Disclaimer : Masashi Kishimoto

(Naruto - Hinata)

Valentinexxx presents

※※※

※※

.

.

.

"Naruto-kun, jangan mengabaikanku!"

Aku merengek kesal pada suamiku, Uzumaki Naruto, sudah hampir dua minggu ini dia seperti mendiamkanku bahkan jarang pulang ke rumah.

"Oh ayolah, aku sudah minta maaf soal dokumen itu, aku mana menduga tasku akan dibawa kabur orang"

Aku tak habis fikir, apa hanya karena dokumen yang dibawa kabur pencopet itu, dia jadi mendiamkanku seperti ini? Ya aku ingat dokumen itu. Dokumen penting perusahaan yang lupa ia bawa ke kantor seminggu yang lalu.

"Hinata, apa kau lihat dokumen map biru di ruang kerjaku?"

Saat itu 30 menit setelah kepergian Naruto-kun ke kantor, dia meneleponku, suaranya terdengar gusar.

"Sebentar Naruto-kun, aku akan memeriksanya".

Aku melihat dokumen itu masih di meja ruang kerjanya, sebuah ruangan di rumah kami yang didesain sedemikian rupa untuk mengerjakan berkas-berkas kantor yang ia bawa pulang. Semalam Naruto-kun mengatakan kalau ini dokumen penting perusahaan, bahkan aku pun tidak boleh melihat. Aku dulu adalah sekretarisnya, melihatnya kerepotan mengurusi berkas-berkas kantor yang ia bawa ke rumah terkadang membuatku ingin membantunya. Namun dia bersikeras melarangku.

"Dokumenmu masih di rumah, Naruto-kun"

"Bisa kau bawakan itu ke kantor? Cepat ya aku masih ada banyak urusan".

"A-ah ya tunggu".

Aku dengan buru-buru memasukkan dokumen itu ke dalam tas dan menumpang taksi untuk ke sana. Namun di tengah perjalanan taksi yang aku tumpangi mogok, sedangkan masih ada satu dua blok lagi untuk sampai ke kantor. Aku memutuskan untuk berjalan kaki saja.

Sepanjang perjalanan sedikit lengang. Aku berjalan cepat karena sejak tadi Naruto-kun marah dan menelepon bahwa aku terlalu lama. Aku yang terburu-buru sama sekali tidak memperhatikan langkah hingga aku menabrak seorang pejalan kaki lain.

Brukk.

"Ma-maaf"

Aku menabrak seseorang hingga tubuhku terhuyung dan tasku jatuh. Aku mencoba meraih tasku yang jatuh namun ternyata lebih dulu diambil oleh pria berjaket hitam yang kutabrak tadi.

"Maaf itu tasku".

Ujarku padanya, dia memandangiku aneh dan menyodorkan tas itu padaku. Belum sempat meraihnya namun orang itu malah menarik kalungku. Kejadiannya sangat cepat. Karena refleks, aku memegang kalungku yang sudah terputus dari leherku. Aku berusaha memegangi tangan pria itu agar tidak membawa lari kalungku. Aku berteriak minta tolong, hingga akhirnya ia membawa lari tasku tanpa mendapatkan kalungku.

Kalung ini kalung turun temurun keluarga suamiku, tentu aku tidak akan membiarkan siapapun mengambilnya. Tapi tasku yang berisi ponsel dan dokumen yang diminta Naruto-kun sudah dibawa lari pencopet itu. Aku harus segera menemui Naruto-kun. Cepat-cepat aku berjalan menuju kantor bernuansa orange yang sudah kulihat di depan mata. Ah Naruto menyusulku rupanya. Dia berlari ke arahku.

Tapi kenapa ada gadis itu lagi di belakangnya?

.

.

.

"Tadaima"

"Okaeri"

Dia baru pulang, sepertinya dia kelelahan. Aku berinisiatif untuk membukakan jasnya, namun ia sudah membukanya sendiri dan menggantungnya.

