Naruto © Masashi Kishimoto
Summer © White Apple Clock
Rate : T
Genre : Romance, Drama
Chapter : 1, Why Must Him?
Main Character : SaiIno
Warning : multi-chap,AU, OoC, typo, dll.
Inspired by: a korean drama "Lucky Romance" and taiwanese drama "Refresh Man"
DLDR!
Suara deru mesin dan klakson yang tak henti membombardir menemani Ino di siang hari yang terik. Tokyo sedang musim panas, maka matahari menyinari bumi dengan sengatanㅡmeskipun tidak sepanas negara Dunia Ketiga. Tubuh rampingnya membelah angin, memainkan helaian rambut pirangnya. Heels pendeknya bergemeletuk beradu dengan trotoar yang tidak terlalu ramai. Tangannya merapatkan map merah dalam pelukannya. Juga sepasang manik mata laksana langit biru mengamati sekelilingnya, meskipun rute jalan ini selalu dilalui dari Senin ke Minggu.
Hari ini ia sebenarnya sedang liburㅡHari Minggu soalnya. Namun, panggilan sialan menyeretnya pada pekerjaan yang diserahkan seenaknya, mengganggu minggu damai yang seharusnya bisa ia habiskan dengan rebahan di kasur dan menggeranyangi tumpukan novel romansa-misteri koleksinya. Mengingat hal itu, Yamanaka Ino menghembuskan napas berat.
Baginya, menghela napas lebih bermanfaat dari pada merutuk. Seenggaknya, bisa membawa beban-beban dengan tenang tanpa rasa emosional bersama kepulan sisa pernapasan–menurutnya.
Satu meter lagi ia sampai di gedung berarsitektur modern dan canggih, memancarkan aura elegan dan minimalis, melambangkan bahwa perusahaannya terus bergerak di bidang teknologi yang tidak ada matinya sama seperti dunia mode. Tak lekang oleh waktu adalah konsep mereka, berbaur dan mempermudah masyarakat adalah motto mereka.
Sekarang Ino sedang memasuki gerbang utama. Meniti langkahnya melalui lobby yang hanya dilalui satu-dua orang. Begitu sepi, saking sepinya ia bisa mendengar gemelutuk hak sepatunya menggema di lobby yang luas ini. Kebetulan manajer kafe kopi pribadi perusahaan menyapanya dengan senyuman manis sepintas mereka berpapasan, mau tak mau Ino harus membalasnya. Sejenak ia menempelkan kartu pegawai di scanner gerbang akses, sebelum ia memasuki lift menuju kantor.
Teng! Lift berhenti di angka lima. Gadis blasteran Amerika-Jepang itu beranjak, mendekati sebuah pintu kaca yang hanya bisa dibuka oleh sidik jari, scan wajah, pemindai iris mata, dan password verbal. Maklum, Ino bekerja di Divisi Perencanaan dan Desain, di mana informasi-informasi yang tersedia tidak boleh disajikan kepada masyarakat sampai produk baru mereka rampung. Penuh rahasia, menyimpan rahasia, dan menciptakan rahasia adalah keahlian merekaㅡtermasuk Ino, meskipun ia penggosip nomor wahid di antara rekan kerjanya.
"Kau tepat waktu, Yamanaka."
"Mana yang lain?"
Ino mengabaikan kalimat penyambutan rekan satu timnya, Liu Tenten, karena sudah kedahuluan kaget akan situasi kantor.
Sepi. Padahal yang disuruh datang untuk menghadiri rapat ada belasan orang, termasuk direkturnya.
Gadis pirang itu tidak mengerti, ini memang ia yang kepacuan atau ada perubahan jadwal tanpa sepengetahuan dirinya. Manik aquamarine itu mulai bergulir melihat Tenten yang tenang duduk di tempatnya, mungkin Tenten tidak tahu jika memang benar ada perubahan jadwal. Masih ada waktu satu jam sebelum waktu rapat dimulai. Dan biasanya, di kondisi yang seperti ini hampir dari setengah pegawai sudah hadir menempati masing-masing bangku.
Perempuan satu-satunya dari keluarga Liu tersebut mengendikkan bahunya acuh, lalu menyingkirkan helaian anak rambut yang tak terikat yang mengganggu pandangannya. Ia mulai gerah. "Entahlah. Aku dapat kabar direktur sedang menghadiri acara keluarga. Kau tahu? Katanya kedua saudaranya menikah di tanggal yang berdekatan."
