Disclaimer: Harry Potter milik J.K. Rowling.
Warning: Sesuai dengan genre tragedi, tak ada akhir bahagia di cerita ini.
Rating: T
Sebagai seorang gadis pandai dan berakal, Rose Weasley tentu tahu kalau segala sesuatu yang overdosis bisa berdampak buruk. Ibaratnya, seperti pepatah lawas yang biasa disenandungkan ibundanya tercinta, curiosity killed the cats atau rasa ingin tahu berlebihan berisiko membawa dampak negatif di kemudian hari.
Meski sejak kecil rutin mendengar peribahasa tersebut, Rose tak serta-merta mengurangi watak ingin tahu yang kelewat batas. Tabiat menjengkelkan yang terkadang membuat sepupu-sepupunya geregetan dan mencapnya Nona-Sok-Ingin-Tahu-Segala.
Bicara tentang sepupu-sepupunya, Rose jadi teringat sepupu laki-laki yang paling bandel dan penuh semangat, James Sirius Potter.
Gara-gara putra sulung keluarga Potter itulah Rose jadi terjebak di lorong kelam Knockturn Alley yang sesempit lubang-lubang kelinci. Terperangkap di jalanan berlumut berselimutkan gumpalan debu yang konon dihuni banyak penyihir hitam mematikan. Tukang sihir kejam tak berperikemanusiaan yang kabarnya hobi menjadikan gadis-gadis muda belia seperti dirinya sebagai sajian utama santap malam mereka.
Untuk yang satu itu, Rose tak berhalusinasi. Sepuluh menit lalu, tak jauh dari gerbang depan Knockturn Alley, Rose sudah berpapasan dengan nenek tua keriput yang menatap dalam-dalam dengan pandangan lapar.
Tersenyum memamerkan barisan gigi taring yang dijamin membuat ikan hiu pemburu cemburu, tukang sihir pendek kisut itu mengikuti gerak-gerik Rose melalui sepasang manik mata yang sepucat susu.
"Domba gemuk yang malang, apa kau tersesat?" si nenek sihir bertanya dengan nada simpati palsu, mendekati Rose dengan langkah gontai yang terseret-seret. Memaku Rose dengan netra kabur yang berkilap ganjil, si nenek menjulurkan tangan sekurus tengkorak, mempertontonkan deretan kuku seruncing cakar baja. Kuku mengerikan yang bisa mengoyak tulang belulang sekeras apapun dalam satu detak jantung.
Sadar keadaan tak menguntungkan, Rose langsung berbalik arah dan berlari sekencang mungkin. Menyelip-nyelip di antara lusinan penyihir yang memadati gerbang lengkung dari besi tempa, Rose berhasil meloloskan diri dari nenek lampir yang jelas-jelas berniat menguliti dan menyantap dirinya tanpa sisa.
Setelah sepuluh menit berkelebat tak tentu arah, Rose menghentikan langkah di tikungan terakhir. Menyenderkan tubuh lelah di dinding batu kapur yang retak-retak, Rose merutuki insiden horor yang nyaris merenggut nyawa.
"Domba gemuk? Astaga... astaga..." sengal Rose terengah-engah, berjuang menata gejolak napas yang memburu gara-gara terlalu cepat berpacu.
Kalau begitu, lekas kembali ke The Burrow, Rose Weasley! Jangan cari penyakit atau mengantar nyawa secara cuma-cuma di sini.
Lagi-lagi, hati kecil Rose yang sedari awal perjalanan menjerit tak setuju kembali menyuarakan keberatan dan kegundahan. Keberatan logis yang sialnya dikalahkan oleh sikap nekat, perangai keras kepala dan rasa ingin tahu yang menggila.
"Tidak! Aku tidak mau kalah! Aku tidak mau kalah dari siapapun juga. Tidak juga James, Lily atau Scorpius!" Rose memekik lirih, meringis sedih saat nama Scorpius meluncur dari lidah.
Menghela napas getir, Rose tanpa sadar menggumamkan nama Scorpius. Berkali-kali melafalkan nama seorang pemuda yang dicintai diam-diam.
Cinta rahasia yang bertepuk sebelah tangan.
Cinta terpendam yang tak kesampaian.
Cinta terselubung yang celakanya lebih memilih orang lain ketimbang dirinya, gadis biasa yang tak punya kelebihan apa-apa selain kepala sekeras batu karang dan rasa ingin tahu hiperbola.
Menatap nanar gundukan toko bobrok dengan daun jendela-jendela kusam yang setengah tertutup, Rose mengenang kembali pertemuan pertama dengan pewaris tunggal klan Malfoy tersebut.
Perjumpaan tujuh tahun silam di peron sembilan tiga perempat Stasiun King's Cross, London. Pertemuan pertama yang menimbulkan bekas mendalam di benak. Kesan mengesankan yang celakanya dirusak oleh wejangan keras ayahnya yang menuntut dirinya untuk menjauhi anak laki-laki tampan bernama lengkap Scorpius Hyperion Malfoy itu.
"Ingat Rosie, jangan terlalu ramah kepadanya. Kakek Weasley tak akan memaafkanmu jika kau menikahi si darah murni itu."
"Tapi aku mencintainya, Dad! Aku ingin menikahinya!" Rose melolong kalut, mengagetkan sejumlah kurcaci bertampang sangat aneh yang melintas di tikungan jalan masuk melingkar. Memandangi Rose sepintas lalu, gerombolan makhluk cebol berkostum rombeng itu kembali berlalu. Jari-jari buntek mereka yang berselaput dan berbonggol-bonggol memanggul kuali emas berkarat yang disesaki benda serupa kepalan tangan bayi manusia.
Tapi dia tak mencintaimu, Baby Rose. Dia mencintai Little Lily...
Suara kecil yang berhembus dan berbisik dari balik benak menyulut emosi Rose. Perasaan Rose semakin campur aduk saat kenangan tentang pernyataan isi hati terdalam Scorpius berlarian di otak. Pengungkapan perasaan yang menjungkirbalikkan jiwa dan raga seutuhnya.
Memejamkan mata yang menggantung letih, Rose memutar ulang kejadian kemarin lusa yang menghancurleburkan dinding-dinding batin. Insiden curi dengar pembicaraan pasca pelajaran Herbologi yang diketahui gara-gara rasa ingin tahu yang membara...
Biasanya, sehabis pelajaran Herbologi maupun pelajaran tengah hari lain, Rose langsung menuju Aula Besar untuk makan siang bersama sepupu-sepupunya. Namun, hari itu berbeda sebab guru Herbologi yang baru mengajar di awal semester ini, Profesor Goshawk meminta Rose untuk membantu mengoreksi ulang PR dan perkamen tugas siswa tahun pertama.
Memang, berkat kepintaran yang melegenda, sejak tahun keenam Rose sering didayagunakan sebagai tangan kanan dan asisten guru. Profesor Goshawk yang notabene masih asing dengan kurikulum Hogwarts termasuk salah satu pengajar yang memanfaatkan kredibilitas dan kompetensi langka tersebut.
Rose sendiri tak keberatan dengan tugas tambahan yang bagi sebagian kalangan dianggap sangat melelahkan dan membosankan. Bagi pelajar baik dan paling pintar seangkatan seperti dirinya, aktivitas ekstra menjadi pendamping guru itu semakin mengukuhkan reputasi sebagai penyihir paling genius sepanjang sejarah Hogwarts. Predikat spektakuler yang di masa lalu pernah direbut oleh ibu kandungnya.
Setelah satu jam bersemayam di kantor Profesor Goshawk yang terletak di belakang rumah kaca, Rose akhirnya menyelesaikan mandat dengan sempurna. Mengusap perut yang kekenyangan sehabis menyantap sajian makan siang (Profesor Goshawk sudah meminta peri rumah yang bekerja di dapur Hogwarts untuk membawa jatah makan siang Rose ke dalam kantor), Rose beringsut menuju tas dan perbekalan lain yang disimpan di bawah rak Mimbulus Mimbletonia.
Baru enam langkah berjalan, Rose dikejutkan dengan suara berbisik-bisik yang amat dikenal. Suara familier yang selama bertahun-tahun ini mengisi mimpi-mimpi indah di malam hari.
Didorong penasaran mendalam, Rose mengendap-endap menghampiri jejeran pot tembikar berisi kaktus abu-abu penuh bisul. Di sana, di dekat gundukan tanaman berduri yang menghasilkan Stinksap; cairan beraroma pupuk kandang tengik, Scorpius duduk bergaya dikelilingi empat kamerad terdekat.
Melihat pemandangan arogan itu, Rose hampir menguik tertawa. Tampaknya, meski tengah menghadapi detensi, terlihat dari jubah sekolah yang menguarkan bau busuk khas Stinksap, geng Slytherin pimpinan Scorpius tetap menjaga keanggunan dan kepongahan mereka.
"Astaga, detensi kali ini benar-benar payah dan menjijikkan!" Scorpius mendengus gusar, mengendus tepi lengan jubah yang dipenuhi noda. Sedetik setelah hidung mancung miliknya menyentuh lengan seragam, pemuda bermata kelabu perak itu menggulung lidah dan muntah-muntah di tempat.
"Scorp! Jorok banget sih kamu!" Rafflesia Arnoldi Zabini, satu-satunya penyihir perempuan di kelompok elit itu merutuk beringas ketika muntahan Scorpius membanjiri sepatu hitam berpita mengilat yang tersemir rapi.
Mencubit keras lengan Scorpius hingga lebam-lebam, putri tunggal konglomerat Blaise Zabini itu melafalkan Mantra Scourgify non-verbal. Jampi-jampi Pembersih yang langsung membuat kotoran isi lambung Scorpius yang melekat di sepatu hilang tak berbekas.
"Busyet deh! Galak amat sih kamu, Raff," Scorpius mendesis tak terima, meniup-niup kulit lengan yang membiru. Melirik sengit wajah jelek Rafflesia Arnoldi, yang balas mendelik dengan sorot setajam garpu rumput, Scorpius melanjutkan cemoohan.
"Nama memang mencerminkan sang empunya. Lihat saja dirimu, Raff. Mulut somplak dan tingkah jalangmu benar-benar sebusuk bunga bau bangkai," semprot Scorpius, menjentikkan tongkat sihir untuk memusnahkan semua kotoran di jubah sekolah.
Rose tersenyum senang mendengar komentar menyengat tepat sasaran itu. Seringai puasnya kian lebar saat muka Rafflesia Arnoldi dipenuhi bercak merah, persis seperti warna kelopak bunga terbesar di dunia yang menjadi inspirasi nama.
