"—terima kasih sudah berbelanja di Vokamart."

Kagamine Len, 23 tahun.

Fresh-graduate jurusan fisika, Universitas Vokajima, dengan IPK nyaris sempurna. Otak jenius dengan IQ tak perlu ditanya, wajah tampan memesona, ditambah dengan tubuh mungil menggoda.

Dengan semua hal itu, jika pun dia—dengan kata lain, diriku—tidak bisa ikut menciptakan roket bersama NASA seperti yang kucita-citakan, atau masuk ke dalam eksperimen fisika tingkat dunia di luar negeri, setidaknya aku masih bisa jadi gigolo dengan gimmick shota.

Tapi nyatanya, aku justru berada di tempat ini.

Berdiri di depan kasir salah satu outlet minimarket yang bisa kau temui tiap dua puluh meter kota Vokazuri, lengkap memakai seragam berwarna utama biru dan kuning.

Dengan celana bahan dasar warna hitam, serta boxer kuning agak kebesaran di dalam. Tak lupa juga celana dalam yang sedikit kekecilan, membuat Len Junior merasa sedikit gerah dan gatal, mamaksa Len Senior unuk menggaruk-garuk secara sembunyi-sembunyi dari pegawai lain.

Ehm. Lupakan yang barusan.

Harusnya, dengan ijazah fisika dengan nilai yang bisa membuat semua orang membelalakkan mata, aku saat ini bisa kuliah di luar negeri. Nilai plus kalau bisa di universitas tertentu di mana pendiri media sosial tertentu pernah kuliah.

Atau paling tidak, sebagai pilihan terakhir, aku bisa mejeng di mall, membuka-tutup pemantik api perak sebagai ciri khas gigolo, guna mengundang tante-tante kaya dan seksi (nafsuan lagi) untuk membeli jasa satu malamku.

"..."

Aku menarik napas panjang.

Sungguh, di mana aku salah ambil jalan?

Ijazahku tak berarti di hadapan kerasnya dunia kerja. Ketampanan serta keimutanku juga tak berarti di hadapan para tante girang, mengingat aku tak berani untuk mencoba jual diri, takut ejakulasi dini yang kumiliki mengacaukan segalanya.

Lelah. Aku benar-benar lelah. Baru empat jam sejak shift kerjaku yang dari pagi hingga sore ini dimulai, namun aku sudah ingin pulang, membawa satu-dua mie instan untuk dimakan di rumah.

Sembari aku berpikir, merenungi apa yang salah dari hidup seorang Kagamine Len (jika bukan semuanya), pelanggan terus masuk silih berganti. Tua muda, laki perempuan, perempuan mirip laki-laki, laki-laki mirip perempuan.

Seiring jarum jam yang berdetak, seiring dengan suara lemari pendingin minuman serta kotak besar berisi es krim yang berdengung seolah memancing untuk diklepto beberapa.

Bersama dengan kepalaku yang terus bertanya-tanya apa guna semua rumus dan persamaan yang aku pelajari selama masa kuliah, mulutku berkali-kali berbicara kepada para pelanggan, menawarkan pulsa serta mengingatkan kalau kantung plastik sekarang tidak gratis lagi.

"Selamat siang, selamat datang di Vokama—"

Lalu kemudian, di tengah-tengah kalimat yang entah sudah berapa kali aku ucapkan semenjak bekerja di sini, suaraku terhenti. Terpotong, berkat penampakan—masuknya seorang manusia yang mendorong pintu kaca minimarket dengan begitu anggunnya.

"Lho, Len?"

Tidak, sebenarnya cara ia mendorong pintu biasa saja. Mataku yang dijadikan papan sasaran tembak dewi asmara-lah yang membuat semua gerak-geriknya terlihat begitu anggun.

"... selamat datang di Vokamart."

Aku membuang muka.

Bukan, bukan. Kuakui ia cantik, dan kuakui aku barusan sempat mengkhayal ilusi kotor tentang dirinya, bagaimana nikmatnya jika ia mau mengelus Len junior dengan telapak kakinya. Namun alasanku membuang muka bukan karena itu.

