Kecal!" Jawab Jisung sambil menundukkan kepala. Bocah itu masih terisak dan bahkan mulai sesenggukan.

Jaemin yang mendengarnya jadi semakin merasa tidak tega. Entah kejadian apa yang membuat bocah itu kesal hingga menangis seperti ini, tapi yang jelas kondisinya saat ini benar-benar membuat hatinya tersentuh. Ingin menenangkan dan meredakan tangisannya.

"Hei, daripada menangis, mau ikut dengan hyung tidak?" Tawarnya pada bocah itu. Dia ingin mengajaknya jalan-jalan sekaligus menghiburnya supaya tidak menangis lagi.

Jisung mengangkat kepalanya. Menatap Jaemin dengan tatapan menilai, apakah sosok ini bisa dipercaya? Apa tidak masalah jika dia ikut dengannya? Apa orang ini tidak akan berlaku buruk padanya?

"Tenang saja. Aku orang baik kok. Buktinya semalam aku mau berbagi makanan denganmu." Bujuk Jaemin dengan kalimat persuasifnya yang begitu ampuh.

"Tapi jicung belum ijin cama appa." Jisung berucap pelan ketik Jaemin sudah mengangkatnya ke dalam gendongan. Jisung memeluk leher milik Jaemin lalu menatap Jaemin dengan mata yang membulat yang masih nampak sembab.

Jaemin menggeleng sebagai respon. "Tenang. Semua akan baik-baik saja." Lalu menyeka air mata di kedua pipi milik Jisung.

"MAAAAA! BILANG TETANGGA SEBELAH KALAU ANAKNYA SEDANG MAIN DENGANKU! MAAA AKU PERGI DULU!"

Setelahnya tanpa peduli apakah sang ibu mendengar teriakkannya atau tidak, Jaemin segera menculik dan membawa Jisung bersamanya. Menggendong bocah itu dengan langkah semangatnya menuju ke taman bermain yang ada di sebelah sekolah dasar di dekat gereja sana.

Sebelum sampai di taman, Jaemin sempat membawa Jisung masuk ke dalam toko tempat pertama kali mereka bertemu semalam. Di sana dia membeli beberapa bungkus sosis siap saji, dua kotak susu kedelai serta dua botol susu rasa cokelat dan stroberi.

Ketika Jaemin menawari Jisung ingin dibelikan apa, bocah itu menjawab jika ia ingin makan gula-gula dan es krim. Tapi tentu saja hal itu langsung ditolak oleh Jaemin. Gula-gula terlalu buruk untuk gigi-gigi mungil milik bocah itu yang usianya masih belia. Serta es krim, es krim juga tidak baik dimakan sebelum sarapan. Jadilah sebagai gantinya, Jaemin membelikan dua botol susu dengan rasa yang berbeda pada bocah itu serta bonus sosis siap saji untuk mengganjal rasa lapar.

Ketika di taman bermain. Hal pertama yang mereka lakukan adalah menyantap makanan yang tadi telah mereka beli bersama. Jisung tampak menyukai sosis rasa sapi itu dan memakannya dengan sangat lahap. Jaemin pun sama, dia juga menyantap benda lonjong berukuran lumayan itu dengan lahap.

"Omong-omong kenapa kau kesal?" Jaemin buka suara sambil meminum kotak susu kedelainya. Dia menatap Jisung, bocah itu tampak sedang kesulitan menusukkan sedotan pada tutup botol susunya. Dengan begitu maka Jaemin pun turun tangan untuk membantu.

"Appa bilang jicungie akan dicitipkan ke lumah nenek, jicungie cidak boleh ikut appa kelja." Jisung mengerucut sebelum menyedot susunya.

"Ooohhh, begitu. Memangnya kenapa kalau dititipkan? Jangan manja, tidak baik terus menempel pada ayah." Jaemin lupa daratan jika yang sedang dinasihatinya itu hanyalah seorang bocah yang bahkan belum paham apa makna dari sebuah kata manja.

Jisung turun dari bangkunya tanpa memedulikan ucapan dari Jaemin. Dia berdiri dan berjalan menghampiri perosotan yang ada di depan mereka. Dia lebih memilih main daripada mengobrol dengan Jaemin.

Jaemin berdecak melihat perilaku dari Jisung. Ucapannya diabaikan dan dia malah bertingkah dengan seenaknya. Dan sekarang lihatlah kelakuannya. Dia malah asyik sendiri dengan dunianya. Bermain perosotan, berlarian ke sana kemari, dan lain lagi.

"Dasar bocah." Gerutunya sambil melempar kotak susu kedelai terakhirnya ke dalam tempat sampah. Dia juga ikut berdiri dari duduknya, selagi Jisung asyik bermain, dia pikir mungkin lebih baik dia jogging memutari taman ini daripada tidak melakukan apa-apa.

"Hati-hati ya mainnya." Peringat Jaemin dan mulai berlari mengelilingi taman yang sepi, mengingat ini hari Senin dan orang sudah pasti tidak sempat bermain di sini ketika ini bukan akhir pekan.

Sudah lima kali putaran, waktu sudah terlewat selama tiga menit, dan napas Jaemin sudah mulai putus-putus. Dia memutuskan untuk menghentikan kegiatannya. Ternyata melelahkan juga. Setelah berbulan-bulan menganggur dan jarang berolahraga, rasanya jantungnya mau copot baru dipakai lari seperti ini.

"Haaah... ak-aku lelah." Jaemin terduduk di tengah taman bermain, jantungnya berdegup kencang dan kakinya terasa seperti akan lepas.

Jaemin mendongak, mengedarkan mata mengecek keberadaan Jisung. Bocah itu masih terlihat asyik dengan dunianya. Bolak-balik meluncur dari perosotan dan sesekali juga memekik dengan seru karena merasa senang. Melihat ini membuat Jaemin tertarik. Heh, memangnya semenyangkan apa sih meluncur dari perosotan begitu.

"Heh, bocah, menyingkir. Gantian aku yang coba." Usir Jaemin ketika Jisung berniat menaiki tangga perosotan itu kembali.

Jisung yang diusir begitu sempat ingin marah tapi tidak jadi. Dia dengan cuek membiarkan Jaemin ambil gantian sementara dia sendiri melangkah malas menuju ke bangku taman, ingin istirahat.

Jaemin menaiki tangga mainan itu dengan tidak sadar umur. Wajahnya sumringah, bibirnya cengengesan, dan otaknya mulai bergeser beberapa senti akibat ekspresi kelewat senangnya itu.

Dia memasukkan kakinya ke dalam terowongan perosotan, meluruskan kakinya lalu bersiap untuk meluncur.

