warning. abal sangat ohmygawd. OOC.
disclaimer. pandora hearts © jun mochizuki (thanks for breaking my heart into little pieces.)
dedikasi. untuk wafa alias Matsura Akimoto. ayo baca ficnya!
catatan. kayaknya udah dua tahun sejak fic pertama di sini C: dan saya pengen meluk cowok-cowok ph ;w; dan hidup gilalice \m/ terus ga yakin sama judulnya ._. maaf ya wafa kalau mengecewakan ;w;


i think i might've inhaled you

.

.

.

.

Lekuk pipinya mengikuti lekuk bahumu; surai hitam kelam miliknya tersebar menggelitiki punggungmu; suara konstan hasil inhalasi dan ekshalasi terjadi secara terus-menerus; tangannya tak sengaja menyentuh lututmu; aroma daging bercampur melati mengisi paru-parumu dengan seketika; dan hidupmu tidak berubah. Sama sekali tidak.

Kau membiarkan dia tertidur di bahumu, yang bosan menunggu Oz keluar dari ruangan Sharon, hanya karena tak ada Break di sana. Sungguh. Seperti tak ada alasan lain. Dan jika dirimu harus menambahkan satu alasan, alasannya adalah karena kau sudah menganggap dia sebagai temanmu.

Kau melirik jam dinding dan keringat dingin mengucur dari pelipismu. Kau sudah duduk seperti itu selama dua puluh lima menit, dengan kepalanya di bahumu. Segulung awan kekhawatiran mulai datang ke pikiranmu.

Bagaimana jika Sharon datang? Bagaimana jika Break datang? Bagaimana jika Oz datang?

Desah napas keluar dari hidung juga mulutmu. Kau sama sekali tidak mendapat jawaban untuk ketiga pertanyaan itu. Mungkin ini adalah nasib buruknya.

Tiba-tiba kepalanya bergerak ― ubun-ubunnya menekan nadi di lehermu, dan sedikit helai rambutnya menyentuh bagian di bawah tengkuk. Dia mengangkat kepalanya secara perlahan. Sesekali hembusan napas hangatnya menerpa kerah bajumu. Bulu matanya berkibar.

"Mana Oz?" tanyanya.

"Masih di dalam," jawabmu. Entah mengapa, kau menggambar sesuatu dengan jari di pahamu. "Dan, ya ampun, tidak bisakah kau tidur tidak menggunakan bahuku?"

"Tentu saja tidak bisa! Aku harus bersandar pada sesuatu, baru bisa tidur," jawabnya.

Kau memijit kedua pelipismu. "Kalau begitu, bersandarlah pada sofa," kau menyuruhnya, jari telunjukmu mengarah ke ujung sofa.

"Tidak mau. Bagaimana kalau aku ngiler dan air liurnya kena sofanya Sharon? Itu 'kan tidak sopan!" serunya. "Lebih baik air liurku kena bajumu."

Kau mengangkat sebelah alis. "Sejak kapan kau belajar soal kesopanan?"

Dia menginjak kakimu keras-keras, dan sebelum kau bisa melawan perlakuannya padamu, dia sudah mengunci lenganmu dengan lengannya ― atau boleh dibilang menggandeng tanganmu. Yeah.

"Biarkan saja aku tidur, oke?" ujarnya sebelum mengistirahatkan kepalanya lagi di bahumu.

Kau bisa saja mendorongnya agar kau bisa mendapatkan tempat yang luas untuk dirimu sendiri, tapi badanmu membeku saja, matamu memfokuskan pandangan ke arahnya. Kau menontonnya memejamkan matanya dan ada sesuatu yang membara di tenggorokanmu. Tanpa sadar kau menelusuri lekuk wajahnya dengan hikmat, diam membisu.

Dan tiba-tiba saja, kau tidak keberatan dengan fakta bahwa dia memilih bahumu sebagai tempat bersandar.

(dan juga, kalimat "tidak ada yang berubah" mati dalam logikamu.)