"Kamu Len, 'kan? Kagamine Len, 'kan?"

Alasan utamanya (selain alasan kotor sebelumnya sebagai faktor sampingan), adalah karena aku sebetulnya mengenal orang ini.

Seorang gadis—mungkin saja bukan lagi 'gadis', mengingat dia seusiaku, yang mana sudah jauh melampaui usia rata-rata anak perempuan di negeri ini kehilangan keperawanan. Tapi, ah, terserah—dengan rambut warna toska yang terkuncir dua.

Gaya rambut yang seharusnya tak cocok dan terlalu kekanak-kanakan untuk ukuran wanita usia kerja, entah kenapa justru memberikan efek positif yang membuat dia jadi mencolok dan memberi sensasi aneh namun menyegarkan pada setiap mata yang melihat.

Dari pakaian yang dia kenakan, aku menduga kalau ia bekerja sebagai pegawai kantoran. Di bidang apa mana kutahu, bukan urusanku. Jika ada satu hal yang pasti, pasti adalah kenyataan kalau aku tak bisa menatap bola matanya yang bersinar terang, memiliki warna sama dengan setiap helai rambutnya.

"Maaf, Anda salah orang."

"Tapi nama di tanda pengenalmu itu tulisannya 'Kagamine Len', kok."

Refleks, aku mencoba menutupi pandangan matanya dari kartu pengenal yang tergantung di saku seragamku, mengabaikan tawa kecil dari sang (mungkin) wanita karier. Walau sekarang sudah tidak ada artinya lagi.

"Kamu lupa denganku? Ini aku, lho. Miku, Miku. Hatsune Miku. Dulu kita se-SD. Sekelas terus, lagi. Pernah pacaran lagi. Masa' lupa?"

"... oh, iya, iya. Maaf, aku baru ingat sekrang. Hai, Hatsune."

Datar.

Apa itu cara berbicara pada mantan pacarmu sewaktu SD yang kembali merebut hatimu sekarang, Kagamine Len? Aku benar-benar kecewa pada dirimu, diriku.

Rasanya agak aneh mengatakan ini sekarang, tapi biarkan aku mengakui sesuatu:

Gadis—perempuan ini, perempuan dengan warna serta gaya rambut super mencolok dengan nama Hatsune Miku yang sedang berdiri di seberang mesin kasir, adalah cinta pertamaku.

Atau lebih tepatnya, cinta monyet pertamaku.

Dia adalah gadis pertama yang ingin aku pegang tangannya, gadis pertama yang ingin aku elus rambutnya, dan gadis pertama yang ingin aku raba—atau minimal sentuh secara tak sengaja—payudara serta bokongnya.

Aku dan dia selalu berada di kelas yang sama sejak pertama kali masuk SD hingga kelulusan. Aku juga selalu berpikir kalau itu sudah ditakdirkan. Hingga kini pun, saat aku sedang menyaksikan film romansa sendirian, aku akan teringat dan kembali berpikir demikian.

Untuk ukuran pria tampan dan jenius (dan imut) dalam satu paket komplit, harus aku akui, track record percintaanku lumayan menyedihkan. Setidaknya dibanding para karakter pria yang punya trait sejenis di novel remaja kebanyakan.

Faktor utamanya mungkin karena sejak SMP, teori pintar = keren = populer yang berlaku dan memanjakanku semasa sekolah dasar, mulai berganti menjadi pintar = culun = tidak pernah diajak main futsal = sumber contekan = tidak bisa punya pacar.

Karena itu, kalau ada satu (dari sedemikian sedikitnya) kisah cinta seorang Kagamine Len yang dapat aku katakan sebagai indah, itu mungkin adalah deretan cerita cintaku semasa SD.

Terutama dengan perempuan di depanku ini.

Cinta pertama, pacar pertama.

Gadis pertama yang kupegang tangannya, walau tak sempat aku raba payudara atau pun bokongnya. Gadis polos yang teriak histeris saat ada anak laki-laki (anggap saja rival cinta yang cemburu) yang bilang pegangan tangan bisa membuat hamil.

