.: Taruhan Satu Minggu :.
Shin Hoseok | Lim Changkyun
Story by iKyun
Monsta X belongs to Starship Entertaiment
.
[chapter i: taruhan.]
.
warns: boys love, typo, ooc, college au.
don't like? don't read.
"Sumpah, baru kali ini aku bertemu orang sebodoh kau, Shin Hoseok."
Wonho mendecih, lalu menghabiskan setengah kaleng bir dalam sekali tegak. Dia boleh saja merasa superterdesak begini, tapi seharusnya dia tahu bukan pilihan yang tepat untuk menceritakan keluh kesahnya pada Kihyun, laki-laki itu lebih suka memanfaatkan setiap kondisi buruknya untuk kesenangan belaka. Dia tidak membantu sama sekali. Jika saja Kihyun bukan anak orang kaya yang mengajak Hoseok—juga dua kawan lainnya; Minhyuk dan Jooheon—ke restoran mahal setiap awal bulan, dia mungkin tidak akan tahan menganggapnya sebagai seorang teman.
"Aku tidak bodoh. Dia mencuri dariku. Semua orang bisa tertipu," Wonho membela dirinya sendiri. Kepalanya mulai terasa sangat sakit dan itu tidak membantu masalahnya sama sekali.
"Ini balasan karena kau selalu mencampakkan gadis-gadis semaumu."
"Aku harap kau juga dapat balasan karena berpikir bahwa segala hal bisa dibeli dengan uangmu itu," Wonho menghela napas panjang. "Adakah hal lain yang bisa kau lakukan untuk menolong temanmu yang menyedihkan ini?"
Kihyun bergeming. Mengeluarkan uang bukan hal yang sulit baginya, terutama untuk orang-orang tertentu dan Wonho bukanlah pengecualian. Tapi, meminjamkan uang padanya begitu saja juga tidak ada serunya. Dia bisa saja menyuruh Wonho berlari keliling kampus dengan pakaian renang wanita, tapi rasa-rasanya dia akan jadi ikut malu karena orang-orang tahu Wonho adalah salah satu temannya. Kehormatan keluarga Yoo bisa tercoreng karenanya. Setelah memikirkan berbagai alternatif dan segala akibat-akibatnya, Kihyun akhirnya membuka suara, "Kau tahu, Wonho-hyung, aku bisa memberimu satu juta won kalau kau mau."
Kedua mata Wonho melebar, "Serius? Sebenarnya aku hanya butuh tujuh ratus ribu, tapi kalau kau begitu dermawannya sampai—"
"Ah," Kihyun menampik tangan Wonho sehingga memotong kata-katanya. "Jangan senang dulu, kawan. Aku tidak memberikannya secara cuma-cuma. Dan, kalau aku berharap kau mengembalikannya secara tunai, itu akan menghabiskan berabad-abad lamanya. Jadi, bagaimana kalau kita jadikan taruhan saja?"
Wonho mulai malas mendengarkannya. Seharusnya dia tahu Yoo Kihyun tidak pernah sebaik itu, apalagi memberikan satu juta won secara cuma-cuma. Tapi, karena dia sungguh membutuhkan uang itu, akhirnya dia dengarkan saja.
Kihyun tidak menunggu reaksi Wonho. Dia mengambil ponsel seraya berujar, "Kau tahu orang ini?" Kihyun menunjukkan sebuah foto laki-laki yang kira-kira seusia mereka. "Im Changkyun, dia semester dua program Fisika. Anak yang pintar dan mustahil bisa bergaul dengan kau, aku yakin kalian tidak mengenal—"
"Aku tahu dia," balas Wonho. "Salah satu dosen selalu menceritakannya. Dia benar-benar pintar berbahasa Inggris sampai aku muak mendengar Profesor Kim membangga-banggakan siswa kesayangannya ini."
"Bagus, kalau begitu aku tidak perlu repot-repot menunjukkan orangnya padamu." Kihyun menaruh ponselnya di atas lantai. "Aku menyebut ini Taruhan Satu Minggu. Di mulai dari minggu depan, kau dekati dia. Hari rabu, aku mau kau berhasil mengajaknya berkencan. Hari jumat, kau harus berhasil menciumnya. Dan, hari terakhir, minggu, kau harus berhasil mengajaknya tidur denganmu."
"Hanya ... tidur, serius?"
