Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. But this story purely mine. I don't take any profit from this work. It's just because I love it.
Warning: drabble; au, miss-typo(s), and other stuffs. Rate: K+. Genre: hurt/comfort
Note: untuk meramaikan levihan week day 4. Prompt: pledge.
[Levi, berjanjilah padaku. Bawa aku terbang bersamamu.]
a promise to forever
.
Hujan di penghujung musim gugur membawa serta gugus-gugus dedaunan yang jatuh terseret angin. Meski suhu tak begitu ekstrem, Hanji dapat merasakan tubuhnya yang memanas. Napasnya terlampau hangat, dan porsi oksigen di ruang sekitarnya terlalu sesak. Tapi, tapi bibirnya terus melengkungkan senyum. Di antara sesak yang mengiris bilah dada, matanya yang besar di balik kacamata itu masih bersinar.
"Bagaimana udara Milan, Levi?"
Di sebelahnya Levi mendudukkan diri. Tangannya sibuk dengan kompres-kompres dan air hangat untuk kening Hanji. Meski ia tahu ia tak perlu melakukannya (sebab dokter dan perawat memiliki perawatan yang lebih jitu dari ini, tapi ia tetap melakukannya) ia selalu melakukannya.
"Panas."
Hanji terkikik kecil, matanya mengatensi ruang putih beraroma antiseptik yang begitu tipikal ini. Meski ketaksaan menghampirinya akan satu kata atas pertanyaannya pada Levi, tapi Hanji tetap tertawa dengan bisikan dalam hati "Apa yang panas, Levi? Udara Milan atau suhu tubuhku yang sakit sekarang ini?"
Satu minggu cukup bagi Levi untuk menyadari ada yang salah dengan Hanji. Ia ingat hari di mana ia menemukan Hanji dengan darah mengalir di sekitar indera penciuman. Malam itu adalah jadwal ia terbang, maka Levi meninggalkan Hanji di rumah sakit dengan beban-beban yang ia bawa di ruang kokpit. Terbang ke udara, melintasi samudera, dan beban itu tak pernah hilang. Tak akan pernah.
"Cepat sembuh. Kau masih ingin terbang, kan?"
Anggukan Hanji datang lebih cepat dari embus angin yang datang bersama petrikor. Wajah pucatnya melembut, dan mata cokelatnya mulai membayang. "Aku masih ingin terbang."
Kanker yang ada di kepalanya mungkin tak akan sembuh dengan cepat. Tapi, Levi yakin, akan ada hari di mana mimpi Hanji dapat terwujud. Bersamanya.
"Hei, Levi, berjanjilah padaku." Hanji mengujar tanpa menoleh sekalipun pada lawan bicaranya. "Jika aku tidak mati setelah operasi, segera bawa aku terbang bersamamu, ya."
Ia tak akan lelah untuk berusaha, menyisipkan janji di atas sekat-sekat kaca agar tak pernah menguap. Dan, menjaganya agar kaca itu tak pecah berserakan.
Selamanya.
Levi tersenyum kering, matanya yang sayu tak bisa berharap lebih dari ini.
Bahkan jika kau mau, aku berjanji akan membawamu terbang saat ini juga, Mata Empat.
.
.
(end.)