Ino menatap Tenten tidak percaya, lantas meletakkan mapnya di meja rapat sedikit kasar. "Kalau begitu siapa yang memimpin rapat?"
"Ah, masalah itu. Direktur mengirim penggantinya selama dua bulan ke depan. Dan sepertinya, pengganti direktur mengubah sedikit jadwal rapatnya," jawab gadis keturunan Cina itu.
"Kira-kira bagaimana dia mengubahnya?"
"Entahlah, terlambat setengah jam dari yang seharusnya–mungkin?"
Ino kembali menghela napas seraya menyentu dahinya yang terpatri sempurna.
Mereka duduk bersamaan saling berhadapan, menyandarkan punggung sempit mereka pada kursi sambil menghela napasㅡini sudah yang kedua kalinya bagi Ino hari ini. Kedua gadis itu menunggu rekan lainnya dengan cara mereka masing-masing. Tenten yang berkutat dengan layar ponsel dan Ino yang membaca kembali dengan lekat berkasnya.
Menit demi menit berlalu, saat itu jugalah satu per satu mulai mengisi bersama berkas masing-masing. Tiga belas orang duduk melingkar mengelilingi meja rapat, perempuan di sebelah kanan dan pria di sebelah kiri–Ino sudah pindaah ke tempat yang seharusnya ketika sudah sedikit ramai. Mulai riuh suara-suara berbincang satu sama lain sambil menunggu kursi pemimpin terisi.
CKLEK!
Pintu mulai terbuka secara dramatis. Semua mata tertuju pada pintu yang mulai menampakkan sosok yang ditunggu dari luar. Napas mereka mulai tercekat, seolah-olah oksigen lenyap dimakan rasa penasaran. Pintu terbuka semakin lebar, semakin menampakkan siluet seorang lelaki. Semakin jelas.
Semua pegawai lelaki menyambutnya hangat dengan tepukan tangan penuh hormat.
Semua pegawai perempuan menatap penuh damba sinergis dengan hati berteriak karena pesona menjerat–Tenten tidak, bukan gayanya sekali.
Akan tetapi, Ino adalah pengecualian sekarang. Sekalipun ia pegawai perempuan, juga berbeda dari Tenten.
Ia hanya sanggup melayangkan tatapan tidak percaya dengan napas terjerat.
"Apa alasannya dia di sini?"
"Kenapa harus dia?"
"Apa cuma ada dia di dunia ini? Dari sekian banyak manusia yang lebih baik?"
Tiga pertanyaan itu terus menabrak pikirannya seiring dengan lelaki itu berjalan mendekati kursinya, terus mendenging di telinganya. Sekalipun sosok itu telah melewati figur Ino yang mematung, Ino tetap bergeming. Kenyataan menamparnya. Baginya, ini terasa seperti mimpi di siang bolong. Bagaikan butiran salju yang turun di tengah sangarnya sinar mentari.
Postur tubuhnya yang tegap dan tinggi telah berhenti pada ujung meja, di mana singgasana direktur sementara akan ia duduki sampai dua bulan. Mata hitam tersebut menelusuri setiap orang di depannya. Melemparkan senyum ramah untuk menyematkan citra yang baik sebagai kesan pertama. Hanya saja, tatkala manik matanya berhenti pada Ino, hampir saja senyumnya luntur dengan ketara jika ia tidak sigap menahannya. Selebihnya, senyuman ramah yang ia berikan kini berubah menjadi palsu hanya karena Ino.
Ada hening membatasi mereka ketika bersitatap. Dengan Ino dan lelaki itu dalam keterkejutan masing-masing.
"Ekhem," ia berdeham, "perkenalkan. Nama saya Shimura Sai, pengganti direktur Takada selama dua bulan ke depan. Mohon kerjasamanya."
Saiㅡlelaki ituㅡmembungkuk hormat. Semua yang hadir ikut membungkuk, tak terkecuali Ino.
Semuanya tampak biasa saja, tidak ada yang mencolok. Namun, siapa sangka dua di antara tiga belas orang yang ada tengah memendam sejenak sifat mencolok itu sampai setidaknya rapat hari ini berakhir.
.
Di balik bilik kerja, Ino hanya bisa menghela napas untuk yang kesekian kalinya. Kepalanya ia hantam pada permukaan meja, menatap dinding bilik dengan tatapan kosong. Monitornya ia abaikan, membiarkannya meracau sendirian oleh playlist yang memutar lagu secara acak. Ia tidak menemukan konsentrasinya, Sai adalah distraksinya untuk saat ini.