"Aku memasak makan malam, ayo makan dulu Naruto-kun"

Lagi-lagi dia hanya melengos tak memperdulikan ajakanku. Mungkin dia sudah kenyang usai dinner romantis dengan gadis pirang itu lagi. Aku duduk sendirian di meja makan memandangi makanan yang kumasak. Ah aku tidak ingin makan sendirian lagi.

Aku mendengar suara langkah kaki dan pintu kulkas yang dibuka, aku melihat Naruto-kun mengambil kaleng soda. Ia masih mengenakan kemeja kerja, hanya dasinya sudah ia longgarkan. Ia meneguk minumnya. Sesaat, pandangan kami sempat bertemu. Ia kembali minum dan berdiri di sana dengan tatapan kosong. Aku jadi khawatir, apa dia baik-baik saja? Akhir-akhir ini dia sering melamun, mungkin karena tugas kantor yang kian menumpuk.

Tiga hari lalu aku menemukannya jatuh tertidur di dekat sofa. Itu adalah pertama kalinya aku melihat ia pulang dengan kondisi mabuk dan juga lebam di pipi kirinya. Saat itu aku menunggunya pulang, namun hingga tengah malam Naruto-kun sama sekali belum datang, dan tanpa sadar aku sudah tertidur di sofa.

Baru beberapa menit terpejam, aku terkejut mendengar suara jatuh di dekatku. Rupanya Naruto-kun sudah pulang, tapi dalam keadaan tidak baik-baik saja. Bau alkohol sedikit menyeruak. Ya ampun apa dia baru saja minum-minum lalu berkelahi?

"Naruto-kun, apa yang terjadi?"tanyaku panik.

Naruto-kun masih memejamkan mata dan mengerutkan dahi seperti orang kesakitan. Aku mengusap-usap pipinya dan meniupnya pelan berharap bisa mengurangi rasa sakitnya. Sedikit demi sedikit raut wajah Naruto-kun mulai terlihat tenang, hanya tubuhnya sedikit menggigil. Bukannya mengambilkan selimut untuknya, aku memeluknya erat, di atas lantai yang dingin.

Keesokan hari ketika aku membuka mata, aku tidak lagi menemukan Naruto-kun di pelukanku. Ketika ia hendak berangkat kerja, aku bertanya tentang semalam dan luka di pipinya, namun ia tak menjawab apapun.

Omong-omong malam ini suamiku tidur manis sekali. Jika saja aku tidak mengantuk, aku akan memandangi wajahnya semalaman. Aku ikut beringsut naik ke atas kasur, memposisikan diri menyamping memandangi punggungnya. Jika aku beruntung, mungkin tanpa sadar ia nanti berbalik menghadap ke arahku saat tidur. Saat itulah aku bisa puas memandangi wajah tidurnya sampai aku sendiri tertidur.

Pagi harinya, aku terbangun dan tidak mendapati Naruto-kun di sampingku. Oh tidak, jam berapa sekarang? Naruto pasti sudah berangkat kerja. Aku bahkan belum memasak sesuatu untuknya.

Ketika aku keluar kamar, aku terpaku di tempatku berdiri sekarang, aku melihat Naruto-kun memandangi foto pernikahan kami yang terpajang di ruang tamu. Ia sudah rapi dengan kemeja dan jas hitam di tangannya. Ia berdiri di depan foto itu lama sekali. Aku ingin tahu tahu apa yang ia pikirkan. Mungkin dia sedang teringat masa-masa pernikahan kami.

Pernikahan kami tak selalu berjalan mulus, semakin kesini kami semakin sering bertengkar, meski begitu akulah yang akan mengalah, aku tidak ingin hubunganku dengannya semakin merenggang. Aku simpan sendiri semua rasa sakit yang disebabkan olehnya. Tiap hari aku bersikap biasa seperti tak pernah ada masalah. Terakhir kali kami bertengkar hebat dan itu membuatku trauma.

Kala itu aku memergokinya makan malam di restoran elit bersama dengan Shion, sekretaris baru di kantornya yang menggantikanku setelah aku menikah dengan Naruto-kun.

"Apa maksudmu tadi, kau membuatku malu di depan umum!"

Setelah aku melabrak keduanya, Naruto-kun menyeretku pulang dan memarahiku habis-habisan.