"Namaku indah kok. Kau saja yang tak punya cita rasa seni!" Rafflesia Arnoldi meringkik sinis, sengaja berbicara dengan aksen Italia yang difasih-fasihkan. Menumpukan kedua tangan langsing di pinggul, penyihir berotak kacau yang mewarisi wajah bengis ibunya, Pansy Parkinson Zabini itu melanjutkan narasi berbusa-busa.
"Madre bilang, sejak dulu ia ingin nama anaknya diambil dari nama bunga, sama seperti dirinya. Kebetulan sekali, diriku yang cantik jelita luar biasa dan tak ada duanya ini lahir saat Madre dan Padre sedang berwisata di hutan tropis Bengkulu," sambar Rafflesia Arnoldi tak mau kalah, mengangkat hidung anjing pesek setinggi mungkin hingga nyaris membentur langit-langit rumah kaca.
"Tapi Raff, di dunia ini banyak sekali nama bunga yang indah-indah. Contohnya, ivy, dahlia, sakura, azalea, magnolia," Magnus Flint, pemuda tegap berambut hitam gelap yang berdiri di dekat Scorpius menyeringai geli. Mengedip nakal ke arah Scorpius, putra kedua pengusaha kaya Marcus Flint itu menyambung ocehan.
"Dan juga Lily."
Keheningan berat menulikan yang menekan gendang telinga menyelubungi rumah kaca selepas komentar provokatif tersebut. Rose sendiri mati-matian menahan napas dan erangan lemah saat nama sepupu perempuannya disebut-sebut.
Oh tidak. Tidak! Jangan Little Lily lagi. Jangan dia!
"Kenapa memangnya dengan Lily? Kenapa juga kau melirik Scorp saat menyebut nama Lily?" Rafflesia Arnoldi bertanya pura-pura bego. Padahal, dilihat dari sinar licik yang berkilat di mata granit, gadis berkulit cokelat moka itu sudah tahu isi hati terdalam teman sejak kecilnya.
"Tidak ada apa-apa," sangkal Scorpius ligas, menggosok-gosok telapak tangan dengan gelisah. Walau mulut membantah, Scorpius tak bisa menutupi rona samar yang mewarnai tulang pipi. Bilah pipi tinggi yang menjadi identitas asli garis keturunan keluarga bangsawan Malfoy yang terhormat.
"Blimey, Scorp! Aku baru tahu kalau kau ternyata memakai perona pipi," Rafflesia Arnoldi mengikik usil, menyebut nama pemulas pipi yang selalu dipakai satu kali dua puluh empat jam.
"Dia tidak memakai perona pipi, Raff. Dia memang selalu memerah cerah begini setiap kali nama Lily disinggung-singgung," Magnus Flint mendengking di sela-sela gelak tawa membahana yang menggetarkan kisi-kisi rumah kaca.
Di seberang Magnus, tak jauh dari sulur buncis yang tumbuh subur, Hadrian Pucey tersenyum kalem, memamerkan barisan gigi putih terawat. Dibandingkan teman-teman laki-lakinya yang berandalan, pemuda tampan bermata cokelat emas itu memang lebih santun dan beradab.
Sepertinya kepribadian bersahaja itu diwarisi Hadrian dari ayahnya, Adrian Pucey, Chaser andalan timnas Quidditch Inggris. Atlet flamboyan yang sukses membawa Inggris menjuarai Piala Dunia Quidditch tahun lalu.
"Dia juga sering mendesahkan nama Lily di sela-sela mimpi basah malam hari," Greg Goyle, penyihir gembul bertubuh makmur yang sedari tadi mengunyah lahap sekardus kacang Bertie Botts rasa kotoran telinga membuka kartu Scorpius. Bocoran kelas satu yang langsung disambut siulan mesum dan dengung setuju yang mencuat bertalu-talu.
"Lily... ah, Lily... Lily. Ya, Lily," Magnus Flint mendesah ngawur, menirukan tampang preman cabul semirip mungkin. Melihat tingkah polah Magnus, Rafflesia Arnoldi berkotek nyaring, persis seperti tanaman beracun Mandrake yang histeris saat jidat mereka ditumbuhi jerawat.
"Scorpy suka Lily! Scorpy suka Lily!" Rafflesia Arnoldi tertawa melengking seperti sundel bolong kerasukan, makin menambah dosis sindiran seksual liar saat mata semburat cahaya keperakan Scorpius mendelik berang.
"Ya, aku suka Lily! Puas?" Scorpius membentak lantang, membuat mulut besar teman perempuannya menutup membentuk seringai kecil penuh kemenangan. Senyuman iblis yang baru diketahui artinya oleh Rose saat Ratu Gosip Slytherin itu mengerling sadis, melirik dirinya yang bersembunyi di balik gerumbul Mimbulus Mimbletonia.
"Kupikir kau suka pada si kutu buku itu. Si Giant Baby Rose," Rafflesia Arnoldi menyindir melecehkan, sengaja mencantumkan nama panggilan yang amat dibenci Rose. Julukan yang kurang lebih berarti Rose si Bayi Raksasa.
Rose yang kram karena kelamaan berjongkok hampir terjengkang mendengar namanya dimasukkan ke dalam pembicaraan. Memegangi tulang dada yang berdebar-debar, Rose berharap-harap cemas menanti jawaban yang akan dilontarkan pemuda idamannya.
Kumohon, kumohon. Katakan kalau kau menyukaiku, Scorp. Katakan kalau kau lebih mencintaiku ketimbang Lily...
"Aku tidak pernah menyukai Weasley. Tak secuilpun. Dari dulu aku hanya mencintai Lily."
Pengakuan lantang itu tak ubahnya vonis eksekusi mati bagi Rose. Jantungnya yang sudah berdetak tak karuan kini berlompatan di katup. Engahan panjang pendek terlontar putus-putus saat paru-parunya seolah-olah kehilangan kemampuan menghirup udara.
"Aku tidak pernah menyukai Weasley. Tak secuilpun. Dari dulu aku hanya mencintai Lily."
Hanya mencintai Lily. Selalu Lily. Selalu...
Bara sakit hati dan gejolak cemburu yang menyelimuti kalbu Rose kian mengeras ketika mulut beracun Rafflesia Arnoldi kembali meluncurkan serangan pamungkas.
"Yah, Little Lily memang lebih unggul dari Giant Baby Rose. Lily lebih cantik, lebih anggun, lebih berkelas dan lebih bisa dijinakkan."
Rose yang masih memejamkan kelopak mata tak sadar jika Rafflesia Arnoldi, orang gila liar yang sudah menjadi musuh utama sejak tahun pertama tergelak sembari mengedip keji. Kerlingan beringas penuh dendam yang rupanya disadari oleh pacar gendut Rafflesia Arnoldi, Greg Goyle yang berdiri malas di dekat tumpukan karung kulit berisi kompos kotoran manusia.
"Lily juga tak suka menguping. Tak seperti Jalang-Sok-Ingin-Tahu-Segala ini."
Dikomando bocoran Greg Goyle, Scorpius menengok ke belakang, menangkap basah Rose yang meringkuk ngumpet di antara helaian kaktus berduri. Ekspresi culas yang terhampar di paras Rafflesia Arnoldi kian jelas saat Scorpius bertanya dengan nada curiga.
"Ngapain kau di sini?"
Otak Rose yang masih mati rasa akibat pengakuan perasaan Scorpius tak bisa berputar dan berpikir cepat. Melihat Rose tak mampu merangkai kata-kata, Rafflesia Arnoldi langsung menyambar kesempatan itu untuk mempermalukan seteru abadinya lebih jauh lagi.
"Sepertinya tak hanya tulang belulang yang besar, Weasley. Telingamu juga sebesar dan selebar kuping gajah!" Rafflesia Arnoldi menjerit tertawa, senang tak terkira tatkala teman-teman laki-lakinya tergelak terpingkal-pingkal.
Bagi Rose, derai tawa mengejek itu bukan apa-apanya dibandingkan pandangan merendahkan yang dihunuskan Scorpius. Melipat lengan dengan sombong, Kapten tim Quidditch Slytherin itu mengawasi Rose dengan bola mata seterang bulan purnama. Sinar menghina membayang jelas di sana, mengirimkan tusukan setajam belati di hati Rose yang porak poranda.
Menahan tangis yang sudah mengganjal di kerongkongan, Rose melesat meninggalkan rumah kaca setelah sebelumnya menjambret tas yang tergeletak di bawah papan pot Mimbulus Mimbletonia.
Memaksa tungkai melesat secepat mungkin, Rose terbang menjauhi badai tawa yang mengiringi derap kaki. Menjauh dari tatapan menghina yang membuat serpihan hati hancur berantakan tak bersisa...
"Kau tak apa-apa, Nak? Kau tampak berantakan sekali."
Teguran serak itu mengembalikan kesadaran Rose. Mengubur kembali memori pahit yang membuat sukma berdarah-darah, Rose bersusah payah membuka manik mata biru yang berkelap-kelip.
Sedikit demi sedikit, pupil mata Rose yang mengabur akibat benih-benih air mata menangkap jelas siluet penyihir yang berbaik hati menyapa. Penyihir pria berpunuk yang masih terus mencermati dengan sorot prihatin.
Berdeham singkat, Rose menggelengkan kepala saat si penyihir berbibir rapat dengan kulit gelap sepekat tinta mengulangi pertanyaan. Sesuai dengan anjuran James, Rose sebisa mungkin menghindari interaksi dengan penyihir yang mendiami Knockturn Alley, kawasan kumuh yang dari cerita lisan turun-temurun dikenal rawan dan tersohor sebagai sarang kejahatan.
Untuk pendapat terakhir, hal itu ada benarnya juga. Sebagai pelanggan surat kabar Daily Prophet, Rose sering membaca berita tentang aksi kriminalitas dan tindak kejahatan random kejam yang sering terjadi di Knockturn Alley.
Tampaknya, meski Auror atau laskar pembasmi penyihir setan rutin berpatroli di Knockturn Alley, gerombolan bandit, begundal bejat dan penyihir hitam jahat berhati dingin masih menemukan celah untuk menebar teror kejahatan mereka.
"Aku yakin kau baru pertama kali menginjakkan kaki di sini," si penyihir berbibir kaku menyeringai miring, menampakkan gigi kuning yang tak pernah disikat bertahun-tahun. Mengawasi Rose dari atas hingga bawah dengan sorot tertarik, bibir lebar kendur si ahli sihir tua itu kembali berceloteh.
