Big Hero 6 © Disney & Marvel

Story © shirayuha (me)

.

.

.

.

Halo, salam kenal.

Daku author newbie di ffn, panggil aja 'shirayuha' atau 'ryuha'.

Sebenernya ini bukan ff pertamaku, udah banyak bikin tapi biarlah ini yang menjadi pertama di ffn *tsah*. jadi mohon maaf apabila ada typo bejibun, OOC, dll yang kurang berkenan.

mohon bimbingan dan kerjasamanya ya! terimakasih!

Selamat Membaca!

PART 1

Hiro's PoV

Hari ini tepat 3 tahun yang lalu insiden yang merenggut nyawa Tadashi terjadi, mungkin tak banyak orang yang mengingatnya. Tapi aku masih mengingatnya dengan sangat jelas. Ketika dia berlari membiarkan aku melihat punggungnya yang masuk ke dalam si jago merah dan membiarkan topi kesayangannya jatuh di hadapanku.

3 tahun bukan waktu yang singkat, kini aku sudah menjadi seorang sarjana lulusan San Fransokyo Institute of Technology di umur yang terbilang masih sangat muda, 17 tahun. Banyak perubahan yang kualami, kini aku bukanlah Hiro yang pendek lagi. Tinggiku bertambah cukup pesat, perubahan suaraku menjadi lebih besar, bentuk fisikku yang mungkin bidang seperti milik Tadashi, dan mungkin beberapa hal lainnya yang takku sadari. Apa yang kukerjakan setelah selesai kuliah? Tidak ada, aku memutuskan untuk tidak bekerja. Pekerjaanku sehari-hari saat ini, hanya membantu Bibi Cass di Lucky Cat Cafe.

Pagi di hari ini Lucky Cat Cafe tetap ramai seperti biasanya, banyak orang yang datang untuk sarapan atau sekedar menghabiskan waktu di pagi hari. Aku membantu Bibi Cass untuk mencatat dan mengantar pesanan, sedang yang dilakukannya? Hanya bermain dengan Mochi, maskot Cafe ini, dan sesekali berbincang ramah dengan pelanggan.

Saat aku sedang asyik dengan lamunanku di meja kasir, seorang gadis yang asing—belum pernah kulihat—datang ke cafe dengan berpenampilan cukup misterius. Jaket dengan tudung yang dipasang cukup membuat gadis itu dicap misterius olehku. Ku pikir dia bukan pribumi, karena aku memang baru melihatnya. Kuberikan salam selamat datang dengan senyuman kepadanya, gadis itu membalas dengan anggukan canggung.

Kuikuti dia sampai duduk di tempat yang ia pilih, dan memperlakukannya sama seperti pelanggan yang lain. Kutanyakan apa yang akan ia pesan.

"Um, permisi. Apakah ada yang ingin anda pesan?" tanyaku sambil bersiap menulis pesanan.

Tapi nihil, gadis itu hanya diam saja. Kutanyakan sekali lagi sambil mencoba melihat wajahnya yang tertutup tudung jaketnya. Gadis itu menatapku sambil tersenyum polos. Aku bingung, kutanyakan sekali lagi apa yang akan dia pesan. Dan yang gadis itu lakukan membuka tudung jaketnya. Rambut coklat sebahunya yang terlihat lembut, wajahnya yang terlihat sangat polos, dan mata coklat pekatnya membuatku sedikit... terpesona.

"Maaf, suaramu kurang terdengar. Sepertinya alatnya rusak." Ujar gadis itu sambil tersenyum. Kemudian ia mengambil sesuatu dari kedua lubang telinganya, sebuah alat bantu pendengaran? Pantas saja ia tak menjawab pertanyaanku tadi, rupanya alat itu sudah rusak.

"Um t-tidak apa-apa." jawabku singkat.

"Apa disini keluarga Hamada tinggal?" lalu gadis itu kembali mengeluarkan suatu alat dari mulutnya dan mengambil sebuah alat lagi dari leher bagian belakangnya. Aku tertegun, cukup banyak alat bantu yang ia pakai. Ada apa dengan gadis ini? Yang kulakukan hanya mengubur rasa penasaranku dalam-dalam.

DEG.

Kutarik keputusanku untuk mengubur rasa penasaranku tentang gadis ini, mataku membulat menatap gadis itu. sudah cukup, rasa penasaranku sudah berada pada puncaknya. Aku duduk di kursi yang berhadapan dengannya. Dan seperti akan mengintrogasinya.

