Bagi orang-orang di dalam dinding, makhluk itu hanya ada tiga. Manusia dan hewan, para titan, serta makhluk halus. Tidak ada yang namanya Tuhan—kecuali jika para pastor berkeras bahwa dinding adalah Tuhan. Jika memang benar ada Tuhan, maka seharusnya mereka takkan menderita seperti sekarang ini, bukan? Tuhan bukankah maha pengasih? Maha penyayang? Maha segalanya? Ataukah itu cuma bualan dari delusi orang-orang yang begitu putus asa akan kehidupan menjadi konsumen pertama dalam piramida rantai makanan?

Mikasa beranggapan semua orang seperti itu lemah, walau kadang kala wanita super kuat ini juga merindukan adanya Tuhan yang disebut-sebut Maha segalanya itu.

Tuhan itu khayalan, sementara makhluk halus adalah nyata adanya. Mikasa tidak punya kemampuan untuk melihat makhluk yang berbeda alam dengan dirinya itu, tapi setidaknya ia sering melihat pertunjukkan dari para makhluk yang disebut-sebut sebagai roh orang-orang mati itu. Ketika ekspedisi di dinding Maria, atau malah keluar dari dinding, ada saja setidaknya satu kasus kerasukan. Biasanya makhluk halus tersebut adalah makhluk yang dulunya prajurit, dan sangat membantu pasukan untuk menghabisi para titan, karena roh tersebut biasanya sangat ambisius akan dendamnya terhadap titan dan membuat orang yang dirasukinya akan sangat handal membunuhi para titan.

Efek sampingnya, siapapun yang kerasukan itu pasti akan mati. Roh ambisius mana yang akan perduli soal induk yang ditumpanginya? Dengan membabi buta menyerang titan, melampaui batas dari kemampuan tubuh sang induk, kemudian roh akan menghilang. Meninggalkan jasad yang kehabisan tenaga dan darah, mati tanpa mengetahui apa yang terjadi.

Mikasa hanya bisa menggigit bibir ketika melihatnya. Sekali seseorang kerasukan, tidak akan ada yang bisa mengeluarkan sang roh dari tubuh tersebut. Mengandalkan pastor tentu saja merupakan hal konyol. Ilmuwan terbaik Recon corps juga tidak bisa berbuat apapun kecuali berteriak histeris—kesenangan—ketika sang korban mulai membunuhi titan dengan cekatan. Walau maut yang penuh kebimbangan pada akhirnya menunggu orang tersebut dengan sangat menyiksa, tapi tidak ada yang bisa dilakukan. Kecuali melihat, dan mungkin berdoa agar kematiannya membawa berkah.

Entah berdoa kepada siapa.

Setiap kali misi, Mikasa selalu berharap, jika dikatakan tidak berdoa. Makhluk halus biasanya akan merasuki orang yang kesadarannya sedikit lemah atau hatinya terguncang, jadi kemungkinan dirinya atau Armin dan Eren untuk dimasuki kecil. Dirinya dan Eren selalu dipenuhi emosi yang meluap, sementara Armin selalu berpikir tanpa sempat bergundah ria. Tapi sekecil apapun kemungkinan itu tetap ada kesempatan, yang entah akan mampir kapan. Maka itu Mikasa selalu berharap, mereka bertiga takkan pernah mati mengenaskan tanpa sadar di atas perbuatan para makhluk halus tersebut.

Mikasa berjanji takkan pernah menangis lagi, tapi ketika Eren kerasukan mungkin ia akan menangis alih-alih melakukan sesuatu yang lain.

Tapi, nyatanya yang dilakukan Mikasa sekarang hanya jatuh berlutut dengan wajah tak percaya. Reaksi yang sama dikeluarkannya saat melihat Eren berubah jadi titan untuk menyelamatkannya. Dipikirnya, dengan kemampuan luar biasa hasil suntikan Grisha Jaeger itu, takkan ada yang bisa membuatnya merasakan kejutan apapun lagi.

Kejutan yang membuat seluruh tubuh Mikasa lumpuh sepenuhnya.

.

.

.

.

.

"Berterima kasihlah kepada Tuhan karena aku bisa kembali pada tubuhku. Karena bocah ini—maksudku kau—amat—sangat—lemah."