"Di sini bukan tempat tepat bagi anak kecil bermental lembek sepertimu. Pulanglah, Nak. Kau masih muda, tak layak mati konyol seperti kecoak."
Omongan si penyihir usil yang sarat intimidasi dan penghinaan spontan menyalakan bara amarah Rose. Sebagai seorang gadis cerdas yang terkenal kompetitif dan pantang dikalahkan, Rose tentu tak terima dirinya dicap sebagai makhluk lembek bermental kerupuk. Apalagi disamakan dengan kecoak hina yang gemar menggerayangi kakus dan memakan kotoran manusia.
"Aku tak akan pulang sebelum tujuan tercapai. Jika Lily bisa, kenapa aku tidak!" sembur Rose ketus, memicingkan mata saat penyihir bau Troll yang lusuh dan sudah pasti tak pernah mengenal kata mandi dan membersihkan diri terkekeh meremehkan.
"Jangan terlalu berlebihan menilai sesuatu, Anakku. Curiosity killed the cats, semua yang hiperbola bisa membawa bahaya," si penyihir berdecak tak sopan, gumaman tak jelas yang langsung memancing emosi Rose yang mewarisi watak temperamental ayahnya.
"Aku tidak butuh nasihatmu, terima kasih!" hardik Rose tajam, membalikkan punggung dengan kecepatan ekspres. Merentangkan kaki sepanjang mungkin, Rose menjauhi si penyihir berkulit hitam yang masih berbisik mencekam, menggelontorkan petuah-petuah kacangan yang tak diperlukan.
Menapakkan kaki di jalanan kotor penuh daun mati, sampah makanan berbau busuk dan tulang belulang binatang, hati mengkal Rose menggeram dongkol. Berani betul penyihir kedaluwarsa itu menstempelnya sebagai gadis tak berotak dan lemah mental.
Curiosity killed the cats. Bah! Tentu saja ia tahu makna pameo kuno itu. Sudah ribuan kali perumpamaan usang tersebut keluar masuk lubang kuping. Pepatah lama yang dikucurkan ibunya setiap kali Rose dianggap terlalu ikut campur dalam urusan orang lain.
Terkadang, Rose sering menggerutu tanpa suara jika ibunya mulai berceramah. Bagaimana bisa ibunya mengatakan hal seperti itu mengingat di masa muda dulu, ibunya juga sama sepertinya. Sama-sama sok ngebos, sok tahu dan gemar mengulik urusan orang lain.
Rose bisa mengetahui temperamen buruk ibunya berkat ulah ayahnya yang menjadikan kebiasaan tersebut sebagai bahan olok-olok. Setiap kali beradu pendapat, ayahnya pasti mengumbar watak negatif dan kepribadian kompleks ibunya. Lelucon murahan yang dalam waktu singkat meledak menjadi kericuhan tak terkendali.
Tarikan napas dramatis meloncat dari batang tenggorokan Rose ketika kenangan tentang pertikaian orangtuanya berkibar-kibar di benak. Pertengkaran rumah tangga yang marak terjadi setahun belakangan ini. Atau tepatnya sejak ibunya menduduki posisi tertinggi kedua di Kementerian Sihir Inggris; Asisten Menteri Sihir.
Awalnya, jabatan prestisius sebagai tangan kanan Menteri Sihir Kingsley Shacklebolt itu membuat Rose membusungkan dada. Siapa sih yang tak bangga dengan pencapaian gilang gemilang tersebut? Siapa sih yang tak senang memiliki ibu yang cantik, pintar dan sarat prestasi membanggakan?
Namun, sudut pandang ayahnya sepertinya berbeda. Ayahnya yang sejak dulu tak menyetujui kiprah ibunya semakin sering marah-marah. Tak sekali dua kali ayahnya menyalahkan ibunya yang dianggap terlalu sibuk bekerja.
Cedera total yang dialami ayahnya sewaktu bertugas di ibu kota Polandia, Warsawa kian memperkeruh keadaan. Gara-gara kutukan ilmu hitam yang tak bisa ditanggulangi, ayahnya tak bisa berjalan normal dan terpaksa pensiun dini dari Departemen Auror.
Mungkin ego terluka karena harus menganggur dan menggantungkan diri pada gaji istri membuat ayahnya gemar memancing keributan. Kadangkala, saat orangtuanya terlibat baku hantam, Rose terus bertanya-tanya mengapa dua insan berbeda karakter itu bisa dipersatukan dalam ikatan pernikahan.
Dilihat dari berbagai sudut pun, perangai ibu dan ayahnya benar-benar kontradiktif, persis seperti air dengan minyak. Ibunya yang keras kepala dan terorganisir kerapkali berselisih paham dengan ayahnya yang sembrono, pecicilan dan selalu menggampangkan masalah.
Sebelum orangtuanya bermusuhan layaknya anjing dan kucing, liburan merupakan hal yang paling dinanti-nanti Rose. Tapi, semenjak keonaran memayungi keluarga, Rose sangat membenci sesi liburan.
Bagaimana Rose bisa berlibur nyaman jika ayah dan ibunya tak henti-hentinya berkelahi. Atmosfer rumah yang dulu tenang dan tenteram kini menggelegak sepanas dapur neraka. Memaksa Rose mengurung diri di kamar sembari menutup rapat daun telinga dan pelupuk mata.
Jika Rose terlampau serius memikirkan efek pertempuran kedua orangtuanya, adik satu-satunya, Hugo Weasley bersikap sebaliknya. Sesuai dengan arti nama Hugo yang bermakna berpikiran cerdas dan tenang, remaja laki-laki berwajah sejuk menyenangkan itu jauh lebih bijak dalam menginterpretasi masalah.
Menurut Hugo yang mengutip keterangan Paman Harry, salah satu kerabat dekat yang paling disayangi, sejak remaja orangtua mereka memang tak pernah akur. Di saat mereka menikah pun banyak kalangan menyangsikan kelanggengan relasi keduanya mengingat jurang perbedaan watak yang begitu jomplang dan timpang.
Sikap adiknya yang tak serius dalam menanggapi keretakan keluarga sering membuat Rose mencak-mencak. Hugo sendiri tak ambil pusing dengan kemarahan Rose yang berpusar-pusar seperti badai di tengah laut.
Jikalau Rose mulai gila karena khawatir, sibuk kasak-kusuk mencari solusi untuk mendamaikan kedua orangtua mereka, Hugo hanya nyengir santai seraya berkata, "Tenang, Kak. Jika semua dianggap serius kau bisa ubanan sebelum waktunya."
Sejujurnya, Rose sempat iri menyaksikan cara adiknya menangani problema. Berbekal perilaku damai seperti air mengalir, hidup adik tunggalnya seakan-akan luput dari masalah. Tak seperti dirinya yang terus tenggelam di dalam dilema.
Pernah di suatu malam, sewaktu dirinya tak bisa tidur nyenyak, Rose memandangi kanopi ranjang sembari berangan-angan. Jika bisa memilih, ia ingin diberi akhlak teduh seperti adiknya. Watak kalem yang jauh dari perilakunya selama ini, berangasan dan penasaran. Karakter tak berbudaya yang sialnya membuat Rose dijauhi rekan-rekan sebayanya.
"Yah, Little Lily memang lebih unggul dari Giant Baby Rose. Lily lebih cantik, lebih anggun, lebih berkelas dan lebih bisa dijinakkan."
Rose mendesis saat perkataan Rafflesia Arnoldi terbayang di kolam ingatan. Ya, dibandingkan dengan dirinya yang tomboi dan urakan, Lily jauh lebih anggun, manis dan patuh.
Sejak kecil pun mereka sering dibanding-bandingkan. Rose yang keras, kaku dan berkepala batu tentu kurang menarik ketimbang Lily kecil yang sopan, apik dan ceria. Setiap kali Lily berada di dekatnya, Rose merasa dirinya seolah-olah ditutupi bayangan. Merasa dirinya tak lagi dibutuhkan dan diinginkan.
Tadinya, sebelum masuk ke Sekolah Sihir Hogwarts, perbandingan berat sebelah tersebut tidak merisaukan Rose. Namun, semua berubah saat Lily menyusul dirinya masuk ke sekolah sihir berasrama paling bergengsi sedunia itu.
Sejak berbaris di acara prosesi Topi Seleksi, Lily sudah mencuri perhatian. Dengan wajah cantik manis, tubuh mungil menggemaskan dan harmoni suara seindah nyanyian malaikat, Lily tak ubahnya dewi surgawi dan bidadari kahyangan yang dinanti-nanti.
Ditambah nama besar orangtuanya, Harry James Potter yang tersohor dengan julukan si Pahlawan Perang yang Terpilih, Lily tak ubahnya hidangan lezat yang membuat air liur lelaki menetes tak terkendali.
Sebagai seorang saudara sepupu, Rose seharusnya bangga menyaksikan kerabat dekatnya menuai aplaus dan atensi. Namun, rasa sakit hati karena sering dibanding-bandingkan sejak kecil membuat Rose tak mampu menyembunyikan emosi busuk dan jahat yang dinamakan kecemburuan dan sakit hati.
Sentimen negatif di diri kian berkembang ke ambang bahaya saat Rose melihat Scorpius, pemuda yang diam-diam dicintai memandangi Lily dari atas hingga bawah tanpa berkedip. Menatap kagum dan terpesona layaknya seorang pemuda yang tak pernah melihat seorang gadis muda belia.
"Aku tidak pernah menyukai Weasley. Tak secuilpun. Dari dulu aku hanya mencintai Lily."
Mengusap tetes air mata pertama yang menuruni pipi, Rose mencebik getir. Sekarang pengakuan itu membuatnya menyadari makna di balik tatapan mendamba Scorpius. Sorot memuja penuh cinta yang tak pernah diberikan Scorpius pada dirinya.
"Dari dulu aku hanya mencintai Lily."
Ya, dari dulu orang-orang memang hanya mencintai Lily. Hanya Lily. Dibandingkan dirinya, Giant Baby Rose alias Rose si Bayi Raksasa yang menyebalkan, Little Lily yang mungil dan atraktif tentu jauh lebih disukai.
Little Lily dan Baby Rose...
Menengadah ke atas, mencermati kanopi langit mendung berawan yang menaungi Knockturn Alley, bibir Rose menipis kesal mengenang nama panggilan yang tak disukainya. Kendati sejak kanak-kanak dirinya memprotes julukan Baby Rose, orangtua dan kerabatnya selalu memanggilnya dengan identitas menggelikan tersebut.