Mengingat itu semua, aku tersenyum tipis.

Benar... Miku adalah gadis polos yang mencintaiku apa adanya. Ia (mungkin) tidak peduli dengan betapa payahnya aku dalam pacaran, atau betapa menjijikkannya senyumanku saat kami pegangan tangan.

Mungkin, bila aku mencoba sekali lagi...

Mungkin, jika aku kembali mencoba mendekatinya, hidupku yang berantakan dan menyedihkan ini bisa jadi sedikit lebih baik—

"Ah, maaf, Len. Tadi aku bilang 'Hatsune' biar kamu ingat. Tapi sebenarnya, sekarang aku sudah bukan Hatsune lagi."

"..."

Eh?

"Mama~"

Dari belakang, dari balik pintu kaca minimarket yang terdorong ke dalam secara perlahan, sambil berlari kecil, masuk seorang anak perempuan yang kelihatannya baru pulang dari taman kanak-kanak.

Dan di balik punggung anak itu, terlihat pria yang menyusul langkah gadis kecil di depannya. Pria yang dari wajahnya, hanya dapat aku bayangkan sebagai ayah dari anak kecil barusan.

"Belanjanya sudah?"

Mungkin karena melihat Miku berdiri di depan kasir, pria barusan bertanya demikian. Tapi yang lebih penting daripada itu—keberadaan pria tersebut, Miku, dan gadis kecil yang berada di antara mereka berdua.

Ini semua seolah-olah—

"Kaito, masih ingat dengan Len? Teman SD kita dulu."

Seolah-olah—

"Len, ini Kaito. Itu lho, anak yang dulu bilang bisa hamil saat aku pegangan tangan denganmu. Masih ingat?"

SEOLAH-OLAH—

"Sekarang dia suamiku."

Dan dari dalam hatiku, bersama dengan bunyi sesuatu yang pecah jadi berkeping-keping, aku bisa mendengar sebuah teriakan yang terlalu mengenaskan untuk diperdengarkan.


— (o) —


Vocaloid © Yamaha, Crypton.

Penulis tidak mengambil keuntungan apa pun dari cerita ini. Kecuali kesempatan menyiksa karakter. Terutama Len. Terutama Len.

Peringatan:

Memiliki indikasi Len/Harem. POV orang pertama. Cerita lawak dengan plot. Plotnya ada, tapi lebih utama ke lawakan episodiknya.

Lawakannya kebanyakan lawak basah (?) yang cowok banget, jadi mohon maaf bagi yang enggak kuat. Dan bagi kalian, para perempuan, tolong pahami dengan baik kalau cerita ini tidak menggambarkan isi kepala atau pun keseharian penulis, tapi Len. Gak dusta, sumpah.

Re: Childhood —
— 00:
Return


— (o) —


"KEPARAAAAAAAT!"

Aku berteriak kencang dari puncak gedung yang baru setengah dibangun, di kegelapan malam di mana seluruh pekerjanya sudah meninggalkan lokasi kerja mereka sebagai kuli.

Hanya dengan melangkahkan kaki satu kali saja, tubuhku akan patuh pada hukum gravitasi, yang mana akan membuat tubuhku jatuh dari ketinggian enam lantai dengan kecepatan maksimum.

Dengan menganggap percepatan gravitasi sepuluh meter per sekon kuadrat, dan berat badanku yang cuma lima puluh kilo, serta tinggi gedung yang satu lantainya sepuluh meter, itu berarti aku akan terjatuh dengan energi potensial sebesar 30.000 Newton.

Dan dengan rumus gerak jatuh bebas (di mana kecepatan sama dengan akar dari dua kali percepatan gravitasi dikali ketinggian), aku bisa tahu, kalau tubuhku akan menghantam tanah dengan kecepatan 20√3 m/s.

Kalau kau pikir itu cukup lambat, tolong ingat bahwa rekor tercepat manusia adalah 40 meter dalam 4,2 detik. Itu artinya, aku akan menghantam tanah dengan dua kali kecepatan lari Eyeshield 21. Lagian, tanpa memikirkan kecepatan pun, jatuh dari lantai enam sudah jelas berujung pada kematian.

