Telinga tajam berperan ikut ambil untuk mencuri-curi dengar dengan percakapan ringan yang dinodai dengan tawa-tawa palsu, keluar dari bibir-bibir terawat milik baik pria maupun wanita yang berada dalam jangkauan meja makan panjang di ruang makan keluarga Akashi yang dibatasi pilar-pilar pahatan sempurna.

Seijuurou melirik, mendapati jam dinding yang melekat di tembok, bentuknya yang standar—lingkaran dengan warna cat putih kertas berada di antara dua buah pilar berukiran bunga menjulur yang bersatu dengan tanaman parasit menunjukkan bahwa makan malam akan selesai dalam waktu kurang dari lima belas menit.

Ia hanya perlu bersabar sedikit lagi.

Siapa yang menyangka ayahnya akan mengadakan upacara makan malam formal yang mengundang keluarga-keluarga darah biru lainnya yang bahkan tak pernah didengar marganya. Meski begitu sebagai penerus satu-satunya sebagai tuan rumah, kabur dari jadwal tidak pernah menjadi pilihan.

Mungkin terdengar mudah, menunggu kurang lebih lima belas menit—ah, tiga belas menit karena dua menitnya sudah dilahap habis oleh sekrup-sekrup otak yang terus memperkerjakan diri secara buas, ia tak habis pikir. Tapi siapa sangka ayahnya akan mengangkat topik yang selama ini dianggapnya haram, tidak pantas untuk dibawa karena baik itu mengungkit dirinya yang tidak terlalu menyukai menjadi pusat perhatian di tengah percakapan yang tak menarik minat, ia juga tak suka dengan topik yang mengatur hidupnya.

"Ah, apa putra Anda sudah memiliki rencana seperti ... siapa yang akan menjadi pasangan hidupnya, mungkin?" Mata Seijuurou teroper tajam dari sudut ke satu ke yang lainnya, menusuk sosok wanita dengan rambut pirang emas bertumpuk-tumpuk yang menghabiskan waktu paling sedikit dua jam untuk menatanya.

Apa-apaan, mengangkat dirinya menjadi topik pembicaraan secara tiba-tiba? Dan lebih lagi, bukankah hal ini seharusnya menjadi masalah pribadi dirinya dengan—dirinya sendiri? Karena Seijuurou tak mengenal kata berunding jika hal itu menyangkut dengan bagaimana ia hidup. Ia hidup bukan untuk diatur.

Dalam waktu singkat seluruh penglihatan menaruh fokus pada sosok Seijuurou yang duduk di samping kanan sang Ayah, tengah meletakkan sendok platinum kecil yang semula berada dalam genggaman untuk mengedarkan potongan puding berlapis vla susu masuk ke dalam mulutnya.

Seijuurou tak sanggup mengulum senyum, wanita itu telah membakar habis kesabarannya. Terlebih lagi ketika bisikan mulai terdengar dari setiap sudut yang masih berada di dalam wilayah.

"Saya sedang memikirkannya," siapa ayahnya yang berani mengatur hidupnya, memberikan jawaban seperti itu? Bukan berunding tentunya, tetap meminta persetujuan pada dirinya terlebih dahulu—hal itu wajib dilakukan, camkan baik-baik.

"Mungkin nanti saya kan menjodohkannya dengan salah satu penerus ... yang masih belum memiliki tunangan."

Kening Seijuurou berkerut, tampak jelas kalau ia tak setuju.

"Yah, untuk sementara ini—"

"Otou-sama," panggilan itu mendinginkan suasana, tidak hanya satu wanita di sana yang merasakan otot-otot mereka menegang ketika suara yang bergelar dikumandangkan tajam.

"Aku, sudah memiliki kekasih." Keributan mulai meletup-letup di sana sini, pembicaraan singkat antara teman yang duduk di sebelah atau di seberang, maupun bisikan-bisikan tak jelas masuk ke dalam pendengaran Seijuurou.