"Rusak sudah Hari Minggu-ku. Benar-benar rusak."
.
.
Hiruk pikuk kantor seperti biasanya begitu monoton. Hanya saja, para pekerja di berbagai sektor perusahaan menyibukkan diri lebih sedikit dari biasanya. Terlebih, Ino dan kawanannya sedang mempertaruhkan nama baik divisi mereka. Terkait rapat tiga hari yang lalu membicarakan perencanaan peluncuran produk baru, maka dari itu Divisi Perencanaan dan Desain bermandikan bulir-bulir keringat hasil pembuangan dari sisa-sisa pikiran mereka yang lelah.
Selaras dengan mereka yang berlalu-lalang ke sana ke mari dari satu bilik ke bilik yang lain, Ino hanya duduk di kursinya berjam-jam. Mereka lebih mengeluarkan energi di kaki, Ino dan ketiga rekannya mengeluarkan energi di jari-jari dan bola mata.
"Aish, lagi-lagi desain aplikasi game. Lebih merepotkan daripada mendesain bentuk ponsel," keluh Inuzuka Kiba, tetangga bilik sebelah Ino.
Ino tidak memperdulikan cicitan penuh keluhan dari Kiba, ia tetap terus mengambil segelas kopi dan meneguknya di antara tumpukan gelas kopi yang kosong dan mengering. "Ah, habis. Yashiro! Tolong belikan aku kopㅡ"
TUK!
"Jangan berteriak, suaramu mengganggu telingaku."
Sejenak Sai menatap Ino tanpa ekspresi dan senyuman palsu lalu pergi menjauhinya sampai pintu direktur menghilangkan sosoknya. Meninggalkan empat gelas kopi di sebelah monitor Ino.
"Apa-apaan ini?" Ino membatin sembari mengambil satu gelas kopi dan menatapnya lamat-lamat bergantian dengan ruangan direktur di seberang sana.
Sementara, tak ada suara yang menjadi latar belakang setelah aksi itu terjadi di depan para publik. Hanya ada gestur mulut ternganga, mata membulat, dan alis yang berkerut. Setelah itu, bisikan-bisikan mulai bertandang ke pendengaran Ino. Gadis itu hanya mengendikkan bahunya acuh sambil mengambil segelas dari pemberian atasannya.
"Kalian mau? Ambil saja, aku hanya butuh segelas."
Begitu tenang meluncur dari bibirnya. Akan tetapi percayalah, itu hanyalah kebohongan belaka. Menyembunyikan riuhnya pertarungan batin dan pikiran yang berkecamuk pada dirinya.
.
.
"Selamat malam semuanya, kalian telah bekerja keras!"
Si Inuzuka berteriak di ambang pintu kantor dengan senyuman lima jari khas diapit oleh tato segitiga di pipinya. Disertai dengan lambaian tangan penuh semangat yang sebenarnya tertuju untuk perempuan dingin bilik tetangga sebelah Ino. Kerlingan mata genit menyertai kepergian lelaki asal Kyoto itu. Ino bisa mendengar dengan jelas decihan jijik dan badan kurus tersebut merinding takut.
Ino tertawa terlebih dahulu. "Jangan begitu, biasanya yang begitu bakalan kecantol juga, sih."
"Ino!" Teriak Tenten dan bersiap-siap hentak menghantam kepala Ino dengan tumpukan gelas kopi kosong. "Dia itu genit sekali!"
Tawa Ino mulai mereda dan mengembalikan posisi duduknya yang tadi bergeser. "Kau tidak pulang, Tenten?"
Tanpa sepengetahuan Ino, Tenten menggeleng dengan tidak melepaskan sedikit pun atensinya pada monitor. "Mungkin sebentar lagi."
"Pulanglah, tak baik perempuan cantik pulang larut malam," ujar Ino, kemudian menyeruput kopinya yang mulai bersahabat dengan dinginnya air-conditioner.
"Kau ini laki-laki atau perempuan, sih? Gaya bahasamu itu seperti kekasihku saja." Tenten terkikik bersama jarinya yang masih lihai menggeser mouse.
"Geez, aku ini sahabatmu. Sahabat mana yang mau sahabatnya dalam bahaya?"
Tawa mereka pecah melintasi ruang kantor yang kosong dan meremang.
