Snow Jou di sini~ yak, salam jumpa kembali dengan kami, Snow Jou dan Kuroka~ -digetok-
ehm... inilah 'fic kolab lain' yang pernah kami beritahu di A/N LoT (Line of Truth) bagi yg membaca ataupun tidak, ingat ataupun tidak, yaitu 'Project Three'
Project Two? Project Two sementara 'pending' gara" saya yg lupa dan males -digampar-
Ehm... jadi... selamat membaca~ Hope you like it! -ngarep-
Le drame d'amour
Disclaimer: ATLUS owns Persona 4
Chapter 1: Love Letters
Hari itu hari yang indah. Cahaya matahari sore mewarnai hampir seluruh pelosok Inaba dengan warna jingga kemerahan. Pemandangan tampak lebih indah dibanding biasanya, kilauan yang disebabkan pancaran sinar matahari sore dari ufuk barat tersebut menunjukkan jernihnya air yang mengaliri Samegawa River, seakan-akan air tersebut berwarna keemasan cerah yang jernih, merefleksikan ekosistem sungai di balik gelombang dan tekanan air bagaikan cermin.
Sungguh suatu panorama senja yang layak dilukiskan dan dinikmati keindahannya. Senja yang menghangatkan hati.
Namun hal itu tampaknya tidak berlaku untuk Shirogane Naoto.
Saat itu, sang gadis sedang berdiri di depan lemari sepatunya. Ia menghela napas, merapatkan giginya dan kepalanya menunduk ke bawah, memperhatikan surat-surat bersampul warna merah muda yang ditutup rapat dengan stiker berbentuk hati berceceran di lantai, tepat di bawah lemari sepatunya. Surat-surat itu jatuh berserakan ketika sang gadis membuka lemari sepatunya. Ia menatap surat-surat itu dengan tatapan tidak senang.
Iris biru keabuan Naoto kemudian terkunci pada salah satu surat. Amplopnya berwarna putih dan tertutup rapat, tanpa stiker tanda hati atau semacamnya. Ia lalu meraih surat itu, membukanya secara perlahan dan mulai membaca dengan sedikit enggan.
"I love you"
Itulah kalimat singkat yang tertulis dalam surat tersebut. Naoto kembali menghela napasnya perlahan, lalu meremasnya dan membuangnya ke tempat sampah.
'Bisa-bisanya sesaat aku berharap bahwa salah satu dari surat-surat tersebut setidaknya berisi tentang sebuah tantangan atau hal lain selain pernyataan cinta yang bodoh…'
Naoto kemudian menatap surat-surat tersebut, baik yang masih berada dalam lemari sepatunya maupun yang berserakan di lantai. Lalu Ia segera membereskan surat-surat yang berserakan ke lantai tersebut dengan enggan, hingga tiba-tiba, sebuah suara yang familiar di telinganya mengejutkannya.
"Perlu bantuan, Naoto?"
Saat Naoto menolehkan kepalanya ke arah sumber suara, iris biru keabuannya menangkap sesosok pemuda yang tersenyum padanya dan menawarkan bantuan. Jaket sekolahnya tidak terkancing, rambutnya berwarna abu-abu, selaras dengan iris matanya yang juga berupa kristal keabu-abuan jernih. Tangan kanannya menyandang tas sekolahnya. Pemuda itu adalah senior sekaligus pemimpin Investigation Team.
"Ah, Souji-senpai…" Naoto tampak lega. Ia menggigit bibirnya, lalu menjawab dengan nada pahit, " …Tidak, senpai tidak perlu repot-repot membantuku…" tolak Naoto dengan halus. "Lagipula, aku tidak ingin sampai merepotkan senpai, hanya untuk mengurusi hal tidak penting seperti ini."
Senyuman menghiasi wajah Souji, lalu jawabnya, "Naoto, tidak peduli apakah hal itu penting atau tidak, tapi yang jelas, membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan itu adalah hal yang penting. Bagiku, menolong orang lain sama saja seperti menolong diriku sendiri." Tutur Souji panjang lebar.
Souji kemudian mulai memunguti surat-surat yang berserakan tersebut, bermaksud membantu Naoto tanpa memperdulikan protes dari gadis itu. Pada akhirnya, sang gadis menyerah pada keinginan kakak kelasnya itu dan membiarkan Souji melakukan apa yang diinginkannya.
"Ah, ya... Ngomong-ngomong…" Souji memulai pembicaraan setelah atmosfir yang senyap sempat melingkupi mereka selama beberapa saat. Naoto mengangkat alisnya.
"Hm?" gadis itu bersuara singkat, menunggu pemuda di hadapannya melanjutkan apa yang ingin dikatakannya.
"Surat-surat ini…" lanjut Souji sambil memperhatikan salah satu surat yang dipegangnya secara seksama, "Surat-surat sebanyak ini… Sebenarnya, ini surat-surat apa?"