Wajah ayahnya padam, dan Seijuurou puas melihatnya. Siapa peduli ia harus menghadapi sisi murka ayahnya sekali lagi, ia pun sudah dibuat murka malam ini ketika waktu menghitung mundur.

"Kalau begitu, kenapa tidak kaubawa ia kesini, toh kami ingin bertemu dengannya?" Sindiran itu sarkastik, tajam dan terdengar bahwa si pembicara kesal telah dipermalukan di depan sekian banyak pemegang usaha terbesar di negeri ini.

Seijuurou memberikan kesempatan pada adonan lembut dingin itu untuk merayapi dinding kerongkongannya sebelum ia menjawab jelas.

"Sibuk, kuharap Otou-sama mengerti."

"Carikan waktu," seperti ayah, seperti anak, ketika perintah sudah dititah, tak akan ada yang dapat menganggapnya angin lalu.

Seijuurou memejamkan kedua matanya, merasa lelah dengan semua ini.

"Akan kucarikan waktu," tanpa menyadari ia telah menggali salah satu dari banyak potongan kebohongan yang akan menyusun diri di kehidupannya.


Prologue

Sweetest Sin

Disclaimer:

Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujimaki

Sweetest Sin © Ayano Suzune

Note: umur AkaKuro di fanfic ini 20-21 tahun.


"Segelas lagi, Tuan?" Seijuurou tak langsung menjawab, menikmati panasnya cairan berbuih kekuningan yang melesak masuk secara paksa dalam kerongkongannya, bukannya ia ingin perlahan-lahan untuk minum. Gerakan meneguk secara keseluruhan itu tidak pernah menjadi sebuah kecelakaan, ia memang ingin menghindari diri untuk sejenak.

Wajahnya dilumasi warna merah tipis, lebih muda dari mahkotanya sendiri hingga berwarna agak kemerahmudaan.

Seijuurou meletakkan gelas kaca tinggi yang semula menampung minuman beralkohol yang baru saja ditandasnya dalam satu hisapan, pandangannya buram dan titik-titik kehitaman mulai merasuki penglihatan.

Tak akan ada yang peduli bahwa Akashi Seijuurou berada di sini, di tengah-tengah gay bar yang merupakan tempat mayoritas laki-laki yang memiliki orientasi seksual sejenis.

Tidak peduli jalur-jalur yang dibentuk oleh cairan kuning bening itu bermuara di dagunya sebelum menjetikkan diri di atas meja kayu yang belum dipoles lagi sejak seminggu yang lalu. Seijuurou membiarkan kedua irisnya menatap ke arah lawan bicaranya.

"Segelas lagi." Bartender itu mengangguk, bukan tugasnya untuk melawan kemauan seorang pelanggan.

Lagi-lagi Seijuurou menghabiskan gelas ketujuhnya dengan sekali teguk, hisapan rakus untuk membiarkan tenggorokan, kawah mulut, dan lidahnya terbakar oleh selera menggoda dari minuman beralkohol yang berasal dari anggur yang sudah difragmentasi.

Membanting gelas kaca itu untuk mencium permukaan kayu secara kasar, Seijuurou seharusnya beruntung karena tidak ada permukaan gelas yang retak karena aksi brutal itu.

"Segelas la—"

"Maaf," deru napas Seijuurou meningkat, merasa harga dirinya diinjak, atau sama sekali tak dianggap ketika ada orang yang berani menginterupsi saat ia hendak mengeluarkan titah.

Dengan cepat ia menolehkan kepala ke arah barat, hanya untuk menemukan sosok ringkih yang tampaknya belum menenggak setetes pun alkohol malam ini.

Apa dia laki-laki?

Seijuurou lebih berpikir kalau ia perempuan.

Dengan kulit semulus porselen, putih seperti berlian seolah tubuh itu berendam dalam kolam susu setiap harinya. Bulu mata lentik tanpa sapuan cairan maskara, bibir mungil yang terpahat sempurna dengan warna mawar merah muda mengisi bentukannya, dan kedua kelereng kebiruan yang mengingatkannya pada langit puncak musim semi dimana pohon-pohon sakura dengan bangganya membuka bunga-bunga mereka yang siap menghujani kota dengan kelopak merah jambunya.

