Title:
Reincarnation or Illusion
Cast:
Choi Seungcheol a.k.a a.k.a Prince Coups
Yoon Jeonghan
Hong Jisoo
OC
Rated:
M (Mature for Sex Scenes, Some Blood Scene, Mental Breakdown, Fantasy creature, and many more)
Summary:
Ketika cinta melelehkan hati yang dingin dengan segala keindahannya.
Ketika hati yang menghangat kembali membeku
Melihat kekasih hati pergi menyisakan lubang di hati
Ketika janji membelenggu dengan segala siksaannya
Ketika cinta kembali datang sebagai renkarnasi baru
Atau kembali hilang sebagai ilusi?
.
.
.
.
Zaman Reinasseince Tengah, London Utara, 1023 M
Hujan masih turun disertai petir yang setia menemani. Dibingkai dinginnya malam dan sapuan angin badai. Sepasang muda-mudi sedang menyalurkan hasrat terliar mereka. Memadu kasih dan saling mencumbu, mengacuhkan petir yang sedari tadi berteriak.
"Nghh. . " lenguh wanita tersebut. Gaun malam tipis yang sebelumnya membalut tubuhnya telah tanggal. Menyisakan tubuh indah menggoda yang selalu ditunggu lelaki manapun.
Sang pria mendekatkan bibirnya ke telinga sang pujaan hati. Membisikkan kata-kata klise nan menggoda. Membuat wajah itu berubah semerah tomat segar. Malam itu, sekali lagi, mereka lalui dengan penuh cinta, hasrat, dan peluh yang mengalir dari tubuh keduanya.
...
...
...
Matahari telah menampakkan diri, pagi kembali hadir setelah semalaman London Utara diliputi rasa cemas akan badai. Tubuh rapuh itu menggigil, dinginnya badai semalam masih ia rasakan. Cahaya matahari yang masuk melalui celah korden membangunkannya. Matanya masih berusaha menyesuaikan keadaan. Wanita itu mencoba untuk bangun dari posisinya. Tangannya menopang berat tubuhnya. Seketika rasa nyeri menjalar ke seluruh tubuhnya,
"Ughh..."
Dia menyentuh pinggangnya, tempat rasa sakit itu muncul,
'Berapa kali kami melakukannya semalam?' pikirnya.
Dia masih mencoba untuk bangkit, disibakkannya rambut brunette sebahu yang terjuntai ke depan wajahnya. Selimut beludru berwarna darah itu digunakannya untuk membungkus tubuh telanjangnya, ketika ia berhasil duduk di pinggir kasur. Dia masih berusaha untuk berdiri, bermodalkan tiang penyangga tempat tidur, tubuh menggoda itu mencoba.
Mendadak rasa nyeri itu kembali muncul, kakinya tak kuat menahan beban tubuhnya, ia akan jatuh menatap lantai.
Si Brunette itu sudah bersiap untuk merasakan sakit yang lain saat ia merasakan sepasang lengan tegap yang mendekapnya,
Wanita itu membuka kedua matanya, dihadapannya sosok sempurna seorang pria. Dengan tubuh atletis, mata coklat menawan dengan alis yang menaungi indah, rambut hitam dengan ujung surai pirang, bibir penuh berwarna merah pucat, dan juga kulit putih berkilauan. Tidak, yang ini benar. Kulit punggungnya yang ditutupi kemeja tipis itu nampak berkilauan. Sinar matahari yang masuk melalui celah korden itu menunjukkan betapa indahnya tubuh itu.
"Kau tidak apa-apa?" tanyanya datar,
Wanita itu masih terdiam, matanya masih tertuju pada kilauan seindah berlian yang bersumber dari kulit putih sang pria.
Pria itu menggendong tubuh rapuh itu dan mendudukannya di kasur, punggung indah sang wanita ia senderkan ke kepala kasur. Wanita itu sedikit berjengit ketika dinginnya tembaga kepala kasur menyentuh punggung sensitifnya,
"Maafkan aku, aku menyakitimu lagi" ucap sang pria tetap konsisten dengan nadanya.
Sang wanita tak mengatakan apapun melainkan, membuka gulungan selimut yang membalut dirinya dan memeluk sang pria. Kini, selimut beludru itu menutupi keduanya. Kilauan itu terhentikan ketika kain merah halus itu menutupi tubuhnya.
"Tak apa, kau tak menyakitiku. Aku tak merasa sakit darimu" ucap sang wanita lembut.
Pria itu membisikkan sesuatu pada sang wanita, "Aku sudah menyiapkan sarapan. Ayo turun ke ruang makan"
Pria itu hendak melepaskan pelukannya ketika tangan putih sang wanita malah memeluk lehernya erat,
"Kau tak mau melakukannya?"