Naoto yang mendengar pertanyaan Souji tadi hanya bisa mendesah pelan.
"Ada… tanda hati dalam surat ini, dan sebagian besar dari surat-surat ini berwarna merah muda…" kata Souji, sementara matanya terus memeriksa surat tersebut dengan cermat. " Apa ini surat…"
"Bukan surat penting!" jawab Naoto terburu-buru, sebelum Souji menyelesaikan pertanyaannya. Sekilas pipi Naoto merona merah. Souji mengangkat alisnya, kebingungan terpancar dari wajahnya.
"Ah… benarkah? Mungkin aku salah sangka…" Souji kemudian menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil tertawa kecil. "Hmm… lalu, akan kau apakan surat-surat ini?"
"Membuangnya ke tempat sampah, atau mungkin membakarnya…" jawab Naoto dingin. Souji mengangguk mengerti, senyuman masih tersungging di bibirnya. Pemuda itu akhirnya selesai mengumpulkan surat-surat Naoto dan menyerahkannya pada gadis itu.
"Aku tidak ingin membuangnya, bagaimanapun surat ini ditujukan padamu… Jadi, biar kau saja yang membuangnya…" Souji berkata pelan, nyaris seperti berbisik. Naoto menghela napas.
"Baiklah, terima kasih sudah membantuku memunguti surat-surat ini, Senpai…" kata Naoto dengan suara yang juga pelan seraya menerima surat-surat tersebut dari tangan Souji. Naoto kemudian meremas-remas surat-surat itu lalu membuangnya ke keranjang sampah terdekat, hingga keranjang sampah yang sebelumnya kosong itu nyaris penuh dengan surat-surat. Souji yang melihat tindakan Naoto tersebut hanya dapat tertawa kecil.
"Apa tidak terpikir olehmu, bagaimana perasaan mereka yang menyadari bahwa surat yang mereka tulis padamu kau buang? Mungkin sebaiknya kau membuang surat-surat itu di tempat lain, misalnya rumahmu, atau di tempat sampah lain di luar sekolah…" ujar Souji menyarankan.
"Tidak apa-apa… Toh aku selalu membuangnya di tempat sampah sekolah setiap hari, dan surat-surat itu terus saja berdatangan. Tampaknya pengirimnya selalu dari orang-orang yang sama… dan," pipi Naoto sedikit merona, lalu ia melanjutkan lagi. "Sebagian besar surat itu… ah, tidak. Semuanya dari perempuan…"
Souji akhirnya tidak dapat menahan lagi emosinya, tawa geli pemuda itu mulai pecah. Wajah Naoto memerah.
"S-Senpai!"
"Ma-maaf, Naoto…" ucap Souji sambil berusaha mengontrol kembali emosinya, "Rasanya lucu saja, berhubung kau juga perempuan… Mungkin sebagian besar dari mereka masih belum mau menerima kenyataan bahwa kau memang perempuan…" Souji berkata di tengah-tengah tawanya. Tetapi tiba-tiba tawa Souji terhenti, lalu ia menyunggingkan seringai jahil. "Benar juga… bagaimana kau bisa tahu kalau semua surat itu dari murid perempuan?"
"…Sepertinya begitu, berhubung aku memang tidak membaca semua surat-surat itu… Tapi, rasanya agak mustahil—"
"Bagaimana kalau surat itu berasal dari murid laki-laki?" Souji memotong kata-kata Naoto. Wajah gadis itu lagi-lagi memerah.
"A-aku… tidak punya waktu untuk menjalin hubungan percintaan yang bodoh dan kekanak-kanakan seperti itu…" jawab Naoto dingin. "Mengatakan bahwa mereka mencintaiku, sementara mereka bahkan tidak mengetahui apapun tentang diriku… menggelikan…" batin gadis itu.
"Hmm…" Souji hanya bersuara singkat untuk menanggapi kata-kata Naoto. Tetapi pemuda itu kemudian melanjutkan perkataannya. "Ah, benar juga…" ucapnya sambil menatap langit yang semakin memerah. "Hari sudah makin sore,bagaimana kalau kita pulang bersama?" kata Souji menawakan. "Aku akan mengantarkanmu pulang sampai depan rumahmu."
Mendengar tawaran Souji tersebut, Naoto mulai salah tingkah.
"A-ah, tidak perlu repot-repot, Senpai! A… Aku bisa pulang sendiri!" ujarnya gelisah.
"Hmm? Tapi kita tidak akan pernah tahu, jikalau tiba-tiba ada seorang gadis penguntit yang mengikutimu, atau bahkan menggodamu di tengah jalan? Ah ya…" Souji mulai tertawa geli. "Bagaimana kalau kau sampai dibuntuti oleh seorang yandere?"