Gila. Ia pasti bukan laki-laki.

Ia pasti perempuan.

"Ano, apa Anda punya vanilla shake?" Baik Seijuurou maupun bartender yang sama terdiam, mendengar permintaan yang tak lazim untuk dihantarkan pada bar seperti ini dimana semua orang memuaskan hasrat dengan melakukan hal-hal yang menentang moral dan minum hingga mereka menyadari bahwa fajar mengejar waktu.

Tawa terbahak dari bartender itu mengisi atmosfir dengan frekuensi yang agaknya dilebih-lebihkan, menunjukkan pemandangan akan gigi-gigi kuning berbaris rapi yang menyusun bentukan bibir. Sementara pemuda—manusia yang baru saja menginginkan sesuatu untuk memuaskan dahaga tak melepas suku kata, wajahnya datar seperti sediakala.

"Maaf, apa saya mengatakan sesuatu yang ... lucu?"

Tawa itu akhirnya melambatkan diri, sebelum lelaki tua yang sudah hampir lanjut usia itu mempertemukan kedua mata mereka dalam garis lurus yang sengit, memancarkan sesuatu yang tak diketahui. Mungkin Seijuurou dapat mengetahuinya, sayang sekali kondisi mabuknya tak mendukung untuk saat ini.

"Hei, anak muda—"

"Kau bercanda?" Suara Seijuurou lebih dulu mengambil kekuasaan atas seruan yang tinggi, menatap tajam ke arah bocah yang duduk di sampingnya dengan pandangan tak terima, sinis dan sengit. Masih kesal rupanya ketika ia tak diacuhkan begitu saja sementara anak itu mengeluarkan titah yang tak waras baginya.

Ia masih belum mengetahui jenis kelamin manusia yang duduk di sebelahnya, umurnya pun bukan menjadi penyokong dirinya untuk berteriak yang mungkin hanya dibesar-besarkan untuk perkenalan semata.

Tapi kedua mata yang polos itu—Seijuurou tidak menyukainya.

Seijuurou membencinya.

Mata itu seolah memandangnya dengan tatapan remeh.

Tidak, tidak ada yang boleh memandang rendah dirinya.

"Apa kau bahkan sudah dapat membersihkan sisa-sisa kotoranmu sendiri?" Cercaan keluar dari mulut si kepala merah, tak kenal ampun apakah ia menyakiti sang lawan bicara yang masih diam tanpa ekspresi yang berubah di wajah. Tak ada kerut ataupun syaraf yang terangkat, tak ada otot yang berkontraksi maupun berelaksasi.

Membuat Seijuurou tambah murka ketika poin bahwa bocah ini menganggapnya rendah semakin ada; ia sama sekali tak dianggap sekarang.

"Masuk ke bar seperti ini?" Dengusan angkuh terdengar jelas, seolah mencemooh makhluk hina yang berada di hadapannya. Bahkan kedipan matapun tak kunjung muncul. Manusia macam apa dia?

"Atau tidak bisa membaca papan palang yang mengatakan kau diizinkan melangkahkan kaki sekurang-kurangnya usiamu delapan belas tahun?"

"Saya hanya—"

"Apa."

"Menemani seorang kawan," nada bicaranya monoton, Seijuurou benar-benar harus menahan diri untuk tidak segera merobek wajah cantik yang berada di hadapannya. Pengaruh alkohol membuat dirinya mengutamakan ego dan nafsu di atas segalanya, akal sehat bahkan tidak dapat mengapungkan diri di atas kolam pikiran.

"Kenapa kau tidak memasuki bilik-bilik sempit itu dengannya sekalian?" Desisan tajam menggeliat keluar dari lidahnya, Seijuurou bahkan tidak sama sekali mencoba untuk menahan diri. "Dan melakukan persetubuhan yang kuyakin diinginkannya."