Setiap kali dirinya menentang sebutan itu, dengan mengatakan bahwa ia sudah besar dan tak layak dipanggil bayi lagi, ibunya hanya tersenyum lembut seraya mengingatkan bahwa kata tersebut tak cuma berarti bayi melainkan bermakna 'sayang'.
Oke, mungkin ibunya yang lugu bisa beranggapan polos seperti itu, tapi tidak dengan orang-orang di sekitarnya. Dengan tubuh kekar dan bertulang besar, Rose sering dijadikan bulan-bulanan ejekan.
Puncaknya saat Rafflesia Arnoldi, jalang cacat otak yang sudah membencinya sejak tahun pertama menetaskan julukan baru untuk dirinya. Giant Baby Rose alias Rose si Bayi Raksasa.
"Nama itu cocok sekali untukmu. Tubuh kekar menonjol dengan tulang gajah jumbo begitu masih ingin dipanggil Baby? Astaga, Raksasa! Ngaca dulu dong!" itulah ledekan yang diungkapkan Rafflesia Arnoldi sewaktu Rose mengkonfrontasi ejekan keji itu di sela-sela pelajaran Mantra.
Mengibaskan rambut bob hitam gelap, iblis betina gila yang sepertinya terlahir ke dunia hanya untuk membuat Rose terserang vertigo di usia dini kembali berseloroh menghina.
"Seharusnya kau mawas diri, Giant Baby Rose. Pilih nama kesayangan yang sesuai dengan tubuh maskulin yang kau punya. Contoh dong si cantik Lily Luna Potter. Dia kecil mungil sehingga tak masalah terus dipanggil Little Lily."
Menelan ludah yang sekecut nanah tanaman Bubotuber, Rose mau tak mau menyetujui pendapat tersebut. Tak seperti dirinya yang tinggi jangkung dan bertulang besar, Lily bertubuh mungil, persis seperti peri bunga yang ada di buku dongeng bergambar.
Bahkan, di usia yang kelima belas, Lily tetaplah Lily kecil yang manis. Tubuh ramping Lily yang mungil seakan memanggil-manggil kaum Adam untuk melindungi dan mendekap erat-erat.
"Hah, nenek lampir kelaparan tadi saja menyebutku domba gemuk! Memangnya apa yang kauharapkan Rose Weasley?" ringis Rose miris, mengamat-amati sekujur penampilan dengan kritis.
Menatap pantulan bayangan di genangan air, Rose memantapkan tekad yang sempat mengendur. Boleh-boleh saja ia kalah dari Lily dalam segi penampilan fisik, tapi ia tak akan memaafkan dirinya sendiri jika dipecundangi dalam unsur keberanian.
Ya, jika bukan karena provokasi James yang membanding-bandingkan kepekaan tinggi dan kekuatan spiritualnya dengan Lily, Rose tak akan sudi menjejakkan kaki di lembah dunia kejahatan sekaliber Knockturn Alley.
Sedari kecil, Rose sudah diwanti-wanti ibunya untuk menjauhi kawasan sarat kriminalitas itu. Distrik berbahaya yang sejak berabad-abad lalu menjadi markas terselubung bandit brutal dan ahli sihir ilmu hitam.
Hembusan angin kencang membuat bayangan Rose di air beriak tak tentu arah. Di setiap goyangan, Rose seakan terlempar ke momen liburan Natal di The Burrow, empat bulan lalu. Liburan yang membuatnya membulatkan semangat berkunjung ke area terlarang, Knockturn Alley.
Malam Natal itu, seperti biasa keluarga besar Weasley dan Potter berkumpul di The Burrow. Seirama dengan pergantian era, bekas kandang babi yang dulu butut tak terurus direstorasi menjadi rumah megah berlantai tujuh, lengkap dengan kamar-kamar ekstra untuk menampung anggota keluarga.
Setelah menyantap hidangan Natal yang lezat dan meriah, para orangtua berkumpul di ruang keluarga. Menghangatkan diri sambil menyanyikan lagu Natal di depan perapian yang berkobar menyala.
Kaum muda, termasuk anak-anak dibiarkan gentayangan di luar halaman, bermain lempar salju atau membuat benteng dan boneka salju. Cuaca yang sangat mendukung (hanya rinai gerimis salju yang tak mengganggu) membuat acara bermain di luar jadi lebih menyenangkan.
"Kemarin aku, Lily dan Al bertualang ke Knockturn Alley!" James berkata di sela-sela lemparan bola salju yang secepat peluru kendali. Pengakuan bombastis yang tentu saja disambut pekik kaget Rose yang bersandar di samping kiri.
"Knockturn Alley? Apa kau gila?"
Menyeringai sok, James membulatkan salju hingga sebesar drum minyak sebelum melemparkan benda padat bulat-bulat itu ke kepala adiknya, Albus Severus Potter yang berdiri tak jauh di dekat rumpun semak beku.
Di samping kanan James, bersandar di batang pohon cemara berdaun jarum, Lily tertawa indah memesona dengan nada musikal menyenangkan ketika bola salju super-besar itu berselang-seling menghantam muka Albus, membuat wajah remaja bermata hijau terang itu bersimbah bercak-bercak putih.
"Banyak hal menyenangkan di sana, Baby Rose. Penyihir kurang makan bertampang urakan, rumah boneka pemakan manusia maupun toko-toko aneh yang menjual barang langka seperti tengkorak putri duyung dan usus Naga Perut Besi Ukraina," lanjut James, tak mengindahkan mimik jijik yang terpeta di wajah Rose yang berbintik-bintik.
"Kita kan sudah diharamkan masuk ke sana!" geram Rose berang, mendelik kesal saat James yang tengah menuntut ilmu di Akademi Quidditch Internasional terkekeh meremehkan.
"Ups, aku lupa kalau tengah berbicara dengan Baby Rose si Hamba Peraturan. Gadis kaku, dingin dan sulit dihadapi," cicit James pura-pura ngeri, memegangi lengan erat-erat. Belum sempat menambah efek dramatis dengan berlagak pingsan di tempat misalnya, James mengumpat vulgar saat jidat badungnya diserempet bola salju seukuran telur naga.
Mengambil segentong salju dengan sabetan tongkat sihir, James dengan lihai menguleni air padat membeku hingga membentuk bola-bola berduri. Albus dan Hugo yang tak mau mati muda buru-buru mengibarkan bendera putih, menyatakan menyerah dan berhenti dari pertarungan lempar bola salju.
"Yaah, kan kita baru mulai," Lily mengeluh dengan bibir sedikit mengulum, mengacak-acak salju di bawah kaki dengan gundah. Bibir atas Rose mencibir melihat rajukan kekanak-kanakan Lily. Rengekan sok manis yang sialnya ditanggapi sepupu-sepupunya dengan perhatian berlebihan.
"Lebih baik kau ikut kami membangun benteng salju, Little Lily," Molly Weasley II, putri sulung Percy Weasley dengan Audrey Weasley melambaikan tangan yang memegang sekop sihir. Di sebelahnya, adik perempuan Molly, Lucy Weasley mengangguk antusias, tersenyum lebar menunjuk-nunjuk benteng raksasa yang hampir setengah jadi.
"Lalu, kalian membeli suvenir dari Knockturn Alley?" tanya Rose sarkastik, menggosok-gosokkan jari-jari tangan yang terbungkus sarung tangan krem gading. Lily yang hendak beranjak menuju benteng ala Romawi mendadak menghentikan langkah, berpaling sembari menghela napas berat.
"Sayangnya kami tak bisa membeli apa-apa. Kami keburu kepergok John Dawlish. Kau tahu, Auror tua yang sebentar lagi pensiun," jelas Lily sedih, meremas-remas ujung mantel hijau seledri dengan gundah.
"Ooh, jadi kalian tertangkap basah?" Rose menaikkan alis ingin tahu. Menatap Lily lurus-lurus tepat di manik cokelat terang yang benderang, Rose kembali melanjutkan pertanyaan, "Terus, kalian dapat hukuman berat dong karena melanggar peraturan?"
Betapa sebalnya Rose saat James dan Lily menggelengkan kepala kuat-kuat. Kekesalan Rose semakin berlipat-lipat saat pipi Lily merona merah jambu. Semburat merah muda cemerlang yang membuat wajah bersih Lily semakin indah dipandang.
"Tidak. Dada bilang kalau kami persis seperti dirinya sewaktu remaja dulu. Senang keluyuran ke tempat terlarang. Mama juga tak marah, ia hanya meminta kami untuk lebih berhati-hati," jawab Lily sumringah, berpuas diri mengingat kebaikan hati orangtua tercintanya.
"Wah, kalau kita sih lain ya, Rose," Hugo, adik Rose yang baru tiba setelah mengeringkan celana panjang yang lembap dan basah tiba-tiba urun pendapat. Menyilangkan tangan di belakang kepala yang terbungkus topi bulu berang-berang, remaja tampan bermata sebiru samudra itu berkata sambil menerawang.
"Kalau aku ketahuan berkunjung ke Knockturn Alley, Mum pasti mengomel sampai kupingku harus dirawat di Ruang Gawat Darurat Rumah Sakit Saint Mungo. Pantatku juga pasti tepos sebelah setelah disabet sapu balap Dad."
"Itu tandanya orangtua kita sangat menyayangi dan mengkhawatirkan keselamatan kita!" balas Rose panas, tak terima orangtuanya dianggap sebagai penyihir kolot yang tak paham kesenangan anak muda.
Jika Lily tampak serba salah, James seperti biasa hanya tersenyum tanpa dosa. Menepuk-nepuk percikan salju yang hinggap di pundak, pemuda lajang berdada bidang itu meneruskan kisah ekspedisi terlarang ke kawasan berbahaya yang sarat ilmu sihir hitam.
"Sayang sekali si bangkotan Dawlish memergoki kami saat hendak masuk ke toko Borgin and Burkes. Padahal, banyak yang ingin aku lihat di toko barang antik itu," beber James, menyebutkan nama toko yang sudah berdiri sejak tahun delapan belas enam puluh tiga.
"Pah! Apa bagusnya toko jelek yang memfokuskan diri di bisnis barang klenik sarat kutukan itu?" kilah Rose, mengibaskan tangan dengan gaya melecehkan.
Kendati dari luar Rose tampak tak peduli, di dalam hati dirinya merasa panas dan tersaingi. Bagaimana bisa Lily yang penakut dan serapuh boneka kaca pernah mencicipi udara Knockturn Alley yang mencekam?