"Sebenarnya disini sanak saudara keluarga Hamada tinggal..." sebelum selesai menjelaskan jawaban dari pertanyaan gadis itu, aku berhenti sejenak. Terlihat gadis itu nampak kebingungan dengan apa yang kubicarakan, gadis misterius ini mengeluarkan sebuah note kecil dan pensilnya kemudian menuliskan sesuatu disana:

"Maaf, ini sering terjadi. Alat bantunya tiba-tiba rusak dan aku tidak dapat mendengar atau pun berbicara."

Aku kembali tertegun membaca kalimat yang ia tulis, kuambil pulpen disakuku dan membalas yang gadis itu tulis.

"Tak apa, tenang saja. Aku akan memperbaiki alat bantumu. Siapa Namamu?"

"Hana."

Yang kutahu saat ini, hanyalah namanya, Hana. Nama yang manis. Aku masih belum mengenalnya lebih jauh, sebenarnya siapa dia? Dari mana asalnya? Ada hubungan apa dirinya dengan keluarga Hamada? Dan kenapa dia datang kesini? Aku belum tahu, tapi aku akan mengetahuinya setelah kuperbaikin alat bantu dengar dan bicaranya di lab pribadiku.

Dengan bahasa tubuh aku mengajaknya untuk pergi, ia pun mengerti dan mengikutiku. Aku meminta izin pada Bibi Cass untuk tidak membantunya sebentar, dan untungnya beliau mengizinkan.

Kutarik tangannya agar ia tak tertinggal dan kehilangan jejakku. Hana orang baru disini, pasti ia akan kebingungan kalau tersesat, terutama dengan kondisinya yang tidak memungkinkan. Jarak lab pribadiku—garasi bekas— tak jauh dari Lucky Cat Cafe, jadi tidak perlu memerlukan waktu lama untuk sampai.

Sesampainya di lab pribadiku, aku meminta Hana untuk memberikan alat bantunya padaku dan menyuruh Hana untuk berdiri dan menelentangkan tangannya—tentunya dengan bahasa isyarat dan bahasa tubuh. Kuambil alat scan dan memulai scanning pada Hana.

Kulakukan berbagai cara untuk memperbaiki alat itu, dan ada hal yang mengejutkan saat aku sedang mengutak-atik alat tersebut. Sesuatu yang tak asing ada disana. Lambang Baymax? Kau tahu, ya lambang mata Baymax. Ada di alat yang Hana pakai. Sesegera mungkin aku perbaiki alat itu dan memberikan beberapa pembaruan. Berhasil.

...

"Hai, kau bisa mendengarku?" sapaku pada Hana yang baru saja memasang alat bantunya. Sudah sejak beberapa menit yang lalu kami ada di rumah, di kamarku tepatnya. Hana terlihat ragu, ku ulang sekali lagi sapaanku.

"Hai, kau bisa mendengarku?"

"Ya."

Hana menjawab, itu berarti alatnya berfungsi dengan baik. Senyum manis terlukis lagi diwajahnya, dan lagi-lagi membuatku sedikit... tersipu?

"Maaf sudah merepotkanmu tadi, apa boleh perkenalannya kuulang?" tanya Hana dengan sedikit keraguan tergambar diwajahnya yang membuatnya terlihat cukup manis. Ah lupakan, lagi-lagi aku berpikiran seperti orang mesum!

"Ya, tentu saja. Halo, Namaku Hiro Hamada. Senang berkenalan denganmu."

"Aku Hana, hanya Hana dan hanya Hana. Senang bertemu denganmu, Hiro. Oh ya!"

"Ng? Ada apa?" yang ditanya malah diam.

Kuperhatikan Hana yang baru menyadari sesuatu yang harusnya ada tapi tidak ada, dia menelusuri seisi kamarku dengan matanya.

"Tadashi."

Satu nama yang terucap dari bibirnya, berhasil membuatku terpaku dan hampir meneteskan air mata. Kupegang pundak Hana, dan mengajaknya duduk di tepi kasurku. Aku menatapnya dengan tatapan sendu, dan ia menatapku juga, dengan tatapan penuh harap— yang entah kutak mengerti apa maksudnya.

"Hana." Bibirku mulai berucap.

"Ya?"

"Darimana kau kenal kakakku, Tadashi?"