Bersiap untuk meluncur, tapi sampai beberapa menit setelahnya tubuhnya tak kunjung merosot juga. Jaemin heran, dia menggerak-gerakkan pinggulnya, mendorong tubuhnya supaya segera meluncur.

Tapi yang ada rasanya malah seret. Tubuhnya sulit digerakkan. Pinggulnya terasa dijepit. Ditarik susah dan didorongpun demikian. Jaemin jadi bingung. Dia membulatkan matanya, bagaimana jika dia tersangkut di mainan ini?!

"JISUNG! JISUNG! BAGAIMANA INI AKU TERSANGKUT!" Teriak Jaemin sambil berusaha menarik tubuhnya yang terasa begitu sulit digerakkan.

"JISUNG-AH!" Merasa tidak ada respon, Jaemin kembali meneriakkan nama milik Jisung dengan keras. Pinggulnya makin terasa sakit, benar-benar tidak bisa digerakkan.

"Yaaa! Bagaimana ini! Aku tidak bisa keluar! Jisung! Bagaimana jika pinggulku dipotong karena tidak bisa keluar dari sini! Jisung! Yak! Kau dengar tidak si-" Jaemin langsung membungkam mulutnya. Ketika kepalanya mendongak mencari keberadaan Jisung, pemandangan yang menyapa mata benar-benar membuat harga dirinya bagai sudah tak berharga sama sekali.

Di sana. Jisung, dengan digendong ayahnya, kedua orang itu sedang menatapnya dengan tatapan yang -entahlah Jaemin sudah tidak sanggup lagi untuk mengungkapkannya. Ayah Jisung, iya ayah bocah itu, sekarang bocah itu sudah berada di dalam gendongan ayahnya. Berada di depannya, menatapnya dengan satu alis terangkat, dan ya. Rasanya kejadian ini lebih memalukan dari kejadian yang kemarin.

Tolong, siapapun yang berminat, atau yang sudi, tolong kubur saja dia di sini! Kubur saja dia sekarang!

"Ekhem, per-misii, bisa tolong bantu aku?" Jaemin melas sekali.

"Appa, bantu hyung ya?" Jisung juga melas melihat kondisi Jaemin.

"Ekhem." Ayah Jisung hanya berdehem kaku. Tak menyangka jika orang sebesar Jaemin akan bertindak sekekanakan macam ini. Apa dia tidak melihat peringatan batas usia yang tertempel di atas perosotan itu, 10 tahun paling mentok.

.

.

"Aakhh! Pelan-pelan."

Dan Jaemin pun dibantu oleh ayahnya Jisung untuk keluar dari lubang perosotan itu. Ayah Jisung berdiri di bawah, mengangkat tangannya ke atas lalu meraih kedua lengan milik Jaemin untuk digenggam kuat dan menariknya secara perlahan.

"Ini bahkan lebih memalukan dari yang kejadian setengah bugil kemarin!"

Jaemin membatin dengan sedih.

"Silangkan kakimu, jangan disejajarkan. Itu hanya akan mempersulit saja, pinggulmu cukup lebar." Ayah Jisung memberi saran.

Jaemin menundukkan kepalanya semakin dalam. "Jangan katakan itu. Kau membuatku semakin malu, sialan!" Jaemin kembali membatin, kali ini terdengar semakin nelangsa.

Oh hidupnya yang malang.

"Appa, Cedikit lagi." Jisung berkomentar. Dia meringis melihat Jaemin terlihat begitu kesakitan ketika tubuhnya ditarik oleh ayahnya.

Jaemin menundukkan tubuhnya lalu semakin erat memegang bahu milik ayahnya Jisung saat pria itu semakin kuat menarik tubuhnya keluar. Rasa sakit di sekitar area pinggangnya ia abaikan, merasa masa bodoh karena hanya satu hal yang diinginkannya saat ini, yaitu terbebas dari perosotan sialan ini.

"AARRGG!"

"Bruuaagh!"

"Waaaa! Aduh, aduh! Ini sakit sekali aduuhh!"

Setelah satu teriakkan kencang terdengar, akhirnya Jaemin berhasil juga dikeluarkan dari lubang perosotan itu, meski harus berakhir dengan jatuh terlempar ke atas tanah setelahnya. Namun tidak apa, jatuh di atas tanah bukanlah masalah jika dibandingkan dengan terjebak di sana selamanya dan berkahir dengan dipotong pinggangnya supaya bisa keluar. Ngawur.

"Aarghh..."

Satu erangan rendah entah berasal dari mana menyapa indera pendengaran milik Jaemin. Kala itu Jaemin yang sedang tengkurap langsung mengangkat kepalanya dan reflek menunduk.

Lalu setelahnya, dia menyesali apa yang sudah terjadi.

Dia tidak terlempar ke tanah. Dia terlempar di atas tubuh milik pria itu. Dia, dia pikir dia lebih baik dibakar hidup-hidup sekarang juga! Ini sangat memalukan! Kejamnya nasib hidup ini!

"Maafkan aku. Maa-afkan aku." Serunya sambil menggigit bibir bawahnya dan pelan-pelan mulai menyingkirkan diri dari atas tubuh pria itu. Jesus. Kenapa kau tega selalu menempatkan dirinya ke dalam situasi yang memalukan macam begini? Kenapa jesus! Kenapa!

"Hyung, kau cidak apa-apa?"

"Tidak apa. Iya Jisung. Aku tidak apa-apa." Jaemin sedang sibuk menenangkan diri di dalam hati.

Jaemin bangkit. Dia berdiri dengan kaku. Tubuhnya berkeringat, serta tatapannya mulai meliar tak tentu arah. Gesturnya memperlihatkan jika dia sedang bingung harus berbuat apa.

"Euhm, terima kasih sudah menenangkan Jisung dengan membawanya tanpa izin dariku terlebih dahulu."

Niat awalnya terdengar baik namun di akhir kalimat tersemat sebuah sindiran. Mendengar itu Jaemin menganggukkan kepala dan langsung tersenyum canggung padanya.

"Ya. Ya, aku pikir mengajak anak kecil main adalah keputusan terbaik untuk menenangkannya. Maaf sudah membawanya tanpa izin. Dan ya, terima kasih sudah menyelamatkanku dari sana." Jaemin menunjuk perosotan pembawa sialnya itu dengan tangan kiri sebelum membungkukkan tubuhnya dengan dalam. Dia membungkuk lama sambil menggigit bibir bawahnya resah.

Ini memalukan.

"Bukan masalah. Tapi, eum sebelumnya maaf. Tapi celanamu sedikit melorot."