Karena bocah seperti ini memiliki pengetahuan apa, sih?

"Maaf, sebaiknya Anda tidak membicarakan Kagami-kun seolah ia lelaki bajingan seperti itu," raut wajahnya masih datar, matanya pun tak memancarkan apapun. "Saya bisa marah."

Seijuurou menderai tawa, membiarkan dirinya dikontrol alkohol yang menurunkan kemampuan otaknya untuk merasakan sekelilingnya.

"Kaupikir ini tempat bermain kanak-kanak, dipenuhi jungkat-jungkit dan dapat dijeboli oleh anak-anak seusiamu?"

"Maaf, tapi tahun depan saya dua puluh satu tahun," kening Seijuurou berkedut ketika ia mendapati kalkulasinya salah. "Saya dua puluh tahun ini."

"Sudah kubilang jangan bercanda!"

"Maaf," teguran itu mendidihkan darah Seijuurou, ia benar-benar ingin merobek wajah, terlebih lagi mulut yang agaknya gemar mencerocos terus-menerus tanpa kenal batas itu. "Tampaknya Anda dikuasai oleh alkohol, Anda mabuk."

"Kau tidak akan bicara tentang diriku!"

"Saya hanya berbicara tentang fakta," kilat mata Seijuurou membesar, membuat mereka yang berada di sekeliling meja minum bagian depan untuk mengundurkan diri beberapa inci dari aura yang membunuh.

Seijuurou maju, tangannya tak dapat menginjak rem untuk menghentikan diri dalam membuat pergerakan. Mencengkeram kuat kerah pakaian pemuda itu yang merupakan kemeja putih sopan, sama sekali berbeda dengan mereka yang berdatangan dengan tiga sampai empat kancing teratas dibuka, Seijuurou kalut, ia tak peduli.

Lima sentimeter memisahkan dua rupa yang dipahat sempurna, bawan sejak lahir. Kepulan napas Seijuurou yang menderu-deru liar menumbuk permukaan kulit porselen suci.

"Jangan pikir kau tidak akan mendapatkan apa-apa dariku atas imbalan dari mulut besarmu yang tidak tahu kapan harus berhenti."

"Maaf, sekali lagi, tapi saya tak tertarik. Tidak tertarik dengan apapun yang mungkin Anda antarkan pada saya, dan saya tak tertarik pada sesama jenis."

"Lantas mengapa kau memasuki bar seperti ini kalau kau tidak mencari pasangan hidup sejenis!?"

"Saya sudah mengatakan dari awal," raut wajahnya mengatakan kalau ia mulai lelah dalam menghadapi si rambut merah sementara Seijuurou tak menemukan apapun sebagai peredam amarah. "Saya menemani kawan saya."

Punggungnya mencium tembok yang menjadi pembatas antara ruangan publik dengan bilik-bilik sempit yang dilapisi dinding kedap suara untuk menghilangkan suara desahan yang mungkin saja bernyanyian di sana sini.

Seijuurou tidak melepaskan mangsanya, belum. Mata heterokromatik masih menawan samudera biru yang amat dibencinya.

"Dan mengambil tontonan persetubuhan kawanmu dengan lelaki murahan, heh?"

"Tidak, saya ..." Membuang pandang, Seijuurou kembali berusaha memenjara pandangan itu agar dihadapkan langsung ke arah penglihatannya sendiri. Ia tidak terima ketika lawan bicaranya lebih tertarik pada hal lain dibandingkan dengan matanya saat mereka mengadakan konversasi kecil, penting maupun tidak.

Menit terus merayap, dan jawaban tak kunjung bermunculan.

Seijuurou kembali menderukan tawa sarkastik, sadis dan menusuk. Kemudian dengan satu tangannya yang bebas, mencengkeram kedua sisi rahang boneka yang berada di hadapannya hanya untuk mendapatkan keluhan kecil akan pergerakan yang terlalu kasar dan kuat.