Aku juga sebenarnya bahkan bisa menghitung berapa tinggi tubuhku akan terpelanting ke atas dengan rumus benturan, namun sayangnya aku tak tahu apakah tubuh manusia termasuk ke benda lenting sempurna, lenting sebagian, atau justru tidak lenting sama sekali.

Tapi dari semua rumus fisika SMP dan SMA di atas, kesimpulannya hanya satu: begitu aku sampai di bawah sana, tanpa diragukan lagi, aku, Kagamine Len, akan segera menemui ajalnya.

"KENAPA, TUHAN?! KENAPA KAU BEGITU TIDAK ADIL?!"

Meneriakkan seluruh udara di paru-parumu—yang mana sebenarnya mustahil, karena ada 1000 cc udara residu yang tersisa—di tempat kosong tanpa takut didengar orang seperti ini benar-benar hal yang menyenangkan.

Sangat disayangkan aku baru tahu hal itu saat aku hendak mati dalam beberapa detik selanjutnya.

Aku berniat bunuh diri.

Jika ditanya alasannya apa, mungkin karena aku lelah dengan kehidupan. Karena aku lelah berusaha lepas dari kecanduan film porno sehari sekali. Karena aku lelah menawarkan pulsa dan mengingatkan kalau kantong plastik kini sudah tidak gratis lagi.

Intinya, aku ingin mati.

Pemicu utamanya mungkin adalah Miku.

Benar. Miku. Hatsune Miku. Teman masa SD-ku, kekasih masa kecil yang selalu aku cintai (walau sebenarnya aku baru ingat sekarang) sepenuh hati dari pertama kali berjumpa.

Ia menikah di usia 19 tahun, berhenti kuliah, dan punya hidup bahagia dengan suami pengusaha sukses (non-sarjana, lagi. Kuulangi, NON SARJANA) dan satu anak perempuan yang membangkitkan jiwa pedofil para maniak.

Dan lagi, si pasangannya, pria sialan yang merebut gadis bagai bidadari surgawi itu dariku, adalah Shion Kaito, manusia brengsek kurang diuntung (dan bukan sarjana) yang dulu selalu mengganggu kisah cinta masa kecilku bersama Miku.

Aku curiga, jangan-jangan pria bertitit ukuran sosis (asal) itu berpesta pora saat tahu aku dan Miku harus putus karena beda SMP, sedangkan ia (katanya) satu sekolah terus dengan Miku hingga SMA. Ia pasti sudah mengincar itu.

"AAAAAAAA!"

Tak peduli betapa kerasnya aku berteriak, meluapkan kekesalan akan banyaknya hal menyebalkan yang terjadi dalam hidupku yang terbilang singkat dibanding usia kematian rata-rata negeri ini, tetap tidak akan ada yang berubah.

Miku tak akan cerai dengan Kaito.

Aku akan tetap jadi pegawai Vokamart, menawarkan pulsa dan mengingatkan kalau kantong plastik sekarang sudah tidak gratis lagi.

Aku akan tetap jadi pria menyedihkan yang baru bisa tidur setelah bermasturbasi sambil menyaksikan film porno bertema kakak perempuan berkacamata yang sedang kugemari akhir-akhir ini.

"AAAAAAA!"

Aku berteriak lagi.

Membayangkan pernikahan Miku, membayangkan proses pembuatan anak antara Kaito dan Miku yang begitu mesra, aku berteriak, sebagai akibat dari perasaan yang hanya mampu kudeskripsikan sebagai self-netorare.

Sudah cukup.

Aku tak tahan lagi.

Aku sudah muak dengan dunia yang busuk ini. Walau tubuhku yang masih muda dan indah ini masih terlalu bagus untuk membusuk, aku sudah tak peduli lagi. Jiwaku tak akan mampu bertahan lebih lama.

Aku tahu kalau mati itu menyakitkan.

Aku tahu jika aku terus hidup, bisa saja suatu saat kebahagiaan akhirnya akan datang ke hidupku ini.