Kecemburuan Rose menukik ke tingkat akut saat Lily tanpa sengaja keceplosan mengatakan dirinya bertemu dengan Scorpius di depan toko Borgin and Burkes. Mendengar penjelasan tersebut, Rose merasa jantungnya seakan diremas-remas dan terhimpit tulang belulangnya sendiri.
"Scorp sempat terkejut saat melihatku. Ia bahkan tanpa malu-malu memarahi James dan Al karena nekat mengajakku," cerita Lily panjang lebar, tak mempedulikan kedut marah yang berdenyut di ujung bibir tipis Rose.
"Si pirang platina pucat itu boleh saja sok ngomel-ngomel. Tapi dari kilat di mata peraknya, terlihat jelas kalau ia mengagumi keberanian Lily," ulas James menyimpulkan, tak sadar kalau asumsi sableng yang diracik seenak jidat itu semakin menambah panas situasi.
Mengepalkan tangan di balik saku mantel sekencang mungkin hingga berkeretak menyakitkan, Rose mengambil napas tersentak, mati-matian menahan ombak kecemburuan dan kekecewaan yang bergelora.
Rambut merah Rose yang lebat meretih seperti tersetrum petir saat mata awasnya menangkap senyuman sinis yang membayang di ujung bibir Lily. Seringai kemenangan yang dalam hitungan detik berubah menjadi ringisan khawatir.
"Rose, kau tak apa-apa?"
Menepis tangan Lily yang terjulur, Rose tanpa berkata-kata berlari masuk ke dalam rumah. Tak menghiraukan panggilan panik Lily, Rose menjauhi sepupu tak tahu diuntungnya itu. Hantu perayu tak tahu malu yang mencoba mengambil kesempatan dalam kesempitan.
Yeah, sekuat apapun Lily berusaha menyembunyikan seringai kemenangan, Rose tak bisa dibohongi. Selihai apapun Lily mengkamuflase watak asli, Rose tak bisa dikelabui.
Lily, Little Lily yang kecil dan manis berniat bermain api dengannya. Berniat menyelak dan menyalip di tikungan tanpa permisi. Tindakan yang sampai mati tak akan diizinkannya...
"Scorpius itu milikku, Little Lily. Aku yang lebih dulu bertemu dengannya. Aku yang lebih dulu mengenalnya. Dia milikku! Milikku!" Rose bergumam penuh tekad, tanpa ampun menginjak-injak genangan air dengan sepatu bot warna lila.
Melemparkan rambut merah bergelombang ke belakang, Rose mengeluarkan instrumen kompas sihir, alat serba guna yang bisa memandu menuju toko Borgin and Burkes. Toko yang belum sempat dijelajahi oleh Little Lily, serangga kecil jalang yang licik dan menjengkelkan.
Memasukkan kembali kompas sihir ke saku jubah, Rose menghembuskan napas final. Disertai kumandang tekad terakhir untuk merebut kembali perhatian Scorpius, Rose berderap menuju toko tujuan.
Toko yang tanpa disadari akan mengubah hidup dan nasib dunia untuk selama-lamanya...
Keliningan yang ada di atas pintu berdebu berdenting nyaring saat Rose menjejakkan kaki di dalam ruangan temaram. Hidung mancung Rose menguncup dan mengembang tatkala bau busuk dan apak merasuki indra penciuman.
Mengedarkan pandang gugup ke sekeliling ruangan yang remang-remang, Rose perlahan-lahan menjulurkan kepala. Mencari-cari si empunya toko sekaligus meneliti barang-barang kusam yang terpajang di etalase kaca dan rak-rak berkarat.
Menapak ke sudut timur, Rose berhadapan langsung dengan satu pak kartu Tarot bernoda darah yang tersampir apik di dekat hiasan kaca. Plakat batu besar di dekat kartu menjelaskan kalau kartu lusuh yang biasa dipakai untuk kepentingan spiritual itu bisa membuat penggunanya terkena nasib buruk berturut-turut, berakhir dengan nasib meringkuk di balik perut alligator, buaya paling ganas sedunia.
Menahan mual membayangkan mendekam di lambung buaya, Rose melirik ke samping kartu. Di sana, tak jauh dari gundukan kerajinan perak dan bongkahan medalion emas kuno, deretan topeng berparas mengerikan menyeringai menyambut kedatangan Rose.
Rose berani bertaruh kalau senyum topeng-topeng itu semakin lebar saat ia membungkukkan wajah untuk membaca plakat berkarat yang tergeletak di dekat topeng bertampang paling seram.
"Hati-hati, jangan disentuh sembarangan. Topeng akan melekat di wajah untuk selamanya," Rose membaca keterangan di plakat topeng. Bergidik, Rose menjauhi deretan rak topeng terkutuk. Walau tampang aslinya kurang elok, Rose tentu lebih suka berwujud manusia ketimbang bermuka sehancur setan kubur.
Beringsut mendekati lemari retak di ujung ruangan, Rose sadar betul kalau gerak-geriknya diamat-amati boneka porselen berambut hitam mengilap yang tergeletak di atas rak kaca penuh sarang laba-laba.
Sejak Rose memasuki ruangan, bola mata si boneka terus bergulir, mengawasi dengan saksama. Sesekali tangan kecil si boneka teracung ke atas, dengan anggun menutupi sudut bibir merah darah yang menguntai tawa mengerikan.
Setibanya di depan lemari kaca yang retak dan bertambal-tambal, mata biru Rose langsung dihujani kilau perhiasan gemerlap. Selain jepit konde yang jelas-jelas dibuat dari gusi dan gigi manusia, satu-satunya perhiasan yang menarik perhatian Rose adalah seuntai gelang berhias dua batu opal yang berkilat-kilat indah.
Semula, Rose berpikir batu biru safir tersebut cuma batu mulia biasa sampai dirinya mendengar seruan lirih dari arah belakang.
"Itu gelang bola mata Circe. Pakai gelang itu di tanganmu dan kau akan hidup tanpa bola mata selamanya."
Berbalik cepat-cepat, Rose mencengkeram jantung yang hampir copot. Untung saja tangannya tak gatal mencoba gelang indah yang ternyata dibuat dari sepasang bola mata Circe, penyihir legendaris Yunani. Penyihir wanita yang gemar mengutuk korban-korban malangnya menjadi binatang berwujud mengerikan.
"Ada yang bisa kubantu, Miss?" Mr Borgin, penyihir bongkok dengan rambut setipis bulu tikus mengawasi Rose dengan cermat. Lensa kacamata tak bergagang Mr Borgin berkilat janggal saat pemahaman melintas di kepala setengah botak yang dipenuhi keringat.
"Rambut merah. Wajah penuh bintik-bintik," Mr Borgin bergumam jelas, sejelas seringai aneh yang terukir di garis-garis keras wajah.
"Kau pasti Miss Weasley. Ya, wajah itu... wajah khas klan rambut merah Weasley."
Mengangguk tanpa suara, Rose mundur perlahan-lahan. Dari sekian banyak jebakan gaib dan kejadian mistis yang menimpa semenjak mendarat di Knockturn Alley, pengalaman masuk ke toko Borgin and Burkes-lah yang paling mendirikan bulu roma.
Tatapan puas Mr Borgin dan tawa mengintimidasi si boneka porselen membuat Rose menciut di tempat. Belum lagi dengan bau busuk bangkai dan desis gaib yang berhembus dari cermin berukir di belakang punggung Mr Borgin.
Seolah memahami kengerian Rose, Mr Borgin memasang senyum ala penjual. Senyum lebar yang di mata Rose tak ubahnya seperti seringai serigala kelaparan.
"Kau ingin mencari sesuatu, Miss Weasley? Untuk hadiah mungkin? Atau untuk dirimu sendiri?" Mr Borgin bertanya bertubi-tubi, berpaling untuk mengambil cermin berukir yang dipajang di dinding dekat pintu belakang.
Mengelus cermin dengan penuh hormat, Mr Borgin mengalihkan perhatian kembali ke sosok Rose yang masih membeku di dekat lemari gelang bola mata Circe.
Sebenarnya, sedari Mr Borgin bersusah-payah mencopot cermin aneh itu dari gantungan, Rose sudah diterkam keinginan menyelamatkan diri. Intuisinya terus-menerus meneriakkan sinyal bahaya. Sayangnya, insting meloloskan diri itu tak sejalan dengan kaki yang terekat erat di lantai seakan-akan ketumpahan semen sihir satu kontainer.
"Cermin ini cocok untukmu. Cermin dua arah," Mr Borgin menyodorkan cermin halus ke tangan Rose. Memberontak hebat, Rose memaksakan tekad untuk menolak permintaan tersebut dengan mengatakan dirinya tak membutuhkan cermin.
"Kau pasti membutuhkannya, Anakku. Kau tahu cermin dua arah bukan?" Mr Borgin tersenyum membujuk, tanpa dipersilakan membungkus cermin dengan kertas kuningan berlabel Borgin and Burkes.
"Aku tahu apa itu cermin dua arah," Rose akhirnya berhasil menemukan suara kembali. "Cermin itu memungkinkan kita untuk berkomunikasi dengan pemilik cermin serupa meski terpisah jarak ribuan kilometer."
Mr Borgin melengkungkan alis kusut berminyak, tampak girang calon pembelinya paham betul tentang objek mistis yang mereka bicarakan. Memasukkan cermin yang sudah dibungkus rapi ke dalam tas kardus, pria tua dengan wajah kurus berkerut itu menyambung penjabaran.
"Nah, cermin ini sangat sesuai untukmu. Kau pasti butuh teman bicara yang asyik, bukan?"
Ketakutan Rose bertransfigurasi menjadi ketersinggungan akut. Merlin! Apa rasa kesepian begitu nyata sehingga tertato di jidatnya? Detik ini juga Rose seakan-akan bisa melihat tulisan huruf kapital yang berpendar-pendar di pelipisnya.
Tulisan yang kira-kira berbunyi seperti ini, HALO SEMUANYA, AKU ROSE WEASLEY, CEWEK KESEPIAN MEMBOSANKAN YANG BUTUH TEMAN BICARA MESKI CUMA MAKHLUK IMAJINER SEMATA.
Mengusir bayangan tentang stempel tak sedap itu, Rose memfokuskan diri pada tugas utama. Menepis tawaran mencurigakan sekaligus buru-buru keluar dari toko yang semakin lama semakin menyeramkan.
"Saya benar-benar tak memerlukan cermin, Sir. Lagipula, uang saya tak cukup," urai Rose tegas, berbohong tentang jumlah Galleon emas yang tersimpan di saku baju.