Kembali memusatkan matanya pada biru yang masih kosong, Seijuurou mengurangi jarak di antara mereka, lagi.

"Kau membuatku murka," aduhan kembali terdengar kala Seijuurou yang mengeratkan tawanan. "Ada harga yang harus dibayar."

"Saya ... tidak pernah bermaksud untuk membuat Anda murka," rintihan masih senantiasa menemani, menodai atmosfir yang sudah mereda untuk selang waktu beberapa detik. "Tapi tolong lepaskan ... wajah saya. Sakit rasanya, cengkeraman Anda pasti meninggalkan jejak daerah jajahan."

Seijuurou mendengus geli, mencemooh sebelum mengendurkan tangannya meskipun belum sepenuhnya kelima jari itu ia tarik kembali untuk mengundurkan diri.

"Berpura-puralah menjadi kekasihku," dan ketika suatu perintah telah divokalkan, tak ada yang bisa membantah. Kabur bukanlah pilihan.

Tangan yang semula memerangkap rahang bergerak naik, memberikan usapan halus yang menggetarkan bulu kuduk, berhenti tepat di pipi sebelah kanan. Seringai mendekorasi wajah tampan Seijuurou ketika boneka itu mengedipkan mata juga. Heh, ia masih manusia ketika tirai kelopaknya turun untuk beberapa detik lamanya.

"Kau cantik," ucapan itu disanjungkan secara frontal, tangan yang sama melentikkan hidung yang mancung, menyusuri tulangnya yang lunak, naik ke arah kedua sisi ujung mata, membelai lembut cangkang yang menahan bolanya.

Turun lagi tanpa membiarkan kulit mereka tak berjodoh, berhenti di belahan daging yang membentuk bibir, menekannya naik dan mengusapnya pelan untuk beberapa saat selama seringai itu memperluas diri di kurva bibir Seijuurou.

Boneka di hadapannya bergidik, reaksi yang diberikan sedikit banyak telah diperkirakan Seijuurou, kecuali yang berada di hadapannya tidak berada dalam ras yang sama dengannya.

"Sayang kalau dirimu dibuang begitu saja. Berpura-puralah menjadi kekasihku."

"Kenapa ... Anda tidak mencari seorang homoseksual saja? Bukankah hal itu menjadi lebih mudah ketika Anda akan melanjutkan ke hubungan serius?"

"Hubungan serius? Aku?" Seijuurou lagi-lagi mendengus tak puas. "Berpura-puralah jadi kekasih perempuanku. Kau dapat menjadi aktor terbaik untuk peran ini."

Ibu jari sudah berporos pada pipi, memberi kesempatan untuk bibirnya membuka dan membelah, membiarkan jawaban dilempar keluar dari persediaannya. Namun kosakata tak ada yang melarikan diri dari bibir ranum yang gelisah karena pertama kalinya bergesekan dengan permukaan kulit asing yang tak pernah dikenal otaknya.

"Siapa namamu?"

"Kuroko ... Tetsuya."

"Tetsuya," Seijuurou mengulang, puas menyaksikan raut wajah Tetsuya yang tak dapat memberi perlindungan ekspresi triplek di wajah. "Tiga bulan, berpura-pura jadi kekasihku dan kau akan kuberikan sesuatu yang tak dapat kaubayangkan sebelumnya."

"Saya ... tak membutuhkan material dalam bentuk apapun."

"Aku tidak menerima penolakan," nada bicara itu tinggi. Tetsuya merasa cela untuknya melarikan diri telah dipersempit dengan sekali hentakan kaki pemuda yang berada di hadapannya.

Atau memang tidak ada ... jalan keluarkah?

"Saya akan mengajukan beberapa syarat," beraninya pemuda itu berbicara dengan nada memerintah di hadapan seorang Akashi Seijuurou.

"Tidak ada hubungan intim, dan satu lagi ... Anda tidak boleh jatuh cinta kepada saya."

"Hanya karena aku homoseksual kau langsung percaya diri aku akan mencintaimu? Jangan bodoh."