Aku juga tahu kalau kematianku akan merepotkan banyak orang. Terutama para pekerja di gedung ini. Maaf, para bapak-bapak yang tak kukenal, tapi tolong singkirkan mayatku dengan sukarela.

Tapi mau bagaimana lagi.

Benar—mau bagaimana lagi.

Aku memejamkan mata, melangkahkan kaki ke depan, ke atas udara kosong di mana tiada tempat untuk berpijak.

"..."

Aku tak berbicara. Aku hanya diam, menikmati udara dingin dan kasar yang seolah meniup nyawaku, bersama dengan detik-detik hancurnya kepala yang telah kupastikan akan menghantam tanah duluan.

Di saat terakhir, aku membuka mata.

Entah kenapa. Mungkin karena iseng.

Tadinya kupikir apa yang akan tampak di kedua mataku adalah rekaman-rekaman dari setiap peristiwa yang telah kualami, baik yang kusenangi atau pun yang kusesali.

Kau tahu, seperti di fim-film.

Tapi, yang terlihat di mataku yang akan tewas dalam beberapa detik lagi ini bukanlah hal bernuansa mistik semacam itu. Walau apa yang kulihat sekarang juga masih dapat digunakan sebagai sesuatu yang mungkin sama mistisnya.

Aku melihat—

Seorang anak perempuan.

Di tempatku berdiri sebelumnya, duduk manis dengan kaki yang digoyang-goyangkan. Walau pun jarak antara aku dan ia terus menjauh, aku masih bisa melihat lekuk di bibirnya. Gadis yang tak aku kenal itu...

... tersenyum.

Anak perempuan dengan rambut pirang sebahu tersebut, tersenyum kecil, pada diriku yang terus meluncur menuju neraka.

Sosoknya yang tak aku kenal itu, entah kenapa, memberikan sensasi nostalgia yang tak dapat aku mengerti.

Tanpa sempat aku bertanya-tanya darimana ia datang, sejak kapan ia ada di sana, atau pertanyaan tak penting lainnya yang bisa kau pikirkan sendiri, dia mulai berbicara.

Dengan suara yang terdengar sangat dekat, walau jarak antara kami sudah melebihi lima lantai.

Dengan suara lembut, yang seolah berbisik langsung di telingaku yang seharusnya tuli oleh udara yang mengalir dengan deras.

Ia berkata—

"—akhirnya kita bisa bertemu, Niichan."


Bersambung —


Afterwords:

Uh, halo. Elpiji di sini.

Pertama-tama, saya mau minta maaf karena Saat Boneka Menari sudah tidak diapdet selama tiga bulan. Alasannya, karena saya lagi stuck dan enggak tahu mau gimana ngelanjutinnya. Padahal dikit lagi tamat.

Ntar pasti saya lanjutin, kok. Serius. Entah kapan.

Jadi, mengenai serial baru ini...

Suatu hari, saya berpikir, "Ah, kalau gue bisa balik ke masa SD dengan pengetahuan tingkat SMA, gue pasti bisa dapet nilai ulangan sempurna."

Dan terus berkembang. Jadi gimana saya bisa ngedeketin ulang temen SD yang pas SMA ini jadi bujug-buset-cantik-banget, atau gimana saya bisa jadi murid SD super yang sok ngelawan guru karena gak peduli sama nilai.

Dan demikian, setelah percampuran beberapa ide yang enggak kepake, jadilah cerita ini.

Masalah fisika itu...

Gara-gara enggak bisa ngejawab satu soal pun di olimpiade fisika beberapa waktu yang lalu, belakangan saya lagi punya hubungan traumatis dengan pelajaran satu itu, jadi, yah... maafkan diri ini yang numpang terapi pribadi di cerita.

Ah, ini baru prolog, jadi masa SD-nya belum ditampilin. Mulai episode depan Len sudah masuk ke dalam badan anak SD, jadi ditunggu, ya~

Sampai jumpa.

Mari berdoa serial ini enggak bakal ditelantarkan. Lagi.