"Baiklah, baiklah. Aku akan pulang sebentar lagi. Tinggal sentuhan terakhir untuk hari ini." Sebutir kepala Tenten bersama dua cepolannya menyembul di balik bilik yang memisahkannya dengan Ino. "Terima kasih atas perhatianmu, Ino-chan."
Tenten tertawa lagi mendapati Ino menatapnya tajam di ekor mata perempuan itu. Tak berselang lama, Tenten beranjak dari duduknya dan meninggalkan meja kerjanya yang sudah rapi. Tak lupa ia berpamitan dengan rekan kerjanya yang mulai bertransformasi menjadi sosok sahabat, Yamanaka Ino.
Kini Ino sendirian bersama kerjaannya yang belum kelar. Di ruangan luas dengan belasan bilik ini, hanya miliknya yang masih bercengkrama dengan lampu dan bulan di langit malam yang syahdu. Keheningan begitu terasa menghampirinya. Hanya deru tipis angin di balik jendela kantor dan samar-samar suara hiruk-pikuk lalu lintas menjadi penghiburnya sambil kerja. Mengisi kekosongannya.
Desainnya hampir rampung, setidaknya targetnya untuk hari ini tercapai. Sebelum desain keseluruhannya begitu sempurna tersusun. Matanya melirik pada monitor besar di dekat ruangan direktur. Tertulis di sana besar-besar, "D-100".
Perempuan itu menghela napasnya berat lantas merentangkan tangannya yang pegal. Ia butuh istirahat, setelah lima jam yang lalu kerja terus tanpa mengangkat bokong, lima jam jarinya berolahraga tanpa henti. Terpintas di kepalanya untuk sekedar berjalan sambil meregangkan otot kakinya yang kaku sedari tadi terus duduk.
Selangkah, dua langkah, tiga langkah tercipta. Suara heels-nya menggema, sekalipun ia melangkah pelan. Mengamati barang-barang di bilik rekannya yang menurutnya menarik. Namun, langkahnya terhenti karena satu hal.
Direkturnya berdiri kaku tak jauh dari Ino.
Dengan tampang dingin, Sai menatap Ino yang termangu. Tangan kekarnya yang menggenggam tas kerja tanpa sadar mengerat. Tak ada ulasan senyum ataupun tatapan ramah menguar dirinya. Ia hanya menatap datar terhadap gadis itu. Persis seperti mayat hidup, kalimat yang sering idutarakan oleh rekan-rekan perempuannya kala jam makan siang.
Begitu dengan Ino. Ketika mata mereka tak sengaja bersiborok, atensinya seakan tak bisa lepas meskipun sudah dipaksa sekuat batin. Ada hal yang membuat Ino tak bisa berpaling untuk saat ini. Hal yang ditemuinya saat ini adalah rasa penasarannya terhadap sirat mata Sai yang seolah-olah datar–sedang mati-matian menyembunyikan sesuatu.
Terlepas dari itu semua, Ino lebih memilih untuk mengabaikan rasa penasarannya.
Setelah bermenit-menit berlalu sejak hening bertandang bersama kecanggungan di sela-sela magnet tatapan mereka, akhirnya si Shimura bersuara untuk mengusir itu.
"Kau tidak pulang?"
Ino masih diam, masih lekat memandang direkturnya itu. Pelan ia mengeluarkan dengusan napas sebelum menerbitkan sebuah senyuman kaku ala pegawai merayu bosnya untuk menambah cuti libur.
"A-ah, mungkin sebentar lagi, Direktur Shimura."
Ada jeda sebelum Sai merespons.
"Baiklah, selamat malam."
Lagi-lagi senyuman palsu menutup kalimatnya.
Sosok tinggi itupun menjauh sampai pintu otomatis kantor memisahkan mereka. Memperbesar jarak di antara mereka. Sai pergi bersama kecanggungan mereka.
Gadis itu belum bisa melepaskan pandangannya sekalipun Sai sudah tidak terlihat lagi keberadaannya. Hatinya masih bergemuruh, pikirannya kembali kacau, batinnya memberontak.
Sementara itu, setelah meniti lima langkah meninggalkan kantor, Sai berhenti. Kepalanya sejenak menoleh menatap lurus ke arah koridor yang ia lewati selepas keluar dari kantor. Setelah itu ia memejamkan matanya sebelum satu helaan napas keluar dari mulutnya. Dan iapun melanjutkan kembali perjalanannya yang tertunda.
TO BE CONTINUE
A/N : Have a good day!
Mind to review?
