This is my second story-Crossover Story-between Evernight and Twilight. They'll show you HOW MUCH I LOVE VAMPIRES! XD

Enjoy then ;) *my special thanks to Stephenie Meyer and Claudia Gray who have create such dark-romance-and-never-ending-love-story novels. You all RAWKS!*

From Stephenie Meyer's and Claudia Gray's books.

Ps : Some of the conversations are from New Moon.


Evernight in Twilight

Chapter 1

Bella,

Segalanya begitu gelap di sini. Tidak ada cahaya matahari, tidak ada hujan, yang ada hanyalah patung-patung gargoyle raksasa dan tembok batu yang dingin. Hah, dingin. Bisakah kau bayangkan arti kata itu bagiku? Sebelumnya, aku tidak terlalu peduli dengan suhu atau semacamnya karena kukira aku tidak akan pernah lagi merasakannya setelah berhenti menjadi manusia. Namun di sini—di Evernight—dunia normalku seolah tidak akan pernah kembali; seluruh duniaku seolah kutinggalkan di Forks, kutinggalkan bersamamu.

"Edward Anthony Masen Cullen," Mrs. Celia Olivier membaca dengan seksama kertas yang ada di pangkuannya, "Jadi bagaimana kesanmu saat pertama kali bersekolah di sini? Sangat berbeda dari sekolah lamamu, eh?" Dia mengibaskan rambutnya yang sewarna karamel ke balik bahu.

Cowok yang duduk di depan meja kantor Mrs. Olivier tersenyum kaku, "Ya, Ma'am. Di sini tidak terlalu banyak godaan," jawabnya dengan nada yang—meskipun datar—terdengar sangat merdu untuk ukuran cowok. Mrs. Olivier tertawa.

"Kau merasa kehilangan?" wanita itu mengedip dengan ekspresi bercanda ke arah murid barunya, tetapi cowok bernama Edward itu sama sekali tidak kelihatan terhibur. Sebaliknya, wajahnya justru menggelap dan ekspresinya tiba-tiba keras. Dia sama sekali tidak menjawab pertanyaan wanita itu.

Melihat perubahan hati murid barunya, Mrs. Olivier segera menanggalkan ekspresi bercanda dari wajahnya. "Maafkan aku atas pertanyaanku tadi. Aku tahu pastilah kau sedih berada jauh dari keluargamu."

Edward hanya mengangkat sudut bibirnya sedikit. "Ya, Ma'am."

Namun jawaban itu bukanlah jawaban yang sebenarnya ingin Edward dilontarkan. Pernyataan Mrs. Olivier tadi menurutnya sangat absurd. Edward tahu bahwa keluarganya akan baik-baik saja tanpa dia—meskipun Alice, adik angkatnya, agak sedih karena kepergiannya yang tiba-tiba—dan tidak ada yang perlu dicemaskan dari keluarganya yang tidak bisa mati hanya dengan ditabrak truk atau apapun.

Hanya Bella-lah yang bisa membuatnya sesedih ini.

"Kau tidak perlu cemas, Edward. Bukan hanya kau sendiri yang merasa seperti itu; semua murid di sini pasti juga sangat merindukan keluarga mereka seperti dirimu. Oleh karena itu, bergaullah dengan mereka, agar kau tidak terlalu kesepian," Mrs. Olivier tersenyum sabar padanya. Edward tidak bisa memungkiri ketulusan yang terpancar dari matanya… dan dari pikirannya.

Edward merasa sangat bersalah terhadap wanita itu. Meskipun Edward tidak pernah meminta simpati dari siapapun, tetapi dia tidak berhak membuat Mrs. Olivier khawatir melihatnya sesedih ini. Edward buru-buru melemparkan senyum kepada wanita itu.

"Terima kasih atas saran Anda, Ma'am."

"Bagus sekali, Cullen. Kuharap kau bisa segera menyesuaikan diri di sini. Anggap saja rumah sendiri, oke?" Mrs. Olivier menepuk-nepuk pundak Edward dengan gaya keibuannya, mengingatkan Edward pada Esme, ibu angkatnya.

"Baiklah, Ma'am. Kalau begitu, saya permisi dulu," Edward mohon diri. Dia melangkah dengan kecepatan vampir ke arah pintu, kemudian menutupnya tanpa bersuara.

Apakah aku bisa menyesuaikan diri di sini? Edward bertanya-tanya pada dirinya sendiri sambil melangkahkan kakinya tanpa tujuan. Pikirannya masih penuh dengan Bella dan tiba-tiba ingatannya pada waktu berpisah dengan Bella di hutan kembali diputar ulang dalam benaknya.

"Bella, aku tidak ingin kau ikut denganku." Mata Bella menatap kosong ke arahku.

"Kau… tidak… menginginkanku?"

"Tidak."

"Jangan. Jangan lakukan ini." Bisikan Bella seperti pisau berkarat yang mengiris hatiku.

"Kau tidak baik untukku, Bella."

Edward menghela napas berat. Rasanya tidak ada yang bisa mengalihkan perhatiannya dari penderitaan ini. Bagaimana bisa aku mengatakan bahwa vampir sangat mudah untuk dialihkan perhatiannya? Edward menertawai dirinya sendiri. Karena terlalu terlarut dengan pikirannya, Edward tidak menyadari bahwa ada seseorang yang sedang berbelok di sudut koridor sekolah sehingga mereka berdua bertabrakan.

"Aduh!"