.

.

.

.

.


Warning : Canon without Rivaille jadi Heichou dan dengan perubahan di sana sini + Roh!AU. Maybe OC inside. Maybe OOC inside. Various pairing. Shingeki no Kyojin belongs to Isayama Hajime. Unravel belongs to Ling Toshite Shigure.


.

.

.

.

.


1 ぼく の なか に だれか いる の〪

Is there someone inside me?


.

.

.

.

.

Eren menatap nisan batu di hadapannya nanar. Digenggamnya sebatang krisan di tangannya dengan erat, membuat keringat semakin melicinkan telapak tangannya. Digigitnya bibirnya pelan, menahan emosi yang menggelegak dalam dada. Diletakkannya bunga tersebut perlahan seraya membisikkan sebuah harapan semu.

"Semoga Anda bisa tenang di alam sana, agar tidak mengulangi siklus yang terjadi pada diri Anda juga."

Senyum miris terbentuk dari wajah pemuda berambut coklat tua itu. Bagaimanapun dirinya tahu benar bahwa harapan itu sia-sia. Jika diandaikan dirinya mati seperti orang—makam—di hadapannya ini, bisa dipastikan ia juga akan melakukan hal yang tidak diharapkan semua manusia yang hidup. Berusaha memasuki kembali dunia makhluk kasar tersebut dan membalaskan dendamnya terhadap titan-titan yang masih merajalela.

Semoga orang ini tidak sama seperti dirinya, Amin.

Entah Amin kepada siapa.

"Eren, ayo pergi. Misi berikutnya akan segera dimulai." Ajak Mikasa, menarik tangan Eren yang berkeringat.

Eren mengangguk pelan, lalu berlari mengikuti Mikasa menuju markas. Pemakaman ini letaknya cukup jauh dari markas mereka, mencegah para makhluk halus yang mungkin saja belum tenang akan merasuki siapapun yang ada di markas. Bagaimanapun, mengamankan jasad-jasad yang masih cukup utuh di satu tempat akan memperkecil kemungkinan kerasukan di medan perang. Tapi nyatanya kasus kerasukan belum juga berkurang dan makam di pemakaman ini hanya sedikit, walau sudah digabung dengan jasad para anggota pasukan yang bukan mati karena kerasukan.

"Eren!" Bentakan Mikasa yang tegas mengembalikan kesadaran Eren. "Jangan melamun! Terutama di dekat pemakaman!"

Eren mengeratkan pegangannya. "Baik, maaf. Aku hanya sedikit terhanyut. Sekarang kita harus konsentrasi penuh terhadap misi! Yak!"

Mikasa menatap pemuda itu dengan raut cemas. Pemuda naif ini kadangkali bisa penuh dengan emosi meluap, tapi juga mudah terbawa perasaannya. Ketika ia melamun akan menjadi celah empuk bagi para makhluk halus untuk merasukinya.

Setelah cukup lama berlari, keduanya akhirnya sampai di markas dengan terengah-engah. Seorang pemuda bersurai brunette menyambut dengan ekspresi tidak bersahabat seraya memegang tali kekang tiga ekor kuda yang kekar. Sambutannya sungguh sinis.

"Lari berdua sambil berpegangan tangan, kayak kawin lari aja."

Mikasa membalasnya dengan dingin. "Dia gampang melamun, kau tahu."

Pemuda itu tak acuh lalu menyerahkan tali kekang dua kuda kekar lainnya kepada dua remaja itu. "Cepatlah, beruntung pasukan baru akan berangkat tiga menit lagi." Lalu pemuda itu dengan sigap langsung naik ke atas kudanya tanpa susah payah.

"Tiga menit? Gila! Berlari itu lebih menyiksa dari pada memakai manuver gear, tahu! Aku capek sekali sekarang!" Protes Eren, masih terengah-engah.

"Siapa suruh melayat setengah jam sebelum misi dimulai. Salah sendiri bangun siang." Sindir sang pemuda brunette. "Lagian siapa pula sih itu. Kau juga nggak kenal, Kan?"

Mikasa terpaksa turun lagi dari kudanya dan membantu Eren yang kelelahan naik ke atas kudanya. "Dia orang yang ada bersamaku saat misi terakhir. Kalau saja tidak ada dia mungkin saat itu aku yang kerasukan."