Walau ayahnya tuna karya, berkat gaji tinggi ibunya, Rose masih diberi uang saku lebih dari cukup. Uang saku yang khusus dibawa untuk memborong barang-barang langka di Knockturn Alley.
"Uangmu pasti cukup, Miss Weasley," mata pucat Mr Borgin bersinar tembus pandang, membuat Rose merasa dirinya tengah dironsen dengan sinar transparan.
"Harga cermin ini hanya seribu lima ratus Galleon," Mr Borgin berkata selicin rambut berminyak miliknya yang tinggal beberapa helai.
Bersikap dirinya tak mendengar repetan kesal Rose, penyihir bungkuk itu menghembuskan napas dalam-dalam, membawa aroma anyir kematian dan bau busuk kuburan ke dalam paru-paru yang bergoyang naik turun.
"Ini cermin yang dijual Mr Lucius Malfoy. Tentu saja harganya sangat tinggi," desah Mr Borgin, menyelipkan seringai tamak saat kesiap kaget Rose berganti menjadi gumaman tertarik.
"Cermin itu dulu milik kakek Scorp?" Rose berujar penasaran, membayangkan sosok penyihir berambut panjang ubanan. Lelaki tua bertampang angkuh yang selalu mengantar dan menyambut cucunya di peron sembilan tiga perempat Stasiun King's Cross, London.
"Ya, milik Mr Lucius Malfoy. Pelanggan utama toko yang loyal, dermawan dan senantiasa menyumbang dengan royal," Mr Borgin sengaja menekankan nada khusus di kata 'dermawan dan royal'. Dengan mencantumkan intonasi spesial, penyihir bersuara merayu itu berharap konsumen remajanya mau mengeluarkan segepok Galleon yang disimpan di balik saku mantel.
"Apa mungkin pasangan cermin ini masih ada di Malfoy Manor?" Rose menatap ragu, tersenyum girang saat kemungkinan kedua menghampiri otak.
"Atau, jangan-jangan pasangan cermin ini dipegang Scorp," gumam Rose antusias, bersemangat membayangkan peluang bercakap-cakap atau berinteraksi dengan pemuda cinta pertamanya melalui cermin. Mungkin saja perasaan Scorpius padanya bisa berubah jika bangsawan berdarah biru itu mau mengenalnya lebih dalam.
Melihat perubahan ekspresi di paras Rose, Mr Borgin mengerang senang. Akhirnya, setelah puluhan tahun terkungkung, dirinya bisa bebas merdeka. Akhirnya, setelah lebih dari dua dekade terbelit malapetaka tak terkira, dirinya bisa memperoleh kemerdekaan.
Dan untuk itu, apapun yang terjadi, Mr Borgin tak akan membiarkan mangsa empuknya lolos. Apapun yang terjadi, Mr Borgin tak mau mengulang bencana derita yang sama. Penderitaan tak terperi yang dirasakan karena gagal membawa kakak beradik Potter masuk ke toko. Kegagalan yang timbul gara-gara kehadiran John Dawlish, Auror brengsek yang muncul sedetik sebelum kaki kakak beradik Potter memasuki lorong toko.
"Kau kenal Tuan Muda Scorpius? Wah, beruntung sekali. Ia benar-benar pemuda menawan yang tampan," decak Mr Borgin, menggosok-gosokkan tangan kotor di celemek kulit pudar yang berjumbai-jumbai.
"Ya, dia memang tampan," aku Rose, menahan pipi yang mendadak menghangat panas dengan kedua tangan. Berdeham serak saat mata keriput Mr Borgin mengerling nakal, Rose menjejalkan tangan ke dalam saku mantel, mengambil sekantung Galleon emas yang tersimpan di sana.
"Ini, seribu lima ratus Galleon," ujar Rose, menyodorkan seonggok koin emas ke tangan Mr Borgin yang bergetar hebat. Keheranan Rose semakin menebal saat Mr Borgin berlutut seperti berdoa, menangis meraung-raung di lantai linoleum dingin berbau ludah dan dupa kemenyan.
"Terima kasih, Anakku. Terima kasih," Mr Borgin bergetar lega, bangkit berdiri dan menyerahkan bungkusan cermin ke tangan Rose. Sedetik setelah kardus cermin berlabuh di tangan, jutaan sensasi asing menggelitik indra-indra Rose. Perasaan abnormal yang lagi-lagi membangkitkan alarm bahaya di kalbu.
Cepat buang cermin itu, Rose. Apa kau lupa peringatan dari Grandpa Arthur? Jangan percaya apapun yang bisa berpikir sendiri jika kau tak bisa melihat di mana otaknya berada!
Relung hati terkecil Rose melolong histeris, berulang-ulang meneriakkan peringatan untuk mencampakkan bungkusan yang berdesir tak normal. Bungkusan tak wajar yang terus menerus mengeluarkan suara tak bertubuh. Desisan reptil berbisa yang membuat bulu-bulu tengkuk Rose berdiri, meriap dan meremang.
Jangan, Rose. Siapa tahu Scorpius menyimpan cermin pasangannya. Jika benar demikian, kau bisa berbicara akrab dengannya melalui cermin dua arah ini. Kau bisa mengenalnya lebih lanjut dan membuatnya melupakan Little Lily untuk selama-lamanya...
Sudut hati kelam yang mulai tumbuh semenjak Scorpius menyatakan cinta pada Lily meraung brutal, menuntut Rose untuk mempertahankan bungkusan tersebut. Bungkusan yang pelan tapi pasti menyelubungi tubuh Rose dalam kehangatan mengerikan.
Mr Borgin yang menonton pertentangan batin Rose menggigit bibir kuat-kuat. Mulutnya yang kisut dan keriput mencicit pelan, berkomat-kamit berdoa agar gadis remaja naif dan tolol yang berdiri ragu-ragu di depan pintu mengurungkan niat membuang cermin tersebut ke tempat sampah.
Kecemasan yang melingkupi Mr Borgin tak berlangsung lama sebab Rose mendadak mengangkat muka yang tertunduk. Melempar senyum ganjil, senyum aneh yang hanya bisa dikeluarkan oleh penyihir yang terhipnotis, Rose membuka pintu toko dan melangkah keluar. Meninggalkan dering kelintingan dan desah lega Mr Borgin yang terhuyung jatuh ke atas meja kasir.
"Akhirnya, Tom... akhirnya..."
"Akhirnya kau datang juga, Rose. Ke mana saja kau?"
Hermione Granger Weasley menatap Rose lekat-lekat dari ujung kaki hingga ujung rambut. Pandangan menyelidik Hermione tak jua surut meski putri sulungnya melempar pandang sebal penuh penghinaan.
"Aku hanya berjalan-jalan sebentar, Mum. Memangnya tak boleh?" Rose bertanya asal, melempar sepatu bot tebal dan jubah putih panjang ke sembarang arah. Tindakan serampangan yang kontan membuat kemarahan Hermione meledak seperti hujan bom molotov.
"Tentu saja tak boleh, Rose. Kau membuatku cemas setengah mati. Acara makan malam sudah dimulai dari tadi," gertak Hermione, berdecak tak percaya ketika Rose menepiskan rambut merah cerah yang tebal mengombak ke belakang bahu dengan gerakan menantang.
"Jangan marahi dia, Hermione!"
Bentakan menggelegar yang terdengar dari arah ruang makan menghentikan omelan Hermione. Wajah Rose yang semula kecut berubah cerah saat ayahnya muncul dari balik pintu, berjalan terpincang-pincang menghampiri.
"Dad," Rose merangsek memeluk ayahnya erat-erat, menikmati kehangatan yang selalu diperoleh setiap kali bersandar di dada kekar ayahnya.
Meski mewarisi intelegensia ibunya, sifat dasar Rose mayoritas menurun dari ayahnya. Kesamaan karakter itulah yang membuat Rose merasa nyaman dan dihargai setiap kali berdekatan dengan ayahnya. Yah, kepada siapa lagi kau bisa berlindung selain kepada orang yang bisa memahami dan mengerti dirimu apa adanya?
"Jangan terlalu memanjakan, Ron. Dia belum bilang ke mana ia pergi seharian," cecar Hermione naik darah, mengacak-acak rambut cokelat lebat yang digulung ketat.
Sejujurnya, Hermione tak ingin bertindak seperti ibu-ibu galak pengekang, namun akhir-akhir ini putri kesayangannya benar-benar tak bisa dikendalikan. Hari ini misalnya, tanpa pemberitahuan apapun Rose raib tanpa pesan, membuat seisi The Burrow gempar dan kelimpungan.
Lily yang setiap liburan tiba selalu tidur sekamar dengan Rose mengaku tak tahu ke mana sepupu perempuannya pergi. Kata Lily, Rose sudah tak ada di tempat tidur saat ia bangun dini hari tadi.
Kemarahan Hermione kian menjadi-jadi ketika Ron melecehkan kecemasan natural yang lazim dimiliki para orangtua. Menurut Ron, putri mereka sudah besar dan bebas bertindak sesuai kehendak. Prinsip yang tentu saja bertentangan dengan pandangan Hermione yang meyakini bahwa meskipun Rose sudah berusia tujuh belas tahun, ia tetaplah remaja tanggung yang labil dan mudah dimanfaatkan.
Dan sekarang, lihatlah hasil memanjakan overdosis itu, pikir Hermione getir. Rose tak lagi menghargainya sebagai seorang ibu. Terlihat dengan tindakan kurang ajar yang dilakukan putrinya setiapkali ia menumpahkan nasihat.
Oke, Hermione sadar kalau temperamen berbahaya dan perubahan perangai itu sedikit banyak disebabkan oleh kesalahannya juga. Semenjak rumah tangganya gonjang-ganjing, Hermione melihat anak pertamanya mengalami masalah dalam bersikap dan berperilaku.
Rose, si gadis genius yang biasanya percaya diri, mandiri dan ceria seperti burung penyanyi kini berubah pemurung dan emosional. Tak hanya sering termenung murung sendirian, Rose juga enggan bergaul dengan sepupu-sepupunya maupun berbicara dari hati ke hati dengan dirinya seperti sediakala.
Sebagai seorang ibu, Hermione tentu berjuang semampu tenaga untuk mengatasi beban moril putrinya. Seringkali Hermione menekan sakit hati tatkala Ron menyumpahi pekerjaannya. Namun, titik sabar manusia punya batasan juga. Dan, tatkala garis batas terlampaui, keonaran luar biasa pun meledak di antara mereka.