Pria ini tahu apa yang dimaksud, sudah menjadi kebiasaannya setiap pagi setelah semalaman bercumbu dengan sang pujaan hati. Tapi tidak dengan kondisi sang putri seperti ini. Ia sudah cukup bersalah karena tidak bisa mengontrol hormonnya semalam. Membuat si Brunnette ini bahkan susah payah untuk duduk sendiri.
"Kau juga butuh energi, aku masih bisa bertahan tanpa melakukannya. Sedangkan kau? Kau harus menambah darahmu"
Masih dalam posisi berpelukan, wanita itu berkata, "Energiku adalah dirimu. Energimu adalah aku. Kita saling membutuhkan satu sama lain. Aku tidak peduli jika harus mengonsumsi daging sapi dan brokoli setiap hari. Hanya untuk menyediakan energi untukmu"
Sang pria terhenyak, ia melepaskan pelukannya dan menatap lurus ke arah sang wanita. Melihat pikiran sang pujaan hatinya yang hanya terisi oleh dirinya. Dia tidak berbohong.
"Baiklah, tapi aku hanya akan meminum sedikit."
Sang wanita menyibakkan rambut coklat sebahunya dan menampakkan leher jenjang penuh dengan 'bekas' semalam.
Sang pria menyusupkan tangan besarnya di bagian leher yang tertutup rambut. Merasakan lembutnya helaian coklat itu diantara jari-jarinya.
Ia mendekatkan bibirnya ke kulit yang terekspos tersebut dan mulai menjilat kecil tanda yang semalam ia torehkan. Sang wanita mulai menggeliat tak nyaman
"Aku akan membuat ini lebih lembut dari biasanya, jadi bersabarlah aku akan menyiapkanmu" sang wanita hanya menjawab dengan erangan kecil.
Sang pria masih terus menjilati dan menggigit kecil daerah leher itu, setelah dirasa cukup ia mulai mengambil sedikit jarak, membuat hembusan nafas dinginnya terasa semakin intens. Ia menyeringai menunjukkan sepasang ujung gigi taring yang berkilauan. Kembali membasahi dengan lidahnya yang bergerak liar di leher sang wanita, lalu...
CREP...
Sepasang taring tersebut menembus permukaan halus kulit wanita itu. Sang wanita hanya bisa mendongak menahan sakit dan kenikmatan yang berpadu.
"Annngghhh. . . . "
Erangan halus keluar dari bibir ranum itu ketika ia merasakan darahnya dihisap perlahan oleh pria ini, membuat kepalanya sedikit pening karena cairan pembawa oksigen itu dikeluarkan dari tubuhnya.
Selang beberapa detik, sang pria mencabut kedua taringnya. Sang wanita yang tadinya duduk akhirnya lemas dan terjatuh di pelukan sang pria. Kulit putih wanita itu berubah menjadi pucat. Sang pria menjilat dua titik bekas gigitannya dengan lidahnya. Membasahi kedua luka tersebut dengan liurnya hingga hilang tak berbekas. Surai pirang di ujung rambutnya kini menyebar hingga seluruhnya berubah menjadi pirang terang. Seolah telah mendapat nutrisi yang cukup untuk mengembalikan kekuatannya yang telah hilang.
"Terima kasih, Angel" bisik pria itu lembut di telinga sang wanita
"Hanya milikmu, Pangeran Coups" gumam sang wanita sebelum akhirnya warna hitam memblok pandangannya.
...
...
...
Rumor itu telah tersebar cepat. Bagai angin musim dingin yang tak dapat dihentikan, menerbangkan daun-daun jati yang telah menua. Tidak ada yang bisa dilakukan. Seorang wanita telah jatuh ke dalam kegelapan. Kegelapan yang membuatnya buta akan dunia. Menjalin hubungan dengan makhluk yang harusnya kaum manusia perangi.
Malam itu, wanita itu dikeluarkan dari tahanannya. Wajah cantik yang biasa terukirkan senyuman itu berubah menjadi tirus dan pucat dengan tulang pipi yang menonjol jelas. Gaun yang ia kenakan sobek disana-sini membuat model yang tidak jelas. Rambut sebahu berwarna sematang pohon jati itu berubah menjadi panjang dan tidak terurus. Kusut dan menghitam. Kakinya yang dulu jenjang, mengecil karena selalu terpasung di dalam ruangan yang tak terkena sinar matahari.
Wanita itu diseret di alun-alun kota. Para warga membawa obor yang menerangi pendangan mereka. Teriakan – teriakan itu menggema di langit malam yang sunyi. Ketika akhirnya wanita dimasukkan ke dalam sebuah peti kayu dan dirantai. Seorang pemuka agama memegang salib dan buku kecil, membacakan beberapa kalimat dalam bahasa yang tidak dimengerti sebelum akhirnya menyiramkan sebotol kecil air di atas peti tersebut.
Peti itu diarak sebelum akhirnya sampai ke ujung tebing laut. Ombak menghantam jejeran batu karang di dasar tebing menghasilkan suara dentuman yang membuat bulu tubuhmu merinding.