Eren berterima kasih banyak kepada Mikasa yang sudah membantunya naik. Tanpa basa basi, Mikasa pun naik ke kudanya lagi tanpa beban berarti. "Itu kesalahannya sendiri karena ia—berani taruhan—pasti sedang melamunkan sesuatu, atau setengah sadar."

Senyum lebar Eren yang terlihat berat pun keluar. "Sebenarnya aku juga sedang melamun. Melamunkan kamu, Mikasa. Ehehehe..."

Urat perempatan imajiner terlihat di dahi sang pemuda brunette yang kesal. "Gombal saja terus."

Tanpa disadari kedua pemuda itu, pipi mulus Mikasa sedikit memerah malu di balik syal merahnya.

"Nah, itu tanda misi dimulai sudah ditembakkan dari jauh! Ayo sekarang waktunya berpisah ke pos masing-masing, Jean, Mikasa!" Teriak Eren yang sudah kembali bersemangat. Ia memacu kudanya begitu cepat. Tertantang, Jean yang notabene lebih ahli soal kuda, langsung melesat cepat menuju kelompoknya. Pun dengan Mikasa, yang di dalam hatinya masih tidak begitu rela melepas Eren yang tidak satu kelompok dengannya.

"Misi dimulai!"

.

.

.

.

.

Sesakit apapun kepalanya, Erwin tidak akan pernah sempat memijat pelipisnya.

Segala hal tentang titan ini menyiksa akal sehatnya. Setiap kali ia mengejar, setiap kali ia mendekati titik terang, rasanya ia ditipu oleh fatamorgana. Dijauhkan dari kenyataan. Dijauhkan dari tujuan. Dihantam keras-keras oleh ketidakberdayaan pasukannya.

Ketidakberdayaan pasukannya—atau malah dirinya?

Erwin adalah tipe pemikir yang baik dan sulit ditebak oleh siapapun, karenanya ia akan sulit dibuat melamun. Karena ia selalu berpikir keras, dan logis. Tapi kenyataannya ia tadi sedang melamun. Ditepisnya pikiran negatif yang tidak sehat itu jauh-jauh. Makhluk-makhluk halus pasti akan senang bila dapat merasukinya. Tubuhnya sangat kuat, dan sangat ideal untuk ide pembalasan dendam mereka terhadap titan.

Tapi kalau sang pimpinan pasukan dirasuki, walau akan terlihat lebih hebat dari pada biasanya, pasti akan mengacaukan seluruh pasukan.

Ia adalah kiblat pasukannya.

"Komandan Erwin, apa yang harus kami lakukan selanjutnya?" Tanya Eren, panik. Sebuah titan—jika tidak mau menyebutnya seorang—tengah mengejar mereka dari belakang. Nostalgia akan pengejaran titan wanita mulai berkelebat dalam benak pemuda polos itu

Erwin diam. Berpikir keras. Misi kali ini jauh lebih berbahaya dari pada sebelum-sebelumnya. Setelah mengungkap keberadaan titan wanita, di tengah-tengah penelitian, pasukan malah menemukan bahwa para titan kembali bergerak. Collosal titan membuka batu yang susah payah Eren letakkan untuk menambal dinding maria yang bolong. Mereka memang sudah menemukan laboratorium Grisha Jaeger dan mendapati bahwa ada sesuatu yang dapat mengubah manusia-manusia itu menjadi titan.

Tapi sesuatu itu tidak akan pernah menjadi jelas. Apalagi setelah para titan itu kembali masuk.

Para titan itu gila. Keberadaan titan itu salah. Keberadaan titan itu memang tidak seharusnya terjadi, bukan?

Jika saja tuhan itu ada.

Erwin terhenyak. Tadinya ia memang berencana menjebak titan-titan cerdas seperti beberapa diantara mereka seperti menangkap titan wanita, yaitu menggiringnya ke dalam lokasi dimana mereka bisa melumpuhkannya. Tiada ampun, dengan beberapa obat buatan Grisha Jaeger yang mereka temukan di dalam laboratorium yang hampir remuk itu, mereka akan langsung membunuh para titan—terutama dengan otak cemerlang—dengan racun. Dilumurinya semua pedang pasukan yang berencana untuk menghabisi para titan itu dengan racun tersebut—dan itu sudah dibuktikan oleh Eren sampai hampir mati ketika mendapat dosis rendah—dan dijebaknya agar semua terkena, barang sedikit saja.