"Untuk jaga-jaga," Tetsuya tak dapat bernapas bebas, tidak dengan hidung mereka yang hampir bersentuhan, membagi oksigen untuk pasokan dua pasang paru-paru.

"Baiklah," Seijuurou menyeringai lagi. Akhirnya menjauhkan diri yang membuat Tetsuya menarik napas lega, sama sekali tak menyangka ia akan menyetujui kesepakatan gila ini.

Apa yang ... merasukinya barusan? Kenapa dengan mudahnya ia menyetujui dengan seseorang yang sama sekali tak dikenalnya?

Ah, mungkinkah itu karena Kagami-kun yang terus bercerita akan kekasihnya—seorang pemuda dengan tinggi di atas rata-rata; Aomine Daiki yang mewarnai hidupnya dengan berbagai kejutan yang terkadang membuat hatinya lelah menerima sejak hari pertama mereka berhubungan?

Ada sirat iri di sana, dan penasaran. Tetsuya penasaran akan apa yang dirasakan Kagami Taiga, dan ia ingin mencari kunci untuk memenuhi rasa penasarannya yang sudah melunjak naik setiap kali Taiga kembali membubuhinya dengan manis pahitnya sebuah kisah cinta bak dongeng pengantar tidur.

Aah, Tetsuya merasa dirinya sudah gila. Tidak, ia memang gila.

"Tiga bulan, dan akan kupastikan kau akan mendapat semua yang kaumau, aku juga akan menggajimu."

"Ah, terima kasih. Tapi ... saya harap saya dapat menemukan apa yang menjadi alasan saya menerima tawaran gila ini."

"Kau mengatakan sesuatu?"

"Itu ... bukan apa-apa. Boleh saya tahu nama Anda?"

"Seijuurou, Akashi Seijuurou." Tetsuya mengedipkan mata ketika salah satu perusahaan yang paling terkenal di Jepang memasuki indera pendengarannya, dan tentunya terasa familiar.

Siapa sangka ia akan bekerja untuk seorang pewaris perusahaan ternama, mereka yang dikatakan memiliki darah biru dalam pembuluh-pembuluh kapiler yang tak kasat mata?

Tetsuya merasa dunianya diputarbalikkan. Dan ia merasa bahwa dirinya tak berbeda dengan lelaki murahan seperti apa yang pernah memasuki pikirannya ketika secara tak sengaja ia menangkap siluet dua orang yang tengah bercinta bebas di salah satu sudut tergelap tempat minum-minum dan bukannya memesan bilik?

"... Mohon kerja samanya, Akashi-ku—"

"Seijuurou."

"Sei ... juurou."

Tanpa mereka sadari mereka mulai menggali lubang jebakan yang bukannya ditujukan pada masing-masing lawan, tetapi diperuntukkan bagi diri mereka sendiri yang mulai membuka jalan untuk menguburkan diri dalam dosa.

.

.

To be continued


A/N

Hai minna-san! Saya kebetulan abis selesai mid dan jadwal ga terlalu padat kayak biasanya jadi ... kepikiran buat ngeluarin salah satu ide fanfic yang dari dulu udah ada di kepala www

Maaf untuk fic yang lain, pasti saya teruskan, kok! Cuma lagi mood sama yang ini ;w;)/

Penggunaan bahasa yang kasar dan kejadian-kejadian yang tidak meyakinkan itu /semoga/ cuma ada di chapter ini. Saya usahakan cuma ada di sini, soalnya chapter ini kan, emang pembuka, dan melihat setting yang ada. Kalau misalkan terlalu berlebihan dan harus masuk ke rate M daripada rate T, jangan segan memberitahu ya u_u

Semoga readers suka sama fic yang kali ini, fic ini buat ngegantiin Bound. Soalnya kemaren Bound itu saya ceplas-ceplos nulis aja, ga mikir kelanjutannya gimana.

Thank you for reading! Feedbacks and supports will be highly appreciated. :)

[23.09.14]