Edward terkejut melihat tubuh orang itu langsung terpental ke tembok sekolah seperti boneka kain dilemparkan ke dinding. Beberapa murid perempuan yang berjalan di belakang Edward berteriak panik dan menunjuk-nunjuk orang yang ditabrak Edward tadi dengan ketakutan. Beberapa murid lelaki terlihat berlarian dari kejauhan, rambut mereka berkibar di kening mereka.

"Ma-maafkan aku. Aku benar-benar tidak sengaja. Maafkan aku," Edward segera menghampiri orang itu dan berusaha untuk menolongnya. Tetapi saat orang itu mengangkat kepalanya, Edward tiba-tiba menghentikan langkahnya, terlalu syok untuk melihat cairan berkilauan yang mengalir di pelipisnya.

Darah.

"Ah, sial!" lelaki yang ditabrak Edward tadi meraba pelipisnya yang berdarah, lalu menjilatnya. Beberapa murid yang berada di sekitar sana juga terkejut melihat tingkah cowok itu, tetapi yang lainnya lebih kelihatan heran daripada syok seperti Edward. Dia menatap Edward kesal. "Hei, apa masalahmu?"

"Lucas!" seseorang berteriak di belakang Edward. Seorang cowok berambut coklat muda datang menghampiri orang bernama Lucas itu sambil mengerang, "Oh, ya ampun. Kau habis ngapain, sih?"

Lucas yang sedari tadi masih duduk, langsung bangkit tanpa susah payah, dan membersihkan bagian belakang celana hitamnya. "Tanya saja padanya," ujarnya sambil melemparkan tatapan memusuhi ke Edward. Setelah itu Lucas kembali berjalan santai seolah tidak ada sesuatu. Cowok berambut coklat muda tadi menatap Edward sejenak, lalu dia segera berlari ke arah Lucas. Sesuatu menyentuh pundak Edward, sebuah tangan.

"Kau tidak apa-apa?" tanya cowok lain—rambutnya hitam berombak dan badannya sangat berotot—yang baru saja tiba di depan Edward. Dia

ingat bahwa cowok ini juga ikut berlari bersama si rambut coklat muda tadi.

Edward hanya menggeleng, berusaha menjernihkan pikirannya, "Tidak, aku baik-baik saja."

Si rambut hitam tersenyum, "Baguslah kalau begitu. Hm, kulihat tadi kening Lucas berdarah. Apakah kau melakukan sesuatu terhadapnya?"

Nada suaranya yang terdengar curiga membuat Edward marah. "Aku tidak melakukan apa-apa," jawabnya dengan nada dingin.

Kemudian orang itu mengangguk-angguk sambil tersenyum, sikapnya kembali berubah dari curiga menjadi ramah kembali, dan dia mengulurkan tangan ke arah Edward, "Ngomong-ngomong, namaku Balthazar. Aku rasa aku belum pernah melihatmu di sini."

"Aku baru saja pindah. Namaku Edward Cullen," nada bicara Edward yang dingin masih belum berubah.

"Senang berkenalan denganmu, Edward. Kuharap kau mau memaafkanku dan temanku Lucas. Kami agak sedikit sensitif akhir-akhir ini," perkataannya terdengar ramah, tetapi Edward tidak berkomentar. Dia masih merasa terganggu dengan nada curiga yang sempat dilontarkan si rambut hitam Balthazar. "Well, kalau begitu sampai nanti."

Edward menaikkan alis saat Balthazar berlalu di hadapannya. Dia tidak mendapat ide mengenai makhluk apa yang sebenarnya hidup di balik dinding Evernight Academy ini. Carlisle tidak mungkin menempatkan Edward di tempat dimana darah masih bisa berceceran dan menghilangkan pengendalian dalam dirinya. Namun Edward sendiri mendengar Carlisle mengatakan bahwa tempat ini adalah tempat teraman di mana vampir mendominasi populasi murid di sini. Berada di sini seharusnya akan jauh lebih mudah daripada tempat lain yang sekolahnya rata-rata terdiri dari manusia yang membuat vampir seperti Edward kehilangan kendali.

Bagaimana mungkin masih ada darah di tempat ini?

Oh, well, mungkin Lucas itu salah satu dari sedikit manusia yang bersekolah di sini. Jangan berpikir yang tidak-tidak, Edward.

Edward mengacak rambut perunggunya sehingga sekarang terlihat makin berantakan. Seharusnya dia tidak meninggalkan Bella kemaren jika pada akhirnya dia masih berada di sekitar darah manusia.

Tunggu, tunggu. Apa kubilang tadi? Darah manusia? Edward tiba-tiba saja berhenti berjalan. Dia kembali memutar kejadian beberapa menit lalu saat murid Evernight bernama Lucas tadi secara tidak sengaja tertabrak olehnya. Kening pualam Edward yang mulus berkerut sedikit saat matanya terpejam untuk memikirkan semuanya.

Tidak ada aroma apapun. Tidak ada perasaan lapar atau pun api yang membakar tenggorokan seperti yang biasanya terjadi jika berada terlalu dekat dengan manusia. Bahkan bila diingat kembali, tingkah Lucas itu juga aneh; menjilat darahnya sendiri lalu kemudian sesuatu seperti gigi taring mengintip dibalik bibirnya.

Mata Edward tiba-tiba saja terbuka, ekspresinya tidak percaya. Mengapa bisa seperti itu?

Well,sepertinya Edward masih belum bisa melogikakan apa yang telah dilihatnya di sini, di hari pertamanya berada di lingkungan yang benar-benar tidak dikenalnya. Lelaki itu masih belum menyadari bahwa vampir Evernight bukanlah jenis vampir seperti yang dia bayangkan selama ini.


If you don't mind, please review my story. It'll be such a big help for me and for my writing ability. Thank you so much :D - fiorendita