Tadinya.

Tapi para titan itu memang berotak. Mereka meluncurkan banyak titan-titan yang hanya punya tenaga dan sebenarnya mudah dihadapi—jika saja jumlah mereka tidak banyak. Di dinding maria yang bak kota hantu ini para titan kelas rendah maupun kelas menengah mengejar mangsa mereka masing-masing, para pasukan Erwin. Sosok titan setinggi enam puluh meter yang bertindak sebagai pemimpin mereka memang tak dapat disembunyikan. Tapi ia berada jauh di sana, memerintahkan bawahannya untuk menghabisi pasukan Erwin.

Sebuah yang tadinya mengejer tiba-tiba bereplikasi jumlah menjadi dua. Tidak replikasi secara harfiah, tentu saja. Tapi ia memanggil kawannya, atau semacamnya untuk bergabung mengejar pasukan inti Erwin. Keduanya kelas lima belas meter, kelas yang sama dengan perubahan wujud Eren.

Kalau mereka masih saja berkuda seperti sekarang, pasti tak lama akan tertangkap juga.

Apa jadinya Recon corps tanpa Erwin Smith?

"Komandan! Biarkan saya berubah menjadi titan!" Jerit Eren sekali lagi. Seluruh pasukan tau, termasuk Erwin sendiri tahu, sudah tidak ada lagi jebakan yang dipersiapkan seperti saat mereka dikejar titan wanita dulu. Jika salah satu dari mereka ada yang maju melawan tita-titan itu, maka lama kelamaan akan habislah racun mereka.

"Maka itu biarlah aku berubah menjadi titan, untuk melawan mereka, Komandan! Karena kita perlu racun-racun ini!" Jerit Eren lagi.

Erwin mereguk ludahnya. Ia yang selalu terlihat tenang bisa juga menjadi manusia yang gugup mengeluarkan keputusan.

Sampai akhirnya wajah amerikanya mengangguk pelan.

Sepersekian detik kemudian asap menggumpal disertai ledakan keras. Eren dengan mudah berhasil berubah menjadi sebuah titan kelas lima belas meter, masih lengkap dengan kesadarannya. Dihantamnya kedua titan itu dengan mudah walau hati-hati juga agar tak mengenai rekan-rekannya. Dilihatnya beberapa titan mulai tertarik akan kehadirannya. Emosi menguasai dirinya dan dihabisinya sekalian titan-titan itu.

Semuanya dilakukan Eren dengan mudah, sampai-sampai membuat sepasang mata biru Erwin membelalak karenanya.

Entah beruntung atau tidak, tapi rasanya Eren dengan wujud ini tiba-tiba menjadi sangat kuat. Semua orang tahu, Eren itu orang yang beruntung bisa masuk Recon corps cuma-cuma dengan kemampuannya berubah menjadi titan. Tapi hanya itu. Kekuatan fisiknya tak berapa kuat dibanding Annie sang pengkhianat. Apalagi Mikasa. Apalagi Erwin. Pun dengan wujud raksasanya, ia sebenarnya hanya menang ukuran. Isinya tetap dengan kemampuan fisik yang sama.

Eren membabi buta menghabisi para titan yang menghadang.

"Ayo kita manfaatkan kesempatan yang sudah diberikan Eren!" Ajak Erwin, kembali memimpin pasukan. "Kita hampiri para titan berotak itu dengan racun di tangan!"

"Yossha!" Jawab pasukannya serempak.

Eren bahkan tak ingat lagi ia berubah menjadi titan hanya untuk menghalau musuh mereka untuk sementara. Dibiarkannya pasukannya pergi tanpa dirinya. Dihabisinya semua titan yang dilewatinya. Termasuk sebuah titan yang mengancam Mikasa-nya tanpa disadari gadis itu.