Perbincangan di atmosfir sendu itu membuatku mengetahui beberapa hal yang sedikit mengejutkanku. Hana adalah seseorang yang sudah ditolong oleh Tadashi, ia mengalami masalah dengan pendengarannya dan kecakapan berbicaranya. Hana mengatakan bahwa yang membuat alat bantu ini adalah Tadashi, Dan Tadashi menyuruh Hana untuk datang kepadanya kalau-kalau alatnya mulai tidak berfungsi optimal, itu adalah hari ini. Tadashi lah yang telah menolongnya dari keterpurukan kehidupan adalah Tadashi, dan yang telah mengubah dunianya adalah Tadashi. Tadashi adalah pahlawan bagi Hana.

Ketika Hana menceritakan kisahnya dengan Tadashi, tanpa kusadari air mataku mulai mengalir di pipi. Hana yang menyadari hal itu langsung menghentikan ceritanya dan mengusap air mataku dengan sapu tangan manis berwarna biru paste—yang kutebak itu miliknya dan berhasil membuatku tersipu, lagi.

"A-ada apa Hiro? Kenapa kau menangis? Apa aku sudah mengatakan hal yang buruk soal Tadashi atau soal keluargamu?" tanya Hana penuh perhatian terhadapku, aku yang ditanya malah menggeleng pelan.

"Tidak kok, aku tidak menangis. Hanya terlalu lama melamun hahaha" jawabku seadanya berusaha untuk meyakinkan Hana bahwa tidak ada hal yang aku sembunyikan.

"Oh, um, baiklah. Mungkin sebaiknya aku sudahi dulu ceritanya. Aku ingin bertemu Tadashi."

Oh Tidak.

Aku harus bagaimana, tuhan? Membiarkan seseorang yang sudah lama tak bertemu dengan Tadashi mengetahui bahwa Tadashi sudah tiada, atau aku membuat kebohongan terbesar dalam hidupku dan mengatakan bahwa Tadashi sedang entah kemana?

"Hey Hana, kalau boleh tau umurmu berapa?" celetukku mencoba lari dari topik Tadashi.

"16 Tahun, dan tahun ini tepatnya besok adalah umurku yang ke 17!" jawab Hana penuh dengan keceriaan. Aku hanya bisa melukis senyum palsu diwajahku, betapa jahatnya aku. Memberikan kado terburuk di dunia untuk hari ulang tahunnya. Tuhan, aku harus bagaimana?

"Jadi, kau ada rencana merayakannya bersama Tadashi, huh?" tanyaku dengan wajah sedikit meremehkan untuk membuat cair suasana.

"Ng.. tidak ada sih. Oh ya Hiro, kalau Tadashi sedang berkunjung ke tempatku, dia sering bercerita tentangmu lho! Katanya dia mempunyai adik yang seumuran denganku, dan adiknya itu sangaatt jenius. Aku sangat kagum! Ternyata itu kamu ya? Dan ternyata yang Tadashi ceritakan itu benar ya. Kau sangat cerdas, dan baik. Tadashi pernah mengatakan: 'Tolong jaga adikku ya, dia sangat nakal.' Begitu katanya, tapi kau kan sudah besar sekarang, masih nakal tidak ya? Tadashi juga bercerita kalau disini ada kucing lucu bernama Mochi. Aku pensaran!"

Sejenak setelah Hana asyik dengan ceritanya, aku mendekapnya dalam pelukanku yang erat.. sangat erat. Aku merasakan Hana kaget, tapi aku tak peduli, aku ingin memeluknya. Semakin erat.

"Hana, Tadashi sudah tiada."

Tak kudapati respond dari Hana, yang kudapat hanya getaran tubuh yang sedang menangis, dan suara isak tangis dari dalam pelukanku. Maaf Hana, aku benar-benar tak bermaksud menyakitimu, tapi jika kau bercerita terus tentang Tadashi itu akan semakin menyakitimu juga menyakitiku.

Kudekap erat-erat Hana dalam pelukanku, tangisnya belum reda juga. Malah semakin lama semakin terkesan histeris. Sakit... mendengar tangisan Hana aku merasa sakit, entah kenapa rasanya hatiku seperti disayat seribu silet. Aku ikut menitikkan air mata walau tak mengeluarkan suara yang keras. Sesekali kuusap rambut Hana, dia masih menangis.

Tangisan di malam itu, takkan kulupakan...

.

.

.

.

Selesai!

Awalnya agak ragu ngepost cerita ini karena kendala pengetahuan (?) teehe :9

tapi ya dengan modal nekad, akhirnya diposting juga.

Gimana menurut kalian? kalau ada komentar silakan review aja ya..

See ya!