Jaemin langsung membolakan matanya. Dia menunduk melihat ke bawah. Celananya melorot, memperlihatkan bagian atas celana dalamnya. Dan lagi-lagi, celana dalamnya berwarna kuning, dengan gambar larva yang sedikit mengintip di bawah pusar, dan pemandangan itu terlihat dengan jelas di depan mata.

"Aaarghh! Kenapa hidup ini begitu kejam!"

Jaemin sudah tidak sanggup untuk bersuara lagi, dia hanya mampu membatin dengan keras dan tanpa banyak acara langsung berbalik arah, berlari dengan secepatnya sambil membenahi letak celananya.

Hidup ini kejam!

Tuhan juga sama kejam!

Dan pria itu lebih kejam! Kenapa seluruh kejadian memalukan selalu terjadi padanya ketika mereka sedang bertemu! Kenapaaaa!

Melihat ini, Jisung dan ayahnya hanya mengedikkan bahu. Rasanya agak de javu, melihat Jaemin berlari dengan terbirit-birit begitu.

.

.

"Mama. Jika aku dijual di pasar loak, mama mau membeliku dengan harga berapa?" Jaemin rebahan di atas sofa, mengajak ibunya yang sedang memasak di dapur sana untuk bercengkrama.

Ibu Jaemin menangkap suaranya. "Memangnya kenapa?" Lalu lanjut menggoreng paha ayamnya yang sudah selesai ia selimuti dengan tepung. Jadi menu makan pada malam ini adalah ayam goreng. Begitu kesimpulannya.

Jaemin meringis sendiri. Mengingat-ingat segala kejadian memalukan yang telah dialaminya sejak kemarin di hadapan pria itu. Dari insiden celana dalam, tersandung di hadapannya, dan yang terakhir adalah tersangkut di dalam lubang perosotan, parahnya lagi dalam kejadian itu ada bonus memalukan yang lainnya, yaitu menimpa tubuh pria itu serta lagi tak lupa tadi celananya juga melorot di depannya.

Ya Tuhan. Kenapa hidup bisa seterjal ini. Kenapa dia bisa sial sekali. Kenapa semua ini bisa menimpanya. Kenapa Tuhan. Kenapa? Apa selama ini ibadahnya kurang rutin? Apa selama ini berdoanya kurang rajin? Apa, apa selama ini dia kurang taat dalam beragama? Apa iya begitu! Iyaa begitu!?

"SIALAN! MAMAAAA, KENAPA HIDUPKU BEGINI!"

"YAK! KAU MENGAGETKANKU NA JAEMIN! DAN LAGI, APA-APAAN ITU MENGUMPAT DI DEPAN MAMA?! CARI MATI YA!"

Jaemin tak memedulikannya. Dia hanya berguling resah di atas sofa sambil memeluk bantalnya erat. Sekarang rasanya sudah tidak ada muka lagi dia untuk bertemu muka dengan pria itu atau bahkan untuk sekedar keluar rumah. Dia terlalu malu. Rasanya sangat berat untuk keluar rumah, takut jika keluar rumah maka hal yang lebih buruk serta memalukan akan menimpanya lagi di depan pria itu.

Dia belum siap Ya Tuhan.

"Ma! Tadi belum jawab pertanyaanku!" Ingat Jaemin pada sang ibu yang belum menjawab pertanyannya mengenai seberapa besar harga yang akan dipatok oleh ibunya itu dalam menghargai harga dirinya.

"Pertanyaanmu aneh sekali. Mungkin saja jika ada yang menjualmu di pasar loak mama tidak akan tertarik untuk membelimu, apalagi sampai membandrol hargamu. Kurang kerjaan sekali."

Sadis. Jaemin rasanya ingin menangis sekarang. Ibunya sendiri bahkan tidak sudi membandrol harga dirinya apalagi sampai membelinya. Sial. Apa tidak seberharga itukah harga dirinya? Miris. Sangat mengenaskan.

"Berlagak bicara harga diri seperti kau punya saja."

Ibu Jaemin menaburkan garam di atas luka milik Jaemin. Kasihan.

.

.

"Berhubung kemarin mama dapat arisan, sebagai perwujudan syukur mama mau bagi-bagi kue kering dengan tetangga. Kau, tolong antarkan kue-kue ini ke tetangga ya?"

"Ah ya, untuk Pak Kim, nanti tidak usah diberi, dia sedang tidak ada di rumah. Serta untuk Ibu Ahn, nanti sampaikan pesan mama supaya jahitan pakaiannya mama segera diselesaikan, ya. Soalnya mama mau pakai baju itu di acara pernikahan kakak sepupumu."

"Untuk Ibu Jung, bilang padanya pesanan tas mama dari LA sudah datang belum. Terus, kalau ke rumah Nenek Kang, titip salam ya buat cucu barunya. Doakan semoga cucunya sehat dan selalu diberkati. Euhm apa lagi ya?"

"Ah juga. Untuk tetangga baru kita, Nak Jeno namanya, tolong sampaikan selamat datang di kompleks kita. Beri salam padanya untuk mari saling bertetangga dengan baik. Juga beri salam pula pada anaknya yang manis itu, bilang kalau mama sangat gemas dengan bocah itu karena dia kelewat imut."

"Hei! Sudah berangkat sana! Jangan bandel, ya. Dasar nakal. Antarkan dan selepas itu langsung pulang makan malam, jangan makan ramen instan lagi kau! Dasar!"

Ya. Ya. Jaemin mengingat semua perintah dari sang ibu. Dengan tubuh lesu, lemah, lemas, lunglai, dan loyo tak berdaya, dia keluar dari pintu rumah dengan membawa sekeranjang besar berisi beberapa kue yang telah ditata dengan rapi di dalam box karton persegi oleh sang ibu.

"Jangan ke rumah Pak kim, dia tidak di rumah. Ke rumah Ibu Ahn, bilang kalau jahitan ibu suruh cepat diselesaikan. Lalu tetangga baru. Kenapa harus ke tetangga baru." Jaemin nelangsa lagi.

Kakinya terasa berat ketika melangkah di depan halaman rumah milik sang tetangga barunya tersebut. Dia hampir menangis darah, merasa ini adalah cobaan terberat yang pernah ada di dalam hidupnya. Tidak kuasa untuk menanggung ini lagi. Tidak kuat dia menjalani ini. Dia sudah di ambang batas. Rasanya sudah tidak ada muka lagi dia untuk mendongak.

"Permisi."

Meski begitu. Demi menjalankan amanah dari sang ibu, Jaemin tetap patuh pada tugasnya. Dia menekan bel pintu rumah milik sang tetangga dengan hati yang antara ikhlas dan tidak ikhlas.

Tuhan. Kuatkan aku.

"Oh? Kau?"

Jaemin mendongak ketika pintu di depannya sudah terbuka, tapi hanya sebentar saja sebelum kembali menunduk dengan dalam. Rasa malunya sangat besar, ingat.