"Groaaaaar!" Jerit Eren, murka. Tapi lebih ke arah menutupi kenyataan bahwa staminanya akan habis. Mikasa menatapnya nanar dari bawah. Eren sudah berubah menjadi titan, berarti keadaan semakin gawat darurat, pikir Mikasa. Ia tahu, harusnya ia, selaku prajurit terbaik yang pernah dimiliki Recon corps, memanfaatkan kesempatan ini dan melawan titan-titan berotak di sisi lain. Tapi ia tidak bisa percaya Eren akan selamat setelah diumpankan Erwin seperti ini.

Dasar pria rambut klimis sialan, jerit Mikasa dalam hati.

BRUAK!

Setelah berhasil menghantam sebuah titan kelas lima belas meter keras-keras ke sebuah gedung yang kini hancur tak berbentuk, tubuh raksasa Eren mulai limbung. Dengan sigap, Mikasa menghampiri Eren dan berniat mengeluarkan tubuh manusia Eren dari wujud raksasanya, yang harus rela ditelannya bulat-bulat sebagai keinginan semata saja. Seorang titan berambut hitam gelap sepanjang milik Eren tiba-tiba muncul dari debu-debu yang ditimbulkan Eren selepas menghajar titan lain. Seorang titan yang mereka kenal baik.

"Y... Ymir..." Mikasa sedikit terlempar ke belakang akibat langkah-langkah sang raksasa yang begitu lebar dan keras. Digigitnya bibirnya kuat-kuat. Tak perduli luka macam apa yang akan timbul nantinya. Mikasa sudah belajar untuk tidak terlalu percaya pada siapapun kecuali Eren dan Armin, tetapi tetap saja ada suatu perasaan sakit melihatnya. Walau kenyataannya mereka sudah tahu sejak lama.

Titan Eren terpaksa kembali bangkit.

Dengan seringai lebar, Titan Ymir menghadapi Titan Eren dengan penuh stamina. Sementara Titan Eren hanya bisa menerima serangan-serangan itu seadanya. Ymir bukanlah anggota sepuluh besar terbaik di angkatan 104, tapi sepertinya kemampuannya sedikit disembunyikannya dari semua orang. Apalagi cuma melawan seonggok Titan tanpa stamina macam Titan Eren sekarang ini. Harusnya ini hal mudah.

Mikasa mengepalkan tangannya. Ia tahu, sangat tahu, sedari tadi juga tahu, karena ia telah mengambil keputusan untuk menolong Eren di sini, ia seharusnya menolong Titan tak berdaya itu. Tapi ia diam. Melihat. Apa karena wujudnya tidak terlihat seperti Eren manusia ia jadi tidak bereaksi seperti biasanya? Tidak, ketika Eren sedang bertarung dengan titan wanita, ia masih bereaksi sewajarnya ia. Apa karena ini Ymir, jadi Mikasa tak berani melawannya? Omong kosong, siapalah Ymir itu dibandingkan Eren baginya.

Lalu kalau begitu, tunggu apa lagi, Mikasa? Kau lebih dari cukup kuat untuk melumpuhkan Titan Ymir yang fokusnya sedang teralihkan oleh menyiksa Eren itu!

Mikasa berdiri perlahan. Memantapkan hati, dikeluarkannya tali penancap manuver gear-nya. Dibentuknya kuda-kuda terbaiknya. Diluncurkannya gas di pinggangnya sekeras yang ia bisa untuk meluncur ke arah Ymir yang hampir memangsa.

Dikeluarkannya pedang beracun yang sedari tadi siap dengan tangan bergetar.

Lalu gadis perkasa itu sadar.

Apa yang membuatnya sedari tadi diselimuti rasa ragu yang menjalar.

Dengan tak sengaja pedang beracun itu terlempar.

Mengarah tepat di titik vital sang pembuat onar.

.

Ymir menoleh dengan cepat ketika merasakan hembusan angin yang tak biasa terasa di tengkuknya. Seorang manusia pasti tengah mengincar keasyikannya sekarang. Belum lagi sempat Ymir melindungi tengkuk keramatnya, kemilau pedang penebas titan yang sedikit berubah warna terarah tepat ke tengah titik vitalnya. Tempat dimana jasad aslinya bersemayam dalam tubuh raksasanya.

Tak mau mati sendirian, Ymir menarik tali yang terjulur di dekatnya dengan cepat.

