Prolog
"Wah, wah, ada satu lagi yang ingin bergabung ke pesta ini, hm?" Pertanyaan menggoda itu menyedot perhatian sebagian orang untuk ikut melihat dengan tatapan yang sama. "Kau siapanya Kise? Tetangga? Kekasih?"
"Mana dia?" Lelaki tegap tersebut mendesis marah. "MANA DIA?"
"Ah, hahahah." Tawa terdengar, seperti sudah menebak jalan keseluruhan cerita. "Kau korban si manis Kise? Dengar, one night stand seperti itu memang sudah wajar, kau sebaik-"
"MANA KISE?!!" Urat-urat lehernya tercetak jelas, bersamaan dengan orang-orang yang semakin ramai menonton.
GRAP.
Cekik.
"Mana?"
"Ukh, di-dia di kamarh, ukh, lepasshh..." Mata sang pria -atau wanita- melotot menahan rasa sakit, menggeliat memohon. Lelaki besar itu menghempasnya ke lantai.
"KISE!" Matanya nyalang. "KISE, KELUAR KAU!" Dia menendang pintu yang sedikit terbuka dengan kaki, suaranya berkali lipat lebih menggelegar. "DIMANA KAU?!!"
Tidak. Tidak ada.
Kamar itu hanya dipenuhi baju-baju berserak, dengan pria yang bukan Kise di ranjang. Pupil memerahnya digulirkan ke arah kamar mandi, tapi ruangan itu gelap.
"Bajingan, KELUAR!!"
Otaknya bekerja. Lantai bawah. Kamar. Kamar mandi. Di mana? Di mana lagi?
"Jangan bertingkah selayaknya tuan rumah, hitam. Bertingkahlah seperti tamu agar bisa menjadi raja di mana-mana."
Kamar tamu? Kamar mandi umum?
"Hoi! Jangan mandi lama-lama!"
"Salah sendiri. Cari kamar mandi lain, kan banyak!"
"Nanti kau masuk angin!"
"Aku suka di sini! Tempat paling menyenangkan itu kamar mandi!"
Dia memasuki kamar mandi umum, refleks meninju seseorang yang sudah dihafal mati.
BUAGH.
"Apa yang kau lakukan..." Tubuhnya bergetar menahan amarah, "APA YANG KAU LAKUKAN SAMPAI-SAMPAI BEGINI JADINYA?!!"
BUAGH.
Kepala pemuda bernama Kise terhantam ke dinding akibat kekuatan tinju yang tidak main-main.
BUAGH.
"KAU MENJIJIKKAN!"
BUAGH.
"APA-"
Satu tinjuan lagi. Matanya dihantam.
"KAMI-"
Lagi. Darah mengalir di sudut bibir.
"MEMBESARKANMU-"
Lagi. Giginya goyah.
"HANYA-"
Lagi. Tulang pipinya kebas.
"UNTUK-"
Pandangannya goyah. Cukup.
"INI?!!"
BUAGH.
Pukulan terakhir telak menghajar dinding. Kise mengelak dan perlahan ikut bergetar.
"AKU TIDAK PERNAH MEMINTA KALIAN UNTUK MEMBESARKANKU! TIDAK PERNAH MEMINTA IBUMU! TIDAK PERNAH MEMINTAMU!!" Suaranya melengking, pecah. "TIDAK PERNAH SAMA SEKALI!!"
Raut wajah sang lawan bicara menggelap. "JUGA TIDAK ADA YANG MEMINTA MENYERAHKAN BOKONGMU UNTUK LAKI-LAKI!!"
BUAGH
"KAU JUGA LAKI-LAKI, KISE. LAKI-LAKI!"
BUAGH.
Kise jatuh tersungkur.
"Enyah saja kau kalau begitu. Jangan meminta perlindungan apapun lagi dariku."
Jeda.
Dia yang berada dalam ambang batas sadar membulatkan mata. "Tidak, aku minta maaf.." Kise memohon, menyedihkan. "Aku benar-benar minta maaf.."
Sebelum benar-benar pergi, tangannya merogoh saku, melemparkan sesuatu "Obati, atau kau akan membusuk di sini."
Dengan wajah yang membengkak lebam, tenaga terakhir dihabiskannya untuk membawa obat luka mendekat dan menatap punggung Aomine. Matanya perih, juga menghangat. "Terimakasih."
Di atas genangan darah bercampur air mata, dia berpikir-
-Dia masih mempunyai tempat untuk pulang, kan?