Satu box kue kering berisi sekitar dua puluh keping kue Jaemin serahkan kepada pria itu dengan kepala tertunduk. "Selamat datang tetangga baru. Mari bertetangga dengan baik. Dapat salam dari mama, itu kue sebagai bentuk rasa syukur atas kedapatan arisannya. Juga mama bilang dia titip salam buat Jisung. Katanya mama gemas sekali karena Jisung itu sangat imut. Permisi, semoga harimu menyenangkan. Aku pulang dulu."

Cepat, panjang, dan sedikit tidak jelas. Jaemin segera membungkukkan badannya sebelum segera berbalik dan kabur lagi dari hadapannya.

"Hei, tunggu." Namun si tetangga menahan Jaemin.

"Iya." Dengan masih menunduk Jaemin kembali berbalik dan menghadap kepada pria itu. "Apa lagi, sialan!" Umpatnya di dalam hati.

"Terima kasih kuenya. Dan ya, salamkan kembali pada mamamu jika aku begitu senang diberi sambutan sebaik ini olehnya."

Jaemin mengangguk-anggukan kepalanya, dengan masih menundukkan kepala, sebuah penegasan.

"Serta satu lagi. Kau, apa kau mau mampir sebentar? Aku pikir kau mau mengambil celana dalammu sekalian?"

"Hee?!" Mata Jaemin membola dengan selebar-lebarnya.

Apa ini! Sekarang apa lagi ini! Runtuh sudah hidup milik Jaemin! Ini sangat memalukan!

"Hei? Kau baik-baik saja?"

Jaemin mendengar pria itu sedikit khawatir padanya ketika dia sibuk memukul-mukul kepalanya sendiri dengan kepalan tangannya. Sial. Sial. Sial. Dia benar-benar sial. Dengan menggigit bibir bawahnya dia menggelengkan kepalanya dengan keras.

"Ah, kau tidak mau mampir? Kalau begitu ya sudah, kau tunggu di sini dulu biar aku ambil celana dala-"

"AAARGHHHH BUNUH SAJA AKU SEKARANG!"

Jaemin lagi-lagi dan lagi, kembali berlari dengan terbirit-birit dari hadapan pria itu. Dia rasanya sangat ingin mencincang habis mukanya sekarang juga. Benar-benar memalukan dan sangat tidak pantas untuk dipajang. Sialan!

Dan Jeno, dia hanya menatap kepergian Jaemin dengan alis yang terangkat heran. Dia tidak paham dengan anak itu, kenapa setiap kali mereka bertemu, anak itu selalu mengakhiri pertemuan mereka dengan adegan yang sama seperti ini. Berlari dengan terbirit-birit dan terkadang juga berteriak dengan aneh.

Anak itu sehatkah?

.

.

.

.

.

Jaemin menghela napasnya pasrah. Hari telah berganti. Dia berharap semoga hari ini bisa lebih baik dari kemarin. Ibunya pun berharap demikian. Sejak pagi sang ibu tidak pernah berhenti untuk terus-terusan menjejali pendengarannya dengan segala ceramahan kuno yang sudah ia hapal di luar telinga.

"Ya Tuhan sadarkanlah anakku bahwa jadi pengangguran itu tidak benar."

"Buatlah dia segera mencari pekerjaan secepatnya."

"Jangan biarkan dia terus-terusan berada di depan mukaku. Singkirkan wajahnya, tendang dia ke perusahan manapun yang namanya mentereng."

"Semoga berasku sampai besok masih ada karena aku harus menghidupi satu pengangguran tak berguna ini Tuhan."

"Papa, cepatlah pulang dan tendang anakmu ini ke pulau terpencil di tengah-tengah pasifik."

"Tu-"

Hentikan. Sudah! Sudahlah! Jaemin sudah kenyang dengan semua doa rutin itu. Telinganya sudah pekak mendengarnya, hatinya sudah keras untuk memedulikannya. Pikirannya sudah bebal untuk merenungkannya. Dan nalurinya pun sudah mati untuk sekedar menanggapi seluruh doa itu.

Jaemin keluar dari kamarnya dengan menguap lebar. Ini masih sangat pagi, sangat-sangat pagi! Baru jam setengah tujuh tapi dia sudah keluar dari kandangnya. Meski belum mandi atau sekedar cuci muka, dia tidak peduli, yang penting dia sudah bangun dan sudah keluar dari dalam goa peristirahatannya.

"Ma!" Jaemin berteriak memanggil ibunya. Dia mencari-cari wanita itu, setelah tadi berhasil mengusik tidurnya, sekarang kemana sosoknya? Biasanya selalu di dapur atau bila tidak di teras menyiram tanaman.

Tapi tadi ketika diperiksanya kedua tempat itu, sang ibu tidak ada di sana. Atau mungkin ibunya di balkon? Sedang jemur pakaian?

"Aiguu, jadi Jisungie ke sini karena ingin main sama Jaemin hyung? Iya begitu?"

Belum sempat Jaemin melangkah ke balkon, dari belakangnya telah terdengar suara sang ibu. Ia menggerakkan tubuhnya untuk berbalik lalu langsung mengerutkan dahi ketika pemandangan tak terduga menyapa mata. Mulutnya langsung ia buka dengan lebar dan napasnya ia tahan dengan kuat setelah itu.

"HHHHAAAAAAA..." Kira-kira seperti itulah bunyinya.

"Apa?" Sang ibu, yang sedang menggendong Jisung, berdiri di depan Jaemin, balas menatap Jaemin dengan heran.

Jaemin kembali besikap normal. Dia menutup mulutnya lalu menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal dengan kikuk. "Bukan. Bukan apa-apa, cuma heran saja." Sambil melambaikan tangannya pelan di depan sang ibu yang langsung berdecih tidak suka kepadanya.

"Hish, lihatlah ini. Betapa sangat mengenaskannya pemandangan ini. Uri Jisungie, pagi-pagi sudah mandi, berpakaian rapi, rambutnya tersisir dengan rapi juga, wajahnya pun sudah segar. Ck-ck-ck. Beda sekali dengan orang mengenaskan di depan itu. Baru bangun, wajah kucel, rambut seperti sarang burung -berantakannya, belum mandi, jangankan mandi, gosong gigi pun mungkin belum." Ibu Jaemin geleng-geleng kepala dengan miris. Dia menatap Jaemin-Jisung bergantian untuk membandingkan penampilan mereka yang terlampau jauh bedanya.