Seperti saat ini, misalnya. Mengesampingkan kondisi ramai di The Burrow maupun kepala-kepala yang melongok ingin tahu, Ron dengan berbusa-busa menceramahi Hermione. Mencemoohnya sebagai ibu tak bertanggung jawab yang gemar mencari-cari kesalahan dan dosa orang lain untuk menutupi borok sendiri.
"Jangan sok suci, Hermione. Kau sendiri baru tiba di sini sepuluh menit lalu. Apa bedanya dengan Rose?" tuding Ron pedas, menunjuk wajah pias istrinya dengan jari telunjuk yang patah.
Mendengar tuduhan menyengat itu, Hermione menyipitkan mata hingga membentuk segaris celah. Baiklah, Hermione sadar dirinya juga terlambat menghadiri jamuan makan malam tapi itu disebabkan oleh rapat penting mendadak yang tak bisa ditunda.
"Itu beda, Ron. Aku ada pertemuan dengan Kingsley, sedangkan Rose mangkir tanpa alasan jelas," kelit Hermione frustrasi, mengepalkan tinju erat-erat saat sinar berbahaya melintas di manik biru Ron yang sedalam lautan lepas.
"Aku ada pertemuan dengan Kingsley," Ron menirukan suara Hermione semirip mungkin, menyelipkan nada genit merayu di intonasi suara. Tak mengindahkan protes penonton yang meminta untuk berkepala dingin, Ron tanpa ampun meledakkan emosi kebencian yang membara di dalam darah.
"Sepertinya kau intim sekali dengan Kingsley. Kenapa kau tak menikah saja dengannya? Jangan-jangan Kingsley membujang demi menanti jandamu," tuduh Ron kejam, memajang senyum artifisial saat melihat mata istrinya berkelap-kelip menahan tetes air mata yang menggantung.
"Ron! Jangan asal ngomong!" Ginny Weasley Potter, adik perempuan Ron sekaligus sahabat terbaik Hermione meraung berang. Menghampiri sobat dekatnya yang bergetar membendung tangis, Ginny melingkarkan lengan di pundak Hermione yang menggigil hebat.
"Benar, Ron. Itu fitnah namanya," Harry James Potter, suami Ginny sekaligus teman laki-laki terdekat Hermione mengeluarkan segepok pembelaan. Pria bermata hijau cemerlang yang baru-baru ini diangkat sebagai Kepala Departemen Auror bergerak mendekati istrinya yang masih memeluk Hermione erat-erat.
"Hermione itu Asisten Kingsley. Jadi wajar kalau mereka dekat," Percy Weasley, putra ketiga keluarga Weasley yang menjabat sebagai Kepala Departemen Pelaksanaan Hukum Sihir mendukung argumentasi Harry.
Sebagai petinggi top Kementerian, Percy dan Harry tentu menyadari kalau keakraban Hermione dengan Menteri Sihir, Kingsley Shacklebolt tak lebih dari hubungan profesionalitas semata. Latar belakang sebagai anggota Orde Phoenix maupun pahlawan perang Hogwarts tentu kian memperdalam ikatan kerja tersebut. Keharmonisan relasi yang tampaknya disalahartikan oleh Ron yang terbakar api cemburu dan gengsi.
"Kedekatan mereka terlalu berlebihan. Apa-apa Kingsley! Apa-apa pasti Kingsley!" Ron berlagak tengil, mendemonstrasikan gaya wanita centil menjijikkan. Anekdot picisan yang dalam waktu singkat langsung memperburuk situasi.
"Brengsek kau, Ron! Bilang saja kau iri pada prestasiku!" Hermione mendengkung marah, mengusap air mata yang membanjir dengan brutal. Di sebelahnya, Ginny berbisik menenangkan, menepuk-nepuk bahu kaku sahabatnya dengan gerakan menenteramkan.
"Apa! Dasar wanita jalang! Pelacur murahan! Sundal kampungan!" Ron balas berteriak, melempar pot bunga yang melekat di meja kayu solid. Untung saja, sebelum jambangan berisi rangkaian bunga kana oranye mengenai wajah Hermione, vas tanah liat tersebut sudah balik ke posisi semula berkat sapuan tongkat sihir nyonya rumah, Molly Weasley.
"HENTIKAN! CUKUP!" Molly Weasley berkaok marah, membuat dinding The Burrow bergetar seperti disaput angin tornado. Di saat getaran dinding rumah berhenti, keheningan saling tindih pun tercipta. Kesunyian menegangkan yang dipecahkan dengan ultimatum lantang berikutnya.
"Hentikan keributan konyol ini! Apa kalian tak malu bertengkar di depan anak-anak?" Molly mengutuk dongkol, menunjuk cucu-cucunya yang bergerombol di ambang pintu ruang makan.
Menumpukan kedua tangan di pinggul, penyihir yang masih sehat energik di usia senja bergantian memandangi putra dan menantunya. Mata cokelat cerah Molly yang memicing sengit dimuati aneka perasaan yang hadir silih berganti. Penyesalan, kasihan, kemarahan dan kekecewaan tak terkatakan.
"Ron, Hermione, sebelum tidur nanti aku ingin bicara dengan kalian," Molly mendelik ke arah Ron dan Hermione yang mematung kaku. Menepukkan kedua telapak tangan gemuk yang bergelambir, Molly mengajak tamu-tamunya untuk kembali menikmati hidangan di meja makan.
"Ayo kita makan, Rosie. Kau pasti lapar," gumam Ron, membimbing putri favoritnya menuju ruang makan utama. Mengangguk tanpa suara, Rose yang selama keributan berlangsung hanya tertunduk membisu di sudut ruangan mengangkat muka perlahan-lahan.
Dan, di saat itulah mata biru Rose menangkap seulas senyum tipis yang terukir di bibir indah Lily. Senyum kemenangan dan berpuas diri yang selalu diperlihatkan Lily setiap kali dirinya ditimpa bencana.
Urat darah Rose berdenyut marah saat Lily dengan lihai memalsukan senyum munafik menjadi cebikan khawatir tatkala Ron menengok perlahan. Ron yang mengira pundak putrinya bergetar gara-gara pertikaian barusan tersenyum saat Lily berjingkat maju, menghampiri mereka dengan tatapan khawatir.
"Ayo kita makan sama-sama, Baby Rose," ajak Lily lembut, menggenggam tangan sepupunya yang bersimbah keringat. Rose yang tak sebebal ayahnya tentu menyadari selipan nada tak tulus di bujukan tersebut. Intonasi satiris yang ironisnya ditanggapi ayah kesayangannya dengan antusiasme berlebihan.
"Wah, kau baik sekali, Little Lily. Sesama saudara memang harus seperti itu. Saling mendukung dan memerhatikan," Ron menyeringai senang, sengaja mengeraskan kalimat 'saling mendukung dan memerhatikan' tatkala Ginny, Hermione dan Percy melintas di dekatnya.
"Iya, Paman Ron. Aku sayaaang sekali pada Baby Rose," timpal Lily polos, menatap manis sambil mengerjapkan mata cokelat yang bersinar terang. Rose yang tahu betul personalitas asli sepupu kecilnya hanya mengerut muak dan tanpa berpanjang-panjang kata langsung duduk di kursi kosong yang tersisa.
Sepanjang makan malam, tak ada insiden penting yang terjadi. Tak ada satu orang pun yang berani menyebut-nyebut ketegangan pahit yang terjadi di ruang tengah. Di bawah tatapan tajam Molly Weasley, alur pembicaraan hanya berpusat di obrolan remeh-temeh semata. Diskusi tak jelas yang hampir membuat Rose mati kebosanan.
Menguap lebar, Rose meraba saku baju, tempat di mana cermin dua arah tersimpan aman. Tersenyum penuh antisipasi, Rose mensyukuri keputusan melindungi cermin magis tersebut dengan Mantra Pengecil plus Mantra Penyamar tingkat tinggi.
Untung saja ia melakukan hal tersebut sebelum memasuki pintu depan The Burrow, sebab kalau tidak ibunya yang sok pengatur dan Grandpa Arthur yang bermata elang pasti melihat dan menyita cermin dua arah tanpa permisi.
Senyum penuh harap Rose kian merekah ketika dirinya mengimajinasikan berkomunikasi empat mata dengan Scorpius. Dengan berbincang akrab (di sekolah mereka tak bisa bergaul rapat sebab pada dasarnya anak-anak Slytherin dan Gryffindor saling berseteru), Rose optimis bisa memutarbalikkan perasaan Scorpius.
Rose yakin saat ini Scorpius hanya terpikat pada kecantikan wajah dan kemolekan fisik Lily. Ketertarikan hampa yang pasti memudar jikalau pemuda atletis itu menyadari isi otak Little Lily yang sekecil buah kenari. Kosong melompong! Tak dipenuhi apapun selain kedengkian dan topeng sok baik hati yang memuakkan.
Fantasi Rose tentang adegan percakapan rahasia penuh cinta dengan Scorpius terpangkas ketika ayahnya merayap tertatih-tatih menuju serambi bertiang tinggi. Rupanya, Rose yang tenggelam dalam lamunan tak sadar kalau sesi makan malam sudah berakhir dari tadi.
Menatap punggung bungkuk ayahnya yang bersandar goyah di balkon depan, Rose menggigit bibir bawah kuat-kuat. Kecelakaan fatal saat bertugas di Warsawa telah merenggut semua berkah yang dimiliki ayahnya. Martabat, ketahanan fisik dan kelengkapan indra.
Lihat saja ayahnya sekarang. Ayahnya yang dulu segar bugar dan bertubuh sekekar gladiator kini seringkih daun kering. Kutukan ilmu hitam yang menggerogoti tulang kaki kiri membuat ayahnya tak bisa lagi berjalan seperti manusia normal.
Mental dan cahaya hidup ayahnya semakin binasa saat surat pensiun dini dijejalkan secara paksa. Walaupun sejumlah kolega memprotes keputusan sepihak itu, termasuk Paman Harry yang mati-matian membela, Departemen Auror yang saat itu masih dipimpin Gawain Robards ngotot mendepak ayahnya dari jajaran pegawai. Pemaksaan undur diri yang secara otomatis membuat ayahnya tergantung seumur hidup pada belas kasih sang istri.
Rose mengerjapkan mata perih yang sedikit berair ketika melihat ayahnya bersusah payah menyalakan sebatang rokok. Meski tahu nikotin dan zat-zat beracun lain bisa membahayakan kinerja paru-paru, ayahnya tetap mengonsumsi lintingan tembakau itu. Benda adiktif yang dipakai ayahnya untuk mengusir depresi akibat vonis pensiun dini.