"Senpai, itu tidak lucu…" suara gadis itu kian melemah, "Huft, baiklah…" Naoto akhirnya menyerah, lalu gadis itu mengangguk pelan.
Matahari telah tenggelam seutuhnya, bersemayam dalam peraduannya di balik tebing cakrawala. Langit yang tadinya berwarna merah, kini berubah menjadi keunguan sebelum akhirnya menjadi gelap. Setelah mengucapkan terima kasih dan selamat tinggal pada Souji, Naoto membuka pintu rumahnya, mendapati Yakushiji telah berdiri menunggunya.
"Selamat datang kembali, Naoto-sama." Pria setengah baya itu tersenyum ramah. Namun di balik kacamata hitamnya, terpancar sedikit kekhawatiran pada sorot matanya. Pria itu kemudian melanjutkan kembali perkataannya, "Naoto-sama, hari ini anda kembali agak terlambat dari biasanya…"
Mendengar pernyataan Yakujishi tersebut, Naoto hanya tersenyum pahit.
"Dikarenakan hal bodoh dan tidak penting yang menggangguku sebelum pulang sekolah." jawab Naoto singkat. Yakushiji mengangguk mengerti.
"Saya sudah menyiapkan makan malam, Naoto-sama. Setelah itu, bersihkan tubuhmu dan beristirahatlah." Yakushiji menawarkan. Naoto hanya mengangguk singkat.
"Ya… terima kasih banyak, Yakujishi-san."
Naoto merebahkan tubuhnya yang lelah di atas sebuah kasur, membiarkan setiap sendi, otot dan rangka pada tubuhnya beristirahat sejenak. Meski begitu, otaknya terus bekerja tanpa istirahat sambil terus memikirkan masalah serius yang sedang Ia hadapi. Memikirkan soal surat-surat itu saja sudah membuatnya cukup merasa kelelahan, di tambah lagi surat-surat itu selalu berdatangan setiap harinya.
Benar-benar melelahkan.
Naoto kemudian memejamkan kedua matanya. Gadis itu tidak pernah paham, mengapa ia selalu menerima sejumlah surat cinta yang semuanya berasal dari kaum perempuan. Jelas sekali Naoto selalu sengaja membuang surat-surat itu ke tempat sampah sekolah, sebagai suatu bentuk tindakan tegas darinya, agar para gadis itu tidak lagi mengiriminya surat.
Namun kenyataannya malah berbanding terbalik dari perhitungannya semula.
Perhitungan, kemampuan dalam memprediksi, menganalisa kasus dan mencari solusinya adalah salah satu keunggulan gadis itu. Karena kemampuannya itulah, gadis itu selalu dapat memberikan jasa terbaiknya terhadap kasus-kasus yang menimpa para klien kakeknya. Dan sebelum akhirnya ia sempat menyadari apa yang terjadi akibat perbuatannya itu, orang-orang malah menjulukinya sebagai "Detective Prince", sebuah julukan yang sebenarnya bagi Naoto sendiri kurang mengenakkan. Ia juga menjadi Kartu As bagi kepolisian, sekaligus menjadi individu yang sangat dibutuhkan kemampuannya untuk membantu penyelidikan yang dilakukan Investigation Team.
Namun rupanya kali ini, perhitungan seorang Shirogane Naoto, sang Detective Prince, meleset dari biasanya.
"Ck… Detective Prince…" Ujar Naoto pahit, membuka kedua kelopak matanya yang terasa semakin berat, dan menatap kosong langit-langit kamarnya. Wajahnya yang biasanya selalu serius, kini diliputi oleh kepedihan yang tak terungkap.
Kepedihan yang takkan pernah terungkap meski seribu sembilu datang mencacah.
"Naoto, kalau kau perlu bantuan, atau butuh sesuatu, katakan saja kepadaku."
"Aku akan melakukan apa saja yang aku bisa untuk membantumu, bagaimanapun kau…"
Matahari bersinar hangat, menyibakkan langit biru gerau yang mulai memudar. Pancaran matahari mulai menerangi seluruh pelosok Inaba, menelan habis segala kegelapan dan kesuraman. Burung-burung berkicau merdu, angin lembut meniup setiap helai daun-daun pepohonan yang hijau, mendorong butir-butir embun pagi yang berkilau bagaikan kristal kecil jatuh ke atas tanah yang subur.
Sungguh suatu pagi yang cerah dan indah bagi sebagian besar penduduk Inaba. Cahaya dari sang surya seolah membakar semangat para penduduk untuk memulai rutinitas kesehariannya. Tidak terkecuali dengan Shirogane Naoto, suasana hati gadis itu tampaknya telah membaik, dan ia pun segera bersiap untuk berangkat ke sekolahnya dengan semangat baru.