Kihyun memutar bola matanya. "Ayolah, Shin Hoseok. Kau tahu apa maksudnya tidur di sini. Jangan sok suci," dia menyindir. "Aku akan memberikan uangnya secara berangsur-angsur. Rabu, seratus ribu won. Jumat, tiga ratus ribu won. Hari minggu, aku berikan sisanya. Semuanya jika kau berhasil melakukan apa yang aku minta," katanya. "Aku tidak akan menuntut apapun darimu kalau kau gagal di tengah perjalanan. Keadaanmu sekarang saja sudah cukup menyedihkan."
Wonho mengangguk-angguk kecil. "Tidak bisakah kau memberikan tujuh ratus ribu won di hari Jumat?"
Kihyun tersenyum menyeringai. "Aku tidak mau kau melewatkan hari terakhir. Kencan dan ciuman itu tidak ada apa-apanya untukmu, 'kan?"
Wonho tertawa, "Sialan, kau memang selalu tahu," katanya. "Tapi ...," Wonho mengambil ponsel Kihyun dan memandangi foto itu sekali lagi. "Anak ini lumayan manis, aku tidak keberatan harus mencium atau menidurinya. Taruhan ini sepertinya akan mudah-mudah saja."
"Kau mungkin tidak keberatan, tapi bagaimana dengan Changkyun?" Kihyun tertawa sakratis. "Dia lebih suka belajar dari pada pacaran atau pergi ke klub. Kau pikir dia mau membiarkan laki-laki brengsek sepertimu menyentuhnya begitu saja?"
"Oh ayolah, aku ini tampan. Kau tahu sendiri, Yoo Kihyun," Wonho tertawa bangga.
Kihyun mengangkat bahunya, "Lihat saja apa yang bisa kau lakukan, Wonho-hyung."
[+++]
Wonho sebenarnya bukan orang miskin, tapi—tentu saja—dia juga tidak sekaya Kihyun. Ayahnya mengirim Wonho ke Seoul untuk kuliah (meskipun Wonho tidak terlalu belajar dengan benar). Dia tinggal sendiri di apartemen dan ayahnya mengirim uang setiap bulan. Ayahnya juga memberikan kartu kredit pada Wonho untuk hal-hal mendesak, sebenarnya dia sendiri jarang sekali menggunakannya. Dan, sialnya, orang yang menggunakannya kemudian justru adalah salah satu mantan kekasihnya yang entah bagaimana bisa mengambil kartu kredit itu dan mengetahui sandinya. Perempuan menyebalkan itu sudah entah di mana keberadaannya, jadi Wonho sebaiknya memikirkan bagaimana cara melunasinya saja.
Taruhan menjijikkan semacam ini bukan hal yang baru bagi Wonho. Dia pernah melakukan hal yang sama saat SMA, meskipun hanya sebatas sampai berciuman kala itu. Dan, beberapa tahun lalu dia melakukannya untuk kesenangan saja. Sekarang, dia terpaksa harus menjalankannya karena dia benar-benar butuh uang.
Hari senin, hari di mana taruhan itu dimulai pun datang. Wonho datang ke kampus jauh lebih pagi dari biasanya karena dia dengar bahwa Changkyun senang menghabiskan waktu sejak pagi di perpustakan untuk mencari buku-buku tebal yang melihatnya saja sudah membuat Wonho muak. Sumpah, sudah tiga tahun kuliah, Wonho belum pernah menginjakkan kaki di perpustakan. Tidak ada perempuan cantik di perpustakaan, jadi dia pikir tidak ada manfaatnya masuk ke sana.
Wonho membuka pintu perpustakan dan masuk. Keadaan yang sangat hening langsung menyapanya di langkah-langkah pertama. Dia sedikit bingung harus pergi ke mana sampai akhirnya dia memutuskan untuk menyusuri lorong-lorong rak buku; berharap bisa menemukan Im Changkyun di tempat itu. Namun, Wonho menghabiskan hampir lima belas menit tanpa hasil sedikit pun. Changkyun tidak ada di mana pun, dia hampir saja menyerah—
—sampai Wonho memandang ke luar jendela perpustakan dan menemukan Changkyun sedang duduk sendirian di atas bangku taman seraya membaca buku (entahlah buku apa, Wonho tidak peduli). Dengan senyuman lebar menghiasi wajahnya, Wonho bergegas menuju tempat di mana Changkyun duduk.