Sekaligus menarik jasad gadis itu untuk menjadi pelindung tengkuknya dari ketajaman pedang yang dilemparnya sendiri. Yang sayangnya malah berbuah maut bagi sang Titan penyendiri.

Ya, pedang itu sukses membunuh seorang titan, dengan taruhan juga menembus perut seorang prajurit terbaik mereka, Mikasa Ackerman.

.

.

.

.

.

Setelahnya, Eren hanya bisa terkejut ketika kesadarannya kembali mendapati Mikasa tidak ada di sisinya. Dan kembali kepada kegelapan yang merenggut staminanya.

.

.

.

.

.

Is there someone inside me?

.

.

.

.

.

Erwin lagi-lagi mendapati pasukannya mati. Bukan mati di tangannya, tapi mati karena perintahnya. Sepeninggal Eren, mereka terus-menerus menerobos para titan tak berotak, dan mengakibatkan satu per satu pasukannya tumbang. Kelompok-kelompok yang dibaginya pun jadi kacau karena serbuan dahsyat tersebut.

Apakah keputusannya salah?

Ah, dunia memang dipenuhi kata Apa.

Dengan—sangat—berat, Erwin mengeluarkan senapannya. Menyatakan sinyal mundur seraya menelan harga dirinya. Ia butuh sesuatu yang lebih matang kali ini. Diputarnya haluan kudanya secepat yang ia bisa. Hal yang sama dilakukan seluruh pasukan yang telah mendengar sinyalnya. Pemberontakan terasa begitu merana di dalam dada. Namun jika tidak mengambil tindakan mundur maka pasukan ini akan dilanjutkan siapa?

Tanpa mereka semua sadari, para titan berotak tidak suka tindakan mundur. Dikerahkannya seluruh titan semakin membabi buta untuk memburu para pasukan yang kabur. Serbuan sepihak semakin keras, membuat para kuda berpacu semakin tak beratur. Perang antara dua jenis makhluk berbeda ukuran itu tak mengendur.

Dan ketika kepanikan itu semakin melanda manusia, Erwin baru mengingat keberadaan Eren yang ditinggalnya. Ia sudah menekankan agar pemuda itu memberikan sinyal apapun itu ketika selesai dari wujud titannya, tetapi ia sudah waspada dari tadi dan tidak ada tanda apa-apa dari bocah naif itu. Secepatnya, diperintahkannya pasukan untuk mencapai markas—atau daerah aman—manalah yang tidak bisa membunuh mereka. Sementara Erwin sendiri mencari keberadaan asetnya.

Meski gila karena harus bertarung—lebih tepatnya menghindar—dari serbuan beberapa titan yang tak pandang bulu, Erwin tak kenal lelah mencari keberadaan Eren. Bukan ada apa-apa. Kan tadi sudah kukatakan Eren tak punya hal spesial di matanya selain kemampuan menjadi seorang titan berotak. Tapi cuma ia satu-satunya harapannya. Harapan dunia. Harapan manusia.

Makanya, meski harus bertaruh nyawa, ia harus mendapatkan kembali pemuda emosian itu.

Walau berulangkali dalam perjalanannya ia terus berpikir ulang untuk menunjuk Hanji sang penyidik ataukah siapa untuk menggantikan posisinya. Karena serangan para titan ini benar-benar, sialan, kalau ia sempat mengumpat. Buktinya saja, walau tidak menyadari keberadaannya yang begitu kecil, lima kawanan titan kelas lima belas meter tak berotak di hadapannya ini sangat menyusahkannya karena membuat gempa akibat ulah kelimanya yang bak perilaku lima anak kecil tengah berlomba lari dengan Erwin sebagai garis akhir yang harus diinjaknya.

Erwin nyaris berbalik, jika tidak melihat jasad Titan Eren yang berasap dan terkoyak di belakang para titan yang berlomba.

Sayang, tidak ada jalan memutar. Erwin terpaksa memakai pedang beracunnya yang berharga.

Dengan cekatan, Erwin turun dari kudanya dan langsung beraksi dengan manuver gear -nya. Medannya untuk berayun sama sekali tidak ideal, tapi ia tidak punya pilihan lain. Dengan susah payah, ia menguji kelenturan tubuhnya dengan berayun dari sisi kiri ke kanan bangunan. Menyeberang agar bisa menebas kelima titan sekaligus. Tapi kecepatan lima titan itu tiba-tiba berubah dan membuat Erwin jatuh tergeletak di atas tanah dengan kesadaran tipis setelah berhasil menjatuhkan sebuah titan yang paling kiri.