"Terima kasih atas makanannya…" ujar Naoto setelah menghabiskan sarapannya.
"Naoto-sama, anda tampaknya sedang terburu-buru…" tanya Yakushiji.
"Ah, tidak apa-apa… hanya ada sedikit urusan yang harus kutangani." jawab Naoto seraya mengangguk pelan lalu tersenyum ke arah Yakushiji. "Terima kasih."
Melihat Naoto yang tampak bersemangat pagi ini, Yakushiji merasa lega. "Ya, senang melihat anda bersemangat kembali hari ini, Naoto-sama."
"Aku berangkat dulu." imbuh Naoto sambil menggenggam erat tasnya lalu memperbaiki posisi topi biru tua kesayangannya itu, kemudian pergi dengan sedikit tergesa.
"Ya, selamat jalan, Naoto-sama. " ujar pria paruh baya itu sambil memperhatikan sosok Naoto yang semakin menjauh, lalu menghilang di balik pintu gerbang. "Hati-hati di jalan…"
"Kau mengkhawatirkannya seperti sosok seorang ayah yang peduli dengan putri tunggalnya, Yakushiji." suara pelan kakek Naoto mengagetkan sang sekretaris keluarga Shirogane.
"Ah, selamat pagi, tuan besar…" sapa Yakushiji hormat.
"Hahaha, tidak perlu seformal itu, Yakushiji," ujar pria lanjut usia itu sedikit serak, kemudian Ia berdeham sedikit, lalu melanjutkan kembali perkataannya. "Kau sudah tinggal lama di sini, bahkan sebelum anak itu mulai dirawat di sini…" urai kepala keluarga Shirogane itu. "Seharusnya kau bisa bersikap lebih terbuka sedikit."
Mendengar hal itu, Yakushiji hanya tersenyum lalu berkata, "Ya, memang pada umumnya seperti itu…" kemudian Ia mengambil nafas sebentar, "Tapi, sebagai asisten di kediaman Keluarga Shirogane ini, beginilah cara saya untuk menunjukkan bahwa saya telah menganggap tuan besar dan Naoto-sama sebagai anggota keluarga saya sendiri." jawab Yakushiji tenang.
Mendengar jawaban sekretaris pribadinya tersebut, sang kakek tersenyum puas lalu tanpa disangka-sangka Ia menepuk-nepuk pundak Yakushiji pelan. "Kau adalah orang paling luar biasa yang pernah aku temui selama ini."
Yakushiji yang barusan mendegar pengakuan dari tuan besarnya tersebut hanya mampu terdiam takjub, tanpa dapat mengucapkan sepatah kata apapun.
'Terima kasih banyak, Shirogane-sama…'
Di saat yang bersamaan, Naoto yang baru saja melangkahkan kakinya keluar dari kediaman Keluarga Shirogane, segera memperlambat langkahnya ketika ia melihat selembar amplop berwarna tampak seperti merah muda, mencuat bagian ujungnya dari dalam kotak pos rumah Naoto.
Gadis itu lalu mendekati kotak surat tersebut, mengambil nafasnya dalam-dalam sambil berhitung dari angka satu sampai tiga, memejamkan matanya, membiarkan pikirannya tenang sebentar, lalu membuka matanya kembali, menyiapkan hatinya, kemudian hendak membuka kotak surat tersebut, berharap kalau barusan ia hanya salah melihat, bahwa sesuatu yang mencuat dari dalam kotak pos rumahnya itu, adalah—
ZRAK…!!!
…Bukan surat cinta.
Puluhan amplop berwarna merah jambu itu berhamburan dari dalam kotak pos, membuat sebagian halaman rumah Shirogane Estate dipenuhi oleh benda berwarna pink tersebut.
Seketika suasana hati Naoto menjadi kelam, sekelam rambut hitam panjang Yukiko. Gadis itu menatap surat-surat pink di hadapannya itu dengan tatapan benci.
'Sudah cukup…' ujarnya dalam hati. 'Sudah cukup surat-surat bodoh tak berguna itu menggangguku setiap hari,' gumam Naoto murka.
"Mulai hari ini aku tidak akan segan-segan lagi…"
A/N: Di sini Kuro..
Yap, chapter pertama dipotong sampai sini dulu. :D
Nah, kira-kira apakah yang akan dilakukan oleh Naoto...?
Tunggu di chapter selanjutnya...! :D
Ahem, pertama-tama kami mengucapkan terima kasih kepada kalian yang mau membaca fanfic collab kedua kami ini... ^_^
Semoga kalian menyukai fic ini, dan tetap setia membaca kelanjutannya. :D
Akhirnya, kami mohon kesediaan kalian untuk membantu kami dengan menyumbangkan kritik/saran melalui review di bawah ini.. :D
Yap, sekian dan sampai jumpa di chapter selanjutnya...! ^_^