"Haish, mama apa-apaan bicara begitu, buat malu saja. Ah, sudahlah. Lagipula bagaimana bisa dia pagi-pagi sudah ke sini? Kau juga, mau apa ke sini? Tidak nangis untuk ikut ayahmu kerja lagi?" Sekarang giliran Jaemin yang menatap dan menunjuk ibunya serta Jisung secara bergantian.

"Jicungie ingin main cama hyung lagi." Jisung menjawab pertanyaan Jaemin dengan senyuman yang amat lebar sampai seluruh permukaan gigi depannya terlihat semua oleh mata Jaemin.

Ibu Jaemin mengangguk membenarkan. "Dia pagi-pagi sudah ketuk pintu. Pas kutanya ada apa, dia bilang dia ingin main denganmu, Na."

Jaemin melotot tidak yakin. "Heee? Kenapa harus begitu?!" Tanyanya dengan terkejut. Maksudnya kenapa mendadak seperti itu. Memangnya hubungan mereka, dia dan Jisung akrab? Sampai anak itu ingin main dengannya lagi?

Oh, ayolah mana ada yang begitu. Interaksi di taman yang kemarin itu bukan apa-apa baginya, jadi bagaimana bisa anak itu tiba-tiba menemui dan mengajaknya untuk main lagi? Memangnya kemarin mereka habis melakukan apa sampai bocah itu bersikap seolah mereka telah membuat suatu kenangan yang tidak bisa dilupakan.

Hai. Lupakan saol terjebak di dalam perosotan, itu memang kejadian yang tidak terlupakan, tapi hanya untuk dirinya seorang, bukan dengan Jisung.

"Kalna hyungie baik. Jicung main cama hyung lagi, boleh ya?" Jisung mengangkat tangannya ke arah Jaemin, terulur kepadanya minta digendong.

Jaemin melotot dengan horor ke arah Jisung. Serius bocah ini ingin main dengannya lagi? Tapi, apa, kenapa, dan bagaimana bisa? Maksudnya, daya tarik macam apa yang ada pada dirinya hingga seorang bocah semanis Jisung bisa tertarik untuk bermain dengannya. Benar-benar, ini tidak bisa dipercaya.

"Kau serius dengan ucapanmu?" Jaemin bertanya dengan alis mata yang menukik tajam, masih tidak bisa memercayai perilaku milik Jisung.

Jisung hanya mengangguk singkat, dengan masih mengulurkan tangannya yang tak kunjung disambut oleh Jaemin.

"Tapi kenapa?!" Sekali lagi Jaemin masih belum bisa percaya, membuat ibunya yang mendengar jadi jengah sendiri, anaknya ini alay sekali sih.

"Haish, sudahlah. Ini bawa dia, biarkan dia main denganmu, lagi pula kau juga tidak ada kerjaan kan? Hitung-hitung bisa dipakai untuk berlatih." Ibu Jaemin menyerahkan Jisung kepada Jaemin yang mana Jaemin sendiri langsung menerimanya dengan gelagapan.

"Berlatih?" Jaemin bertanya setelah Jisung berada dalam gendongannya. Dia tidak paham dengan maksud dari perkataan sang ibu. Berlatih, memangnya apa yang harus dilatih sampai perlu melibatkan seorang anak segala.

Ibu Jaemin mengerling sebelum melenggang. "Berlatih jadi ayah, Na. Biar nanti saat sudah punya istri dan anak kau tidak kaku lagi karena jiwa keayahan serta kesuamianmu telah terlatih dengan hebat sejak dini. Ha-ha-ha-ha!" Lalu tertawa nyaring dengan mulut menganga yang terbuka lebar.

Jaemin mendengus sambil menggelengkan kepalanya jengah. "Berlatih jadi ayah? Jadi ayah apanya." Ucapnya sebelum ikut melenggang pergi dari tempat tersebut menuju ke kamarnya, bersama dengan Jisung dalam gendongannya juga tentu saja.

.

.

.

Seusai mandi dan menata penampilan, Jaemin mengajak Jisung keluar dari kamarnya. Sekarang penampilannya sudah tidak kalah rapi dari Jisung. Kaos merah lengan pendek dengan celana rumahan selutut, serta rambut sehabis keramas yang aroma harumnya begitu menyeruak hidung, meski masih basah dan sedikit acak-acakkan, namun hal itu tidak mampu untuk mengurangi kesan rapi yang ada pada penampilannya saat ini.

Itu sih hanya pendapatnya sendiri. Beda dengan pendapat orang lain. Karena hukum alamnya, beda mata maka beda pandangan. Sama halnya dengan yang saat ini sedang terjadi. Di mata Jaemin sendiri dia merasa sudah rapi, namun di mata sang ibu, penampilan anak itu tetaplah sama saja. Tidak ada bedanya dan tidak ada rapi-rapinya sama sekali.

Tapi masa bodoh. Prinsip Jaemin, asal sudah mandi maka dia sudah rapi. Prinsip yang bagus.

"Kau sudah bilang pada ayahmu kalau main ke sini kan?" Jaemin menurunkan Jisung ke kursi makan sebelum ia sendiri segera menyusul di sebelahnya.

Jisung menatap Jaemin dengan mata yang membulat lalu mengangguk. Ah pemandangan manis. Anak siapa pula ini, kenapa dia bisa semanis ini, Jaemin jadi gemas sendiri dan secara tidak sadar langsung mencubit kedua pipi Jisung dengan kencang. Yang dicubit sendiri sih tidak masalah karena sudah biasa dibeginikan oleh orang-orang dewasa yang ada di sekitarnya, dia hanya meringis pelan sebelum tersenyum lebar kepada Jaemin.

"Dia bilang apa sewaktu kau ingin ke sini." Jaemin merasa penasaran apa yang dikatakan oleh pria itu ketika anaknya ingin pergi kemari dan main dengannya. Hm ya, ingin tahu saja apakah orang itu keberatan jika anaknya kembali bermain dengan orang seperti dirinya, yang sejak kemarin sering bertingkah memalukan.

"Tadi sih wajah ayahnya terlihat kurang suka sewaktu Jisung merengek ingin main ke sini." Kali ini ibu Jaemin yang bersuara, dia menjawab pertanyaan Jaemin, menyela untuk ikut bergabung ke dalam forum obrolan Jisung-Jaemin.

"Benarkah!?" Jaemin bertanya dengan setengah memekik. Dugaannya memang benar. Pria itu pasti tidak rela jika anaknya dekat-dekat lagi dengan orang yang memalukannya macam dirinya ini. Sudah ia duga. Semua orang di dunia ini memang begitu, begitu rasis serta diskriminatif.

Jaemin menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri sambil mencebikkan bibir. "Ya. Beginilah dunia. Semua orang memang seperti itu, sudah tidak mengherankan lagi." Lalu bergumam sendiri untuk menanggapi isi pikirannya.