"Kau sendiri kenapa bisa bersama Shion lagi, kau sudah berjanji untuk tidak dekat-dekat lagi dengannya kan?! Shion hanya memanfaatkanmu!"

Aku yang terbakar api cemburu juga tak mau kalah. Aku balas berteriak di depannya.

"Diam! Jangan bicara buruk tentang Shion! Aku muak denganmu, sekarang katakan apa maumu, kau mau bercerai?"

Aku terkejut dengan ucapan Naruto-kun, sebegitu mudahnya ia bilang cerai. Padahal seingatku dulu Naruto-kun adalah pria yang selalu memperlakukanku dengan baik.

"Naruto-kun jangan memutuskan apapun semaumu, aku tidak ingin kita bercerai"

Jujur saja air mataku hampir tumpah, berpisah dari Naruto-kun, aku sama sekali tak sanggup membayangkannya.

"Kau sendiri yang memulai Hinata"

Naruto-kun berkata seperti itu sambil membelakangiku. Aku sesenggukan sambil mengusap kasar air mataku yang mengalir. Aku mengerti, Naruto-kun mungkin sudah lelah. Aku memang selalu cemburu ketika ia bersama Shion. Tapi semua ini tentu bukan tanpa alasan. Sebagai seorang istri tentu saja aku tidak bisa tenang melihat suamiku berdekatan dengan perempuan lain. Ditambah lagi Shion itu wanita licik yang memanfaatkan suamiku. Tapi lihat saja, aku tidak akan membiarkan rumah tanggaku berantakan karenanya.

"Baiklah, kau boleh bersama dengan Shion, tapi bisakah kau tetap menjadi suamiku? Jangan ceraikan aku"

Aku memeluk punggungnya erat malam itu. Keputusan terakhir yang kubuat. Aku menyesalinya seumur hidupku. Tapi tak apa, asal Naruto-kun masih di sisiku, aku akan terus bersamanya apapun yang terjadi.

Ya, apapun yang terjadi.

.

.

Hahhh.

Aku mendesah lelah, Naruto terlambat pulang lagi. Ini sudah jam 11 malam, namun ia belum juga pulang.

Ceklek.

Kudengar pintu terbuka, aku menyusul ke arah depan, kulihat Naruto menenteng sebuah figura berukuran sedang di tangannya.

"Okaeri Naruto-kun, apa yang kau bawa itu?" tanyaku penasaran.

Ia tak menjawab dan langsung masuk ke dalam rumah. Ia berhenti di depan foto pernikahan kami. Aku semakin panik ketika ia menyentuh foto yang terpajang di dinding itu.

"Naruto-kun jangan turunkan foto itu!"

Ia tak menggubrisnya. Tuhan, apa salahku kali ini padanya, kenapa ia mencoba membuang satu-satunya foto kami.

"Demi apapun Naruto-kun jangan turunkan foto pernikahan kita!"

Aku terisak memintanya agar tidak menyentuh foto itu, tapi ia tetap menurunkannya. Kemudian ia mengambil foto yang tadi dibawanya dan mulai memajangnya di dinding menggantikan foto pernikahan kami. Kulihat ekspresinya menyendu.

"Maafkan aku, Hinata, maafkan aku" ucapnya.

Aku terpaku melihat foto yang baru saja di pajang oleh suamiku.

"Foto itu..."

.

.

.

TBC

.

.

Huwooo Valen baru nongol setelah sekian lama. Fict ini udah kutulis nyicil sejak beberapa bulan lalu di sela-sela kesibukan Valen dan sekarang baru kelar chap 1.

Akhir-akhir ini Valen jadi reader saja karena gak sempat nulis fict. Sempat nulis pun cuma untuk project Unbreakable Promise bersama ForgetMeNot09 (Nai) & Si Hitam. By the way sedikit bocoran untuk NaruHina lovers, fict kolaborasi pertamaku itu pairingnya NaruHina, jadi tetep ikutin aja ceritanya sampai selesai, muehehehe (itu bukan bocoran njir).

Pokoknya ikutin terus ceritanya! :v

.

R&R please.