Saat dirinya hanya tinggal dua-tiga langkah sampai tepat di tempat Changkyun duduk, Wonho mulai sedikit ragu dengan apa yang harus dia katakan. Ayolah, apa yang biasanya dibicarakan kutu buku? Apakah seharusnya Wonho membaca satu-dua buku ensiklopedia sebelum bicara dengan Changkyun? Ah, dia terlalu malas untuk melakukan sesuatu seperti itu.
Pada akhirnya, Wonho membuka suaranya, "Uh, hai?" sapanya.
Changkyun mendengarnya dan dia segera mengangkat kepala. Dia tampak terkejut selama beberapa detik, sepertinya dia mengenal Wonho dan itu bukanlah hal yang bagus kalau Changkyun tahu kebiasaan-kebiasaan buruk Wonho.
Changkyun tidak menjawab dan Wonho memutuskan untuk duduk saja di sebelahnya. "Hei, kau ... Im Changkyun, 'kan?"
"Ya," akhirnya, Changkyun membuka suaranya. "Kalau mau mengatakan hal tidak penting, aku tidak punya waktu," katanya.
Sial. Sepertinya Changkyun benar-benar tahu orang seperti apa Wonho ini. "Hei, kenapa dingin begitu? Aku belum benar-benar mengatakan apapun."
"Kau tidak cocok denganku," balas Changkyun. "Kau membuatku membuang lima menit waktu, aku bisa menghabiskan dua halaman buku selama itu."
Wonho menghela napas, dia nyaris kehilangan ide. "Ayolah, aku hanya ingin minta tolong. Dengar, Profesor Kim selalu membicarakanmu. Kudengar kau sangat pintar berbahasa Inggris dan aku punya banyak masalah dengan mata kuliah itu."
"Cari saja guru kursus," balas Changkyun.
"Kau pikir aku punya uang?"
"Kau pikir aku punya tiga puluh jam dalam sehari? Orang sepertimu harus mulai dari bahasa Inggris kelas anak-anak, aku tidak mau mengurusi itu. Minimal belajarlah lima macam tenses dan aku baru mau mengajarimu."
Wonho mendecih pelan. Beban hidupnya sudah berat, kalau ditambah belajar akan terasa makin berat. Sungguh merepotkan. "Kau benar-benar galak ya, bahkan pada senior."
"Senior?" Changkyun mengangkat kepalanya. "Ayo kerjakan soal matematika tingkat satu dan lihat siapa yang lebih senior."
"Hei, senior bisa dilihat dari berbagai macam bidang, 'kan? Kau mungkin lebih pintar dalam pelajaran, tapi aku ...," butuh waktu cukup lama bagi Wonho untuk memikirkan apa kelebihannya. "Coba sebutkan berapa banyak wanita yang sudah tidur denganmu, aku yakin aku lebih unggul."
Changkyun terkejut, begitu juga dengan Wonho. Terkutuklah mulut sialannya. Wonho tidak tahu kenapa dia bisa mengatakan sesuatu seperti itu. Changkyun menyatukan alisnya dan wajahnya memerah; malu juga kesal. Beberapa detik kemudian, Wonho menemukan dirinya meringgis kesakitan dengan bekas tamparan memerah di pipi sementara pelakunya sudah pergi meninggalkannya sendirian.
Mereka bahkan belum melakukan apapun dan Wonho sudah mendapatkan tamparan penuh cinta darinya. Luar biasa, Shin Hoseok. Luar biasa.
Dari kejauhan, Kihyun tertawa terbahak-bahak seraya bersyukur dia lewat dan melihat adegan itu di saat yang sangat tepat. Meskipun dia tidak tahu apa yang mereka lakukan hingga Changkyun sampai menampar Wonho, tapi itu menunjukkan bahwa Wonho sudah mengatakan sesuatu yang bodoh. Dan, itu hiburan yang tak ternilai baginya.
Ah, dia tidak sabar melihat bagaimana Wonho menjalani taruhan ini selanjutnua.
[to be continued.]
halo, ikyun di sini! saya sedang ada ide geje tentang si playboy x si kutu buku lol. ide ini adalah hasil bertapa (baca: tiduran) selama liburan natal-tahun baru. saya nggak tahu bisa terus menjaga mood menulis sampai chapter terakhir (karena fanfik ini akan selesai sampai kira-kira enam chapter), tapi saya akan berusaha. ehehe.
makasih banyak buat yang sudah baca. pertanyaan, kritik, dan sarannya boleh banget loh!