Ibu Jaemin yang mendengarnya jadi heran sendiri. "Omong apa sih kau ini, anehmu semakin lama semakin akut dan sudah tidak tertolong lagi. Tadi itu, ayahnya Jisung kurang suka karena takut merepotkan kita jika anaknya dititipkan di sini. Tapi mau bagaimana lagi, melihat Jisung begitu ingin main denganmu maka aku membujuknya, dan bilang jika hal itu bukanlah masalah, tidak mengapa jika Jisung dititipkan kepada kita. Lagipula, aku tidak merasa direpotkan sama sekali dengan kehadiran anak manis ini. Omo, lucunya pipi besar ini." Cubitan kedua yang lebih kencang disarangkan oleh ibunya Jaemin ke kedua pipi bulat milik Jisung. Jisung sendiri sih tidak masalah, dia lagi-lagi hanya meringis dan tersenyum dengan lebar setelahnya.

Omona, anak ini benar-benar menggemaskan.

"Oh, begitu. Sampai jam berapa anak ini akan bersama kita?" Jaemin menatap Jisung yang sejak tadi terus menatapinya dengan cengiran lebar, yang sejujurnya hal itu malah terlihat menyeramkan bagi Jaemin. Dia merasa anak ini seperti sedang memiliki niat jahat padanya sampai tersenyum dengan semenyeramkan itu padanya.

"Ya! Jangan menatap ke arahku terus dengan senyuman semenyaramkan itu, kau!" Jaemin menangkup kedua pipi milik Jisung lalu memalingkan muka itu supaya menghadap ke depan dan enyah dari penglihatannya.

"Ck, dia hanya suka memandangimu saja, Na. Jangan berlebihan, deh." Ibu Jaemin memprotes tindakan dari sang anak. "Dan soal sampai jam berapa, tadi ayahnya sendiri berpesan jika hari ini dia akan lembur. Mungkin sekitar jam sembilan atau sepuluh dia bilang baru akan pulang."

Jaemin memelototkan matanya dengan terkejut. Dia buru-buru mengecek jam pada ponselnya, sekarang masih jam setengah delapan pagi. Dan demi apa, dari jam setengah delapan pagi sampai jam sepuluh malam dia akan bersama anak ini? Mengemongnya selama hampir seharian penuh? Heol, yang benar saja!

"Jangan protes, Nana! Kau tidak untuk berhak melakukannya. Lihat uri Jisungie, dia begitu manis dan menggemaskan, jadi kau tidak boleh protes dengan hal ini. Paham? Jalani saja, lagian uri Jisungie pasti anak yang pintar, tidak suka rewel apalagi bandel. Iya kan, sayang?" Ibunya Jaemin segera bersuara ketika sang anak hampir melayangkan protesannya mengenai masalah ini. Dia paham, anak itu pasti malas diberi tugas mengasuh begini.

Jaemin mencebikkan bibir. "Mana ada!" Sentaknya dengan suara keras yang membuat Jisung jadi terlonjak karena kaget. Bocah itu langsung menengok ke arah Jaemin dan menatapnya dengan mata yang mulai menyayu.

"Hyungie malah cama jicung?" Tanya balita itu dengan raut bersedih, Jaemin jadi salah tingkah sendiri dengan hal itu. Di sini kesannya dia seperti tokoh antagonis yang sedang menyiksa si protagonis yang manisnya bukan main macam si Jisung ini. Duh, jahatnya dia.

"Sssst, tidak kok sayang. Jaeminnie hyung hanya sedang kesal saja dengan imo, jadi dia marah-marah tidak jelas begitu." Sambil menenangkan Jisung, ibu Jaemin yang berdiri di dekat Jaemin segera menurunkan tangannya lalu secara diam-diam mencubit lengan milik Jaemin dengan keras.

"Aduh, aduh! Aduh sakit, maaa!" Jaemin meraung saat sang ibu tak kunjung melepaskan cubitannya juga. Dasar menyebalkan, ngaku-nya ibu kandung tapi tetap saja tingkahnya seperti ibu tiri, menyebalkan!

Jisung terkikik pelan saat melihat Jaemin merintih kesakitan, dia merasa hal itu sangatlah lucu, terlebih saat Jaemin merintih sambil melotot sebal ke arah ibunya, maka Jisung secara tak sadar langsung semakin mengeraskan suara kikikannya sampai akhirnya menarik perhatian dari si Jaeminnya sendiri.

"Hei! Jangan menertawakanku, kau!" Peringat Jaemin dengan tidak suka, dia merasa terhina ditertawakan seperti ini oleh seorang anak kecil yang bahkan mungkin cebok sendiri saja belum becus. Eh? Cebok? Dia jorok sekali memikirkan kata itu di meja makan. Ewh!

Jisung langsung bungkam dan hanya menyengir dengan lebar saja di depan Jaemin. Merasa bahwa tingkah dari sang hyung malah terlihat semakin lucu jika begitu.

.

.

.

.

.

Seperti saat kau ingin latihan berjalan tapi tidak punya kaki. Mengenaskan.

Jaemin menghela napasnya. Seumur hidupnya, dia belum pernah melakukan ini, belum ada riwayat pernah berbuat beginian, dan seumur hidupnya dia mulai menyesal sudah melakukan ini. Dia menyesal sudah mengiyakan permintaan dari sang ibu untuk mengemong anak kecil yang manis-imut-lucu-menggemaskan macam si Jisung ini tanpa memiliki sedikitpun background mengenai urusan dengan anak kecil sebelumnya.

Dia lelah. Mengasuh anak kecil ternyata cukup sulit dan benar-benar bikin tubuh lelah bukan main. Dari meladeninya main, main yang dalam otak anak kecil adalah benar-benar bermain tanpa ada henti. Lempar bola, kejar-kejaran, dan bahkan sampai bermain perang-perangan, yang sungguh itu sangat konyol untuk orang dewasa seperti dia. Jika ia tidak menuruti keinginan anak itu maka suara isakkan lirih mengiris hati akan mengiritasi indra pendengarannya.

Rasanya dia ingin mengamuk, tapi ia juga bingung mau mengamuk dengan siapa. Mau marah tapi tidak tega juga saat melihat mata milik bocah itu mulai berkaca-kaca. Sampai akhirnya ia telah mencapai klimaks. Dia menggerutu pada bocah itu, sedikit mengomelinya, lalu menggendongnya dengan paksa ke kamar, dan memerintahnya untuk tidur siang. Awalnya sih Jisung tidak mau, tapi karena ia memaksa dan terus mendekap tubuhnya di ranjang dengan erat, maka lama-kelamaan bocah itu akhirnya terlelap juga setelah itu.