Menyebabkan keempat titan lainnya menyadari keberadaan kecil Erwin yang hampir tak berdaya.

Hampir. Mana mau seorang komandan tertinggi Recon corps mengakui hidupnya sudah mendekati maut?

.

.

.

.

.

Hari ini, sebagian pasukan Recon corps berhasil kembali ke markas mereka yang—anehnya—masih aman. Diantara mereka banyak yang meninggal, termasuk para pasukan yang memiliki kemampuan tingkat tinggi. Tetapi, harapan itu pastinya masih ada...

ketika seorang pria setinggi seratus enam puluh sentimeter pas datang menghabisi keempat titan yang mengepung Erwin sambil mengapit jasad manusia Eren yang kehabisan stamina.

.

.

.

.

.

Mikasa.

Gadis oriental bertampang sinis itu merasakan sekujur tubuhnya sakit.

Mikasa.

Gadis dengan surai sebahu yang mengantongi predikat prajurit terbaik angkatan 104 itu merasakan sebuah lava panas mengaduk darah yang mengalir dalam nadi.

Mikasa.

Gadis cantik yang selalu memakai syal merah kemanapun ia pergi itu meraba lehernya, dan tidak menemukan benda pelengkap hidupnya itu di tempat seharusnya ia berada.

Oi, anak kecil. Bangun, sebelum kau akan tidak sadar lagi.

Di tengah rasa sakit yang dirasakannya di sekujur tubuhnya, Mikasa mengerang pelan.

"Se... lamatkan... Eren..."

Tch, bocah itu sudah tidak apa-apa, tahu.

Tanpa sadar, mendengar suara siapapunlah itu dari benaknya akan konfirmasi Eren-nya yang sudah tidak apa-apa, Mikasa tersenyum simpul. Tapi ia tetap mengingat keadaan terakhirnya yang... Tunggu, seharusnya ia sudah mati sekarang.

Diamlah sebentar sampai aku berhasil menyelamatkan kapten klimismu di depan sana.

Mikasa mengerutkan alisnya. "Apa aku sudah di dekat surga?"

Gelak tawa kasar terdengar lagi di benaknya. Dasar bocah. Sudah diberi kesempatan tetap hidup malah minta mati.

Mikasa refleks meraba jantungnya. Ia masih hidup?

Tapi ketika ia merasakan jantungnya masih berdetak normal—sangat normal, malah—ia tidak lagi menemukan bukit kembar yang menjadi aset para wanita di dadanya. Rata. Tak puas dengan itu, tangan lembutnya mulai meraba wajah dan mencoba mencari helaian surai yang sangat disukai Jean Kirschtein itu.

Oi, diam dong! Sudah kubilang aku mau menyelamatkan komandanmu itu dulu! Ayolah, bekerja sama sedikit! Kalau saja aku tidak terpaksa menumpang begini juga aku tidak mau.

Menumpang?

Ah, jadi ini yang namanya kerasukan?

.

.

.

.

.

Inikah akhir hidup Mikasa Ackerman yang tangguh tiada tara? Mati di tangan seorang roh yang berhasil merasukinya?

.

.

.

.

"Berterima kasihlah kepada Tuhan karena aku bisa kembali pada tubuhku. Karena bocah ini—maksudku kau—amat—sangat—lemah."

.

.

.

.

.

"Jika saja tuhan itu benar-benar ada, wahai orang yang merasukiku, bisakah aku berharap agar Eren tidak akan mengalami hal yang sama denganku ke depannya?"

.

.

.

.

.

"Jangan konyol. Kau yang hantu, bukannya aku."

.

.

.

.

.


Is there someone inside me?


.

.

.

.

.

tbc.

.

.

.

.

.


A/N : APA INI so cruel astaga aku gagal. Maaf. /nangis

Tadinya mau full of feel malah jadi action gajelas gini uhuhu yasudahlah semoga minna semua menikmati multichap baru dari author angin-anginan ini. /liat fic yang ngantri /ngelap ingus /iya lagi flu

Happy reading minna~!