"Lempar dia!...Lempar dia!..."
Teriakan masih terus mengalun, peti kayu itu ditempatkan di ujung tebing dan bersama-sama di dorong jatuh. Beberapa saat kemudian, suara dentuman yang lebih menggema dari milik ombak memecah kesunyian. Tidak ada yang berani melihat ke bawah tebing.
Suara itu telah membuat warga cukup tahu apa yang telah terjadi pada wanita malang itu. Kerumunan itu bubar ke rumah masing-masing. Obor yang berkumpul seiring mati, suasana kembali sunyi dengan dentuman ombak yang masih setia menyapa batu karang.
Di balik pohon ek tua yang tidak jauh dari ujung tebing, berdiri seorang pemuda, tampang dingin sejak tadi menghiasi wajahnya. Mengikuti ritual bodoh itu semenjak di alun-alun membuat hatinya mencelos. Ia membencinya, membenci semua orang yang melakukan ini pada kekasihnya.
Haruskah ia membalaskan dendam? Tidak, ia sudah berjanji di atas darah kekasihnya sendiri.
Dan ia menepati janjinya, ia menepati janjinya untuk tetap menjaga dirinya, identitasnya dan keberadaannya.
Tapi untuk apa? Jika Angel tidak disini.
Angel adalah dirinya...
Angel adalah identitasnya...
Angel adalah keberadaannya...
Kehangatan dalam hatinya meluntur, terbayang wajah sang pujaan hati yang menyedihkan di saat-saat terakhirnya.
Manusia brengsek! Kalian kira kalian suci hanya dengan sebuah buku bodoh dan salib yang tergantung di leher kalian?! Monster sesungguhnya bukanlah kami melainkan kalian!
"Aku memang telah berjanji padamu untuk menjaga diriku dan keberadaanku dari yang lain. Aku berjanji padamu untuk membiarkan apapun yang terjadi. Aku berjanji padamu untuk tidak menyerang manusia-manusia itu apapun yang mereka lakukan padamu. Aku juga telah berjanji untuk tidak balas dendam"
Sang pangeran mengepalkan tangannya, "Tapi aku tidak berjanji untuk membuka hatiku. Aku tidak berjanji jika kehangatan ini memudar. Aku tidak berjanji ketika hasrat ini memuncak. Aku tidak berjanji."
Coups berlari menembus hutan, pikirannya sudah kalut. Teringat kembali salah satu ucapan terakhir Angel sebelum sang malaikat itu dikurung selama dua minggu di ruang bawah tanah
"Kau tahu pangeran Coups?"
". . . "
"Kita seperti Matahari dan Bulan"
"Karena kita sama – sama indah?"
"Mungkin itu benar. Tapi bukan itu maksudku."
"Lalu?"
"Kita selalu bersama, tapi tidak ditakdirkan untuk bertemu. Kita saling mendukung, tapi juga bermusuhan. Kita memancarkan kekuatan, tapi tidak bisa untuk disatukan."
". . . "
"Dari awal kita ditakdirkan untuk hidup berdampingan tadi tidak bersama. Kita saling mengetahui tapi tidak mencampuri. Kita saling memiliki kehidupan tidak untuk disatukan"
". . . "
"Bila suatu hari nanti, aku pergi berjanjilah untukku"
Angel mengambil pisau dan menggoreskannya pada telapak tangannya sendiri. Menahan rasa sakit, ia menaruh telapak tangan Coups diatas tangannya yang berdarah
"Berjanjilah di atas darahku untuk menjaga dirimu, identitasmu dan keberadaanmu."
Coups hanya bisa menuruti permintaan kekasihnya itu, sebelum akhirnya pintu kastil pribadinya dihancurkan warga menggunakan kapak dan membawa sang pujaan hati pergi.
Janji diatas darah sang kekasih itu tak akan pernah ia langgar.
. . .
. . .
. . .
Sang Matahari telah kehilangan sang bulan. Hari tetap berjalan namun, malam terasa sepi. Hanya titik bintang sebagai kenangan selama sang bulan ada menemani. Kini sang Matahari hanya bisa menjalankan tugasnya juga janji. Demi melihat bayangan sang bulan yang selalu tersenyum di hati.
Biasakah Sang Matahari melalui ini?
Kuatkah ia untuk tetap berdiri?
Akankah ada masa itu kembali?
Kini sang matahari hanya bisa berdiri meminta. Mengharap kepada sang semesta untuk mengembalikan yang dicinta. Tanpa tahu, bahwa sang semesta, telah menyiapkan Venus yang akan menggantikan keberadaan yang telah sirna
. . .
. . .
. . .
. . .
To Be Continued
.
.
.
.
.
.
YEAAAYYYYY JEONGCHEOL...
Ini kapel juga unyu unyu beudz. Mereka itu minta dinikahin deh
Udah ya. Gak tahu mau ngomong apa lagi wkwkwkwkw