Dan sekarang akhirnya semua telah berakhir. Waktu terus berjalan hingga malam pun tiba. Saatnya memulangkan anak kecil itu ke ayahnya kembali. Jaemin akan bebas. Dia akan menikmati waktu luangnya. Tidak ada lagi mata berkaca-kaca yang mengganggu di penglihatan, dan sudah tidak ada lagi suara rengekkan lirih yang mengiritasi telinga. Mari pulangkan bocah ini sesegera mungkin dan ia bisa segera kelayapan lagi dengan sesukanya setelah ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul setengah sepuluh, Jaemin dan Jisung sedang menunggu ayah dari bocah ini di depan rumah milik Jaemin. Jaemin mengajak Jisung memainkan permainan ringan sembari menunggu, yaitu batu-gunting-kertas, yang kalah akan dicubit pipinya. Sewaktu permainan berjalan, yang paling bersemangat adalah Jisung. Bocah itu terus tertawa dan tersenyum dengan lebar sewaktu terus memenangkan permainan itu, tidak ada raut mengantuk, mengingat selama siang tadi ia telah terlelap cukup lama.

"Sudah. Sudah. Itu ayahmu kan?" Jaemin menyudahi permainan mereka saat langkah kaki seseorang terdengar semakin mendekat ke arah mereka. Jaemin menatap sosok di ujung jalan itu sambil mengeratkan gendongannya pada Jisung.

Orang itu semakin mendekat pada mereka. Jaemin jadi gugup sendiri. Berdoa dengan keras di dalam hati semoga ketika berhadapan dengan pria itu hal memalukan tidak menimpanya lagi. Dia belum siap kena sial lagi, sungguh.

Pria itu melambai pelan dari kejauhan dan segera berlari menghampiri Jisung serta Jaemin. "Kalian sudah menunggu lama? Di sini?" Tanyanya setelah sudah sampai di depan keduanya.

Jaemin hanya tersenyum singkat, memberikan kesan ramah sekaligus bentuk sapa pada sosok itu. "Belum. Baru beberapa saat yang lalu, dan beruntungnya kau segera tiba." Ucap Jaemin lalu menyerahkan Jisung kepada sosoknya. Tapi anehnya, Jisung malah tidak mau melepaskan gendongannya dari Jaemin. Membuat dua orang dewasa yang ada di sana langsung mengerutkan dahinya dengan heran. Anak ini kenapa? Begitu batin mereka.

"Hei, ayahmu sudah pulang. Sana ikut ayahmu." Bisik Jaemin pada Jisung sambil mencoba melepaskan pelukan anak itu di lehernya. Tapi ternyata hal itu cukup menyulitkan, parahnya lagi, anak itu malah menyandarkan kepalanya dengan manja di leher milik Jaemin. Sontak saja hal ini langsung membuat Jaemin jadi merasa sedikit kesal.

"Sayang, ayo pulang dengan appa." Jeno mencoba mengambil anaknya yang masih ngotot ingin terus berada di atas gendongan Jaemin. Dia menatap dengan tidak enak kepada Jaemin, merasa bahwa tingkah sang anak sedikit merepotkan.

"Hyungie, main ke lumah jicung dulu ya." Jisung bersuara dengan nada sedih, menatap Jaemin dengan memohon lalu secara berkala mengedipkan matanya.

Dia sedang merayu. Jaemin paham itu.

Dengan menggaruk tengkuknya, Jaemin menatap Jeno lalu menaikkan satu alisnya tinggi. Bagaimana ini.

"Kupikir itu bukan ide yang buruk. Apa kau mau berkunjung ke rumah kami? Kau sudah makan? Aku akan memasakkan sesuatu untukmu sebagai rasa terima kasih karena sudah menjaganya hari ini." Jeno tersenyum, menawari jamuan makan malam kepada Jaemin yang hari ini telah begitu baik menjaga putranya. Dia merasa sangat berterima kasih akan hal itu, pasalnya Jisung adalah tipikal anak yang sangat rewel dengan siapa saja yang mengasuhnya, dan itulah alasan kenapa dia tidak bisa membawa Jisung ke day care, karena sudah pasti anaknya itu pasti akan menangis dengan kencang jika dititipkan di sana.

"Euhm, sebenarnya aku sudah makan. Tapi karena aku suka makan jadi aku tidak akan menolak tawaran itu." Jaemin bercanda sambil menyingkirkan tangan milik Jisung yang sejak tadi terus menyentuh hidungnya. Sejujurnya, Jaemin tidak sepenuhnya mau menerima tawaran itu. Dia hanya merasa kurang enak saja jika menolak niat baiknya dalam berterima kasih. Lagipula, pria itu pasti akan berpikiran buruk tentang dirinya jika ia menolak tawaran itu. Bisa saja pria itu berpikir jika dia menolak tawarannya pasti karena merasa sudah sangat direpotkan dengan tingkah Jisung, sehingga untuk jamuan makan malam saja dia ogah datang. Dia tidak mau pria itu berpikiran demikian tentang dirinya. Memang benar jika Jisung itu sedikit mengesalkan, tapi bukan berarti dia merasa direpotkan dengan berat juga akan hal itu.

"Baiklah. Ayo." Jeno memimpin mereka untuk memasuki area rumah, Jaemin mengekor di belakang bersama dengan Jisung yang berada dalam gendongannya.

Saat Jaemin melangkah, perasaan maju-mundur yang penuh keraguan benar-benar menyelimuti benaknya. Haruskah dia melakukan ini? Perlukah hal ini ia lakukan? Apa hal ini akan berujung baik? Bagaimana jika pada akhirnya hal buruk yang memalukan menimpa dirinya jika ia masuk ke rumah ini? Bagaimana, bagaimana, dan bagaimana lainnya terus bergentayangan menghantui isi kepala miliknya.

"Tidak masalah kan jika menunggu? Aku harus mandi dulu. Kau tahu, bekerja seharian penuh benar-benar membuat badan jadi lengket." Jeno melepas dasinya setelah mereka masuk ke dalam rumah.

Jaemin menggeleng pelan lalu berjalan menuju ke arah sofa cokelat tua yang ada di ruang tamu ini. Dia duduk di sofa tersebut lalu Jisung dengan seenaknya menempatkan diri duduk di atas pangkuannya. Cengiran lebar dikeluarkan oleh bocah itu saat Jaemin menatapnya dengan jengah.

Jeno terkekeh melihat tingkah anaknya. "Apa dia merepotkanmu?" Bertanya pelan sambil melepas kancing kemeja di pergelangan tangannya.