Menyingkirkan makanan penutup yang tak lagi membangkitkan minat, Rose beringsut mendekati ayahnya yang tercenung di beranda. Terbatuk-batuk kecil untuk memberitahu keberadaannya (ayahnya gampang jantungan akhir-akhir ini), Rose melingkarkan lengan di pinggang kurus ayahnya yang terbalut jaket lengan panjang.
Ron tersenyum kecil saat kepala putrinya bersandar manja. Sejak kecil, Rose memang sangat kolokan dan gemar menggelendoti. Temperamen dan watak yang hampir mirip membuat jalinan perasaan di antara mereka semakin menguat.
Selama ini, banyak pihak mengira kalau Rose mewarisi sifat-sifat ibunya. Pintar, sok ngebos dan tukang ingin tahu segala. Padahal, jika ditelisik lebih teliti, watak Rose jauh lebih mirip dirinya. Pencemburu, gampang mengambil kesimpulan dan keras hati.
Mengusap rambut merah Rose yang sewangi bunga-bunga yang sedang mekar, Ron menghembuskan asap rokok kuat-kuat. Seiring setiap hembusan asap pekat, Ron berharap benang kusut yang bersarang di dada terurai sempurna. Carut-marut yang timbul semenjak istrinya, satu-satunya wanita yang sangat dicintainya menjadi bawahan langsung bekas pimpinan Orde Phoenix, Kingsley Shacklebolt.
Ron sadar, bagi sebagian orang, kecemburuannya dianggap tak beralasan. Status Hermione yang sudah menikah serta perbedaan usia jauh di antara mereka pastilah membuat pria seterhormat Kingsley segan dan menaruh respek.
Padahal mereka tak tahu saja, gerutu Ron gusar, melempar puntung rokok yang masih berasap ke rumpun bunga kupu seribu. Sebagai pria yang mencintai Hermione, Ron tentu sadar siapa saja saingan-saingan cintanya, baik yang terang-terangan maupun terselubung seperti si brengsek Kingsley.
Yeah, Ron tahu bahwa sejak dulu Kingsley diam-diam mencintai Hermione. Diam-diam mengagumi kecerdikan penyihir mungil yang kini menjadi istri resminya. Ibu dari dua anak-anaknya. Wanita tangguh yang detik ini tengah berbincang serius di ujung telepon.
"Kalau kau sudah besar nanti, kau harus memilih pasangan yang sepadan dan benar-benar mencintaimu, Rosie," ucap Ron memperingatkan, mengagetkan Rose yang tengah menghela napas dengan nyaman, memejamkan mata sembari menikmati udara malam yang bersahabat.
Menengadahkan wajah, mata biru sempurna Rose menatap muka ayahnya yang dihiasi cambang kasar dan jenggot awut-awutan. Semenjak tak lagi bekerja dan terpuruk dalam titik terendah hidup, ayahnya memang malas membersihkan diri. Kebiasaan barbar yang seringkali menjadi pemicu keributan berantai di rumah mereka.
"Apa maksudnya, Dad?"
Menenggak habis sebotol ale dalam satu tegukan, Ron memutar mata, mencermati istrinya yang sibuk mencatat sembari bertelepon ria di ambang jendela lengkung berukir. Dari mata Hermione yang melebar ceria, Ron berani mempertaruhkan kaki kanannya yang sehat kalau saat ini wanita yang sangat dikasihinya itu tengah asyik berbicara dengan Kingsley Shacklebolt. Pria pemilik aksen kental, berat dan dalam yang sampai detik ini masih hidup melajang tanpa pasangan.
"Jangan sampai kau hidup tersiksa seperti Dad. Mencintai seseorang yang tak mencintai Dad apa adanya," Ron terkekeh sedih, menggosokkan tangan di wajah yang kusam berminyak sebelum menyalakan rokok kedua dengan perlahan-lahan.
"Apa Dad sangat mencintai Mum?" Rose menoleh tak mengerti, bertanya kering tak percaya saat kenangan tentang umpatan kasar dan kata-kata kotor ayahnya terngiang-ngiang kembali. Jika ayahnya benar-benar mencintai ibunya, mengapa pria yang tengah menatap dengan pandangan buram itu tega mengeluarkan serapah vulgar seperti itu?
"Oh ya, Dad sangat mencintai ibumu. Selalu. Sedari dulu," Ron mengangguk termenung, membayangkan kembali masa-masa sekolah mereka di Hogwarts. Masa-masa sarat perselisihan, adu pendapat dan perang argumen yang ironisnya sengaja diciptakan untuk menarik perhatian istrinya.
"Dari dulu aku hanya mencintai Lily. Dari dulu... dari dulu..."
Rose memejamkan mata serapat mungkin ketika pengakuan Scorpius berputar-putar di kepala. Entah kenapa, sejak memegang cermin dua sisi itu, ia tak pernah berhenti memikirkan omongan Scorpius maupun kecemburuan akut yang dirasakannya pada Lily.
Memandang sambil menyipitkan mata dengan tegang, Rose mengamati Lily yang bergelung manja di kursi rotan berlapis busa empuk, tak jauh dari kehangatan api perapian yang berkilat-kilat.
Diapit orangtuanya yang tersenyum penuh perhatian, wajah Lily yang secerah matahari di awal pagi bersinar gembira saat program hiburan musik akordeon yang ditayangkan saluran televisi kabel melantunkan rangkaian kidung Paskah dan nyanyian lembut penyanyi kuartet.
Merapatkan kedua jemari tangan, Rose membuang muka sewaktu Lily menoleh, memamerkan seringai kejayaan yang memuakkan. Senyum berpuas diri yang secara tidak langsung menunjukkan kebahagiaan nyata karena berhasil mendapatkan dua hal yang paling diinginkan Rose.
Keharmonisan keluarga dan Scorpius...
Scorpius, satu-satunya cinta sejati yang dimiliki. Satu-satunya lelaki yang tak akan pernah diberikannya kepada orang lain. Tak juga kepada Lily, iblis kecil yang tak mencintai Scorpius dengan sungguh-sungguh.
Untuk yang terakhir itu, Rose yakin seratus persen dirinya tak mengada-ada. Lily pasti cuma iri dan dengki karena selama bertahun-tahun ini ia selalu membangga-banggakan Scorpius. Lily pasti hanya ingin menyakiti dirinya. Hanya ingin membuktikan kalau lagi-lagi, gadis kecil semanis peri seperti dirinya-lah yang keluar sebagai pemenang.
Segala emosi busuk dan pikiran buruk yang bertumpuk-tumpuk itu mengkusutkan akal sehat Rose. Mencengkeram saku gaun tempat cermin berharga tersimpan, Rose yang terbakar dalam bara pikiran jahat menatap Lily dengan sorot berapi-api. Manik mata biru Rose terasa panas membakar saat sudut hati kelam yang mulai menguasai jiwa mendesis sinis.
Sekarang kau boleh tertawa berseri-seri seperti itu, Little Lily. Tapi, pada akhirnya akulah yang akan menari-nari di atas isak tangis penderitaanmu! Pada akhirnya, akulah yang akan mendampingi Scorpius sampai akhir hayat nanti!
Selaras dengan keinginan menggelegak yang menghangatkan denyut nadi, Rose tanpa berbasa-basi meninggalkan ayahnya yang masih terpekur memandangi teralis gantung dan pergola tanaman rambat yang dipenuhi jembalang dan jelatang.
Abai terhadap senyum pura-pura Lily, Rose melangkah mantap menaiki tangga. Berjalan penuh semangat menuju kamar tidur yang terletak di lantai lima. Lokasi tempat di mana ia bisa leluasa membuka cermin istimewa yang berharga.
Cermin dua arah yang tanpa disadari akan mengubah nasib dan masa depan dunia untuk selama-lamanya...
"Scorpius... Scorpius..."
Mendesahkan nama Scorpius berkali-kali, Rose menatap penuh harap cermin ukiran ulir rumit yang terhampar di ranjang kanvas. Mata biru Rose yang seindah langit terpancang lurus ke kaca cermin, mengawasi tanpa berkedip benda yang bersinar terang di tengah keremangan ruangan.
Rose yang mengharapkan bertatapan dengan wajah bersurai pirang platina nyaris terjungkal ketika pemuda tampan berambut hitam balik menatap dari kaca cermin. Untung saja semenit setelah masuk ke kamar Rose langsung memberlakukan Mantra Penolak Gangguan sehingga jeritan kagetnya tak terdengar keluar ruangan.
"Siapa kamu?" Rose bertanya setelah keterkejutan yang dirasakan memudar. Manik biru dalam Rose yang sebening air kolam jernih membulat terkesima saat si pemuda di dalam kaca mengedip menghipnotis.
"Aku Tom," si pemuda berjubah rapi menjawab tenang, terus menatap Rose lekat-lekat dengan sepasang mata gelap pekat yang menyiratkan kejeniusan liar.
Mengucek-ucek mata, Rose kembali memandangi laki-laki keren yang mengaku-aku bernama Tom. Tadi, Rose bersumpah dirinya melihat pupil hitam Tom yang sepekat kegelapan kuno dihiasi semburat merah darah. Lidah api menyala-nyala dan warna kelam mengerikan yang selama sepersekian detik membuat paras tampan Tom terlihat gaib dan tak manusiawi.
"Siapa kau?" Tom balik bertanya, mengangkat alis yang berbaris sempurna dengan elegan. Tanpa bertanya pun, Tom sudah tahu siapa gadis dungu yang melotot ternganga-nganga. Remaja naif, galak dan temperamental yang bakal menjadi jembatan utama untuk bangkit kembali menguasai dunia.
"Rose... Rose Weasley," Rose berbisik serak, mengubur kembali peringatan yang dinyalakan relung kalbu. Peringatan untuk tak memercayai benda apapun yang bisa berpikir tanpa diketahui di mana otaknya berada.
"Rose Weasley," ulang Tom puas, mengunci manik biru Rose dengan sepasang bola mata hitam yang berkilat menakutkan. Kurang dari sedetik setelah mata mereka bertemu, Rose merasa dirinya tersedot ke dalam kegelapan tak berujung. Terperosok ke dalam pusaran kencang yang membuat tubuhnya terombang-ambing seperti boneka rusak.
Satu-satunya suara yang didengar Rose sebelum kegelapan total menyelubungi adalah lengkingan aneh Tom. Desisan mirip ular melata yang sebelumnya didengar Rose di toko Borgin and Burkes.
"Aku sudah melihat hatimu, Rose Weasley, dan hatimu milikku..."
BERSAMBUNG