Jaemin menoleh ke arahnya dan mengedikkan bahunya pelan. "Ya kau tahu, bukan anak kecil jika aku menyebutnya tidak merepotkan sama sekali. Dia memang merepotkan, tapi masih batas wajar. Setidaknya dia belum membuatku marah-marah, jadi kupikir itu bukan masalah."

Setelah mendengarnya Jeno tersenyum lalu berjalan pelan menuju ke kamarnya. Membersihkan diri, serta membenahi penampilannya. Dan itu semua tidak butuh waktu lama, hanya sekitar belasan menit saja.

Saat Jeno sudah keluar kamar dengan pakaian rumahan miliknya, netranya secara tak sengaja menangkap pemandangan sedikit menggelikan, yaitu putranya dengan jahilnya sedang mengacak-acak rambut milik si tetangga sebelah rumah.

"Sayang, tidak boleh begitu atau malam ini jangan tidur bersama appa." Ancaman, Jeno menasihati putranya dengan ancaman. Karena pada dasarnya ancaman memang selalu ampuh untuk menaklukkan anak-anak.

Jisung langsung tersentak saat sang ayah berkata seperti itu. Dia segera melepaskan tangannya dari kepala milik kakak tetangga baiknya lalu menatap sang ayah dengan wajah panik. Dia tidak suka dengan ancaman yang dikeluarkan oleh ayahnya, jangan tidur bersama? Lalu dia harus tidur dengan siapa jika sang ayah tidak mau tidur dengannya? Dia tidak bisa tidur sendiri, tidak suka! Dia takut. Benci sendirian dan benci kesepian! Kenapa ayahnya tega mengancam seperti itu? Bagaimana jika malam ini dia tidur sendirian lalu nenek pincang tak berkepala akan menghampirinya? Apa ayah tega melihatnya dihantui oleh nenek jahat itu? Ayah jahat! Tega! Kejam sekali sih!

Jisung terlihat berkaca-kaca. Menganggap ancaman dari sang ayah dengan serius.

Jaemin yang melihat mata milik bocah di pangkuannya mulai berkaca-kaca jadi bingung sendiri. Kenapa anak ini semakin lama jadi semakin cengeng? Sejak tadi nampaknya mudah sekali mengeluarkan ekspresi akan menangis seperti itu.

"Hei, kau membuatnya hampir menangis." Jaemin bersuara lalu menarik Jisung ke dalam pelukannya. Matanya menatap Jeno dengan sedikit ragu, merasa belum terbiasa, lalu segera memalingkannya ke arah lain ketika Jeno mulai membalas tatapannya.

"Dia memang pandai menangis." Jeno mengucapkan kalimat itu dengan nada bercanda. "Maksudku, jangan terlalu diambil pusing. Dia memang pandai memasang wajah sedih jika keinginannya tidak terwujud atau dipaksa melakukan sesuatu yang tidak ia suka." Lanjutnya sambil berjalan ke arah dapur.

Jaemin mengangguk paham setelah mendengarnya. Ia pikir semua anak kecil dasarnya memang begitu, tapi untuk kasus Jisung, ia rasa bocah ini memang sedikit lebih dikhususkan dari anak kecil lainnya.

Melihat Jeno melangkah ke dapur, secara tidak sadar Jaemin juga beranjak dari duduknya lalu bergerak mengikuti sosok itu. Dia ikut ke dapur sambil menggendong Jisung yang sejak tadi terus menenggelamkan wajah di leher miliknya.

"Kau suka pasta? Tapi suka atau tidak, aku tetap akan memasak dan menyajikannya. Karena ya, sekedar info, hanya makanan itulah yang malam ini bisa kubuat. Kulkasku masih kosong." Jeno menatap si tetangga sebelah rumah yang sudah menyusulnya ke dapur; sedang duduk di depan meja makan miliknya, dengan tatapan sediki- benar-benar sedikit menyesal

Jaemin mngedikkan bahu dengan tidak peduli. "Kau sudah dengar sendiri tadi kan. Aku suka makan, jadi makanan apa saja yang kau hidangkan akan kumakan dengan senang hati." Sambil tersenyum singkat dia merasakan Jisung mulai sedikit rewel di atas pangkuannya, sejak tadi bergerak-gerak sendiri sambil bersandar nyaman di perpotongan leher miliknya.

Hah. Yah. Beginilah dunia anak-anak. Mereka melakukan apapun yang mereka mau tanpa memedulikan cuitan nyaring dari siapa saja yang berani mengganggunya.

Jeno merespon jawaban dari Jaemin dengan senyuman tipis pula, yang sayangnya jika kalian tahu senyuman itu sangatlah menawan. Penuh kharisma. Aw, he's a hot daddy.

"Oum. Ok, baguslah kalau begitu." Jeno memanaskan air di dalam panci. "Tapi, omong-omong, sebagai tetangga aku pikir aku belum pernah mengenalkan diri secara resmi padamu. Beberapa hari yang lalu aku sempat mengunjungi beberapa tetangga untuk bersosialisasi, tapi ketika singgah di rumahmu aku tidak mendapatimu. Kata ibumu kau tidur."

Jaemin tersenyum sedikit kikuk. Ah, begitu rupaya. Pantas ibunya tahu nama pria ini, pasti pria ini datang ke rumahnya, mengenalkan diri dengan ramah untuk menyapa. Wow. Tipikal cowok yang sangat menjunjung etika ternyata.

"Kau benar." Dengan melebarkan senyum, Jaemin mengulurkan tangan ketika Jeno mendekat kepadanya. "Aku Jaemin. Na Jaemin."

Jeno menatap uluran tangan itu, dia membalas senyuman Jaemin dengan tak kalah lebar pula. "Jeno. Lee Jeno. Senang berkenalan denganmu." Lalu menerima uluran tangan dari Jaemin.

Mereka berjabat tangan. Cukup lama, sambil saling tatap dan tersenyum. Itu berlangsung selama 5 detik sebelum Jaemin memutus kontak mata mereka dan menarik tangannya.

"Juga. Senang berkenalan denganmu."

.

.

.

.

.

TBC

KAMIS 23/11/2017

Empat puluh review untuk next chap :3. Setelah empat puluh review dan uda mencapai ribuan viewers. Aku janji, bener-bener janji bakal langsung upload chap 2.

Chap 2 dijamin momen mereka akan semakin bertambah. Maka reviewlah dengan baik kalo uda penasaran sama next chapta πŸ™πŸ™πŸ™πŸ™

Dan untuk ff nominku yang satunya, hohoho... dimohon bersabar dengan sangat ya Chingu-chingu sekalian πŸ˜‚πŸ˜‚ karena ff itu msh aku anggurin dan malah bikin ff baru.

NOMIN SHIPPER SARANGHAE :* :* ^^

JANGAN RUSUH DILAPAK ORANG!